J. HABBBLUMMINALLAH DIBUKTIKAN SAAT
MELAKSANAKAN HABBLUM MINANNASS
Orang
yang telah menjadikan jiwanya fitrah, atau telah mampu menjadikan jiwanya jiwa
Muthmainnah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT adalah orang yang mampu
melaksanakan Habblumminallah (hubungan secara vertikal) yang tercermin di dalam
Habblumminannass (hubungan secara horizontal) yang pada akhirnya diri,
keluarga, masyarakat, bangsa, negara mampu merasakan buah dari hasil kedekatan
kita kepada Allah SWT melalui fitrah dan melalui jiwa muthmainnah sehingga
keberadaan diri kita di tengah masyarakat bukanlah menjadi beban bagi
masyarakat melainkan berkah bagi masyarakat. Sekarang seperti apakah hubungan
dengan Allah SWT (Habblumminallah) itu?
Hubungan
dengan Allah SWT tidak dapat terjadi begitu saja terjadi, Hubungan dengan Allah
SWT tidak dapat begitu saja terjalin dua arah. Hubungan dengan Allah SWT baru
akan dapat terjadi dan memberikan dampak positif kepada diri kita jika: Kita yang kecil wajib menyelaraskan, wajib
menyerasikan, dan wajib menyeimbangkan dengan kondisi dan keadaan Allah SWT
Yang Maha Besar; Kita yang kecil harus berada di dalam ketentuan Allah SWT Yang
Maha Besar; Kita yang kecil harus sesuai dengan Syarat dan Ketentuan yang
dikehendaki oleh Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil jangan pernah
sekalipun meninggalkan Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil jangan pernah
mencoba mengalahkan Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil jangan pernah sekalipun melecehkan Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil
harus selalu berada di dalam gelombang dan siaran yang sama dengan Allah SWT
Yang Maha Besar.
Allah
SWT berfirman: “Dan dirikanlah shalat
dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu,
tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha
melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (sirat Al Baqarah (2) ayat 110)
Allah SWT berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan)
agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan
yang demikian Itulah agama yang lurus. (surat Al Bayyinah (98) ayat 5)
Sebagai
makhluk yang tidak memiliki apapun juga saat datang ke muka bumi ini, sudahkah
kita melaksanakan tujuh ketentuan yang kami kemukakan di atas? Jika kita
termasuk orang yang telah tahu diri, apa yang kami kemukakan di atas sudah
pasti dapat kita lakukan dengan sebaik mungkin karena hanya dengan itulah kita
bisa bersinergi dengan Allah SWT. Sekarang siapakah yang paling diuntungkan
jika kita mampu bersinergi dengan Allah SWT? Allah SWT sampai kapanpun juga
tidak butuh dengan sinergi, akan tetapi kitalah yang sangat membutuhkan sinergi
dengan Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti yang paling diuntungkan adalah
diri kita sendiri.
Sekarang
diri kita sudah mampu Habblum Minallah, berarti saat ini kita sedang
mensinergikan Ruhani kita dengan Allah SWT, kita sedang mensinergikan Amanah 7
yang ada pada diri kita dengan Allah SWT serta kita juga sedang mensinergikan
Sibghah Asmaul Husna yang ada pada diri kita dengan Allah SWT. Akan tetapi jika proses sinergi yang
telah kita lakukan dengan Allah SWT tidak dapat dikatakan berjalan sesuai
dengan konsep fitrah dan juga Jiwa Muthmainnah jika jika apa-apa yang telah tersambung dengan Allah SWT, jika
apa-apa yang telah bersinergi dengan Allah SWT, tidak mampu kita tunjukkan di
dalam perbuatan kepada sesama umat manusia secara utuh. Untuk itu kita harus
bisa menghilangkan saat ini juga konsep
untung rugi di dalam berbuat dan bertindak, jika baik untuk diri, keluarga
serta kelompok kita kerjakan, jika buruk untuk diri, keluarga serta kelompok
ambil untungnya buang ruginya ketempat lain.
Selain
daripada itu konsep menyembunyikan sesuatu saat mengajarkan sesuatu hilang atau
tidak berlaku lagi, yang ada hanyalah Ikhlas berbuat karena Allah SWT semata
tanpa ada udang di balik batu, tanpa menyembunyikan sesuatu. Berikut ini akan kami
kemukakan beberapa contoh dari sinergi dimaksud, yaitu:
1. Jika Ruhani bersinergi dengan Allah SWT, atau Ruhani
diri kita tersambung dengan Allah SWT berarti Ruhani diri kita mampu menguasai
Jasmani diri kita, sehingga Nilai-Nilai Kebaikan yang dibawa oleh Ruhani mampu
mengalahkan Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Jasmani. Dan jika ini
terjadi pada diri kita berarti segala perbuatan diri kita selalu berada di
dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang tidak hanya dapat dinikmati oleh diri
sendiri, tetapi juga oleh keluarga, oleh anak dan keturunan, oleh masyarakat,
oleh Bangsa dan Negara.
2. Jika Ilmu yang kita miliki mampu bersinergi dengan
Ilmu Allah SWT maka Ilmu tersebut tidak disimpan hanya untuk kepentingan diri,
keluarga atau kelompok tertentu saja. Namun Ilmu itu harus diajarkan kepada
semua orang tanpa ada yang ditutup-tutupi, tanpa ada yang disembunyikan
sehingga berguna bagi semua orang.
3. Jika Qudrat yang kita miliki mampu tersambung dengan
Qudrat Allah SWT maka segala kekuatan, segala kekuasaan yang kita miliki tidak
hanya bermanfaat bagi diri, keluarga semata.
Akan tetapi dengan Qudrat itu semua orang menjadi tertolong, terbantu,
atau tidak mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas.
4. Jika Kalam yang kita miliki mampu tersambung dengan
Kalam Allah SWT maka kata-kata, tutur kata, omongan yang keluar dari mulut kita
tidak akan menyakiti hati orang lain, selalu
bermanfaat, dapat menyenangkan banyak orang, dapat menjadi pendengar
yang baik serta mampu menerapkan falsafah diam itu emas.
5. Jika Ar Rahman dan Ar Rahhiem, yang kita miliki
tersambung dengan Allah SWT maka banyak orang tidak mampu yang ada disekitar
diri kita tertolong, terbantu, oleh sebab keberadaan diri kita tanpa melihat
siapa mereka, darimana mereka berasal serta kesenjangan sosial dapat teratasi
dengan sendirinya.
6. Jika Ar Razaq yang kita miliki dapat tersambung
dengan Af’al Ar Razaq yang dimiliki Allah SWT? Hal yang akan terjadi adalah
kita tidak mau mengambil hak orang lain, kita tidak akan mau Kolusi, Korupsi,
Nepotisme di dalam mencari Rezeki serta setelah memperoleh Rezeki sebagian dari
Rezeki itu dikeluarkan kembali dalam bentuk Zakat, Infaq, Shadaqah, Jariah,
yang pada intinya untuk menolong banyak orang. Demikian seterusnya.
Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, jangan sampai diri
kita hanya mampu Habblum Minallah semata, tanpa bisa membuktikan saat
melaksanakan Habblum Minannass, atau kita harus bisa melaksanakan Habblum
Minannass yang sesuai dengan konsep Habblum Minallah. Timbul pertanyaan, kapan
kita harus melaksanakan itu semua? Melaksanakan
Habblum Minallah dan Habblum Minannass harus kita laksanakan saat hidup di
dunia karena hanya pada saat itulah kita diberi kesempatan untuk membuktikan
itu semua dihadapan Allah SWT sebelum akhirnya kita mempertanggungjawabkannya
kelak.
Dan
jika semua orang yang telah mampu melaksanakan Habblum Minallah dan Habblum
Minannass secara selaras, serasi dan seimbang, terjadilah apa yang dinamakan
dengan Gemah Ripah Loh Jinawi, Masyarakat Madani serta tidak akan terjadi apa
yang dinamakan dengan kesenjangan sosial. Dan jika sekarang yang terjadi adalah
sebaliknya, seperti jurang yang kaya dan yang miskin sangat jauh, korupsi,
kolusi serta nepotisme semakin merajalela, ketidakadilan semakin menjadi-jadi,
kampanye hitam semakin tumbuh subur, berarti ma’rifatullah yang telah kita
lakukan belum sesuai dengan kehendak Allah SWT, atau masih ada sesuatu yang
salah di dalam diri kita.
K.
BILA
DISEBUT NAMA ALLAH SWT GEMETAR HATINYA.
Orang yang telah menjadikan jiwanya fitrah, atau
telah mampu menjadikan jiwanya jiwa Muthmainnah yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT adalah bila disebut nama Allah SWT kepada diri kita atau jika kita
mendengar, atau diperdengarkan nama Allah SWT kepada diri kita maka gemetarlah
hati kita, tersentuhlah af’idah (perasaan) kita, sehingga kita merasa sangat
membutuhkan Allah SWT sehingga kita merasa kecil dihadapan Allah SWT, sebagaimana firman Allah
SWT berikut ini: “(yaitu)
orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang
yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan
sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami
rezkikan kepada mereka. (surat Al
Hajj (22) ayat 35)
Hal ini terjadi karena kita telah paham benar
tentang Allah SWT, kita telah mengerti dengan benar dimana Allah SWT berada,
kita telah menjadi orang yang paling tahu, atau kita telah menjadi orang dekat
dengan Allah SWT. Apa maksudnya?
Dalam kehidupan sehari-hari, secara individual kita
mengenal seseorang yang sangat kita kenal, kemudian karena sesuatu sebab kita
berpisah dengannya sekian lama. Lalu pada suatu ketika kita mendengar namanya
disebut orang, apa yang kita rasakan saat itu? Setelah mendengar nama orang
yang sangat kita kenal tersebut maka tergetarlah hati kita yang kemudian
kitapun berusaha untuk mencari tahu dimana ia berada. Kenapa ini bisa terjadi? Tergetarnya hati kita ketika disebut namanya karena
kita sudah sangat mengenal betul orang tersebut. Sekarang bagaimana jika kita
mendengar nama Allah SWT disebut orang, apakah hati kita juga akan bergetar? Jika kita termasuk orang yang telah fitrah atau
jiwa kita telah menjadi jiwa Muthmainnah berarti kita sudah pasti mengenal
siapa Allah SWT yang sesungguhnya dan sudah pasti mengenal siapa diri kita yang
sesungguhnya.
Adanya kondisi ini maka sudah seharusnya jika
disebut nama Allah SWT kepada diri kita, bergetarlah hati kita. Dan jika hal
ini tidak terjadi pada diri kita maka dapat dipastikan kita belum fitrah dan
juga belum menjadikan jiwa kita jiwa Muthmainnah sehingga ada sesuatu yang
salah di dalam diri kita. Sekarang apa yang harus kita sikapi dengan kondisi
seperti ini, apakah cukup dengan bergetar saja, ataukah harus melakukan suatu
perbuatan?
Sebagai orang yang telah mampu merasakan nikmatnya
bertuhankan kepada Allah SWT maka di setiap apa yang kita lihat di muka bumi
ini maka harus terbayang oleh kita bahwa
semuanya ada karena diciptakan oleh Allah SWT (semuanya adalah Ciptaan Allah
SWT), yang dilanjutkan dengan memberikan pernyataan bahwa semua yang ada di muka
bumi adalah tanda-tanda dari Kebesaran, Kemahaan serta Ilmu Allah SWT dan yang
terakhir kita harus bisa menyatakan bahwa di setiap ciptaan yang ada di muka
bumi ini selalu disertai oleh Kebesaran, Kemahaan serta Ilmu Allah SWT (di
setiap ciptaan ada Allah SWT).
Lalu apa yang harus kita lakukan dengan kondisi ini?
Jika apa yang kami kemukakan di atas telah mampu kita lakukan setelah diri kita
telah fitrah sehingga memiliki jiwa Muthmainnah maka kita harus bisa
menempatkan dan meletakkan bahwa Allah SWT adalah segala-galanya dan
selanjutnya kita harus berbuat, bekerja, berkarya, sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh Allah SWT. Timbul pertanyaan, apa yang dikehendaki oleh Allah
SWT? Hal yang harus kita perhatikan adalah saat kita berbuat, bekerja dan berkarya
maka tidak boleh sekalipun menempatkan dan meletakkan segala yang diciptakan
oleh Allah SWT, segala tanda-tanda kebesaran, kemahaan dan ilmu dari Allah SWT
lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan Allah SWT itu sendiri dan lalu
kita meminta bantuan kepadanya (maksudnya kita tidak boleh meminta bantuan
kepada ciptaan Allah SWT, atau meminta bantuan kepada tanda-tanda kebesaran, kemahaan,
dan ilmu Allah SWT karena di luar itu semua masih ada Allah SWT). Lalu kepada
siapa kita harus meminta pertolongan? Untuk itu kita harus meminta pertolongan
langsung hanya kepada Allah SWT melalui kemahaan, kebesaran dan ilmu yang ada
pada Allah SWT, tanpa melalui perantara oleh sebab apapun juga.
Apa contohnya dan bagaimana caranya? Jika Allah SWT
memiliki sifat Ilmu maka kita harus bisa membayangkan betapa tingginya Ilmu
Allah SWT sehingga mampu menciptakan alam semesta ini dan jika saat ini kita
juga memiliki Ilmu yang berasal dari Allah SWT maka kita harus mempergunakan
Ilmu yang berasal dari Allah SWT selalu di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan.
Dan jika pada saat diri kita berbuat, bekerja dan
berkarya mengalami kekurangan Ilmu atau jika kita ingin mencari Ilmu, jangan
pernah mencari Ilmu kepada ciptaan Allah SWT, atau jangan pernah pula mencari
Ilmu kepada Tanda-Tanda Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT. Akan tetapi mintalah
langsung kepada Allah SWT selaku pemilik Ilmu (dan juga Ilmu merupakan salah
satu Sifat Ma’ani Allah SWT) itu sendiri melalui doa yang kita panjatkan
sebelum memulai belajar dengan mengatakan “Ya Allah, Tambahi Ilmu, Pertinggilah Kecerdasanku, serta berikanlah aku
pemahaman yang sesuai dengan Kehendak-Mu” Demikian seterusnya sesuai
dengan sifat Ma’ani Allah SWT dan Asmaul Husna.
L. SELALU MENJADI PEMIMPIN UMAT DAN BERGUNA
BAGI MASYARAKAT BANYAK
Orang yang telah menjadikan jiwanya fitrah, atau
telah mampu menjadikan jiwanya jiwa Muthmainnah yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT selalu menjadi pemimpin yang berguna bagi masyarakat luas, menjadi
tokoh yang terpandang di masyarakat karena mampu berbuat kebaikan yang dapat
dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat, masyarakat merasa terbantu
karena hasil karya kita, masyarakat merasa aman dan nyaman karena
keberadaannya. Hal ini dikarenakan orang yang telah fitrah atau jiwanya jiwa
Muthmainnah pasti telah mampu merasakan dari waktu ke waktu shalat yang khusyu’
atau mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, seperti yang tertuang dalam
surat Al A’raaf (7) ayat 170 berikut ini: “Dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al
kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena
Sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang Mengadakan
perbaikan. (surat Al A’raaf
(7) ayat 170)
Hal yang tidak akan mungkin terjadi jika kita telah
fitrah atau telah menjadikan jiwa kita jiwa Muthmainnah adalah menjadikan diri
kita sebagai pelaku kejahatan, menjadikan kita sebagai biang keributan,
menjadikan kita sebagai biang keonaran, menjadikan kita sebagai otak di balik
kejahatan, atau masyarakat menjadi teraniaya oleh sebab perbuatan diri kita,
oleh sebab omongan kita. Hal ini dikarenakan orang yang telah fitrah atau
jiwanya jiwa Muthmainnah sudah berada dan selalu berbuat di dalam koridor
Nilai-Nilai Kebaikan dan jika sampai terjadi perbuatan keji dan mungkar berarti
kita belum fitrah dan masih berada di dalam jiwa Fujur.
Allah SWT berfirman: “Kami
telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan
kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah
mereka selalu menyembah. (surat Al
Anbiyaa’ (21) ayat 73)
Allah SWT
berfirman: “Sesungguhnya penolong kamu
hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat
dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan Barangsiapa
mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya,
Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah[423] Itulah yang pasti menang. (surat
Al Maa-idah (5) ayat 55-56)
[423] Yaitu: orang-orang
yang menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai
penolongnya.
Jika kita telah fitrah dan juga memiliki jiwa
Muthmainnah dapat dipastikan kita selalu
memiliki keinginan untuk menolong sesama manusia, selalu ingin berbagi kepada
sesama, tidak pelit di dalam berbagi ilmu maupun kesenangan, selalu ingin
berbuat kebaikan lebih baik dan lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Selain
daripada itu, berdasarkan hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Abu Dzar ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah
ta’ala berfirman: Berkata Dawud: Ya Tuhan-Ku apakah yang didapat oleh
hamba-hamba-Mu yang telah berziarah ke rumah-Mu? Allah berfirman: Sesungguhnya
tiap orang yang berziarah mempunyai hak terhadap yang diziarahi/dikunjungi. Wahai
Dawud: Adalah hak mereka pengunjung rumah-Ku, bahwa Aku mengurniai afiah kepada
mereka di dunia dan mengampuni mereka bila mereka menemui-Ku. (Hadits Qudsi
Riwayat Aththabarani, 272:245). kita
akan diberikan afiah di dunia dan juga Allah SWT akan memberikan ampunan bagi
diri kita, bagi anak keturunan kita sepanjang kita mampu melaksakanan ibadah
puasa di bulan Ramadhan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Sebagai
penutup dari kembali fitrah adalah setiap manusia berkehendak untuk pulang
kampung ke kampung kebahagiaan (syurga) tanpa terkecuali dan inilah fitrah yang
paling hakiki dari manusia. Untuk itu mari kita perhatian ayat ayat yang terdapat di dalam AlQuran
dikemukakan bahwa orang orang yang akan masuk syurga itu hanyalah:
1.
Berdasarkan ketentuan surat Al Baqarah (2)
ayat 82 berikut ini: “Dan orang orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan, mereka itu penghuni syurga. Mereka kekal di dalamnya.” yang akan masuk syurga adalah orang orang yang
beriman dan mengerjakan kebajikan atau yang beramal shaleh.
2.
Berdasarkan ketentuan surat An Nisa’ (4) ayat
13 berikut ini: “Itulah batas batas (hukum) Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan
RasulNya, Dia akan memasukkannya ke dalam syurga syurga yang mengalir di
bawahnya sungai sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan yang
agung.” yang akan masuk syurga adalah orang orang yang mentaati Allah
dan RasulNya.
3.
Berdasarkan ketentuan surat At Tur (52) ayat
17 berikut ini: “Sesungguhnya orang orang yang bertaqwa berada dalam syurga dan
kenikmatan. yang akan masuk syurga adalah orang orang yang bertaqwa.
Berdasarkan
tiga buah ayat AlQuran di atas ini, orang orang yang akan masuk syurga itu
hanyalah orang orang yang seluruh aktifitas hidupnya terikat dengan hukum dan
ketentuan Allah semata.
Dan
berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 39 berikut ini: “Adapun orang orang yang kafir dan
mendustakan ayat ayat Kami, mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di
dalamnya.” orang orang yang
tidak mau terikat dengan hukum dan ketentuan Allah yaitu orang orang kafir akan
dimasukkan ke dalam neraka. Selain daripada itu, Allah SWT juga berfirman: “Sungguh,
orang orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari
neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka. (surat
An Nisa’ (4) ayat 145).” Orang yang munafik akan ditempatkan di dalam
neraka yang paling bawah. Sedangkan orang yang fasik (kafir) juga akan
ditempatkan di dalam neraka sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “Dan
adapun orang orang fasik (kafir), maka tempat kediaman mereka adalah neraka.
Setiap kali mereka hendak keluar darinya, mereka dikembalikan (lagi) ke
dalamnya dan dikatakan kepada mereka, “Rasakanlah azab neraka yang dahulu kamu
dustakan”. (surat As Sajdah (32) ayat 20).”
Jamaah
sekalian, inilah beberapa ketentuan fitrah, yang artinya masih sesuaikah
kondisi dan keadaan diri kita saat pertama kali diciptakan oleh Allah SWT atau
masih sesuaikah diri kita dengan konsep awal penciptaan manusia. Lalu apakah
keberadaan diri kita masih sesuai dengan konsep awal penciptaan manusia yang
sesuai dengan konsep pencipta manusia itu sendiri?
Mudah-mudahan
yang masih fitrah lebih banyak dibandingkan dengan yang sudah tidak fitrah lagi
dan jika kondisi yang tidak fitrah ingin kita kembalikan ke kondisi fitrah maka
lakukan sekarang juga taubatan nasuha sebelum ruh tiba di kerongkongan dan jika
sampai terlambat maka kita akan difitrahkan oleh Allah SWT di neraka jahannam
kelak. Sekarang bertanyalah kepada diri kita sendiri, butuhkah kita dengan
fitrah, atau butuhkah kita dengan Allah SWT sehingga diri kita kembali kepada
fitrah? Jawaban dari pertanyan ini, hanya diri kita dan Allah SWT sajalah yang
tahu dan ingat segala konsekuensi dari ini semua diri kita sendirilah yang akan
merasakannya.
Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus
khalifah-Nya di muka bumi ketahuilah bahwa Allah SWT mengizinkan iblis/syaitan
untuk menggoda manusia selaku anak dan keturunan dari Nabi Adam as, sampai hari
kiamat kelak dikarenakan karena adanya faktor fitrah yang dimiliki oleh umat
manusia. Adanya kefitrahan dalam diri umat manusia, akan menjadi kekuatan yang
sangat luar biasa untuk mengalahkan musuh abadi manusia, dalam hal ini syaitan.
Akhirnya melalui kefitrahan ini mampu menghantarkan manusia menjadi pemenang
dan syaitan menjadi pecundang.
Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat[1233]
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh, (surat Al
Ahzab (33) ayat 72)
[1233]
Yang dimaksud dengan amanat di sini ialah tugas-tugas keagamaan.
Inilah
keadaan diri kita yang sesungguhnya dan jika sekarang ternyata manusia justru kalah melawan
syaitan, berarti ada sesuatu yang salah saat diri kita menjadi Khalifah di muka
bumi. Untuk itu jangan pernah
salahkah Allah SWT jika di dalam surat Al Ahzab (33) ayat 72 yang kami
kemukakan di atas ini mengemukakan bahwa manusia dikatakan amat zalim dan amat
bodoh karena tidak mampu mempergunakan sesuatu yang baik yang asalnya dari
Allah SWT untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Berdasarkan
apa apa yang telah kami kemukakan tentang dimensi puasa dan kembali fitrah di
atas, terlihat dengan jelas bahwa perintah puasa yang diperintahkan oleh Allah
SWT bukanlah perintah yang bersifat mengada-ada, atau perintah yang bersifat
asal-asalan dan juga perintah yang bersifat memberatkan diri kita. Akan tetapi
perintah melaksanakan puasa adalah perintah untuk kepentingan diri kita sendiri
yang tidak ada hubungannya dengan orang lain dan juga karena Allah SWT sayang
kepada diri kita yang tidak lain adalah khalifahNya di muka bumi serta Allah
SWT tidak berkehendak khalifahNya gagal melaksanakan tugas di muka bumi ini.
Dan terakhir Allah SWT berkehendak agar diri kita bisa bertemu langsung dengan
Allah SWT di syurgaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar