E.
BILA DISEBUT NAMA ALLAH SWT GEMETAR
HATINYA.
Orang yang telah menjadikan jiwanya jiwa Muthmainnah
adalah yang apabila disebut nama Allah SWT kepada diri kita atau jika kita
mendengar, atau diperdengarkan nama Allah SWT kepada diri kita maka gemetarlah
hati kita, tersentuhlah af’idah atau perasaan kita, sehingga kita merasa sangat
membutuhkan Allah SWT sehingga kita merasa kecil dihadapan Allah SWT. Hal ini terjadi karena kita telah paham benar
tentang Allah SWT, kita telah mengerti dengan benar dimana Allah SWT berada,
kita telah menjadi orang yang paling tahu, atau kita telah menjadi orang dekat
dengan Allah SWT.
Apa maksudnya? Allah SWT berfirman: “(yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa
mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan
sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka”. (surat Al Hajj (22) ayat 35).” Dalam kehidupan sehari-hari, katakan kita mengenal
seseorang yang sangat lama, kemudian karena sesuatu sebab kita berpisah
dengannya sekian lama. Lalu pada suatu ketika kita mendengar namanya disebut
orang, apa yang kita rasakan saat itu? Setelah mendengar nama orang yang sangat
kita kenal tersebut maka tergetarlah hati kita yang kemudian kitapun berusaha
untuk mencari tahu dimana ia berada.
Kenapa ini bisa terjadi? Tergetarnya hati kita ketika disebut namanya karena
kita sudah sangat mengenal betul orang tersebut. Sekarang bagaimana jika kita
mendengar nama Allah SWT disebut orang, apakah hati kita juga akan bergetar? Jika kita termasuk orang yang berjiwa muthmainnah
berarti kita sudah pasti mengenal siapa Allah SWT yang sesungguhnya dan sudah
pasti mengenal siapa diri kita yang sesungguhnya. Adanya kondisi ini maka sudah
seharusnya jika disebut nama Allah SWT kepada diri kita, bergetarlah hati kita.
Dan jika hal ini tidak terjadi pada diri kita maka
dapat dipastikan kita belum fitrah dan juga belum menjadikan jiwa kita jiwa muthmainnah
sehingga ada sesuatu yang salah di dalam diri kita. Sekarang apa yang harus
kita sikapi dengan kondisi seperti ini, apakah cukup dengan bergetar saja,
ataukah harus melakukan suatu perbuatan?
Sebagai orang yang telah mampu merasakan nikmatnya
bertuhankan kepada Allah SWT maka di setiap apa yang kita lihat di muka bumi
ini maka harus terbayang oleh kita bahwa
semuanya ada karena diciptakan oleh Allah SWT (semuanya adalah ciptaan Allah
SWT), yang dilanjutkan dengan memberikan pernyataan bahwa semua yang ada di
muka bumi adalah tanda-tanda dari kebesaran, kemahaan serta ilmu Allah SWT
(TKBA) dan yang terakhir kita harus bisa menyatakan bahwa di setiap ciptaan
yang ada di muka bumi ini selalu disertai oleh kebesaran, kemahaan serta ilmu
Allah SWT (di setiap ciptaan ada Allah SWT). Lalu apa yang harus kita lakukan
dengan kondisi ini?
Kita harus bisa menempatkan dan meletakkan bahwa Allah
SWT adalah segala-galanya dan selanjutnya kita harus berbuat, bekerja,
berkarya, sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT. Timbul pertanyaan,
apa yang dikehendaki oleh Allah SWT? Hal yang harus kita perhatikan adalah saat
kita berbuat, bekerja dan berkarya maka tidak boleh sekalipun menempatkan dan
meletakkan segala yang diciptakan oleh Allah SWT, segala tanda-tanda Kebesaran,
Kemahaan dan Ilmu dari Allah SWT (TKBA) lebih tinggi kedudukannya dibandingkan
dengan Allah SWT itu sendiri dan lalu kita meminta bantuan kepadanya (maksudnya
kita tidak boleh meminta bantuan kepada Ciptaan Allah SWT atau meminta bantuan kepada
Tanda-Tanda Kebesaran, Kemahaan, dan Ilmu Allah SWT (TKBA) karena di luar itu semua masih ada Allah SWT).
Lalu kepada siapa kita harus meminta pertolongan?
Untuk itu kita harus meminta pertolongan langsung hanya kepada Allah SWT
melalui Kemahaan, Kebesaran dan Ilmu yang ada pada Allah SWT, tanpa melalui
perantara oleh sebab apapun juga. Apa contohnya dan bagaimana caranya? Jika Allah
SWT memiliki sifat Ilmu maka kita harus bisa membayangkan betapa tingginya Ilmu
Allah SWT sehingga mampu menciptakan alam semesta ini dan jika saat ini kita
juga memiliki Ilmu yang berasal dari Allah SWT maka kita harus mempergunakan
Ilmu yang berasal dari Allah SWT selalu di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan.
Dan jika pada saat diri kita berbuat, bekerja dan
berkarya mengalami kekurangan ilmu atau jika kita ingin mencari ilmu, jangan
pernah mencari ilmu kepada ciptaan Allah SWT, atau jangan pernah pula mencari ilmu
kepada Tanda-Tanda Kebesaran dan Kemahaan
Allah SWT (TKBA). Akan tetapi mintalah langsung kepada Allah SWT selaku
pemilik ilmu (dan juga ilmu merupakan salah satu Sifat Ma’ani Allah SWT) itu
sendiri melalui doa yang kita panjatkan sebelum memulai belajar dengan
mengatakan “Ya Allah, Tambahi Ilmu,
Pertinggilah Kecerdasanku, serta berikanlah aku pemahaman yang sesuai dengan
Kehendak-Mu”. Demikian seterusnya sesuai dengan sifat Ma’ani Allah SWT
dan Asmaul Husna.
F. RENDAH HATI DAN TIDAK MERASA PALING
BENAR.
Orang yang memiliki jiwa muthmainnah
adalah orang yang rendah hati, sehingga ia menjadi orang tidak akan merasa
senang di atas kesedihan orang lain, tidak bangga karena kebodohan orang dan
tidak merasa paling benar. Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT telah
mewahyukan kepadaku: Bertawadhu’lah hingga seseorang tidak menyomgbongkan diri
terhadap lainnya dan seseorang tidak menganiaya terhadap lainnya. (hadits
riwayat Muslim)”. Jadilah orang
selalu rendah hati seperti ini, yaitu:
1. Jika semakin tinggi ilmunya, ia akan semakin
merasa pengetahuannya tidak ada apa apanya;
2. Jika semakin banyak hartanya, akan semakin
besar rasa syukurnya dan lebih banyak memberi kepada orang yang tidak mampu;
3. Jika semakin tinggi jabatan atau
kedudukannya, akan semakin dekat dan santun terhadap orang kecil;
4. Jika semakin banyak ibadahnya, akan semakin
merasa berdosa dan merasa kurang banyak beribadah.
Orang yang memiliki jiwa muthmainnah
adalah orang yang sabar dan rendah hati, penampilannya sejuk menyenangkan,
mudah bergaul, dan bisa diterima oleh siapa pun. Orang seperti itu sistem
imunnya tinggi, tidak gampang terkena penyakit. Orang yang sabar, rendah hati
dan menerapkan falsafah air, pikirannya tenang dan tubuhnya sehat. Air selalu
mengalir ke tempat yang lebih rendah, namun kekuatannya luar biasa besar.
Orang yang sabar dan rendah hati,
bathinnya kuat dan tidak punya musuh. Damailah pikiran orang yang sabar dan
rendah hati. Dia selalu mau mengalah dan memiliki toleransi. Orang seperti ini
pandai mengendalikan diri, tidak emosional. Sesuai dengan nasehat orang-orang
shaleh terdahulu yaitu : “Orang yang
pandai mengendalikan diri dan memiliki toleransi tinggi, bisa tenang dan
selamat”. Sudahkah kita mampu seperti ini? Mudah mudahan kita semua mampu
menampilkan hal ini dalam kehidupan sehari hari.
G. MAMPU MAWAS DIRI, BERDZIKIR DAN
BERSYUKUR TIAP WAKTU.
Orang yang memiliki jiwa Muthmainnah
adalah orang yang mampu selalu mawas diri, mampu berdzikir (sebagai sebuah
refleksi setiap waktu, atau di setiap kesempatan) dan selalu bersyukur dan
sabar dalam hidupnya. Nabi SAW bersabda: “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin,
semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri
seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang
demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan,
dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan
baginya.” (Hadits Riwayat Muslim)”. Dan inilah yang dimaksud dari
mawas diri, berdzikir dan juga bersyukur itu.
1. Mawas
Diri. Mawas diri berarti pengenalan, atau pencarian, atau
penemuan jati diri seseorang ke dalam spiritualnya, serta latihan kemampuan
spiritual dan intelektual untuk memperoleh
nilai nilai kemanusiaannya untuk membangun nurani, membantu, dan
memelihara dirinya. Ini adalah proses bagaimana seseorang membedakan baik dan
buruk, amal dan dosa, dan bagaimana menjaga hati nurani. Lebih jauh lagi mawas
diri adalah memberikan waktu kepada kita untuk mengevaluasi apa yang terjadi
serta merencanakan sesuatu untuk masa depan.
Bertafakur
adalah kesempatan bagi kita untuk menyadari kesalahan kesalahan masa lalu dan
menyadari Allah selalu mengawasi setiap langkah yang kita jalani, ini berarti
pula kesadaran tanpa henti untuk selalu memperbaharui diri dalam jiwa
seseorang. Kondisi tersebut adalah untuk mencapai hubungan yang harmonis dengan
Allah, dimana hubungan ini tergantung kepada kemampuan seseorang dalam
menjalani kehidupan spiritualnya dan waspada terhadap keinginan keinginan yang
berlebihan dalam jiwanya. Kesuksesan hidup berarti dapat memelihara hubungan
yang langgeng dengan alam sebagaimana dia mempertahankan jiwa raganya.
2. Berdzikir
(Reflection). Berdzikir adalah langkah penting untuk
menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar kita dan menyimpulkan daripadanya.
Berdzikir adalah kunci emas untuk membuka pintu pengalaman, suatu tanah
persemaian bagi pohon kebenaran, dan merupakan titik awal bagi terbukanya mata
hati. Karena itu, wakil manusia yang paling agung, yang paling utama dalam
berdzikir, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tiada satu amalan ibadah pun yang nilainya menyamai
berdzikir. Maka berdzikirlah tentang karunia Allah dan hasil perbuatanNya,
namun jangan engkau mencoba untuk memikirkan akan dzatNya, karena engkau tidak
akan pernah bisa melakukannya.” Hadits tersebut menggambarkan
pahala/kebaikan dari berdzikir, manusia yang paling mulia, Nabi Muhammad SAW,
menentukan, serta mengingatkan batas batas pemikiran dan kemampuan kita.
Menyebut
nama Allah akan membuat hatimu senang dan tenang. Mengingat Allah akan membuat
hidupmu terasa bahagia. Bertemu dengan Allah dalam setiap shalat dan doamu akan
menjadi waktu yang sangat kau nantikan. Itulah tanda cinta kepada Allah. Lalu
apakah kita tidak mau melakukannya!
3. Bersyukur.
Orang
yang memiliki jiwa muthmainnah adalah orang yang selalu bersyukur dalam hidup
dan kehidupannya. Hal ini dikarenakan: (a)
bersyukur mampu menjadikan kita tidak sombong; (b) bersyukur menjadikan
nikmat terasa lebih; (c) bersyukur menjadikan diri kita kaya; (d) bersyukur
menjadikan tubuh kita sehat. Ingat, tidak perlu kaya terlebih dahulu
untuk bersyukur. Tidak perlu dapat rezeki banyak untuk bersyukur. Tidak perlu
menunggu sehat untuk bersyukur. Tidak perlu menunggu esok hari untuk bersyukur.
Bersyukurlah kapan saja dan bersyukurlah kepada Allah sekarang juga.
Selain dari pada itu, ketahuilah bahwa
mengeluh tidak akan menghasilkan apa-apa. Tidak ada hasil yang didapat dengan
mengeluh. Mengeluh hanya malah akan menjauhkan diri kita dari rasa syukur.
Mengeluh malah akan membuatmu menjadi tambah tertekan. Mengeluh membuat kita
jauh dari rasa syukur. Bersyukur yang sesungguhnya berada di dalam hati
seseorang akan tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya bahwa semua berasal
dari Allah dan memengaruhi kehidupan sehari harinya. Sebagaimana firman-Nya “Dan
Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepadaNya. Dan jika
kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.
Sungguh, manusia itu sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).
(surat Ibrahim (14) ayat 34)”.
Seseorang dapat bersyukur kepada Allah
secara lisan atau melalui ibadahnya jika ia merasa yakin untuk mengakui dengan
sungguh sungguh bahwa seluruh hidupnya, keberadaannya, dirinya, penampilan
phisiknya, seluruh kemampuannya, dan seluruh prestasinya adalah semuanya karena
Allah.
Mensyukuri
nikmat Allah maka sebenarnya kita menjemput rezeki yang lain. Karena syukur itu
sendiri nikmat yang tidak terkira. Betapa banyak orang yang berlimpah nikmat
tapi tak diberi nikmat untuk bersyukur. Syukur artinya menjaga nikmat kita agar
tidak cepat hilang. Namun saat nikmat hilang, sadari dan renungkan,
mungkin Allah ingin mengingatkan kita, betapa kenikmatan duniawi sering
melenakan kita hingga lupa kapan terakhir mata ini basah karena mengingat
nikmatNya, mengakui kesalahan kita.
Untuk bersyukur tidak perlu kaya
terlebih dahulu. Tidak perlu naik pangkat dan jabatan untuk bersyukur. Tidak
menunggu jadi sarjana untuk bersyukur. Tidak perlu dapat rezeki banyak untuk
bersyukur. Tidak perlu menunggu sehat untuk bersyukur, Tidak perlu menunggu
esok hari untuk bersyukur.
Bersyukurlah kapan saja dan dimana saja.
Bersyukurlah
sekarang juga dan jangan mengeluh karena mengeluh tidak menghasilkan apa apa
bagi diri hidup dan kehidupan. Syukur adalah kekuatan seorang mukmin.
Orang yang bersyukur adalah orang yang paham betul bahwa segala sesuatu itu
berasal dari Allah dikarenakan orang yang bersyukur tidak pernah menghambakan
dirinya kepada orang lain, kepada dunia atau kepada mahluk lain. Betapa
hebatnya syukur itu, tidakkah kita mampu memahaminya!
Akhirnya
orang yang berjiwa muthmainnah adalah orang yang dalam pencapaian yang telah
diraihnya tidak mengenal kata titik (maksudnya berhenti berbuat kebaikan),
melainkan koma. Ia akan terus berusaha, berusaha sampai titik darah penghabisan
(sebelum ruh tiba dikerongkongan) serta ia memiliki prinsip setelah berbuat
kebaikan maka langsung ia melupakan apa yang telah diperbuatnya karena ia telah
bersiap siap untuk berbuat kebaikan lagi dan lagi lalu melupakannya lagi
demikian seterusnya. Akhirnya hidupnya hanya untuk kebaikan, kebaikan dan
kebaikan sampau ajal menjemputnya.
H. MAMPU PEDULI SEKALIGUS TIDAK PEDULI.
Orang yang memiliki jiwa Muthmainnah
adalah orang yang peduli dan yang sekaligus tidak peduli. Orang yang baik
adalah orang yang peduli, yaitu orang yang memiliki empati yang tinggi terhadap
sesama dan terhadap lingkungan di sekitarnya. Jangan menjadi seseorang yang
memiliki jiwa yang tak acuh terhadap orang orang di sekitarmu. Jangan menganggap
dirimu pusat alam semesta dan orang orang berputar di sekelilingmu.
Jangan menganggap bahwa semua orang
hanya hidup untuk memenuhi kepentingan dirimu semata. Sebagaimana Nabi SAW
bersada: “Anas ra, berkata, bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidaklah termasuk beriman
seseorang di antara kami sehingga mencintai saudara saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri.” (hadits riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, dan
Nasa’i)”. Berbuat baiklah karena Allah, karena memang hatimu ingin
membantu orang lain. Pedulilah karena Allah, karena memang kau peduli akan
kebahagiaan orang lain.
Orang yang berjiwa muthmainnah, ada kalanya juga harus
tidak peduli, terhadap hal hal tertentu. Hal ini dimungkinkan karena ada
sebagian manusia yang terlalu banyak berpikir, atau memikirkan hal hal kecil
yang tidak penting. Hal ini dapat mempengaruhi pikiranmu dan bisa membuat kita
stress. Kadang, kita juga berharap terlalu banyak, terlalu memikirkan orang
lain, atau bahkan mencoba memikirkan masa depan yang belum terjadi. Semuanya dapat
mengganggu pikiran kita dan mengakibatkan hidup menjadi tidak tenang dan tidak
bahagia
Allah SWT berfirman: “Katakanlah (Muhammad), “Wahai orang kafir!
Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa
yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu
agamamu, dan untukku agamaku. (surat Al Kafirun (109) ayat 1 sampai 6)”.
Berdasarkan surat Al Kafirun (109) ayat 1 sampai 6 di atas ini, orang yang
berjiwa Muthmainnah, juga mampu bersikap tegas dan memiliki sikap tidak peduli
terhadap sesuatu hal, seperti: (a) tidak memikirkan orang yang tidak
memikirkannya; (b) tidak memperdulikan orang yang menghinanya; (c) tidak
memikirkan apa isi kepala orang lain; (d) tidak terlalu mengharapkan
penghargaan dari orang lain; (e) tidak mengharapkan terima kasih dan balas
budi; (f) tidak memikirkn perbuatan baik
dan ibadah yang dikerjakannya apakah dilihat orang atau tidak; (g) tidak
membanding bandingkan dirinya dengan orang lain.
Selain daripada itu, orang yang berjiwa muthmainnah juga
mampu melihat ke atas dalam kerangka memacu semangat, bukan untuk menjadikannya
iri dan dengki. Orang yang berjiwa muthmainnah juga mampu melihat ke bawah dalam
kerangka bersyukur, bukan untuk merendahkan derajat orang lain.
I.
MAMPU
MENDAPATKAN DAN MERASAKAN IBADAH BATHINIYAH.
Salah satu ciri dari
penampilan dari orang yang berjiwa muthmainnah adalah mampu mendapatkan dan merasakan nikmatnya ibadah
bathiniyah dari ibadah yang dilakukannya. Apa maksudnya? Sebagaimana telah kita
ketahui bersama bahwa kita harus beribadah kepada Allah SWT baik lahir maupun
bathin. Ibadah lahir disebut dengan syariat. Ibadah bathin disebut dengan
hakekat.
Orang yang sudah melaksanakan
ibadah lahir (syariat) akan terlihat dengan kasat mata oleh kita melalui
tandanya yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, berpuasa di
bulan Ramadhan, menunaikan zakat, melaksanakan ibadah haji, membaca Alqur’an,
shalawat, dzikrullah, menutup aurat, menuntut ilmu, bersilaturrahim dan cara
hidup lainnya yang diperintahkan oleh Allah SWT dengan meninggalkan (tidak
melakukan) segala sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT.
Begitu
juga orang yang melakukan ibadah bathiniyah, terlihat pula tandanya. Namun
tanda tanda orang yang telah mampu merasakan ibadah bathiniyah (hakekat) itu
tidak dapat dilihat oleh mata lahir kita, sebab tanda itu tersembunyi di balik
hati seseorang. Hal itu hanya dapat
dilihat oleh orang itu sendiri dengan merasakan gerak dan arah perjalanan
hatinya sendiri. Hati yang sudah melakukan ibadah bathin sangat berbeda dengan
hati orang yang mampu beribadah lahir (syariat) dan juga sangat jauh berbeda
dengan hati yang masih durhaka.
Untuk
dapat mengetahui perbedaan hati, berikut ini akan kami kemukakan tanda tanda
atau sifat sifat hati yang tinggi kedudukannya, yang dimiliki oleh orang orang
yang mampu melakukan ibadah bathiniyah, yaitu:
1.
Syariatnya Kuat. Orang yang kuat beribadah
bathiniyah pasti akan kuat pula ibadah lahirnya (syariatnya), akan tetapi perlu
diingat bahwa orang yang kuat ibadah syariat lahir saja belum tentu kuat di
dalam ibadah bathiniyahnya. Hal ini disebabkan pada diri kita, hati (bathin)
adalah pemimpin sedangkan anggota anggota lain (jasad lahiriah) sebagai
pekerja.
Kita makan karena hati kita
menyuruh kita makan. Kaki dan tangan pun bekerja untuk mencari makanan. Kita
hendak ke masjid karena amalan hati kita. Kaki kita hanya menurut saja. Tetapi
kalau hati tidak mau pergi walau masjid disebelah rumah sekalipun, kaki tidak
akan melangkah pergi.
Begitu besarnya kuasa dan
peranan hati dalam menentukan corak hidup manusia. Sebab itu kalau hati sudah
baik, taat menghambakan diri pada Allah, hati akan mengarahkan semua anggota
lahiriah untuk tunduk patuh dalam menyembah kepada Allah SWT. Semua perintah
dan larangan Allah akan ditaati tanpa tanya jawab lagi. Semua larangan Allah
akan ditinggalkan tanpa ragu.
Allah SWT berfirman: “Rasul
telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian
pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak
membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari
rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan Kami
taat." (mereka berdoa): "Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada
Engkaulah tempat kembali."(surat Al Baqarah (2) ayat 285)”. Shalat
fardhunya baik, shalat sunnah dan yang lainnya tidak ditinggalkan. Puasa sunnah
dianggap penting dan selalu dilakukan dengan senang hati. Membaca Al Qur’an,
shalawat, dzikir, tasbih telah menjadi sesuatu yang rutin yang mengasyikkan.
Berjuang untuk menyebarkan agama Allah terasa satu kewajiban yang mesti
dilakukan sehingga tidak pernah jemu dan letih karena perjuagan.
Kuat berkorban harta,
pikiran, waktu dan tenaga untuk membantu Islam dan umat Islam. Tidak hidup bermewahan
dengan rezeki pemberian Allah sekalipun halal dan hanya diambil sesuai
keperluan saja. Kelebihannya diserahkan untuk keperluan dan kepentingan umat.
Sebab itu rumahnya sederhana, pakaian, dan makan minum juga sederhana. Hanya
menyuruh berderma dan bersedekah maka ia akan melakukannya tanpa takut miskin
dan bimbang pada hari depan. Hatinya menyuruh ia berjamaah sesama kaum muslimin
maka ia pun berjamaah tanpa ragu meninggalkan alam dan kawan di luar jamaah.
Hati yang taat dan takut pada
Allah akan menyuruh kita mengikuti semua perintah dan larangan Allah. Tidak
pernah terlintas dalam hati orang orang shaleh satu keinginan untuk durhaka
pada Allah. Hatinya tidak pernah berencana untuk melakukan (melanggar) larangan
Allah. Sebab itu orang yang kuat ibadah bathinnya, cukup kuat meninggalkan hal
hal yang haram, makruh ataupun syubhat. Hati yang kuat dengan Allah akan
melarang keras untuk terlibat dengan pekerjaan yang dikutuk oleh Allah. Hati
yang sempurna ibadahnya akan menolak semua perkara yang dibenci Allah. Tegasnya
hanya hati kita yang bisa membetulkan diri kita dan hati juga yang bisa
menjahanamkan kita. Kalau hati baik, tindakan kita akan baik. dan kalau hati
jahat, tindakan kita akan jahat juga.
Konsep “hati baik” itu pun
jangan disalahartikan. Jangan sampai kita katakan,“Tidak shalat pun tidak apa
apa, asalkan hati kita baik. Tidak menutup aurat pun tidak apa apa, asal hati
kita baik”. Jika hal ini kita lakukan, berarti kita telah membuat dua buah
kejahatan.
a. Telah berani membantah
perintah Allah karena shalat dan menutup aurat itu adalah perintah Allah.
b. Kita menganggap hati kita
baik, padahal hati kita masih durhaka kepada Allah. Hati yang tidak mau shalat
atau tutup aurat itu adalah hati yang durhaka kepada Allah. Hati yang baik
adalah hati yang taat dan takut kepada Allah. Bila hati taat maka kita akan
mentaati seluruh perintah Allah. Bila hati kita baik akan kuat bersyariat.
2. Mendapat Kejernihan atau Keringanan Bathin. Apabila seseorang hamba itu
sudah mampu mendapatkan tingkat keruhanian tingkat tinggi (jiwa muthmainnah)
yang tercermin dari kembali fitrah, hatinya (bathinnya) akan menjadi suci dan
ringan. Allah SWT berfirman: “(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji
Allah dan tidak merusak perjanjian, dan
orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang
buruk. dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara
sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan;
orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke
dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya,
isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke
tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): "Salamun
'alaikum bima shabartum". Maka Alangkah baiknya tempat kesudahan itu.
(surat Ar Ra’d (13) ayat 20 sampai 24).”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar