G. BULAN
RAMADHAN ADALAH TAMU YANG MULIA PEMBAWA KEBER KAHAN.
Rasulullah SAW bersabda: “Telah
datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, Allah SWT
memerintahkan kamu berpuasa di dalam bulan itu.” (Hadits Riwayat Ahmad, An
Nassai dan Baihaqi dari Abu Hurairah ra). Bulan Ramadhan sering
dikatakan sebagai tamu agung dan mulia dan jika bulan Ramadhan dikatakan
sebagai tamu yang agung dan mulia berarti yang menjadi tuan rumah adalah umat
manusia yang beriman, termasuk di dalamnya diri kita. Sebagai tuan rumah maka
kita wajib memuliakan tamu yang datang karena salah satu ciri orang beriman
adalah memuliakan tamu yang datang.
Sebagai tuan rumah yang
kedatangan tamu yang agung, dalam hal ini bulan Ramadhan, sudahkah kita
berperilaku mulia seperti tamu yang datang? Jika sampai kita sebagai tuan rumah
tidak mampu menjadi orang yang mulia atau orang yang terpuji seperti mulia dan
terpujinya bulan Ramadhan, bagaimana mungkin kita bisa menjadi tuan rumah yang
baik bagi tamu yang datang setahun sekali? Baik buruknya diri kita, berkualitas
atau tidaknya diri kita, beriman atau tidaknya diri kita, berilmu atau tidaknya
diri kita, sangat menentukan keberhasilan diri kita menerima kedatangan tamu
yang istimewa.
Di lain sisi, saat diri kita menjadi
tuan rumah bagi bulan Ramadhan, harus bisa kita maknai sebagai cara Allah STW
memberikan pelajaran atau mengajarkan kepada diri kita untuk menjadi tuan rumah
yang baik dan mulia yang notabene adalah tamu Allah SWT di muka bumi ini.
Adanya pelajaran menjadi tuan rumah yang mulia bagi tamu yang mulia (bulan
Ramadhan) pada dasarnya Allah SWT sedang menjadikan diri kita menjadi tamu yang
mulia dihadapan Allah SWT selaku tuan rumah Yang Maha Mulia. Sekarang bayangkan
jika sampai Allah SWT tidak menjadikan bulan Ramadhan sebagai tamu yang mulia
bagi diri kita, lalu bisakah kita menjadi tuan rumah yang mampu memuliakan tamu
yang mulia? Disinilah letak pelajaran yang paling berharga dari bulan Ramadhan
yang kita katakan sebagai tamu yang mulia yang kehadirannya selalu di tunggu
tunggu.
Selama bumi berputar sesuai dengan
rotasinya, selama hari kiamat belum tiba, bulan Ramadhan tetap akan datang
setahun sekali kepada diri kita. Kehadiran bulan yang penuh berkah ini selalu
ditunggu dan selalu dinantikan oleh seluruh umat Islam. Kata berkah sering
diidentikkan dengan manfaat yang banyak meskipun barangnya sedikit. Biarpun
gaji sedikit yang penting berkah, demikian orang sering mengatakannya. Orang
sering berharap meskipun penghasilan sedikit, jika berkah maka akan banyak
memberikan manfaat. Bahkan sebaliknya, penghasilan banyak tetapi tidak
memberikan manfaat baik bagi diri maupun orang orang di sekitar atau bahkan
sebaliknya malah mudarat yang menimpa.Jika pertimbangan keberkahan ini dimiliki
oleh mayoritas penduduk Indonesia, perbuatan korupsi, mengambil hak orang lain,
tidak akan terjadi. Hal ini dikarenakan adanya kesadaran dalam diri bahwa uang
hasil korupsi, uang hasil menipu, tidak mengandung berkah dan karenanya tidak
akan memberikan manfaat bagi pemiliknya, dapat menjadi motif meninggalkan
kegiatan yang tidak terpuji itu.
Adanya bulan Ramadhan yang penuh
berkah diharapkan mewarnai kehidupan tiap muslim. Kalau memang terjadi kenaikan
harga harga bahan kebutuhan pokok di bulan Ramadhan, berdasarkan konsep berkah
ini umat Islam tidak akan mengalami kesulitan berarti mengingat Ramadhan adalah
bulan training dan ujian untuk melatih diri dan mendidik jiwa dan bulan
kepedulian pada sesama sehingga solidaritas sosial terjadi. Karena itu, ukuran
berkah Ramadhan tidak hanya pada dimensi ekonomi, tetapi pada ranah kehidupan
manusia pada umumnya.
Ini terbukti bahwa Ramadhan juga
merupakan bulan pendidikan yang mendidik kejujuran, kesabaran, kesederhanaan,
dan kasih sayang. Pada bulan Ramadhan, umat Islam sangat dianjurkan menghindari
perilaku khianat, curang, manipulasi, tipu daya, dusta, kepalsuan, kepurapuraan
baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, maupun budaya. Hidup sederhana
bersedia berbagi kepada sesama yang membutuhkan, solider dan berempati kepada
yang menderita dan menyayangi serta melindungi yang lemah, yang tertindas
sangat dianjurkan pada bulan yang penuh berkah ini. Bulan Ramadhan juga merupakan
wahana untuk meningkatkan keakraban, kasih sayang dan kedamaian.
H. PUASA
ADALAH BULAN PENINGKATAN KUALITAS KEIMANAN DAN PENGHAYATAN.
Bulan Ramadhan tidak hanya mengandung
ritual ibadah semata, melainkan juga nilai nilai. Semangat dan nilai ibadah di
bulan Ramadhan senantiasa bergerak. Ia tidak hanya berhenti dan memperkaya
pengalaman keagamaan individual, tetapi memberikan implikasi yang berlajut
terus pada dimensi sosial kemasyaratakan. Puasa di bulan Ramadhan juga
berdampak meningkatkan kualitas penghayatan individu terhadap universalitas
nilai nilai kemanusiaan. Hal ini dimungkinkan karena kedudukan puasa di bulan
Ramadhan, bukan karena semata mata memberikan dampak positif secara individual,
melainkan juga berdampak sosial kemasyarakatan.
Pengamalan dari ritual keagamaan yang
lebih intensif di bulan Ramadhan dibandingkan pada bulan bulan lain, mampu
mempengaruhi kemantapan bathin seseorang yang berpuasa. Adanya kondisi ini
puasa dapat dijadikan sebagai momentum reformasi spiritual diri secara vertikal
kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana perintah puasa yang tersebut dalam surat
Al Baqarah (2) ayat 183 yang menjadikan bekal iman sebagai modal dan bekal
primer umat Islam untuk menunaikannya. Iman bukan hanya sekedar mempercayai
eksistensi Tuhan tetapi juga menaruh kepercayaan hidup kita hanya kepada Tuhan.
“Hanya
kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu pula kami mohon pertolongan”
(surat Al Fathihah (1) ayat 5), inilah ikrar yang kita selalu ucapkan minimal
17 (tujuh belas) kali seharinya.
Kesadaran keimanan begitu signifikan
untuk menapaki hari demi hari di saat berpuasa di bulan Ramadhan. Tanpa adanya
kesadaran keimanan, dapat saja seseorang mengaku berpuasa, padahal tidak. Hal
ini dikarenakan praktek berpuasa tidak kasat mata sehingga ia berbeda dengan
ritual ritual ibadah keagamaan yang lainnya. Kesadaran keimanan yang ada di
dalam dada terefleksi pada redaksi surat Al Baqarah (2) ayat 183: “Hai
orang orang yang beriman, diwajibkann atas kalian puasa…” yang berujung pada
kesempurnaan kesadaran hati yang tersimbol dalam taqwa.
Bulan Ramadhan merupakan sebuah
momentum untuk mengembangkan kesadaran hati dengan menjadikan ibadah puasa
sebagai instrument peningkatan spiritual untuk mencapai kesadaran yang
tertinggi, yakni taqwa. Hal ini terlihat dari bahwa puasa tidak sekedar menahan
lapar dan haus serta syahwat semata, tetapi juga mampu menjadikan nilai nilai
kebaikan yang menjadi sifat alamiah ruhani menjadi perilaku diri kita dan tidak
mengingat apapun kecuali hanya Allah SWT semata atau mampu berpuasa yang hanya
bertuhankan kepada Allah SWT semata. Pada peringkat uang tertinggi inilah
kesadaran spiritual yang tertinggi dapat dicapai, sehingga pada level ini pula
tercapai pulalah tujuan dari ibadah puasa yang hakiki sebagaimana dalam firman
Allah SWT dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183 yaitu agar kamu bertaqwa.
Kesadaran ketuhanan (iman) dan yang
didukung dengan kesadaran hati (niat yang ikhlas) diharapkan dapat menumbuhkan
kesadaran sosial (kesalehan sosial). Praktek ritual puasa berindikasi tidak
semata pengabdian kepada Allah SWT tetapi penghayatan tentang pola hidup
sederhana dan empati dengan cara berlapar diri yang secara signifikan dapat
melunakkan hati yang keras. Pendidikan dan pelatihan selama bulan Ramadhan
dimaksudkan untuk hidup positif dalam beraktifitas dengan sesama manusia.
Dimensi sosial yang berasal dari
kesalehan pribadi sangat kental mewarnai kegiatan puasa Ramadhan disamping
dimensi spiritual yang bersifat pribadi. Berbagai aktifitas seperti buka puasa
bersama, shalat tarawih berjamaah, memberi sedekah dan zakat baik maal maupun
fitrah banyak mewarnai bulan Ramadhan.
Aktifitas aktifitas di bulan Ramadhan
harus dapat menghiasi diri untuk menuju kepada kesadaran keimanan dan kesadaran
hati dengan terbentuknya keindahan sikap dan kebersihan hati. Maksudnya adalah
kita tidak akan mengerti arti dan keindahan hidup serta keindahan Allah SWT,
Dzat Yang Maha Indah kecuali bila kita menjadi indah terlebih dahulu. Kita
tidak akan mengetahui dan merasakan sifat sifat terpuji bila tidak pernah
berperilaku terpuji, demikian pula tidak akan mengetahui penderitaan orang jika
kita tidak pernah merasakan penderitaan itu.
Selain
delapan hal yang telah kami kemukakan di atas, puasa di bulan Ramadhan adalah
pembawa pesan pesan kedamaian. Bulan Ramadhan merupakan saat saat dimana benang
yang pernah kusut dirajut kembali, kain yang sobek dijahit lagi dan cermin yang
pecah ditata dan dirakit kembali, hati yang gundah, jiwa yang tidak tenang
ditentramkan kembali dengan semangat persaudaraan. Ketentraman dan kedamaian
hati akan tercapai manakala tercapai keseimbangan dan hubungan baik manusia
dengan Allah SWT, semasa manusia, dan alam sekitar.
Bulan
Ramadhan merupakan momen yang tepat untuk memujudkan ketentraman dan kedamaian
hati karena pada bulan ini umat Islam sedang memperbaiki perilaku dan sikap
mereka melalui ibadah puasa dan amal kebajikan yang lain seperti mempererat
hubungan silaturahmi, memperbanyak sedekah, bersikap lemah lembut kepada sesama
manusia termasuk kepada orang yang tidak berpunya, melakukan amal kebajikan
kepada sesama manusia dan lingkungan, bersikap baik dalam bersahabat dan
bergaul, dan taat pada segala yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.
Sebagai
orang yang membutuhkan puasa, yang sangat mendambakan pulang kampung ke syurga
secara terhormat. Ada baiknya untuk merenungi kata bijak yang berasal dari
Kahlil Gibran berikut ini: “Jika ingin melihat lembah/kawah mari
mendaki ke puncak gunung; jika ingin melihat puncak gunung, mari terbang ke awan;
tapi jika ingin memahami awam, pejamkan mata, tarik napas yang dalam, pikirkan
dan renungkan.” dengan cara mempelajari, memahami lalu merenungi
apa apa yang ada di balik perintah puasa yang telah kami kemukakan di atas.
Lalu bertanyalah kepada hati kita butuhkah kita dengan puasa di bulan Ramadhan?
Jika kita butuh lalu apa yang sudah kita persiapkan untuk melaksanakan ibadah
dimaksud. Semoga kita tidak hanya mampu mengatakan butuh di bibir saja melainkan
mampu membuktikan apa yang kita nyatakan dengan perbuatan yang kita lakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar