Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Sabtu, 09 Maret 2024

DIMENSI PUASA DAN KEMBALI FITRAH (PART 5 of 5)

 

J. HABBBLUMMINALLAH DIBUKTIKAN SAAT MELAKSANAKAN HABBLUM MINANNASS

 

Orang yang telah menjadikan jiwanya fitrah, atau telah mampu menjadikan jiwanya jiwa Muthmainnah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT adalah orang yang mampu melaksanakan Habblumminallah (hubungan secara vertikal) yang tercermin di dalam Habblumminannass (hubungan secara horizontal) yang pada akhirnya diri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara mampu merasakan buah dari hasil kedekatan kita kepada Allah SWT melalui fitrah dan melalui jiwa muthmainnah sehingga keberadaan diri kita di tengah masyarakat bukanlah menjadi beban bagi masyarakat melainkan berkah bagi masyarakat. Sekarang seperti apakah hubungan dengan Allah SWT (Habblumminallah) itu?

 

Hubungan dengan Allah SWT tidak dapat terjadi begitu saja terjadi, Hubungan dengan Allah SWT tidak dapat begitu saja terjalin dua arah. Hubungan dengan Allah SWT baru akan dapat terjadi dan memberikan dampak positif kepada diri kita jika: Kita yang kecil wajib menyelaraskan, wajib menyerasikan, dan wajib menyeimbangkan dengan kondisi dan keadaan Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil harus berada di dalam ketentuan Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil harus sesuai dengan Syarat dan Ketentuan yang dikehendaki oleh Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil jangan pernah sekalipun meninggalkan Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil jangan pernah mencoba mengalahkan Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil jangan  pernah sekalipun melecehkan  Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil harus selalu berada di dalam gelombang dan siaran yang sama dengan Allah SWT Yang Maha Besar.

 

Allah SWT berfirman: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (sirat Al Baqarah (2) ayat 110)

 

Allah SWT berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (surat Al Bayyinah (98) ayat 5)

 

Sebagai makhluk yang tidak memiliki apapun juga saat datang ke muka bumi ini, sudahkah kita melaksanakan tujuh ketentuan yang kami kemukakan di atas? Jika kita termasuk orang yang telah tahu diri, apa yang kami kemukakan di atas sudah pasti dapat kita lakukan dengan sebaik mungkin karena hanya dengan itulah kita bisa bersinergi dengan Allah SWT. Sekarang siapakah yang paling diuntungkan jika kita mampu bersinergi dengan Allah SWT? Allah SWT sampai kapanpun juga tidak butuh dengan sinergi, akan tetapi kitalah yang sangat membutuhkan sinergi dengan Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti yang paling diuntungkan adalah diri kita sendiri.

 

Sekarang diri kita sudah mampu Habblum Minallah, berarti saat ini kita sedang mensinergikan Ruhani kita dengan Allah SWT, kita sedang mensinergikan Amanah 7 yang ada pada diri kita dengan Allah SWT serta kita juga sedang mensinergikan Sibghah Asmaul Husna yang ada pada diri kita dengan Allah SWT. Akan tetapi jika proses sinergi yang telah kita lakukan dengan Allah SWT tidak dapat dikatakan berjalan sesuai dengan konsep fitrah dan juga Jiwa Muthmainnah jika jika apa-apa yang  telah tersambung dengan Allah SWT, jika apa-apa yang telah bersinergi dengan Allah SWT, tidak mampu kita tunjukkan di dalam perbuatan kepada sesama umat manusia secara utuh. Untuk itu kita harus bisa menghilangkan saat ini juga  konsep untung rugi di dalam berbuat dan bertindak, jika baik untuk diri, keluarga serta kelompok kita kerjakan, jika buruk untuk diri, keluarga serta kelompok ambil untungnya buang ruginya ketempat lain.

 

Selain daripada itu konsep menyembunyikan sesuatu saat mengajarkan sesuatu hilang atau tidak berlaku lagi, yang ada hanyalah Ikhlas berbuat karena Allah SWT semata tanpa ada udang di balik batu, tanpa menyembunyikan sesuatu. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa contoh dari sinergi dimaksud, yaitu:

 

1.       Jika Ruhani bersinergi dengan Allah SWT, atau Ruhani diri kita tersambung dengan Allah SWT berarti Ruhani diri kita mampu menguasai Jasmani diri kita, sehingga Nilai-Nilai Kebaikan yang dibawa oleh Ruhani mampu mengalahkan Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Jasmani. Dan jika ini terjadi pada diri kita berarti segala perbuatan diri kita selalu berada di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang tidak hanya dapat dinikmati oleh diri sendiri, tetapi juga oleh keluarga, oleh anak dan keturunan, oleh masyarakat, oleh Bangsa dan Negara.

 

2.       Jika Ilmu yang kita miliki mampu bersinergi dengan Ilmu Allah SWT maka Ilmu tersebut tidak disimpan hanya untuk kepentingan diri, keluarga atau kelompok tertentu saja. Namun Ilmu itu harus diajarkan kepada semua orang tanpa ada yang ditutup-tutupi, tanpa ada yang disembunyikan sehingga berguna bagi semua orang.

 

3.       Jika Qudrat yang kita miliki mampu tersambung dengan Qudrat Allah SWT maka segala kekuatan, segala kekuasaan yang kita miliki tidak hanya bermanfaat bagi diri, keluarga semata.  Akan tetapi dengan Qudrat itu semua orang menjadi tertolong, terbantu, atau tidak mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas.

 

4.       Jika Kalam yang kita miliki mampu tersambung dengan Kalam Allah SWT maka kata-kata, tutur kata, omongan yang keluar dari mulut kita tidak akan menyakiti hati orang lain, selalu  bermanfaat, dapat menyenangkan banyak orang, dapat menjadi pendengar yang baik serta mampu menerapkan falsafah diam itu emas.

 

5.       Jika Ar Rahman dan Ar Rahhiem, yang kita miliki tersambung dengan Allah SWT maka banyak orang tidak mampu yang ada disekitar diri kita tertolong, terbantu, oleh sebab keberadaan diri kita tanpa melihat siapa mereka, darimana mereka berasal serta kesenjangan sosial dapat teratasi dengan sendirinya.

 

6.       Jika Ar Razaq yang kita miliki dapat tersambung dengan Af’al Ar Razaq yang dimiliki Allah SWT? Hal yang akan terjadi adalah kita tidak mau mengambil hak orang lain, kita tidak akan mau Kolusi, Korupsi, Nepotisme di dalam mencari Rezeki serta setelah memperoleh Rezeki sebagian dari Rezeki itu dikeluarkan kembali dalam bentuk Zakat, Infaq, Shadaqah, Jariah, yang pada intinya untuk menolong banyak orang. Demikian seterusnya.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, jangan sampai diri kita hanya mampu Habblum Minallah semata, tanpa bisa membuktikan saat melaksanakan Habblum Minannass, atau kita harus bisa melaksanakan Habblum Minannass yang sesuai dengan konsep Habblum Minallah. Timbul pertanyaan, kapan kita harus melaksanakan itu semua? Melaksanakan Habblum Minallah dan Habblum Minannass harus kita laksanakan saat hidup di dunia karena hanya pada saat itulah kita diberi kesempatan untuk membuktikan itu semua dihadapan Allah SWT sebelum akhirnya kita mempertanggungjawabkannya kelak.

 

Dan jika semua orang yang telah mampu melaksanakan Habblum Minallah dan Habblum Minannass secara selaras, serasi dan seimbang, terjadilah apa yang dinamakan dengan Gemah Ripah Loh Jinawi, Masyarakat Madani serta tidak akan terjadi apa yang dinamakan dengan kesenjangan sosial. Dan jika sekarang yang terjadi adalah sebaliknya, seperti jurang yang kaya dan yang miskin sangat jauh, korupsi, kolusi serta nepotisme semakin merajalela, ketidakadilan semakin menjadi-jadi, kampanye hitam semakin tumbuh subur, berarti ma’rifatullah yang telah kita lakukan belum sesuai dengan kehendak Allah SWT, atau masih ada sesuatu yang salah di dalam diri kita.

 

K.     BILA DISEBUT NAMA ALLAH SWT GEMETAR HATINYA.

 

Orang yang telah menjadikan jiwanya fitrah, atau telah mampu menjadikan jiwanya jiwa Muthmainnah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT adalah bila disebut nama Allah SWT kepada diri kita atau jika kita mendengar, atau diperdengarkan nama Allah SWT kepada diri kita maka gemetarlah hati kita, tersentuhlah af’idah (perasaan) kita, sehingga kita merasa sangat membutuhkan Allah SWT sehingga kita merasa kecil dihadapan Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “(yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka. (surat Al Hajj (22) ayat 35)

 

Hal ini terjadi karena kita telah paham benar tentang Allah SWT, kita telah mengerti dengan benar dimana Allah SWT berada, kita telah menjadi orang yang paling tahu, atau kita telah menjadi orang dekat dengan Allah SWT. Apa maksudnya?

 

Dalam kehidupan sehari-hari, secara individual kita mengenal seseorang yang sangat kita kenal, kemudian karena sesuatu sebab kita berpisah dengannya sekian lama. Lalu pada suatu ketika kita mendengar namanya disebut orang, apa yang kita rasakan saat itu? Setelah mendengar nama orang yang sangat kita kenal tersebut maka tergetarlah hati kita yang kemudian kitapun berusaha untuk mencari tahu dimana ia berada. Kenapa ini bisa terjadi? Tergetarnya hati kita ketika disebut namanya karena kita sudah sangat mengenal betul orang tersebut. Sekarang bagaimana jika kita mendengar nama Allah SWT disebut orang, apakah hati kita juga akan bergetar? Jika kita termasuk orang yang telah fitrah atau jiwa kita telah menjadi jiwa Muthmainnah berarti kita sudah pasti mengenal siapa Allah SWT yang sesungguhnya dan sudah pasti mengenal siapa diri kita yang sesungguhnya.

 

Adanya kondisi ini maka sudah seharusnya jika disebut nama Allah SWT kepada diri kita, bergetarlah hati kita. Dan jika hal ini tidak terjadi pada diri kita maka dapat dipastikan kita belum fitrah dan juga belum menjadikan jiwa kita jiwa Muthmainnah sehingga ada sesuatu yang salah di dalam diri kita. Sekarang apa yang harus kita sikapi dengan kondisi seperti ini, apakah cukup dengan bergetar saja, ataukah harus melakukan suatu perbuatan?

 

Sebagai orang yang telah mampu merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT maka di setiap apa yang kita lihat di muka bumi ini maka harus terbayang oleh kita  bahwa semuanya ada karena diciptakan oleh Allah SWT (semuanya adalah Ciptaan Allah SWT), yang dilanjutkan dengan memberikan pernyataan bahwa semua yang ada di muka bumi adalah tanda-tanda dari Kebesaran, Kemahaan serta Ilmu Allah SWT dan yang terakhir kita harus bisa menyatakan bahwa di setiap ciptaan yang ada di muka bumi ini selalu disertai oleh Kebesaran, Kemahaan serta Ilmu Allah SWT (di setiap ciptaan ada Allah SWT).

 

Lalu apa yang harus kita lakukan dengan kondisi ini? Jika apa yang kami kemukakan di atas telah mampu kita lakukan setelah diri kita telah fitrah sehingga memiliki jiwa Muthmainnah maka kita harus bisa menempatkan dan meletakkan bahwa Allah SWT adalah segala-galanya dan selanjutnya kita harus berbuat, bekerja, berkarya, sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT. Timbul pertanyaan, apa yang dikehendaki oleh Allah SWT? Hal yang harus kita perhatikan adalah saat kita berbuat, bekerja dan berkarya maka tidak boleh sekalipun menempatkan dan meletakkan segala yang diciptakan oleh Allah SWT, segala tanda-tanda kebesaran, kemahaan dan ilmu dari Allah SWT lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan Allah SWT itu sendiri dan lalu kita meminta bantuan kepadanya (maksudnya kita tidak boleh meminta bantuan kepada ciptaan Allah SWT, atau meminta bantuan kepada tanda-tanda kebesaran, kemahaan, dan ilmu Allah SWT karena di luar itu semua masih ada Allah SWT). Lalu kepada siapa kita harus meminta pertolongan? Untuk itu kita harus meminta pertolongan langsung hanya kepada Allah SWT melalui kemahaan, kebesaran dan ilmu yang ada pada Allah SWT, tanpa melalui perantara oleh sebab apapun juga. 

 

Apa contohnya dan bagaimana caranya? Jika Allah SWT memiliki sifat Ilmu maka kita harus bisa membayangkan betapa tingginya Ilmu Allah SWT sehingga mampu menciptakan alam semesta ini dan jika saat ini kita juga memiliki Ilmu yang berasal dari Allah SWT maka kita harus mempergunakan Ilmu yang berasal dari Allah SWT selalu di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan.

 

Dan jika pada saat diri kita berbuat, bekerja dan berkarya mengalami kekurangan Ilmu atau jika kita ingin mencari Ilmu, jangan pernah mencari Ilmu kepada ciptaan Allah SWT, atau jangan pernah pula mencari Ilmu kepada Tanda-Tanda Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT. Akan tetapi mintalah langsung kepada Allah SWT selaku pemilik Ilmu (dan juga Ilmu merupakan salah satu Sifat Ma’ani Allah SWT) itu sendiri melalui doa yang kita panjatkan sebelum memulai belajar dengan mengatakan “Ya Allah, Tambahi Ilmu, Pertinggilah Kecerdasanku, serta berikanlah aku pemahaman yang sesuai dengan Kehendak-Mu” Demikian seterusnya sesuai dengan sifat Ma’ani Allah SWT dan Asmaul Husna.

 

L.      SELALU MENJADI PEMIMPIN UMAT DAN BERGUNA BAGI MASYARAKAT BANYAK

 

Orang yang telah menjadikan jiwanya fitrah, atau telah mampu menjadikan jiwanya jiwa Muthmainnah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT selalu menjadi pemimpin yang berguna bagi masyarakat luas, menjadi tokoh yang terpandang di masyarakat karena mampu berbuat kebaikan yang dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat, masyarakat merasa terbantu karena hasil karya kita, masyarakat merasa aman dan nyaman karena keberadaannya. Hal ini dikarenakan orang yang telah fitrah atau jiwanya jiwa Muthmainnah pasti telah mampu merasakan dari waktu ke waktu shalat yang khusyu’ atau mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, seperti yang tertuang dalam surat Al A’raaf (7) ayat 170 berikut ini: Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena Sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang Mengadakan perbaikan. (surat Al A’raaf (7) ayat 170)

 

Hal yang tidak akan mungkin terjadi jika kita telah fitrah atau telah menjadikan jiwa kita jiwa Muthmainnah adalah menjadikan diri kita sebagai pelaku kejahatan, menjadikan kita sebagai biang keributan, menjadikan kita sebagai biang keonaran, menjadikan kita sebagai otak di balik kejahatan, atau masyarakat menjadi teraniaya oleh sebab perbuatan diri kita, oleh sebab omongan kita. Hal ini dikarenakan orang yang telah fitrah atau jiwanya jiwa Muthmainnah sudah berada dan selalu berbuat di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan dan jika sampai terjadi perbuatan keji dan mungkar berarti kita belum fitrah dan masih berada di dalam jiwa Fujur.

 

Allah SWT berfirman: “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah. (surat Al Anbiyaa’ (21) ayat 73)

 

Allah SWT berfirman:Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah[423] Itulah yang pasti menang. (surat Al Maa-idah (5) ayat 55-56)

[423] Yaitu: orang-orang yang menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya.

 

Jika kita telah fitrah dan juga memiliki jiwa Muthmainnah  dapat dipastikan kita selalu memiliki keinginan untuk menolong sesama manusia, selalu ingin berbagi kepada sesama, tidak pelit di dalam berbagi ilmu maupun kesenangan, selalu ingin berbuat kebaikan lebih baik dan lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Selain daripada itu, berdasarkan hadits yang kami kemukakan berikut ini: Abu Dzar ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Berkata Dawud: Ya Tuhan-Ku apakah yang didapat oleh hamba-hamba-Mu yang telah berziarah ke rumah-Mu? Allah berfirman: Sesungguhnya tiap orang yang berziarah mempunyai hak terhadap yang diziarahi/dikunjungi. Wahai Dawud: Adalah hak mereka pengunjung rumah-Ku, bahwa Aku mengurniai afiah kepada mereka di dunia dan mengampuni mereka bila mereka menemui-Ku. (Hadits Qudsi Riwayat Aththabarani, 272:245). kita akan diberikan afiah di dunia dan juga Allah SWT akan memberikan ampunan bagi diri kita, bagi anak keturunan kita sepanjang kita mampu melaksakanan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

 

Sebagai penutup dari kembali fitrah adalah setiap manusia berkehendak untuk pulang kampung ke kampung kebahagiaan (syurga) tanpa terkecuali dan inilah fitrah yang paling hakiki dari manusia. Untuk itu mari kita perhatian  ayat ayat yang terdapat di dalam AlQuran dikemukakan bahwa orang orang yang akan masuk syurga itu hanyalah:

 

1.       Berdasarkan ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 82 berikut ini: “Dan orang orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni syurga. Mereka kekal di dalamnya.”  yang akan masuk syurga adalah orang orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan atau yang beramal shaleh.

2.       Berdasarkan ketentuan surat An Nisa’ (4) ayat 13 berikut ini: “Itulah batas batas (hukum) Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, Dia akan memasukkannya ke dalam syurga syurga yang mengalir di bawahnya sungai sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang agung.” yang akan masuk syurga adalah orang orang yang mentaati Allah dan RasulNya.

3.       Berdasarkan ketentuan surat At Tur (52) ayat 17 berikut ini: “Sesungguhnya orang orang yang bertaqwa berada dalam syurga dan kenikmatan. yang akan masuk syurga adalah orang orang yang bertaqwa.

 

Berdasarkan tiga buah ayat AlQuran di atas ini, orang orang yang akan masuk syurga itu hanyalah orang orang yang seluruh aktifitas hidupnya terikat dengan hukum dan ketentuan Allah semata.

 

Dan berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 39 berikut ini:  “Adapun orang orang yang kafir dan mendustakan ayat ayat Kami, mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.”  orang orang yang tidak mau terikat dengan hukum dan ketentuan Allah yaitu orang orang kafir akan dimasukkan ke dalam neraka. Selain daripada itu, Allah SWT juga berfirman: “Sungguh, orang orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka. (surat An Nisa’ (4) ayat 145).” Orang yang munafik akan ditempatkan di dalam neraka yang paling bawah. Sedangkan orang yang fasik (kafir) juga akan ditempatkan di dalam neraka sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “Dan adapun orang orang fasik (kafir), maka tempat kediaman mereka adalah neraka. Setiap kali mereka hendak keluar darinya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka, “Rasakanlah azab neraka yang dahulu kamu dustakan”. (surat As Sajdah (32) ayat 20).”

 

Jamaah sekalian, inilah beberapa ketentuan fitrah, yang artinya masih sesuaikah kondisi dan keadaan diri kita saat pertama kali diciptakan oleh Allah SWT atau masih sesuaikah diri kita dengan konsep awal penciptaan manusia. Lalu apakah keberadaan diri kita masih sesuai dengan konsep awal penciptaan manusia yang sesuai dengan konsep pencipta manusia itu sendiri?

 

Mudah-mudahan yang masih fitrah lebih banyak dibandingkan dengan yang sudah tidak fitrah lagi dan jika kondisi yang tidak fitrah ingin kita kembalikan ke kondisi fitrah maka lakukan sekarang juga taubatan nasuha sebelum ruh tiba di kerongkongan dan jika sampai terlambat maka kita akan difitrahkan oleh Allah SWT di neraka jahannam kelak. Sekarang bertanyalah kepada diri kita sendiri, butuhkah kita dengan fitrah, atau butuhkah kita dengan Allah SWT sehingga diri kita kembali kepada fitrah? Jawaban dari pertanyan ini, hanya diri kita dan Allah SWT sajalah yang tahu dan ingat segala konsekuensi dari ini semua diri kita sendirilah yang akan merasakannya.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus  khalifah-Nya di muka bumi ketahuilah bahwa Allah SWT mengizinkan iblis/syaitan untuk menggoda manusia selaku anak dan keturunan dari Nabi Adam as, sampai hari kiamat kelak dikarenakan karena adanya faktor fitrah yang dimiliki oleh umat manusia. Adanya kefitrahan dalam diri umat manusia, akan menjadi kekuatan yang sangat luar biasa untuk mengalahkan musuh abadi manusia, dalam hal ini syaitan. Akhirnya melalui kefitrahan ini mampu menghantarkan manusia menjadi pemenang dan syaitan menjadi pecundang.

 

 Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh, (surat Al Ahzab (33) ayat 72)

 

[1233] Yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan.

 

Inilah keadaan diri kita yang sesungguhnya dan jika sekarang ternyata manusia justru kalah melawan syaitan, berarti ada sesuatu yang salah saat diri kita menjadi Khalifah di muka bumi. Untuk itu jangan pernah  salahkah Allah SWT jika di dalam surat Al Ahzab (33) ayat 72 yang kami kemukakan di atas ini mengemukakan bahwa manusia dikatakan amat zalim dan amat bodoh karena tidak mampu mempergunakan sesuatu yang baik yang asalnya dari Allah SWT untuk kepentingan manusia itu sendiri.

 

Berdasarkan apa apa yang telah kami kemukakan tentang dimensi puasa dan kembali fitrah di atas, terlihat dengan jelas bahwa perintah puasa yang diperintahkan oleh Allah SWT bukanlah perintah yang bersifat mengada-ada, atau perintah yang bersifat asal-asalan dan juga perintah yang bersifat memberatkan diri kita. Akan tetapi perintah melaksanakan puasa adalah perintah untuk kepentingan diri kita sendiri yang tidak ada hubungannya dengan orang lain dan juga karena Allah SWT sayang kepada diri kita yang tidak lain adalah khalifahNya di muka bumi serta Allah SWT tidak berkehendak khalifahNya gagal melaksanakan tugas di muka bumi ini. Dan terakhir Allah SWT berkehendak agar diri kita bisa bertemu langsung dengan Allah SWT di syurgaNya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar