Selanjutnya mari kita bahas tentang apa itu puasa kafarat, apa itu puasa nadzar dan apa itu puasa sunnah, yang kesemuanya harus kita ketahui tentang ilmunya, yaitu:
B. PUASA
KAFARAT.
Kafarat
(kifarat) ialah menunaikan sesuatu yang telah diwajibkan syara’ karena
melanggar kesalahan atau untuk menutupi kekurangan pekerjaan, atau untuk
menghapuskan dosa. Dalam hal puasa, kecuali puasa wajib (fardu) dalam bulan
Ramadhan dan juga puasa kafarat hukumnya wajib dikerjakan. Antara lain puasa kafarat
ialah ketika :
1. Merusak Puasa Wajib Dengan Bersetubuh.
Orang yang batal
puasanya karena bersetubuh di siang hari di bulan Ramadhan (mulai fajar hingga
magrib) sedang ia wajib berpuasa, maka ia wajib membayar kafarat, berupa:
memerdekakan budak (kalau tidak bisa); puasa dua bulan berturut turut, (kalau
tidak bisa); bersedekah memberi makan fakir miskin enam puluh orang setiap
orang satu liter. Ketiga hal ini harus tertib, tidak boleh dipilih mana yang
disukai (maksudnya sesuai dengan urutan). Dan yang membayar kafarat menurut
pendapat para ulama ada tiga pendapat, yaitu (1) wajib atas lelakinya saja,
(2) wajib atas lelaki dan perempuannya, dan bagi perempuan ditanggung
lelakinya, (3) wajib atas kedua pihak.
2. Membunuh Seorang Mukmin Tanpa Sengaja.
Orang yang membunuh
seorang Mukmin tanpa sengaja wajib membayar denda (kifarat), berupa: (1)
memerdekakan seorang budak lelaki yang Mukmin serta membayar diyat (uang duka)
yang diserahkan kepada keluarga si terbunuh. (kalau tidak bisa), maka (2)
berpuasa dua bulan terturut turut. Sebagaimana dikemukakan dalam firmanNya
berikut ini: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh
seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)[334], dan
Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat[335] yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah[336]. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian
(damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba
sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya[337], Maka hendaklah
ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari
pada Allah. Dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan
Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah
Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya
serta menyediakan azab yang besar baginya. (surat An Nisaa’ (4) ayat 92 &
93)
[334] Seperti: menembak burung terkena seorang mukmin.
[335] Diat ialah pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana
terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan.
[336] Bersedekah di sini Maksudnya: membebaskan si pembunuh dari pembayaran
diat.
[337] Maksudnya: tidak mempunyai hamba; tidak memperoleh hamba sahaya
yang beriman atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan. Menurut sebagian
ahli tafsir, puasa dua bulan berturut-turut itu adalah sebagai ganti dari
pembayaran diat dan memerdekakan hamba sahaya.
3. Zhihar Kepada Istrinya.Zhihar adalah adat jahiliyah yang
dilarang oleh Agama Islam. Yang dimaksud zhihar ialah seorang suami
menyerupakan istrinya diserupakan seperti ibunya, dengan katanya, “Engkau
tampak seperti punggung ibuku”. Tidak hanya punggung saja, tetapi merupakan
anggota badan istrinya dengan anggota badan ibunya. Orang yang demikian itu
harus menalak (mencerai) istrinya.
Kalau
tidak ditalak karena ia masih ingin berkumpul dengan istrinya sebagai suami
istri yang syah, maka ia wajib membayar kifarat, sebagaimana firman Allah SWT
berikut ini: “orang-orang yang menzhihar isterinya di antara
kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu
ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan
Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan
dusta. Dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. orang-orang yang
menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka
ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak),
Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya
bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam
puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat
pedih. (surat Al Mujaadilah (58) ayat 2 sampai 4)
Adapun
kifarat dari zhihar adalah (1) memerdekakan hamba sahaya; (2) kalau
tidak bisa, maka harus puasa dua bulan berturut turut; (3) kalau tidak kuat,
maka harus memberi makan enam puluh orang miskin masing masing 1(satu) liter.
Catatan: (Tiga perkara di atas harus urut dan tertib. Artinya urut ialah tidak
boleh memilih mana yang disukai. Nomor satu harus dijalankan terlebih dahulu,
kalau tidak ada budak, baru nomor dua. Nomor dua harus dijalankan dengan
sungguh sungguh pula. Kalau tidak kuat artinya memang tidak kuat sungguhan,
haruslah diulang kembali mulia dari hari pertama).
4.
Denda Waktu Menjalankan Ibadah Haji. Ketika diri kita menunaikan ibadah
Haji, bila terjadi sesuatu hal, maka orang yang bersangkutan harus membayar
denda dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Orang
yang mengerjakan haji dan umroh dengan cara tamattu atau qiran, harus membayar
denda, yaitu : (1) menyembeleh seekor kambing yang syah untuk korban; (2) kalau tidak
sanggup, harus berpuasa 10 (sepuluh) hari, yang tiga hari puasa sewaktu ihram
paling lambat sampai Hari Raya Haji, dan yang tujuh hari dijalankan ketika
telah sampai di negerinya.
b.
Bila
mengerjakan salah satu dari hal hal berikut: yakni bercukur lebih dari yang
ditentukan; memotong kuku; memakai pakaian berjahit; berminyak rambut; memakai
parfum; pendahuluan bersetubuh atau bersetubuh setelah tahalul pertama, maka
dendanya ialah boleh memilih di antara tiga: (1) menyembelih seekor kambing
yang sah untuk berkorban; (2) berpuasa tiga hari; (3) bersedekah tiga gantang
(sepuluh liter) makanan kepada enam orang miskin, sebagaimana firman Allah SWT
berikut ini: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah karena
Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), Maka
(sembelihlah) korban[120] yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur
kepalamu[121], sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di
antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka
wajiblah atasnya berfid-yah, Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila
kamu telah (merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umrah sebelum
haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah
didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu),
Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila
kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu
(kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di
sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (Surat
Al Baqarah (2) ayat 196)
[120] Yang
dimaksud dengan korban di sini ialah menyembelih binatang korban sebagai
pengganti pekerjaan wajib haji yang ditinggalkan; atau sebagai denda karena
melanggar hal-hal yang terlarang mengerjakannya di dalam ibadah haji.
[121]
Mencukur kepala adalah salah satu pekerjaan wajib dalam haji, sebagai tanda
selesai ihram.
c.
Membunuh
binatang liar ketika berhaji, di denda harus menyembelih binatang yang sepadan
dengan yang dibunuh tadi. Kalau tidak bisa, diganti dengan berpuasa sesuai
dengan ketentuan berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
membunuh binatang buruan[436], ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara
kamu membunuhnya dengan sengaja, Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang
ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang
adil di antara kamu sebagai had-yad[437] yang dibawa sampai ke Ka’bah[438] atau
(dendanya) membayar kaffarat dengan memberi Makan orang-orang miskin[439] atau
berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu[440], supaya Dia
merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah
lalu[441]. Dan Barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan
menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa. (surat
Al Maaidah (5) ayat 95)
[436] Ialah: binatang buruan baik yang boleh dimakan atau tidak,
kecuali burung gagak, burung elang, kalajengking, tikus dan anjing buas. Dalam
suatu riwayat Termasuk juga ular.
[437] Ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke
ka’bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan
dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadat haji.
[438] Yang dibawa sampai ke daerah Haram untuk disembelih di sana dan
dagingnya dibagikan kepada fakir miskin.
[439] Seimbang dengan harga binatang ternak yang akan penggganti
binatang yang dibunuhnya itu.
[440] Yaitu puasa yang jumlah harinya sebanyak mud yang diberikan
kepada fakir miskin, dengan catatan: seorang fakir miskin mendapat satu mud
(lebih kurang 6,5 ons).
[441] Maksudnya: membunuh binatang sebelum turun ayat yang mengharamkan
ini.
5.
Melanggar Sumpah. Orang yang melanggar sumpah,
diwajibkan membayar kifarat, berupa: (1). Memberi makan kepada sepuluh orang
miskin dengan makanan yang terbaik pada kebiasaan yang dimakan keluarganya. (2)
atau memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin. (3) atau memerdekakan seorang
hamba sahaya. (4) kalau tidak mampu menunaikan salah satu dari tiga macam di atas,
ia harus berpuasa tiga hari, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Allah
tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh
orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu,
atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang
siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (surat Al Maaidah
(5) ayat 89)
6.
Kifaratnya Ila’. Orang yang ila’ yakni sumpah suami
bahwa dia tidak akan mencampuri istrinya selama lebih empat bulan atau dengan
tidak menyebutkan masanya. Dia ditunggu sampai empat bulan. Kalau kembali
kepada istrinya biasa sebelum empat bulan, dia diwajibkan membayar kifarat
saja. Tetapi bila telah empat bulan belum kembali kepada istrinya, hakim berhak
menyuruhnya memilih dua pilihan, yaitu membayar kifarat lalu kembali kepada
istrinya, atau menceraikan istrinya. Kalau sang suami tetap mogok tidak mau
memilih, hakim berhak menceraikan suami istri tersebut dengan paksa. Adapun
kifaratnya sang suami dalam perkara ini sama dengan kifaratnya sumpah.
C. PUASA
NADZAR.
Nadzar
ialah mewajibkan sesuatu yang tidak wajib karena sesuatu urusan, atau seseorang
mewajibkan atas dirinya untuk mengerjakan sesuatu dengan menggantungkan kepada
sesuatu sebab. Sehingga ada nazar kerena sebab dan ada nazar yang tanpa sebab.
Nazar karena sebab misalnya seorang bernazar, bilamana saya berhasil dalam
sesuatu urusan, atau bilamana Allah SWT mengaruniai saya ini dan itu, saya akan
berpuasa tiga hari. Bila saya lulus, atau bila anak saya sembuh, atau bila
tanah saya menghasilkan, saya akan berpuasa tiga hari. Itu namanya nazar
syarat.
Menurut
Rasulullah, nazar begini kurang baik, karena bilamana usahanya tidak berhasil
atau harapan (doa)nya tidak dikabulkan, dia tidak mau berpuasa atau bersedekah
(bila nazarnya itu akan bersedekah). Sedangkan Nazar tanpa sebab, misalnya
seseorang berikhtiar dengan doa kepada Allah SWT kemudian berhasillah usahanya
itu, atau dengan tidak terduga duga dia mendapatkan keberuntungan. Maka dia
bernazar begini, “Dengan karunia Allah itu maka tetaplah bagi saya berpuasa
tiga hari”. Atau tetaplah bagi saya infak atau menyumbang madrasah sekian
rupiah.
1.
Nadzar Perkara Wajib. Misalnya, ada orang yang bernadzar,
bilamana ia lulus, besok Jumat ia akan pergi Jumatan, atau besok bulan Ramadhan
saya akan berpuasa, ini tidak sah, karena lulus atau tidak lulus kita wajib
Jumatan dan memang sudah menjadi kewajiban untuk menjalankan ibadah puasa
Ramadhan.
2.
Nadzar Perkara Sunnah. Perkara sunnah misalnya akan berpuasa
sunnah, bersedekah, memberi uang atau menolong fakir miskin pada saat tertentu
dan banyak lagi tentang urusan yang ada sangkut pautnya dengan kebaikan yang
mendapatkan pahala. Nadzar tentang perkara ini wajib dilaksanakan.
3.
Nadzar Perkara Maksiat. Misalnya nadzar akan makan-makan
dipundhen (makam yang dikeramatkan) karena permintaan atau wasilahnya
dikalbulkan, atau akan menanggap tontonan yang maksiat misalnya gambar porno atau
nanggap tayub. Nadzar ini wajib dijauhi dan wajib tidak dilaksanakan. Bahkan
orang yang bernadzar maksiat seperti ini wajib membayar kifarat seperti kifaratnya
orang yang melanggar sumpah, sebagaimana hadits berikut ini: Sabda
Rasulullah SAW : Tidak ada nazar pada maksiat dan kifaratnya adalah kifarat
sumpah. (Hadits Riwayat Muslim) Adapun
kifaratnya nadzar (yang sama dengan kifaratnya sumpah) yaitu: (1)
Memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang paling baik yang
biasanya diberikan pada anak istri dan keluarga, atau (2). Memberi pakaian
kepada sepuluh orang miskin, atau (3) Memerdekakan seorang budak, bilamana
tidak bisa melaksanakan salah satu dari tiga perkara di atas itu maka, (4)
Harus berpuasa tiga hari.
4.
Nadzar Yang Tidak Mengandung Kebaikan
(Nadzar Mubah). Misalnya
nadzar akan duduk, tertawa, lari, makan dan segala perkara mubah yang pada
akhirnya pada perkara nadzar seperti ini tidak dapat mendatangkan pahala bagi
dirinya. Sebagaimana hadits berikut ini: Sabda Rasulullah tentang nadzar ialah:
“Barangsiapa yang bernadzar akan mentaati Allah maka hendaklah ia wajib
(mentaatinya), Dan barangsiapa bernadzar akan maksiat kepada Allah maka
janganlah ia bermaksiat kepada Nya” (Hadits Riwayat Bukhari). Nadzar yang demikian ini menurut Imam Syafii
hukumnya makruh dan menurut sebahagian ulama tidak sah. Namun apabila orang
bernadzar akan berpuasa baginya menjadi wajib.
D. PUASA
SUNNAH.
Urut
urutan dari puasa sunnah yang kami kemukakan di bawah ini bukanlah untuk
menunjukkan bahwa nomor yang di awal lebih utama dari nomor yang ada di
bawahnya.
1.
Puasa Enam Hari di Bulan Syawal. Berdasarkan
ketentuan hadits yang kami kemukakan di bawah ini, kita diperkenankan untuk
melaksanakan puasa sunnah selama 6 (enam) hari di bulan Syawal sepanjang kita sudah
melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan, sebagaimana hadits berikut ini: “Dari
Abu Ayyub al Anshari bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Barangsiapa yang
berpuasa pada bulan Ramadhan kemudian diiringi dengan puasa enam hari Syawal
maka seolah olah ia telah berpuasa sepanjang masa (setahun) (Hadits Riwayat
Imam Jamaah kecuali Bukhari dan An Nasa’i)
Rasulullah
SAW bersabda: Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian dia ikuti dengan berpuasa
enam hari di bulan Syawal. Ia mendapat pahala seperti puasa setahun penuh.
(Hadits Riwayat Muslim). Ingat, ketentuan berpuasa sunnah 6 (enam) hari
di bulan Syawal berlaku jika kita sudah menyelesaikan ketentuan puasa wajib
bagi laki laki dan sudah membayar hutang puasa bagi wanita. Tidak ada keterangan enam hari itu
seperti apa, waktunya bebas, selama dijumlahkan genap 6 (enam) hari.
2.
Puasa Tiga Hari Setiap Bulan. Berdasarkan hadits di bawah ini, kita
bisa melaksanakan puasa tengah bulan (puasa saat bulan purnama) sebanyak 3
(hari) di setiap tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan, sebagaimana hadits
berikut ini: Pesan Rasulullah SAW kepada Abu Dzar al Ghifari, kata Abu Dzar
selanjutnya: “Kami diperintahkan oleh Rasulullah SAW agar berpuasa tiga hari
setiap bulan yakni pada hari bulan purnama: tanggal tiga belas, tanggal empat
belas dan tanggal lima belas. Dan sabdanya bahwa itu seperti berpuasa sepanjang
masa (setahun). (Hadits Riwayat An Nasa’i dan disahkan oleh Ibnu Hibban)
3.
Puasa Hari Arafah. Puasa
menjelang Hari Raya Idhul Adha (puasa Arafah) hanya ada satu hari , yakni
tanggal 9 Dzulhijjah, bagi mereka yang tidak menunaikan haji atau bagi mereka yang
berada di luar tanah haram, sebagaimana hadits berikut ini: “Dari Abu Qatadah ra, bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Puasa pada hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun, yaitu
setahun yang telah lalu dan setahun yang akan datang. Dan puasa hari Asyura
menghapuskan dosa setahun yang telah lalu. (Hadits Riwayat Imam Jamaah kecuali
Bukhari dan Ath Thirmidzi). Adapaun
dosa yang dapat dihapus dengan puasa Arafah dan Asyura adalah dosa dosa kecil,
dosa ringan. Dosa besar tidak dapat dihapus kecuali dengan taubat atau atas
anugerah ampunan Allah.
4.
Puasa Hari Asyura. Puasa Asyura ini telah dibiasakan oleh
kafir Quraisy pada zaman jahililyah juga oleh kaum Yahudi dan Nasrani, Dan
sebelum syariat puasa Ramadhan turun, puasa Asyura ini juga diwajibkan bagi
kaum muslimin. Rasulullah SAW bersabda: Berpuasa hari Asyura itu menghapuskan dosa
setahun yang lalu. (Hadits Riwayat Muslim dari Abu Qatadah).
Rasulullah
SAW bersabda: “Ada empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw,
yaitu puasa Asyura, puasa sepertiga bulan Dzulhijjah, puasa tiga hari tiap
bulan dan shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh”.(Hadits Riwayat Ahmad dan An
Nasa’i dari Hafsah)
5.
Puasa Senin dan Kamis. Berdasarkan hadits yang kami kemukakan
di bawah ini, kita juga diperbolehkan atau disunnahkan untuk melaksanakan puasa
sunnah di setiap hari senin dan setiap hari kamis sepanjang tahun sampai bulan
Ramadhan tiba. Dari Abu Hurairah ra, bahwa sesungguhnya Nabi
Muhammad SAW sering berpuasa pada hari Senin dan Kamis, kemudian orang bertanya
kepada beliau, apa sebabnya. Maka sabdanya: Sesungguhnya amal amal itu
diserahkan pada hari Senin dan Kamis, maka Allah berkenan mengampuni setiap
muslim atau setiap mukmin kecuali terhadap dua orang yang bermusuhan, maka
firman Nya, “Tangguhkan kedua orang itu.” (Hadits Riwayat Ahmad)
Rasulullah
SAW bersabda: “Itu adalah hari kelahiran saya juga hari dimana saya dinobatkan
menjadi Rasul dan juga hari dimana aku mulai menerima wahyu”. (Hadits Riwayat
Muslim)
6.
Puasa Daud. Ada riwayat dari Abu Salmah bin
Abdurrahman yang diterima dari Abdullah bin Amar, Dia berkisah bahwa Rasulullah
bertanya kepadanya tentang puasa di waktu siang dan shalat sunnah di waktu
malam. Pertanyaan beliau dibenarkan Abu Salmah. Maka bersabdalah Rasulullah SAW
kepada Abu Salmah agar dia (Abu Salmah) berpuasa sunnah tiga hari setiap bulan
saja. Dia bertahan berpuasa terus, Nabi juga bertahan. Namun beliau bersabda
agar dia (Abu Salmah) berpuasa tiga hari setiap minggu. Abu Salmah bertahan
bahwa dia masih sanggup menjalankannya. Maka Rasulullah bersabda agar Abu
Salmah berpuasa seperti puasanya Nabi Daud yakni berpuasa sehari lalu berbuka
sehari. “Dan jangan melebihi itu lagi” Demikian sabda Rasulullah SAW kepada Abu
Salmah. Sedangkan dari Abdullah bin Amar ra, bahwa Rasulullah bersabda: Puasa
yang lebih disukai Allah ialah puasa Daud dan shalat yang disukai Allah ialah
shalat Daud. Ia tidur seperdua malam, bangun (jaga) sepertiganya lalu tidur
seperenamnya dan ia berpuasa satu hari kemudian berbuka satu hari.
Melaksanakan ibadah wajib
haruslah menjadi prioritas utama sebelum melaksanakan ibadah sunnah dikarenakan
ibadah sunnah tidak bisa menggantikan ibadah wajib. Dan jika ibadah wajib sudah
kita laksanakan maka ibadah sunnah yang kita laksanakan baru bisa bermakna
ibadah sunnah. Hal yang samapun berlaku saat diri kita saat melaksanakan ibadah
puasa, yaitu kita tidak bisa mendahulukan melaksanakan ibadah puasa sunnah dengan
mengabaikan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan. Kita harus tetap mendahulukan
ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan setelah itu barulah melaksanakan ibadah
puasa sunnah yang sesuai dengan syariat yang berlaku. Adanya kondisi
ini menunjukkan kepada diri kita bahwa kita harus memiliki ilmu tentang puasa
barulah kita bisa melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak Allah SWT dan
jangan lupa ajarkan ilmu ini kepada anak dan keturunan serta masyarakat luas
sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah SWT tanpa ada yang disembunyikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar