C. ESENSI DARI JIWA MUTHMAINNAH SEBAGAI JIWA YANG TENANG.
Ketenangan,
kelapangan dan ketenteraman adalah sebuah kebutuhan setiap orang. Kaya, miskin,
tua, muda, siapapun dia, semuanya sangat mendambakan itu semua dalam dirinya. Tidak
jarang seseorang rela untuk mengeluarkan banyak uang (berani membayar mahal)
demi memperoleh ketenangan, ketenteraman, kedamaian serta keberuntungan dalam
hidupnya. Seseorang juga akan rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk membuat
diri dan hatinya tenang dan bahagia lagi tenteram.
Lalu
apa itu ketenangan dan bagaimana serta dimanakah sebenarnya ketenangan itu? Bagaimana
menjadikan diri kita seorang yang memiliki jiwa yang tenang nan lapang lagi
tenteram? Allah SWT berfirman: Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya.Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke
dalam syurga-Ku. (surat Al Fajr (89) ayat 27, 28,29,30)”. Hai jiwa yang
tenang! Sebuah pernyataan yang sering kita dengar, namun apa yang kita
dengar ini, sudahkah kita tahu makna dan
pengertiannya yang sesungguhnya.
Masih
banyak diantara kita yang belum tahu, apalagi memahami tentang makna jiwa
muthmainnah, atau jiwa yang tenang itu. Jika ini kejadiannya bagaimana kita
bisa merasakan rasa tenang kemudian menampilkannya dalam perbuatan kita sehari
hari. Agar diri kita mampu mengetahui dengan pasti tentang jiwa muthmainnah
atau jiwa yang tenang itu.
Untuk
itu mari kita pelajari dan hayati lebih
dalam lagi apa yang dikemukakan dalam surat Al Fajr (89) ayat 27 sampai 30 di
atas dan inilah hasilnya, yaitu:
1.
Air dan minyak walaupun sama sama zat
cair, keduanya tidak bisa saling bercampur karena adanya perbedaan berat jenis.
Hal yang samapun terjadi dengan ruh diri kita, yang terikat dengan hukum datang
fitrah kembali fitrah, maka ia tidak akan bisa melaksanakan ketentuan surat Al
Fajr (89) ayat 28 di atas, “Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
puas lagi diridhai-Nya”. Dikarenakan kefitrahan yang kita miliki masih
belum sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT, atau masih terjadinya
perbedaan kualitas kefitrahan antara diri kita dengan kefitrahan Allah SWT.
Berdasarkan kondisi
ini maka jiwa muthmainnah, atau jiwa yang tenang dapat dikatakan sebagai suatu
keadaan ruh yang saat kembali kepada Allah SWT kondisinya masih sesuai dengan
konsep awal kejadiannya, atau masih sesuai dengan konsep aslinya, yaitu masih
dalam kondisi fitrah sehingga Allah SWT ridha kepadanya.
Apabila jiwa
seseorang termasuk dalam kategori jiwa muthmainah atau jiwa yang tenang maka
manusia telah mampu menjadikan dirinya sebagai bentuk penampilan Allah SWT di
muka bumi, dalam hal ini mampunya diri kita menampilkan akhlak Allah yang tidak
lain adalah asmaul husna menjadi perilaku diri kita yang sesungguhnya adalah
ruh (ruh mampu menampilkan sifat yang
dimilikinya menjadi perbuatan) dalam hidup dan kehidupan ini. Sebagaimana
firman-Nya berikut ini: “Sibghah Allah. Siapa yang lebih baik
sibghahnya daripada Allah? Dan kepadaNya kami menyembah.(surat Al Baqarah (2)
ayat 138)”. Akhirnya, bukan hanya dirinya saja yang menjadi orang yang
terhormat namun perilakunya pun terhormat dan bermanfaat bagi orang banyak.
2. Hasil
akhir dari mampunya diri kita mempertahankan kefitrahan ruh yang menjadi jati
diri kita yang sesungguhnya atau mampunya diri kita memenuhi kriteria jiwa yang
muthmainnah maka berlakulah ketentuan surat Al Fajr (89) ayat 29 dan 30 kepada
diri kita, yaitu “Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,masuklah ke dalam
syurga-Ku”. Hal ini dikarenakan ruh diri kita mampu mempertahankan
konsep datang fitrah kembali fitrah sehingga jiwa kita masuk dalam kriteria
jiwa yang takwa yang muthmainnah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT melalui
pelaksanaan Diinul Islam yang kaffah.
3. Lalu
bagaimana jika saat kita kembali kepada-Nya, kondisi kita tidak sesuai dengan
konsep datang fitrah kembali fitrah? Jika kita mengacu kepada ketentuan surat
Al Fajr (89) ayat 27, 28, 29 dan 30 di atas maka sepanjang diri kita tidak
mampu melaksanakan ketentuan dasar dari ruh maka kita tidak akan bisa kembali
dengan selamat kepadaNya.
Untuk itu ketahuilah bahwa sepanjang
diri kita tidak melakukan tindakan syirik dan juga musyrik kepada Allah maka
kita masih diberi kesempatan untuk pulang kampung untuk bertemu dengan Allah
SWT maka kita diharuskan melalui proses pemfitrahan ruh yaitu dengan dicuci,
dibilas dan dibersihkan serta disterilkan terlebih dahulu lewat panasnya api
neraka. Yang menjadi persoalan adalah sanggupkah kita menahan panasnya api
neraka yang panasnya 70 kali dari api dunia!
Berikut
ini akan kami kemukakan beberapa esensi dari jiwa Muthmainnah atau jiwa yang
tenang nan lapang lagi tenteram itu. Hal ini penting kami lakukan agar diri
kita bisa secepat mungkin merasakan hasil jiwa muthmainnah ini, khususnya bagi
yang usianya sudah di persimpangan jalan antara maghrib menuju isya, yaitu:
1. Jiwa
Muthaminnah adalah: jiwa yang mampu berada di jalan
yang lurus secara konstan, yaitu jiwa yang selalu berada di jalan yang
menentramkan hati (jiwa) dan jalan yang membuat kita mengerti siapa diri kita
yang sebenarnya sehingga kita paham dengan dengan aliran aliran yang muncul
dalam benak kita. Jalan yang lurus adalah juga jalan yang membuat kita
senantiasa sadar sepenuhnya siapa diri kita yang sebenarnya, dan siapa Tuhan
yang sebenarnya. Adanya kondisi ini maka seseorang yang memiliki jiwa
muthamainnah akan mampu tahu diri, tahu aturan dan tahu tujuan akhir dengan
baik dan benar sehingga ia mampu menjadikan kehidupan dunia ini sebagai jalan
menuju kepada kehidupan akhirat kelak.
2. Jiwa
Muthmainnah adalah: jiwa yang telah mendapatkan
ketenangan; atau jiwa yang telah sanggup untuk menerima cahaya sang ilahi dan
juga jiwa yang telah mampu menolak menikmati kemewahan dunia dan tidak bisa
dipengaruhi oleh hal hal tersebut.
Jiwa ini memuat pemiliknya merasa berpuas diri dalam pengabdiannya kepada
Tuhan. Dia juga akan selalu berbuat amal shaleh (kebajikan kepada sesama
makhluk) sebagai manifestasi dari kefitrahannya, yaitu hidupnya selalu berguna
bagi masyarakat banyak.
3. Jiwa
Mutmainnah juga dapat diartikan sebagai: jiwa
yang disinari cahaya ilahiah, sehingga dapat mengosongkan hati dari sikap
tercela dan terhiasi dengan sifat yang terpuji. Jiwa ini dapat menciptakan
ketenangan jiwa bagi seseorang. Orang yang berada di tingkatan ini
adalah orang yang sedang menuju kesesuaian dengan penampilan Allah SWT sehingga
dapat ditemukan sifat sifat yang terpuji dalam jiwa muthmainnah seperti
dermawan, tawakkal, ibadah, syukur, ridha dan takut kepada Allah atau
sebagaimana penampilan Allah SWT yang mencerminkan Asmaul Husna. Jiwa
Muthmainnah ini dimiliki oleh orang yang beriman pada tingkatan khusus atau
orang-orang yang telah dekat dengan Tuhan.
4. Jiwa
muthmainnah atau jiwa yang tenang adalah: jiwa
seseorang yang merasa tenang tatkala kembali dan ingat akan adanya Allah SWT, sejuk disaat menyebutNya, bergetar
hatinya saat nama Allah SWT didengarnya, serta rindu akan bertemu denganNya,
bahagia dan ridha di saat berhadapan dengan-Nya.
5. Berkata
Ibnu Abbas ra, "jiwa muthmainnah artinya:
Jiwa yang senantiasa berperilaku jujur terhadap Tuhannya".
6. Berkata
Qotadah, "jiwa muthmainnah adalah jiwa seorang mukmin yang senantiasa
merasa tenang terhadap apa yang Allah janjikan kelak, dan senantiasa bahagia
mengenal nama dan sifat-sifat-Nya yang dikabarkan oleh-Nya dan oleh rasul-Nya,
senantiasa yakin akan datangnya perkara setelah kematian dari alam barzhah dan
kejadian kiamat, dan beriman akan taqdir Allah bahkan pasrah dan ridha, hingga
tidak berkeluh kesah, tidak terpengaruh apa yang datang dan terlewatkan, memahami
betul apa yang dikemukakan dalam surat Ath Taghabun (64) ayat 11 berikut ini:
"Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan
izin Allah, dan barangsiapa beriman
kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu." (surat At-Taghabun (64) ayat 11)
7. Menurut
Tafsir al-Maraghi, jiwa muthma’innah adalah:
ketenangan jiwa setelah adanya kegoncangan. Maksudnya adalah ketetapan
pada apa yang telah dipegang setelah menerima goncangan akibat paksaan.
8. Fakhrur
Razy, dalam “Tafsir Kabir”, bahwa jiwa (hati) manusia itu memang hanya satu,
tetapi sifat-sifatnya banyak dan bermacam-macam. Apabila hati itu lebih condong
kepada nilai-nilai ketuhanan dan mengikuti petunjuk-petunjuk Ilahi, maka ia
bernama nafs al Muthma’innah, jiwa yang tenang dan tenteram. Jika ia condong
kepada hawa nafsu dan masih suka marah maka ia dinamakan jiwa amarah (ammarah
bi assui’), sehingga hatinya selalu condong kepada kejahatan.
9. Imam
Mujahidin mengartikan: Jiwa muthmainnah
sebagai jiwa yang ridha dengan ketentuan Allah yang tahu bahwa sesuatu yang
menjadi bagiannya pasti akan datang kepadanya.
10.Ibnu
Atha mengartikan jiwa muthmainnah sebagai: Jiwa yang arif billah (mengenal Allah) yang
tak sabar berjumpa dengan Allah walau sekejap.
11.Jiwa
yang Muthma’innah’ (jiwa yang tenang) adalah jiwa yang disinari oleh akal dan
cara berpikir yang rasional;
12.
Jiwa yang muthmainnah (jiwa yang tenang) adalah jiwa yang tumbuh karena
kemampuannya mampu menempatkan sesuatu kepada tempat yang sewajarnya, dan
senantiasa meletakkannya di atas dasar keimanan.
13.Jiwa
Muthamainnah (jiwa yang tenang) adalah jiwa yang senantiasa merasa ridha
menghadapi apa pun keadaan, juga senantiasa mendapat keridaan Ilahi.
Lalu ketenangan dapat dirasakan oleh individu tersebut disebabkan karena
aktifitas yang dilakukan tetap dalam prosedur yang benar, tidak menyalahi
aturan, dan tidak sedikitpun terindikasi berbuat makar. Dan sulit bisa diterima
jika ada individu beraktifitas dengan tenang sementara aktifitas yang dilakukan
berlabel dosa dan maksiat. Jika perbuatan dosa dan maksiat itu dapat
menyenangkan, atau bahkan menenangkan individu maka sifatnya hanya sesaat untuk
kemudian akan berakibat pada penderitaan dan keresahan selama-lamanya.
14.Jiwa
yang muthmainnah adalah jiwa yang dapat menguasai diri dalam keadaan apapun,
berfikiran rasional, mampu menciptakan keseimbangan dalam dirinya, hatinya
tetap tenang dan tenteram lagi lapang.
Setelah
diri kita mengetahui tentang empa belas hal tentang esensi dari jiwa
muthmainnah. Sekarang ada baiknya kita sejenak meluangkan waktu untuk menyimak
nasihat Ibnu Mas’ud ra, beliau adalah salah seorang sahabat Nabi SAW. Suatu
ketika beliau pernah didatangi seseorang yang ingin meminta nasihatnya untuk
dapat dijadikan obat bagi jiwanya yang tidak tenang. Kemudian Ibnu Mas’ud
menasihatinya,“Kalau penyakit itu yang menimpamu, maka bawalah hatimu
mengunjungi 3 (tiga) tempat, yakni:
1.
Engkau datangi tempat orang membaca AlQuran,
engkau membaca AlQuran, engkau dengarkan baik-baik orang yang membaca AlQuran;
2.
Engkau datangi majelis taklim yang
mengingatkan hati kepada Allah;
3.
Engkau mencari waktu dan tempat yang sunyi,
disitu engkau menyendiri menyembah Allah seperti pada waktu lewat tengah malam
disaat orang sedang tidur nyenyak engkau bangun mengerjakan shalat malam
meminta kepada Allah ketenangan jiwa, ketentraman pikiran, dan keikhlasan hati.”
Setibanya
di rumah,orang tersebut melaksanakan apa telah yang dinasihatkan oleh Ibnu Mas’ud itu. Ia
berwudhu kemudian membaca AlQuran dengan khusyu, penuh konsentrasi. Seusai
membaca AlQuran ia merasakan ada ada sesuatu yang berubah. Jiwanya terasa tenang,
hatinya tentram, pikirannya kembali jernih, ketenangan benar-benar menyelimuti
hatinya. Adanya ketenangan akhirnya menjadi jalan keluar bagi permasalahan
hidup yang dihadapi seseorang karena kepanikan tidak akan bisa membuat tenang. Dan
ketenangan itu hanya diturunkan kepada mereka yang senantiasa bersandar kepada
pemilik ketenangan. Hanya seseorang yang pernah panik yang bisa merasakan kenikmatan sebuah
tenang setelah dia menyadari kekacauannya. Hanya seseorang yang pernah gundah
yang bisa menikmati ketenangan setelah mengetahui kesakitannya.Maka
beruntunglah pribadi yang mengambil pelajaran dari kesalahan.Sama
sekali tidak ada alasan untuk mereka merasa menyesal tentang sesuatu yang sudah
lewat yang mungkin timbul atas kekurangtenangan sikap dalam pemilihan desain
masa depan.
Dan
karena ketenangan itu pula akan terhapusnya segala kekhawatiran mereka tentang
sakit atau pahitnya kehidupan, karena mereka yakin sumber dari segala sumber
ketenangan yaitu Allah SWT akan selalu siap menemani dan menyambut hamba-hamba-Nya
yang senantiasa memohon kepada-Nya. Ketenangan akan selalu hadir karena mereka
juga menghadirkan Allah dalam setiap aktivitasnya.
Banyak
orang yang salah kaprah dengan hidup tenang, kebanyakan orang mengira
ketenangan dalam hidup akan didapatkan manakala mereka sudah mendapatkan
segalanya, baik itu karir, asmara, keluarga, keuangan dan lain sebagainya.
Barulah kemudian hidup mereka menjadi tenang.
Banyak orang yang terkena imbas dari doktrin yang seperti itu. Dan lebih banyak
lagi yang percaya dengan gambaran gambaran yang diciptakan oleh media mengenai
kesuksesan hidup. Kunci hidup tenang akan membuat anda memiliki hidup yang
tenang di awal perjalanan anda meraih kejayaan dalam hidup ini.
Banyak
guru-guru kehidupan yang berkata bahwa kehidupan ini adalah panggung sandiwara,
hanyalah permainan belaka, hanya sekedarnya saja, tanpa harus diambil atau
dimasukkan ke dalam hati. Bagaimanakah cara untuk bisa mengaplikasikan ini
dalam kehidupan kita sendiri sehingga kita bisa menjadi manusia yang lebih baik
yang dapat mewujudkan impian dan cita cita menjadi pribadi yang sukses dalam
setiap hal yang kita lakukan? Kunci yang paling harus kita pahami adalah:
dapatkan terlebih dahulu ketenangan dalam hati sehingga kebahagiaan muncul.
Baru kemudian berjalanlah, beraktifitaslah seperti biasanya, jemputlah
kesuksesan duniawi dengan modal ketenangan.
Adanya
modal ketenangan ketentraman jiwa akan melahirkan khusyu dalam beribadah dan ketaatan,
meningkatkan kesadaran dalam beribadah dan mengagungkan Allah dan juga
melahirkan sikap mawas diri (introspeksi), bersyukur, selalu merasa diawasi oleh
Allah Sang Maha Pencipta, bermuamalah secara baik dengan semua makhluk dan
ridha terhadap qadha dan qadar.
Ingat,
sukses sejati adalah menggapai ketenangan dan kelapangan itu di awal
perjalanan, bukan di akhir perjalanan. Barulah kemudian
pelajaran dari guru guru tadi bisa diaplikasikan, barulah kemudian kita akan
menjadi lebih mudah menggapai keberhasilan mewujudkan setiap rencana dan cita
cita kita. Banyak orang yang mungkin sudah dipenghujung usianya, mereka sudah
dapatkan berbagai macam keberhasilan, baik dalam keluarga, karir, usaha, bisnis,
dan berbagai macam hal lainnya. Tapi, mereka masih mencari cari ketenangan
hidup yang hakiki.
Dulu
mereka menilai bahwa dengan dapatkan uang yang berlimpah dari usaha atau
karirnya bisa membuat hidupnya tennag, dulu mereka mengira bahwa dengan
memiliki kekluarga yang baik, yang memiliki tingkat pendidikan tinggi serta
keturunannya tersebut mampu memiliki karir, usaha, harta, bisnis yang baik,
mereka akan menjadi tenang, tapi sayang, ternyata itu hanya semu saja. Karena
didalam hati mereka ternyata masih merasa kekeringan, tapi sayang mereka hanya
merasakan bahagia yang semu saja, karena pada suatu titik bahagia itu hilang,
karena inilah mereka berkesimpulan bahwa bahagia yang mereka rasakan dalam hati
hanya semua belaka. Pada masa akhir usianya mereka tetap mengejar ketenangan
hidup dan bahagia yang sejati.
Saat
ini, katakanlah kita sudah memiliki harta kekayaan berupa uang yang banyak,
belum tentu uang yang banyak mampu mendatangkan kebahagiaan apalagi ketenangan.
Untuk itu ketahuilah bahwa kebahagian memiliki uang yang banyak bukanlah dari
banyaknya jumlah saldo uang di dalam rekening, atau sudah keliling dunia.
Kebahagiaan itu ada pada saat kita mampu berbagi kepada sesama melalui saldo
uang yang kita miliki. Lalu apakah semua orang bisa seperti ini? Tidak semua
orang bisa merasakan kebahagiaan melalui uang yang banyak, yang bisa merasakan
kebahagiaan memiliki itu hanyalah orang orang yang jiwanya berjiwa muthmainnah.
Akhirnya
mereka memperoleh kebahagian dan ketenangan bathin melalui berbagi kepada yang
memerlukan baik yang bersifat materiil maupun yang immateriil. Mereka akhirnya
bisa merasakan hal hal yang hakiki, yang tak lagi semu. Dan akhirnya mereka
memberikan pesan dan wejangan kepada kita semua. Karena mereka sadar,
ketenangan yang sejati itu bisa didapat di awal perjalanan mereka dahulu, bukan
hanya bisa didapat di akhir saja. Mereka sadar bahwa ketenangan yangs sejati
ini merupakan landasan hidup yang bisa membuat selalu munculnya kebahagiaan
yang pada akhirnya mampu membahagiaan banyak orang.
Lalu
apakah hanya melalui uang yang berlebih saja kita bisa memperoleh kebahagiaan
memiliki kekayaan? Kebahagiaan memiliki sesuatu tidak hanya disalurkan melalui
berbagi lewat infak, sedekah dan jariah semata. Namun bisa pula melalui
mengajar kepada sesama atas kelebihan ilmu yang kita miliki. Tidak terbatas
hanya ilmu agama semata, juga bisa mengajar ilmu ilmu lainnya yang berguna bagi
masyarakat dengan cara mewakafkan waktu tertentu untuk kemaslahatan orang baik.
Ayo segera ambil bagian sesuai dengan kemampuan, minat dan bakat masing masing
lalu Allah SWT tersenyum bangga kepada diri kita.
Saat
ini, katakanlah kita sudah terbiasa berbagi melalui infak, sedekah dan jariah,
atau sudah terbiasa menjadi sukarelawan mengajar kelas kelas khusus semisal di
panti rehabilitasi, di panti jompo, di panti tuna daksa atau mengajar di dalam
penjara, atau kita telah terbiasa mewakafkan waktu untuk kebajikan bagi orang
banyak lalu kegiatan itu kita berhentikan. Apa yang terjadi? Akan ada sesuatu
yang hilang dalam diri, ada rasa yang tidak enak, serta ada rasa tidak nyaman
dan jika ini yang terjadi berarti kita sudah berada di dalam rel kebaikan yang
benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar