C. PUASA HARUS DILANDASI DENGAN KESADARAN
TENTANG PENTINGNYA BERPUASA.
Adanya kesadaran di dalam diri bahwa ibadah puasa
itu sangat penting bagi diri kita sendiri, akan melahirkan apa yang dinamakan
dengan motivasi dalam diri (atau niat yang ikhlas) untuk melaksanakan puasa
yang tertanam di dalam hati ruhani. Sehingga dengan adanya kesadaran ini
timbullah di dalam diri suatu keadaan dimana kita sangat membutuhkan puasa
seperti halnya diri kita membutuhkan mandi. Jika
ini yang terjadi pada diri kita, maka apapun halangan, apapun rintangan, apapun
kondisinya, apapun gangguannya, dimanapun, kapanpun, kita akan berusaha dengan
sekuat tenaga untuk selalu melaksanakan puasa sesuai dengan syariat yang
berlaku.
Sebagai khalifah yang membutuhkan puasa, sudahkah
kesadaran atau niat yang ikhlas untuk melaksanakan puasa ada di dalam hati ruhani
diri kita sehingga kapanpun dan dimanapun serta dalam kondisi apapun kita selalu siap untuk melaksanakan puasa yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT. Jika hal ini telah kita miliki sebelum diri
kita melaksanakan ibadah puasa berarti kita telah sesuai dengan apa yang
dikehendaki Allah SWT melalui firmanNya yang terdapat di dalam surat Al Baqarah
(2) ayat 184 berikut ini: “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka
Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka
Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.
[114] Maksudnya memberi Makan lebih dari seorang
miskin untuk satu hari.
Untuk itu kita wajib menyatakan bahwa ibadah puasa
yang telah diperintahkan Allah SWT bukanlah tujuan akhir dari puasa yang kita
lakukan. Akan tetapi adalah sarana atau alat bantu untuk memperoleh makna yang
hakiki dari pelaksanaan ibadah puasa, dalam hal ini taqwa, kembali fitrah dan
sehat jasmani serta selalu bersyukur. Namun apabila hanya lapar dan haus serta
ditahannya syahwat yang kita raih saat berpuasa berarti kitalah yang memiliki
masalah saat melaksanakan ibadah puasa.
Sekarang diri kita sudah dijadikan oleh Allah SWT
sebagai khalifah di muka bumi. Timbul pertanyaan, sudah sejauh manakah kita
memiliki ilmu tentang kekhalifahan di muka bumi? Jika kita ingin sukses melaksanakan kekhalifahan di muka bumi tidak ada
jalan lain kita harus meluangkan waktu dan bersungguh-sungguh untuk belajar
memiliki ilmu yang berhubungan dengan diri kita sebagai khalifah dan juga
tentang Diinul Islam sebagai konsep Ilahiah bagi kepentingan diri kita dan juga
anak dan keturunan kita. Adanya kondisi
ini, terlihat dengan jelas bahwa memiliki ilmu tentang Diinul Islam, memiliki ilmu
tentang Allah SWT; memiliki ilmu tentang syahadat; memiliki ilmu tentang shalat,
memiliki ilmu tentang zakat, memiliki ilmu tentang puasa, memiliki ilmu tentang
haji, memiliki ilmu tentang ikhsan, sangatlah penting bagi kesuksesan diri kita
di dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi.
Yang menjadi persoalan saat ini adalah kita malas
untuk belajar, kita merasa tidak ada waktu untuk belajar, sibuk, repot, atau
nanti saja kalau sudah tua belajar Diinul Islam yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT. Inilah ironi yang terjadi
di masyarakat, mau memiliki ilmu tentang Diinul Islam akan tetapi tidak mau
belajar sama sekali. Untuk itu jangan pernah salahkan Allah SWT jika
saat ini kita tidak pernah merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT,
atau jangan pernah salahkan Allah SWT jika hidup kita selalu dirundung
masalah/problem dari waktu ke waktu, akibat diri kita yang malas, akibat diri
kita yang acuh tak acuh dengan Diinul Islam,
akibat diri kita sibuk mengejar dunia, akibat menjadikan diri kita seperti
laksana HP yang hanya memiliki saldo pulsa Rp.50,- (lima puluh rupiah) saja (apa yang dapat kita lakukan dengan pulsa
hanya sebesar lima puluh rupiah), kecuali hanya menunggu dan menunggu).
Sekarang tergantung diri kita maukah belajar tentang Diinul Islam yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT?
D. PUASA HARUS DILANDASI DENGAN KEJUJURAN.
Sudahkah diri kita jujur baik kepada diri sendiri
dan juga kepada Allah SWT sewaktu menjadi khalifah di muka bumi, atau saat melaksanakan
puasa? Jika kita termasuk orang yang telah memiliki kesadaran bahwa puasa
sangat kita butuhkan dan juga telah memiliki Ilmu yang tentang puasa maka langkah awal untuk berlaku
jujur baik kepada diri sendiri maupun kepada Allah SWT sudah kita persiapkan
sarananya. Ingat, pada saat diri kita melaksanakan puasa, hanya kejujuranlah
yang tampil karena apa yang kita lakukan hanya diri kita dan Allah SWT sajalah
yang tahu. Kita bisa saja tidak jujur kepada manusia saat berpuasa, padahal
kita tidak berpuasa. Akan tetapi jika kita termasuk orang jujur maka ketahuilah
saat diri kita berpuasa hanya ada diri kita dan Allah SWT. Sekarang adakah
hubungan antara jujur atau kejujuran dengan perintah melaksanakan puasa? Untuk dapat melaksanakan puasa yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT tidak akan dapat dilaksanakan jika tanpa ada kejujuran yang
berasal dari diri kita sendiri (ingat jujur
dan pura-pura jujur jaraknya sangat tipis).
Hal ini disebabkan untuk berlaku jujur, atau untuk
menunjukkan kejujuran yang kita miliki tidaklah semudah membalik telapak
tangan. Jujur sangat membutuhkan bukti, atau jujur tidak
dapat berdiri sendiri, atau jujur harus ada sesuatu yang mengiringinya, atau jujur
sangat memerlukan hal-hal sebagai berikut untuk membuktikan kejujuran yang kita
miliki, seperti:
1. Jujur hanya dapat dilakukan oleh orang yang waras,
tidak hilang ingatan;
2. Jujur harus di-iringi dengan sikap teliti, konsisten
dari waktu ke waktu, sebab jika tidak kejujuran akan gugur;
3. Jujur harus di imbangi dengan ilmu, agar orang lain
dapat memetik hikmah di balik adanya sebuah
kejujuran;
4. Jujur merupakan hasil akhir dari sebuah perjuangan
tanpa mengenal batas usia maupun waktu sehingga jujur baru dapat diperoleh
setelah diri kita aktif melakukannya;
5. Jujur merupakan bukti nyata dari sebuah perbuatan
atau Jujur baru dapat berlaku jika mampu dibuktikan;
6. Jujur merupakan cerminan sikap yang bersifat
individual yang berasal dari kehendak dan kemampuan seseorang yang dibuktikan
dalam perbuatan.
Itulah jujur, atau kejujuran yang terjadi dalam
kehidupan manusia sehari-hari. Timbul pertanyaan, sudahkah dan beranikah diri
kita jujur sebelum dan sesudah melaksanakan ibadah puasa? Jika kita termasuk orang yang telah tahu diri yaitu
tahu siapa diri kita sebenarnya dan tahu siapa Allah SWT sebenarnya maka dapat
dipastikan kita berani jujur sebelum dan sesudah melaksanakan puasa.
Setelah kita mampu bersikap jujur, mampu berperilaku
jujur sebelum dan sesudah melaksanakan puasa, apakah sudah cukup sampai disitu
saja kita jujur kepada diri sendiri dan kepada Allah SWT? Jika kita merasa
sudah cukup berhentilah sampai disitu saja. Namun jika kita merasa kurang maka
lakukanlah langkah berikutnya yaitu dengan bersikap aktif untuk membuktikan kejujuran
itu dengan cara terlibat langsung dengan kebesaran dan kemahaan Allah SWT yang
sudah ada bersama diri kita dan juga
sudah ada di alam semesta ini, atau diri kita harus berani untuk membuktikan kejujuran
yang telah kita miliki dengan selalu memenuhi hak-hak Allah SWT melalui:
1. Jika Allah SWT telah memerintahkan untuk memeluk dan
melaksanakan Diinul Islam secara kaffah maka laksanakanlah perintah Allah SWT
tersebut tanpa ada bantahan sedikitpun.
2. Jika kita telah tahu dan mengerti dengan kehendak
Allah SWT maka penuhilah apa-apa yang dikehendaki Allah SWT secara ikhlas tanpa
merasa dipaksa apalagi terpaksa.
3. Jika kita tahu dan mengerti bahwa Allah SWT adalah
Maha Pengasih dan Maha Penyayang maka lakukanlah perbuatan yang sama yaitu
dengan memberikan kasih sayang,
memberikan bantuan serta pertolongan kepada sesama umat manusia.
4. Jika kita tahu dan mengerti bahwa Allah SWT adalah
Maha Adil maka lakukanlah tindakan dan perbuatan adil pula sewaktu diri kita
menjadi khalifah di muka bumi.
5. Jika kita tahu dan mengerti bahwa Allah SWT adalah
Maha Tahu maka lakukanlah tindakan untuk berbagi ilmu kepada sesama manusia
sehingga umat menjadi tahu dan mengerti akan sesuatu hal.
6. Jika kita tahu dan mengerti bahwa Allah SWT adalah
Maha Pemberi Rezeki maka lakukanlah tindakan untuk berbagi rezeki dengan
mengeluarkan (menunaikan) hak Allah SWT melalui zakat, atau memberikan infaq
dan sedekah kepada yang membutuhkannya.
7. Jika kita tahu dan mengerti bahwa Allah SWT adalah
Maha Terpercaya maka jadikanlah diri sebagai orang terpercaya pula dengan
selalu bersikap jujur.
8. Demikian seterusnya sesuai dengan Asmaul Husna serta
Sifat Ma’ani yang dimiliki oleh Allah SWT.
Adanya
kesesuaian antara perbuatan yang kita lakukan dengan kebesaran dan kemahaan
Allah SWT setelah diri kita melaksanakan puasa (melaksanakan Diinul Islam
secara kaffah) maka Allah SWTpun akan memberikan hal-hal sebagai berikut kepada
diri kita, yaitu: (a) diberikannya
kemudahan di dalam melakukan pekerjaan; (b) dibukakannya pintu rezeki yang
tidak terduga-duga; (c) ditambahi ilmu; (d) ditingkatkannya aura yang keluar
dari dalam diri sehingga tercermin di raut muka; (e) merasakan kenikmatan
bertuhankan kepada Allah SWT; dan lain sebagainya.
Sekarang
sudahkah diri kita jujur baik kepada Allah SWT maupun kepada diri kita sendiri? Semoga kita semua mampu melakukan apa-apa yang
seharusnya kita lakukan saat menjadi khalifah di muka bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar