B.
PUASA
HARUS DILANDASI DENGAN NIAT YANG IKHLAS.
Untuk dapat melaksanakan sesuatu, harus dimulai dari
adanya kehendak (Iradat) yang keluar dari hati ruhani, yang dilanjutkan dengan
adanya dukungan kemampuan (Qudrat) serta Ilmu untuk mewujudkan apa-apa yang
akan kita laksanakan. Adanya ketentuan
ini berarti untuk dapat melaksanakan sesuatu dengan baik dan benar, atau untuk
menghasilkan sesuatu yang baik dan benar maka kehendak tidak bisa berdiri
sendiri, namun kehendak harus ditunjang oleh kemampuan dan ilmu sehingga ketiga
hal ini harus ada di dalam satu kesatuan.
Allah SWT berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (surat Al Bayyinah
(98) ayat 5)
[1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan
Allah) dan jauh dari kesesatan.
Sekarang apakah ketentuan ini berlaku juga saat diri
kita hendak melaksanakan perintah dan larangan Allah SWT? Untuk dapat melaksanakan perintah dan larangan
Allah SWT dengan baik dan benar maka ketentuan umum yang kami kemukakan di
atas, dapat pula diaplikasikan saat diri kita melaksanakan perintah dan
larangan Allah SWT. Hal ini dikarenakan untuk dapat melaksanakan perintah dan
larangan Allah SWT maka hal yang pertama harus ada di dalam diri adalah kehendak
yang keluar dari dalam hati ruhani untuk melaksanakan apa yang diperintahkan
Allah SWT dan kondisi inilah yang dikatakan dengan Niat.
Lalu kehendak (maksudnya niat) tersebut harus
ditunjang dengan kemampuan serta ilmu yang memadai jika kita berharap
memperoleh hasil yang maksimal. Adanya
hal ini menunjukkan kepada diri kita bahwa kehendak (walaupun telah keluar dari
dalam hati ruhani) tidak akan dapat menghantarkan diri kita untuk melaksanakan
apa yang diperintahkan Allah SWT dengan baik dan benar, jika kehendak tersebut
tidak ditunjang dengan kemampuan serta ilmu yang memadai. Atau dengan kata lain
kehendak yang telah keluar dari dalam hati ruhani harus terpadu dalam satu
kesatuan dengan kemampuan dan ilmu jika kita ingin sukses melaksanakan
apa-apa yang diperintahkan Allah SWT. Sekarang sudahkah kita memiliki kehendak seperti
yang kami kemukakan di atas, saat diri kita melaksanakan apa-apa yang
diperintahkan Allah SWT? Mudah-Mudahan kita
semua mampu memiliki dan mampu melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.
Adanya keterpaduan antara kehendak, kemampuan serta
ilmu saat diri kita melaksanakan puasa berarti di dalam diri telah terjadi apa
yang dinamakan dengan kebulatan tekad untuk melaksanakan apa-apa yang
diperintahkan oleh Allah SWT. Sekarang apa
yang sebenarnya terjadi dengan adanya keterpaduan antara kehendak, kemampuan
dan ilmu yang menghasilkan kebulatan tekad itu? Seperti kita ketahui bersama
bahwa kehendak, kemampuan, serta ilmu yang kita miliki asalnya dari Allah SWT (kehendak,
kemampuan serta ilmu adalah sifat Allah SWT).
Lalu dengan diri kita melaksanakan apa yang
diperintahkan Allah SWT berarti kita sedang melaksanakan sinergi, yaitu
mensinergikan kehendak, kemampuan, serta ilmu yang kita miliki dengan pemilik, pencipta
dari kehendak, kemampuan dan ilmu itu sendiri, dalam hal ini Allah SWT. Adanya
proses sinergi yang kita lakukan maka
tersambunglah apa-apa yang telah Allah SWT berikan kepada diri kita dengan
Allah SWT selaku pemilik, pencipta itu semua serta pemberi perintah
melaksanakan puasa (maksudnya bukan tersambung dengan Dzat Allah SWT, akan
tetapi tersambung dengan kemahaan dan kebesaran Allah SWT).
Niat tidak bisa dilepaskan dengan adanya kehendak
yang keluar dari dalam hati ruhani, yang didukung oleh kemampuan dan ilmu. Hal
ini dikarenakan niat itu sendiri merupakan hasil akhir dari proses yang keluar
dari kehendak yang didukung oleh kemampuan dan ilmu dalam rangka untuk
melaksanakan sesuatu, dalam hal ini
adalah melaksanakan perintah dan larangan Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti
niat dapat dikatakan sebagai kebulatan tekad untuk
melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada diri kita, tanpa
ada paksaan dari siapapun juga sehingga terjadilah kekompakan di dalam diri
kita saat melaksanakan perintah melaksanakan puasa (melaksanakan Diinul Islam
secara kaffah).
Selanjutnya jika
kehendak yang didukung kemampuan dan ilmu keluar dari dalam hati ruhani maka niatpun
harus pula keluar dari hati ruhani.
Sekarang setelah diri kita memiliki kebulatan tekad tanpa ada paksaan siapapun,
untuk melaksanakan perintah melaksanakan puasa yang telah diperintahkan Allah
SWT, lalu seperti apakah Niat yang baik itu? Berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari berikut ini; “Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala
berfirman: Aku tidak menerima sesuatu amal, kecuali amal yang diniatkan
untuk-Ku. (Hadits
Qudsi Riwayat Bukhari, 272:167).
Niat baru dapat dikatakan sebuah niat yang tulus
maka niat itu hanya diniatkan untuk Allah SWT semata. Contohnya, jika kita berniat untuk melaksanakan
perintah melaksanakan puasa yang berasal dari Allah SWT maka kita harus
meniatkan puasa yang kita laksanakan hanya untuk melaksanakan apa yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT semata. Tanpa ada maksud dan tujuan lain yang
menyertai niat kita, sehingga yang ada dalam diri kita hanyalah tulus dan
ikhlas dalam melaksanakan perintah Allah SWT semata.
Sekarang bagaimana jika niat untuk melaksanakan
puasa yang ada di dalam diri bukan keluar dari dalam hati ruhani namun
keluarnya dari dalam mulut? Sepanjang kehendak
yang diberikan Allah SWT diletakkan di dalam hati ruhani maka niatpun harus
keluar pula dari hati ruhani. Dan jika sekarang niat untuk melaksanakan puasa
keluarnya dari mulut berarti ada sesuatu yang salah di dalam kehendak yang kita
miliki. Hal ini dikarenakan yang ada di dalam mulut kita bukanlah kehendak
melainkan kalam, yang berasal juga dari
Allah SWT.
Untuk itu jika saat ini kita berniat untuk
melaksanakan puasa, tetapi niat melaksanakan puasanya keluar dari mulut berarti
yang berniat untuk melaksanakan puasa adalah kalam (disinilah terjadi
ketidaksesuaian antara diri kita dengan Allah SWT selaku pemberi perintah
puasa). Selanjutnya jika ini yang kita lakukan berarti kesesuaian antara diri
kita dengan Allah SWT tidak dapat terjadi karena niat yang keluar dari kalam
tidak bisa disinergikan dengan iradat (kehendak) Allah SWT karena kalam hanya
bisa disinergikan dengan kalam pula.
Sebagai khalifah yang sangat membutuhkan ibadah
puasa tentu kita harus berniat terlebih dahulu sebelum melaksanakan puasa,
untuk itu maka lakukanlah niat yang sesuai dengan kondisi yang sebenarnya yaitu
jika kehendak asalnya diletakkan di dalam hati ruhani maka niat yang tidak lain
hasil dari proses Kehendak, Kemampuan dan Ilmu, harus pula keluar dari hati ruhani. Sekarang pilihan dari niat ada pada diri kita
sendiri, apakah mau yang keluar dari hati ruhani ataukah yang keluar dari mulut?
Sekarang mari kita perhatikan 2(dua) buah hadits
yang kami kemukakan berikut ini: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya segala perbuatan itu disertai niat.
Dan seseorang diganjar sesuai dengan niatnya. (Hadits
Riwayat Bukhari, Muslim).
Rasulullah
SAW bersabda: “Allah tidak melihat fisik dan harta kalian, tetapi Allah
melihat hati dan perbuatan kalian. (Hadits Riwayat Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Berdasarkan hadits di atas Allah SWT memberikan penilaian kepada seseorang
sangat tergantung kepada apa yang diniatkan oleh seseorang saat melakukan
sesuatu tindakan (katakan di dalam melaksanakan perintah melaksanakan puasa).
Allah SWT tidak pernah menjadikan fisik (penampilan) seseorang dan harta
seseorang sebagai acuan dasar untuk menilai keberhasilan seseorang melaksanakan
apa yang telah diperintahkan-Nya.
Lalu atas dasar apakah Allah SWT menilai seseorang?
Allah SWT memiliki ketentuan sendiri di dalam menilai keberhasilan seseorang
yaitu dengan mempergunakan kriteria seberapa ikhlas seseorang melaksanakan
apa-apa yang telah diperintahkan-Nya, atau seberapa tinggi kualitas niat yang
ikhlas yang keluar dari hati ruhani seseorang melaksanakan ibadah yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT kepadanya. Adanya
kondisi ini menunjukkan kepada kita bahwa niat yang ikhlas sangat memegang
peranan penting di dalam setiap melaksanakan suatu perintah yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT. Sebagai khalifah
yang membutuhkan puasa berarti pada saat ini kita harus memiliki dan
menunjukkan niat yang ikhlas kepada Allah SWT di dalam melaksanakan segala
apa-apa yang telah diperintahkan Allah SWT kepada diri kita.
Timbul pertanyaan apakah itu ikhlas atau apa itu niat
yang ikhlas? Berikut ini akan kami
kemukakan beberapa arti dari ikhlas itu sendiri, yaitu :
Pertama, Ikhlas artinya Rahasia, sebagaimana termaktub surat Yusuf (12) ayat 80
berikut ini: “Maka tatkala mereka berputus asa dari pada
(putusan) Yusuf[761] mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik.
berkatalah yang tertua diantara mereka: "Tidakkah kamu ketahui bahwa
Sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan
sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. sebab itu aku tidak akan
meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali),
atau Allah memberi keputusan terhadapku. dan Dia adalah hakim yang
sebaik-baiknya".
[761] Yakni putusan
Yusuf yang menolak permintaan mereka untuk menukar Bunyamin dengan saudaranya
yang lain.
Ikhlas adalah suatu rahasia yang terdapat di dalam
diri kita sehingga orang lain tidak tahu apa yang akan kita perbuat dan kitapun
tidak hendak memberi tahu tentang apa yang kita perbuat. Adanya kondisi ini
berarti Niat yang Ikhlas adalah Rahasia yang tersembunyi di dalam Hati Ruhani
diri kita sehingga yang tahu hanya diri kita dan Allah SWT semata. Adanya
Rahasia yang hanya diketahui oleh diri kita dan Allah SWT semata, berarti apa yang kita lakukan bukanlah untuk
dipamerkan kepada orang lain, atau riya, atau karena ingin dianggap mampu, atau
karena ingin dianggap alim.
Kedua, Ikhlas artinya suci dan murni atau tidak ada
campuran atau tidak ada pengaruh darimanapun, dari apapun serta dari siapapun
juga kecuali dari Allah SWT semata, sebagaimana termaktub dalam surat Az Zumar
(39) ayat 3 di bawah ini, “Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa
yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang
yang pendusta dan sangat ingkar.” Niat
yang ikhlas adalah suatu keadaan dimana apa yang kita niatkan adalah sesuatu
yang suci, yang murni, yang bukan karena bujukan, yang bukan karena hasutan,
yang bukan karena ajakan dari orang lain apalagi karena keterpaksaan, untuk
melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT sehingga yang ada
pada diri kita saat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah SWT hanyalah
ikhlas karena Allah SWT semata.
Ketiga, Ikhlas artinya dekat, akrab, dengan Allah SWT,
sebagaimana termaktub dalam surat Yusuf (12) ayat 54 berikut ini: “dan
raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaKu, agar aku memilih Dia sebagai orang
yang rapat kepadaku". Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan Dia,
Dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang
berkedudukan Tinggi lagi dipercayai pada sisi kami". Adanya niat yang ikhlas untuk melaksanakan apa yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT berarti pada saat diri kita melaksanakan
perintah Allah SWT terjadi suatu hubungan yang sangat dekat antara diri kita
yang diperintahkan melaksanakan puasa dengan Allah SWT yang memerintahkan
melaksanakan Puasa. Kenapa hal ini bisa terjadi? Terjadinya kedekatan antara
diri kita dengan Allah SWT karena apa yang kita lakukan merupakan rahasia
antara diri kita dengan Allah SWT. Sehingga dengan adanya kerahasiaan ini akan
menumbuhkan suatu kedekatan antara diri kita dengan Allah SWT.
Keempat, Ikhlas artinya
suci dari segala kekotoran dan kejahatan, sebagaimana termaktub dalam surat
Yusuf (12) ayat 24 sebagaimana berikut ini: “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud
(melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan
pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya[750].
Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian.
Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.’(surat Yusuf (12) ayat 24)
[750] Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf
a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi
godaan itu demikian besanya sehingga andaikata Dia tidak dikuatkan dengan
keimanan kepada Allah s.w.t tentu Dia jatuh ke dalam kemaksiatan.
Suatu
niat yang ikhlas untuk melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan Allah SWT
berarti pada saat diri kita melaksanakan itu semua yang ada hanyalah kesucian
dan kemurnian untuk melaksanakan dan memperoleh apa-apa yang ada di balik
perintah Allah SWT. Hal ini dimungkinkan karena setiap apa yang diperintahkan
oleh Allah SWT pasti untuk kepentingan diri kita sendiri (untuk kepentingan
yang menerima dan menjalankan perintah) sehingga di balik perintah Allah SWT
tidak akan pernah ada kekotoran apalagi kejahatan yang akan menimpa diri kita
sepanjang perintah Allah SWT mampu kita laksanakan dengan baik dan benar.
Kelima, Ikhlas artinya khusus tertentu, sebagaimana
termaktub dalam surat Al Baqarah (2) ayat 94 berikut ini: “Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa)
kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang
lain, Maka inginilah[75] kematian(mu), jika kamu memang benar.”
[75]
Maksudnya: mintalah agar kamu dimatikan sekarang juga.
Niat
yang ikhlas di dalam melaksanakan suatu perintah yang telah diperintahkan oleh
Allah SWT berarti kita melaksanakan sesuatu yang bersifat khusus tertentu,
dalam hal ini untuk kepentingan diri kita sendiri yang dilandasi karena Allah
SWT semata. Contohnya, jika kita ikhlas melaksanakan Puasa yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT berarti puasa yang kita laksanakan bersifat
Khususyaitu untuk kepentingan diri kita semata sehingga orang lain tidak akan
mungkin memperoleh hasil dari puasa yang kita laksanakan.
Keenam. Ikhlas artinya suci daripada selain Allah SWT,
sebagaimana termaktub dalam surat Ash
Shaaffat (37) ayat 160-161 berikut ini: “kecuali hamba-hamba Allah[1292] yang dibersihkan
dari (dosa). Maka Sesungguhnya kamu dan apa-apa yang kamu sembah itu.”
[1292] Yang dimaksud hamba Allah di sini ialah
golongan jin yang beriman.
Niat
yang ikhlas untuk melaksanakan perintah Allah SWT berarti saat diri kita
melaksanakan perintah tidak ada pengaruh lain dari selain Allah SWT atau kita
tidak pernah melaksanakan perintah karena selain Allah SWT. Jika sampai kita melaksanakan
perintah karena ada tujuan lain, atau karena ada perintah dari yang lain, atau
karena ingin mendapatkan sesuatu yang lain di luar apa yang akan didapat dari Allah SWT maka niat yang ikhlas belum
kita lakukan.
Itulah enam buah arti dari niat yang ikhlas, yang
harus kita ketahui, yang harus kita laksanakan, yang harus kita tunjukkan
kepada Allah SWT dengan sebaik mungkin, jika kita ingin merasakan secara
langsung apa yang dinamakan dengan kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT
melalui ibadah puasa yang kita laksanakan. Sekarang, apakah niat yang ikhlas
hanya sebatas dipergunakan saat melaksanakan puasa? Niat yang ikhlas tidak hanya dipergunakan saat diri
kita melasakanakan puasa saja, akan tetapi niat yang ikhlas harus dipergunakan
di saat diri kita melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi. Semoga kita
mampu menjadi orang yang selalu niat ikhlas kepada Allah SWT kapanpun dan
dimanapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar