Untuk dapat
melaksanakan perintah ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan yang sudah
diperintahkan oleh Allah SWT maka kita yang diperintahkan harus mampu
melaksanakannya sesuai dengan kehendak pemberi perintah. Kita tidak bisa
melaksanakan perintah secara apa adanya, asal sudah dikerjakan selesai sudah
kita melaksanakannya serta kita tidak bisa melaksanakan puasa dimaksud
disembarang waktu. Allah SWT selaku pemberi perintah melaksanakan puasa sudah menentukan bahwa waktu untuk melaksanakan
puasa wajib yaitu hanya pada setiap bulan
Ramadhan saja.
Hal ini sesuai
dengan firman Allah SWT yang tertuang di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 185
berikut ini:“(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) AlQuran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Adanya
ketentuan yang tertuang di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 185 di atas, ada
perintah puasa di bulan Ramadahan harus kita maknai sebagai dua hal yang
berbeda yaitu adanya aktifitas yang dinamakan dengan aktifitas puasa dan adanya
waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT untuk melaksanakan puasa yaitu hanya
di bulan Ramadhan. Ini berarti ibadah puasa wajib yang telah ditentukan oleh
Allah SWT harus dilaksanakan pada bulan Ramadhan semata (di luar Ramadhan
bukanlah puasa wajib, melainkan puasa sunnah).
Selain
daripada itu, ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan ini tidak bisa dilaksanakan
secara apa adanya, atau seenaknya saja tanpa menghiraukan syarat dan rukun yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT. Ibadah puasa harus dilaksanakan sesuai dengan
kehendak Allah SWT jika tidak sia sialah pelaksanaan ibadah puasa, terkecuali
kita hanya ingin memperoleh dan merasakan lapar dan haus serta menahan syahwat
semata. Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita dan juga pada anak
keturunan kita.
Berikut ini
akan kami kemukakan beberapa prasyarat yang harus kita persiapkan untuk
melaksanakan puasa hanya untuk jasmani sehingga ruh/ruhani jangan sampai
dipuasakan selama di bulan Ramadhan yang akhirnya mampu menjadikan diri kita “taqwa, fitrah, sehat dan selalu bersyukur”,
yaitu :
A. MAMPU MEMAHAMI SYARAT WAJIB BERPUASA.
Adanya
pemenuhan syarat dan rukun puasa yang telah ditentukan Allah SWT berarti kita
telah berusaha untuk meletakkan dan menempatkan Allah SWT selaku pemberi
perintah sesuai dengan Kemahaan dan Kebesaran yang dimiliki-Nya serta
menghormati Allah SWT selaku pencipta dan pemilik alam semesta ini. Adapun
syarat untuk melaksanakan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan dapat kami
kemukakan sebagai berikut:
1.
Beragama
Islam. Islamnya adalah Islam sepanjang hari dan selamanya. Maksudnya adalah bila
seseorang berpuasa lalu tengah hari ia murtad, maka batallah puasanya. Dengan
demikian orang kafir tidak wajib berpuasa karena ibadah puasa tidak wajib atas
orang orang kafir. Akan tetapi jika ada orang kafir masuk Islam, maka ia tidak
diwajibkan mengqadha puasanya yang terlewat sewaktu dia masih kafir. Adapun
bagi orang murtad, puasa yang ditinggalkannya selama ia murtad itu harus di
qadha, ini menurut mahzab Syafii. Tetapi menurut mahzab yang lain, tidak perlu
diqadha sebab bagi orang murtad itu sesuai dengan ketentuan surat Al Anfaal (8)
ayat 38 berikut ini: “Katakanlah
kepada orang-orang yang kafir itu[609]: "Jika mereka berhenti (dari
kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka
yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi[610] Sesungguhnya akan Berlaku
(kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu.”
[609] Ialah: Abu Sofyan dan sahabat-sahabatnya.
[610] Maksudnya: jika mereka kafir dan kembali
memerangi Nabi.
2.
Baligh
(dewasa). Anak kecil
jika ia berpuasa, puasanya sah walaupun ia belum berkewajiban untuk berpuasa.
Bagi orang tua sangat diharapkan untuk memerintahkan kepada anak anaknya yang
belum baligh untuk berpuasa, dalam rangka membiasakan agar setelah anak itu
sampai usia baligh akan memudahkan ia berpuasa, karena sudah terbiasa sejak ia
belum baligh. Hal ini telah dijalankan oleh sahabat Nabi SAW dahulu. Diriwayatkan, telah berkata Rubayyi’ binti
Mu’awwidz: “Kami menyuruh dengan keras anak anak kami yang kecil untuk berpuasa
(Asyura) dan kami pergi ke masjid dan kami buat permainan dari bulu yang halus.
Apabila ada yang menangis karena mau makan, kami beri permainan itu hingga
waktu berbuka puasa”. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim)
Rubayyi’ adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad
SAW yang menyuruh dengan keras anak anaknya berpuasa. Hal itu diketahui oleh
Rasulullah, dan beliau diam, yang artinya diamnya Rasul itu berarati
membolehkan perbuatan sahabatnya itu. Ini namanya Taqrir dari Rasulullah SAW.
Bila Rubayyi’ menyuruh anak anaknya puasa Asyura, ini berarti menyuruh anak
anak kita berpuasa Ramadhan juga dibenarkan. Sama halnya dengan shalat, anak
anak yang belum baligh juga harus dibiasakan untuk menjalankannya, sebagaimana hadits
berikut ini: Rasulullah SAW bersabda:“Suruhlah
anak anak kamu agar shalat waktu berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka
(sekira tidak membawa mudharat) atas meninggalkannya (shalat) di waktu umur
sepuluh tahun, dan pisahkanlah antara mereka tentang tempat tidur”. (Hadits
Riwayat Ahmad dan Abu Dawud). Pada zaman Rasullulah dahulu, anak anak
yang belum baligh telah diperintah-kan untuk mendirikan shalat dan menjalankan
puasa. Hal ini adalah dalam kerangka untuk mendidik anak anak kita terbiasa
hidup dalam bernapaskan agama dalam pengalamannya sehari hari. Sangat baik bila
kebiasaan menjalankan perintah agama itu ditanamkan sejak dini.
3.
Berakal
(Tidak Gila). Orang yang akalnya tidak waras, orang gila, tidak
dibebani kewajiban berpuasa. Bila sebelum gila ia beragama Islam, kemudian
sembuh, maka selama dalam keadaan gila tentu saja tidak berpuasa, setelah
sembuh ia tidak berkewajiban untuk mengqadha puasanya, sebagaimana hadits
berikut ini: “Dari Aisyah ra, berkata:
Nabi SAW bersabda: “Diangkat kalam dari tiga orang (terlepas beban hukum): (1)
dari anak kecil hingga ia sampai umur, (2) dari orang gila hingga ia sembuh,
dan (3) dari orang tidur hingga ia bangun”. (Hadits Riwayat Ahmad, Al Hakim). Hadits
ini menunjukkan bahwa anak kecil tidak berkewajiban berpuasa. Orang yang
pingsan batal puasanya, dan ia wajib mengqadha karena menurut para ulama,
pingsan itu dianggap sebagai atau seumpama penyakit. Demikian pula orang yang
mabuk, ia wajib mengqadha puasanya.
4.
Sehat,
Kuat Berpuasa (mampu secara phisik, tidak menyusui dan tidak hamil). Orang yang tidak mampu melaksanakan puasa Ramadhan
dikarenakan amat tua, orang jompo atau pikun, sakit atau dikarenakan memang
memang lemah phisik (dalam arti apabila dipaksakan berpuasa bisa timbul resiko
yang sangat besar seperti sakit parah atau menimbulkan kematian) maka tidak
diwajibkan melaksanakan puasa Ramadhan, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka
Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. (surat Al Baqarah (2) ayat 184)
[114] Maksudnya memberi Makan lebih dari seorang
miskin untuk satu hari.
Orang yang sakit, bila berpuasa akan bertambah
sakitnya, bertambah payah dan parah, akan membahayakan kesehatannya, maka ia
boleh berbuka atau tidak berpuasa. Bila ia tidak berpuasa, maka ia harus
menggantinya (mengqadha) pada hari hari yang lain sesuai dengan jumlah hari
yang ditinggalkannya.
5.
Suci
Dari Haid dan Nifas. Bagi wanita
yang sedang datang bulan atau menstruasi dan yang sedang dalam keadaan nifas,
tidak diwajibkan melaksanakan puasa Ramadhan. Akan tetapi dia wajib mengganti
puasa di kemudian hari. Sedangkan syarat sah puasa Ramadhan atau yang membuat
puasa menjadi sah adalah ke lima hal di atas ditambah satu hal yaitu Mumayyiz
atau sudah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk (benar atau salah).
Allah SWT berfirman: “Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;
mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah
mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan
ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri
mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah,
Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (surat Al Baqarah (2) ayat 187)
[115] I'tikaf ialah
berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.
Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak berniat (puasa Ramadhan) sejak malam, maka
tidak ada puasa baginya”. (Hadits Riwayat Abu Dawud). Adapun Rukun
puasa di bulan Ramadhan adalah hal hal
teknis yang harus dilaksanakan bagi orang yang berpuasa di bulan Ramadhan dan
tidak boleh ditinggal sama sekali, yaitu Niat
sejak malam serta Imsak, yaitu menahan diri dari hal hal yang bisa membatalkan
puasa dari mulai waktu fajar hingga terbenamnya matahari atau maghrib.
Semua amal ibadah yang dikerjakan tanpa niat tidak sah, dan sia sia.
Niat adalah pokok dasar dari semua amal ibadah itu.
Niat itulah yang menentukan nilai semua amal ibadah. Ikhlas karena Allah SWT
atau karena riya, karena paksaan atau untuk maksud maksud tertentu, semua
didasarkan pada niat. Sedangkan hal hal yang membatalkan puasa dapat kami
kemukakan sebagai berikut, yaitu: (1)
Niat membatalkan puasa; (2) Makan dan
minum dengan sengaja; (3) Muntah
dengan sengaja; melakukan hubungan suami istri dengan sengaja, atau
mengeluarkan sperma dengan sengaja seperti onani dan masturbasi; (4) Memasukkan suatu benda ke dalam bagian
tubuh yang berlubang secara sengaja seperti hidung, telinga, mulut, alat
kelamin, dubur; (5) Memasukkan obat
melalui alat kelamin atau dubur, Keluar darah haid atau nifas bagi wanita; (6) Hilang akal seperti stress atau gila;
murtad yaitu keluar dari agama Islam baik secara ucapan, tindakan ataupun
bathin. Dan agar diri kita bisa melaksanakan puasa Ramadhan sesuai
dengan kehendak Allah SWT, ada baiknya kita juga harus mengetahui dan juga
memahami hal hal yang akan kami kemukakan di bawah ini, yaitu:
a.
Makruhnya Puasa. Makruh adalah larangan yang
tidak keras atau hal hal yang tidak disukai Agama, tetapi bila dilanggar tidak
berdosa. Akan tetapi jika larangan tersebut dihentikan dengan niat karena Allah
SWT, dia akan mendapatkan pahala. Adapun yang dimaksud makruh dalam berpuasa
ini adalah hal hal yang tidak disukai bila dikerjakan, dan bila dikerjakan
tidak membatalkan puasa. Contoh makruhnya puasa adalah: (1) Berbekam, ialah menempelkan alat sedotan
darah di dahi, di punggung, di tengkuk dengan maksud untuk menghilangkan
penyakit tertentu seperti pening, kolesterol; (2) Mencicipi makanan di lidah meskipun tidak ditelan; (3) Berkumur yang berlebihan,seperti
mempermainkan air di dalam tenggorokan (mubalaghah); (4) Mengunyah-ngunyah benda keras meskipun
tidak hancur, seperti karet; (5)
Mencium dan berpelukan dengan istrinya meskipun tidak sampai keluar mani. Bila
sampai keluar mani, maka itu membatalkan puasanya.
b.
Hal Hal Yang Tidak Membatalkan Puasa. Berikut ini akan kami kemukakan
11 (sebelas) hal hal yang tidak membatalkan ibadah puasa, yaitu:
1.
Bermimpi basah di siang hari (mimpi bersetubuh)
tentu saja sampai keluar air mani atau tidak, tidak membatalkan puasa. Juga
tidur siang tiba tiba basah, ini membatalkan puasa. Bila terjadi mimpi basah
maka langsung saja mandi besar karena mandi besar di siang hari juga tidak
membatalkan puasa;
2.
Injeksi atau disuntik;
3.
Memasukkan air atau benda ke dalam perut lewat dubur
oleh juru kesehatan dalam kerangka untuk keperluan pengobatan;
4.
Meneteskan obat ke telinga atau mata. Akan tetapi
jika yang ke dalam mata sampai tembus ke lidah dan masuk ke tenggorokan lantas
bercampur dengan ludah dan kemudian ludahnya ditelan, ini yang membatalkan
puasa;
5.
Menelan ludah yang belum keluar di bibir atau di
luar mulut. Air ludah yang telah mengalir di bibir kemudian disedot dan ditelan
itu membatalkan puasa. Sedangkan air ludah yang masih di dalam daerah mulut,
bila ditelan tidak membatalkan puasa;
6.
Mencelak mata;
7.
Berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung
(istinsak) ketika berwudhu;
8.
Gusi gigi yang berdarah, dan anggota badan lainnya
yang berdarah;
9.
Membersihkan daki, kotoran, dan lender dalam kuping
dengan alat pengorek kuping atau dengan jari kelingking;
10.
Makan dan minum tetapi dia lupa bahwa dia sedang
berpuasa;
11.
Seseorang yang menduga dengan kuat bahwa waktu
Magrib telah masuk kemudian ia berbuka, atau menduga belum masuk waktu Imsak
dan dia makan sahur, ternyata dugaannya salah.
c.
Hari Hari Yang Haram Untuk Berpuasa. Berikut ini
akan kami kemukakan hari hari yang diharamkan oleh Allah SWT untuk berpuasa,
yaitu:
1.
Tanggal 1 Syawal pada Hari Raya Idul Fitri.
2.
Tanggal 10 Dzulhijjah (Besar) pada Hari Raya Idul
Adha.
3.
Tanggal 11,12,13 Dzulhijjah (Besar) pada Hari
Tasyrik.
4.
Dua hari sebelum Ramadhan, kecuali bila telah
terbiasa puasa Senin Kamis dan tepat pada dua hari sebelum Ramadhan jatuh hari
Senin atau Kamis. Atau telah terbiasa dengan selang seling dalam berpuasa
(puasa daud), yakni sehari berpuasa sehari tidak, dan tepat dua hari sebelum
Ramadhan masih menjalankan ibadah tersebut.
5.
Hari Syak (keraguan), yakni tanggal 30 Sya’ban yang
malamnya tidak terlihat bulan.
6.
Tanggal 16 Sya’ban.
7.
Puasa Abadi, yakni berpuasa terus menerus sepanjang
tahun.
Selain
daripada itu, melaksanakan puasa sunnah pada hari Jum’at dibolehkan bila tidak
dengan niat mengkhususkan bahwa hari Jum’at itu lebih utama bila untuk berpuasa
atau ibadah apa saja. Terkecuali bila terbiasa sehari berpuasa sehari tidak,
kemudian bertemu dengan hari Jum’at maka puasanya tidak ada larangan,
sebagaimana dua buah hadits berikut ini: “Rasulullah SAW bersabda:“janganlah kamu mengkhusukan
(mengistimewakan) pada malam Jum’at untuk beribadah dari malam malam yang lain,
dan janganlah kamu mengadakan pengkhususan pada hari Jum’at dengan puasa (untuk
berpuasa) dari hari hari yang lain kecuali salah seorang dari kamu yang
kebetulan berpuasa padanya (di hari Jum’at itu)” (Hadits Riwayat Muslim)
Rasulullah
SAW bersabda: “Barangsiapa dari kamu
yang ingin berpuasa sunnah mutlak pada hari hari dalam satu bulan, hendaklah ia
berpuasa sunnah pada hari Kamis, dan jangan berpuasa sunnah (mutlak) itu pada
hari Jum’at karena sesungguhnya hari Jum’at itu adalah hari makan dan minum”. (Hadits
Riwayat Ibnu Abi Syaibah).
Puasa
abadi (puasa dalail) juga tidak diperkenankan sama sekali oleh Allah SWT
walaupun dengan dalih untuk menebus dosa ataupun kesalahan sekalipun. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada puasa,
bagi orang yang berpuasa selamanya” (Hadits Riwayat Bukhari Muslim). Nabi
mengucapkan kata kata di atas hingga tiga kali dan ada yang memberikan makna
“abada” (selamanya) dalam hadits di atas adalah setahun. Jika setahun saja
dilarang tentunya lebih dari itu pasti dilarang pula, sebagaimana hadits
berikut ini: Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa
yang berpuasa setahun, maka ia akan dihimpit Jahannam seperti ini.” (berkata
begitu Rasulullah sambil menggenggam tangannya). (Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Abi Syaibah, Al Baihaqi, Bazzar dan Ath Thabarani)
Setelah kita memahami hal hal yang telah kami
kemukakan di atas, ketahuilah bahwa Kata Iman dan juga Taqwa merupakan dua kata
kunci yang sangat berhubungan erat dengan perintah menunaikan puasa wajib di
bulan Ramadhan. Orang yang beriman adalah orang yang diperintahkan untuk
melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan. Sedangkan Taqwa merupakan hasil
akhir yang dikehendaki oleh Allah SWT dari perintah puasa wajib di bulan
Ramadhan, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (surat Al Baqarah (2) ayat
183).
Lalu bagaimana mungkin kita dapat melaksanakan puasa
yang sesuai dengan kehendak Allah SWT jika keimanan sebagai syarat utama untuk
melaksanakan puasa Ramadhan tidak kita miliki dan taqwa tidak kita jadikan
tujuan yang harus kita capai dari ibadah puasa yang kita laksanakan. Jika iman
dan taqwa sudah tidak ada maka pintu kembali fitrah dan hidup selalu bersyukur
tidak bisa kita raih dan rasakan.
Agar diri kita yang telah diperintahkan untuk
melaksanakan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan mampu melaksanakannya dengan
baik dan benar serta mampu mencapai hasil akhir seperti yang dikehendaki oleh
Allah SWT, mari kita lanjutkan pembahasan ini dengan mempelajari beberapa
prasyarat yang harus kita ketahui dan miliki sebelum diri kita melaksanakan
ibadah dimaksud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar