Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, tentu
kita semua mampu memahami dengan baik dan benar tentang hakekat dari
melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Hal ini dikarenakan modal dasar yang
telah diberikan Allah SWT kepada diri kita adalah sama, tidak ada yang
dibeda-bedakan yaitu: adanya akal, adanya penglihatan, adanya pendengaran dan
adanya af’idah (perasaan) yang diletakkan di dalam hati. Allah SWT berfirman: “dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi
neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (surat Al A’raaf (7)
ayat 179)
Jika apa-apa yang telah diberikan Allah SWT masih berfungsi normal, atau
masih sesuai dengan fitrahnya, seperti akal masih bisa membedakan yang baik
dengan yang salah, hati masih bisa dipergunakan untuk memahami, mata masih bisa
dipergunakan untuk melihat serta telinga masih bisa dipergunakan untuk
mendengar. Sudah sepatutnya hal-hal sebagai berikut dapat kita terapkan saat
melaksanakan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan (atau saat melaksanakan
Diinul Islam secara kaffah).
Sekarang mari kita pelajari hal yang lainnya, Allah SWT adalah pencipta
dan pemilik dari jasmani dan ruhani diri kita. Jika ini kondisi dasar Allah SWT
berarti segala kemahaan, segala kehebatan, segala kedigjayaan Allah SWT pasti
tercermin di dalam ciptaannya, dalam hal ini ada di dalam ruhani dan jasmani
manusia. Sebagai pencipta ruhani dan jasmani tentu hanya Allah SWT sajalah yang
maha ahli, yang maha tahu, yang maha mengerti dan yang maha paham terhadap
ruhani dan jasmani diri kita. Sebagai pencipta dari ruhani serta jasmani tentu
Allah SWT sangat tahu bagaimana cara merawat, memelihara menjaga, kefitrahan
ruhani dan kesehatan jasmani.
Puasa di bulan Ramadhan harus kita maknai dalam dua hal yang berbeda,
yang pertama adalah adanya aktivitas yang dilakukan yang bernama puasa, dan ada
saat melaksanakan puasa wajib yaitu di bulan Ramadhan. Adanya dua ketentuan ini
bisa kita maknai sebagai salah satu cara Allah SWT untuk merawat, memelihara,
menjaga kefitrahan ruhani dan juga kesehatan jasmani melalui ibadah puasa.
Kemudian waktu untuk melaksanakan proses perawatan, pemeliharaan, penjagaan
atas kefitrahan ruhani serta jasmani sudah ditentukan oleh Allah SWT yaitu di
bulan Ramadhan. Asumsi dasar ini akan kami bawa terus di dalam pembahasan buku
ini.
A. PUASA ADALAH IBADAH RUHIYAH.
Puasa
adalah ibadah Ruhiyah (ibadah untuk kepentingan ruhani) dalam kerangka menjaga,
merawat, memelihara, mempertahankan kefitrahan ruhani yang datangnya fitrah
kembali harus fitrah pula. Adanya kondisi ini atau adanya skenario seperti ini
maka Allah SWT memerintahkan kepada diri kita yang sesungguhnya, dalam hal ini
adalah ruhani, untuk melaksanakan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan agar
keimanan yang ada di dalam ruhani meningkat derajatnya sehingga masuk di dalam
kategori menjadi orang orang yang muttaqin (orang yang bertaqwa). Allah SWT
berfirman: “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa. (surat Al Baqarah (2) ayat 183)
Berdasarkan
surat Al Baqarah (2) ayat 183 di atas ini, Allah SWT memerintahkan kepada orang
yang beriman untuk melaksanakan puasa. Sedangkan iman itu adalah hal yang tidak
bisa dipisahkan dengan ruhani diri kita sehingga baik dan buruknya diri kita
sangat tergantung dengan kualitas keimanan yang melekat di dalamnya. Adanya
perintah melaksanakan puasa kepada ruhani yang beriman menunjukkan bahwa Allah
SWT berkehendak kepada ruhani diri kita untuk ditingkatkan dari suatu kondisi
tertentu, dalam hal ini beriman, untuk
dijadikan atau memperoleh derajat taqwa.
Agar
diri kita yang sesungguhnya adalah ruh ini meningkat kualitasnya melalui ibadah
puasa, maka Allah SWT membuat peraturan khusus yang hanya berlaku di bulan
Ramadhan yang dikhususkan untuk kepentingan ruhani, yaitu: saat bulan Ramadhan,
berlaku ketentuan ibadah yang sunnah dinilai wajib sedangkan ibadah wajib
dilipatgandakan; syaitan dibelenggu selama sebulan penuh, adanya shalat
taraweh, adanya malam seribu bulan serta adanya ketentuan ibadah umroh di bulan
Ramadhan yang seperti berhaji bersama Nabi Muhammad SAW. Sehingga yang ada pada
saat bulan Ramadhan di dalam diri kita hanyalah ahwa (hawa nafsu) yang berasal
dari sisi jasmani. Adanya ketentuan khusus di bulan Ramadhan bukan untuk
kepentingan jasmani melainkan untuk kepentingan ruhani yang berdampak bagi
kesehatan jasmani.
Selama
ibadah puasa dilakukan, maka hal hal sebagai berikut harus kita laksanakan
dengan baik dan benar, yaitu :
1.
Hanya jasmani yang akan kita puasakan selama kurun
waktu tertentu, sedangkan ruhani jangan pernah dipuasakan. Berikan kesempatan
yang luas bagi ruhani melaksanakan ibadah.
2.
Apabila jasmani yang dipuasakan, menurut ilmu
kesehatan, akan memberikan dampak langsung kepada kesehatan jasmani itu
sendiri, apalagi jika yang mempuasakan jasmani dilandasi dengan keimanan yang
tinggi yang diikat dengan niat yang ikhlas. Hasilnya melebihi dari hasil puasa
jasmani yang dipaksakan (puasa saat ingin di operasi di rumah sakit).
3.
Saat dipuasakannya jasmani dalam kurun waktu
tertentu yang dilandasi dengan iman dan niat yang ikhlas akan berpengaruh
secara langsung kepada kesehatan jasmani dan juga berpengaruh kepada sifat
sifat alamiah jasmani (insan) dan juga berpengaruh kepada perbuatan dari sifat
sifat jasmani (ahwa) menjadi turun kemampuannya ke titik nadir atau bahkan
hilang digantikan dengan sifat sifat alamiah ruh/ruhani.
4.
Saat jasmani dipuasakan maka pada saat yang
bersamaan ruh/ruhani justru diberi kesempatan yang maksimal untuk beribadah
dengan ketentuan khusus. Hasilnya ruhani yang mengalami gangguan
kefitrahan/keimanan akan lebih cepat kembali kefitrahannya (keimanannya) karena
adanya ketentuan khusus sehingga kualitasnya kembali seperti sediakala. Adanya
kondisi seperti yang terjadi pada ruhani diri kita maka ruhani mampu
mengendalikan atau mampu mengalahkan ahwa (hawa nafsu) yang dalam diri manusia
dan juga mampu mengendalikan penggunaan pancaindera yang sesuai dengan nilai
nilai kebaikan.
5.
Naiknya kualitas ruhani diri kita baik dari sisi
kefitrahan dan keimanannya maka terjadilah apa yang dinamakan dengan ibadah
ruhiyah pada diri kita yang akhirnya tampillah penampilan Allah SWT dalam diri
kita. Lalu tersenyum banggalah Allah SWT kepada diri kita. Amien.
Sekarang
kita sudah tahu betapa Allah SWT sangat peduli dan sangat sayang kepada diri
kita yang tidak lain adalah khalifahNya di muka bumi. Allah SWT setahun sekali
memerintahkan diri kita untuk turun mesin “overhaul” untuk memperbaiki kualitas,
mutu baik ruh/ruhani maupun jasmani diri kita. Jika ini yang dikehendaki Allah
SWT kepada diri kita, namun diri kita justru abai atau menggangap biasa biasa
saja perintah berpuasa, menunjukkan Allah SWT tidak mendzalimi diri kita,
melainkan diri kita sendirilah yang mendzalimi diri sendiri. Semoga hal ini
tidak terjadi pada diri kita, pada anak keturunan kita.
B. PUASA ADALAH KEBUTUHAN.
Ibadah puasa
adalah perintah Allah SWT. Ibadah puasa sebagai sebuah perintah bukanlah tujuan
akhir dari perintah itu sendiri, melainkan sarana atau alat bantu bagi yang
diperintah untuk mencapai dan memperoleh apa yang ada di balik perintah
melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Lalu untuk siapakah manfaat yang di balik
perintah puasa itu, apakah untuk Allah SWT ataukah untuk yang mampu
melaksanakan perintah yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah? Allah SWT
selaku pemberi perintah tidak memiliki kepentingan apapun dengan hasil yang ada
di balik perintah, namun yang diperintahlah yang sangat membutuhkan hasil yang
ada di balik perintah puasa. Dalam hal ini untuk memperoleh derajat taqwa
(menjadikan jiwa taqwa), kembali fitrah bagi ruh/ruhani dan juga memperoleh
kesehatan jasmani serta hidup selalu bersyukur. (lihat kembali surat Al Baqarah
(2) ayat 184 yang menyatakan, jika
kamu mengetahui)
Ingat,
hasil dari ibadah puasa Ramadhan untuk kebutuhan diri kita sendiri secara
pribadi pribadi (individual). Puasa tidak mengenal istilah berjamaah atau
kelompok sehingga melaksanakan puasa bukan untuk kepentingan orang lain ataupun
untuk kelompok tertentu. Sekarang tunjuk diri sendiri, butuhkah kita dengan
hasil akhir yang terdapat di balik perintah puasa di bulan Ramadhan? Dan jika
kita merasa membutuhkan hasil akhir yang ada di balik perintah puasa Ramadhan
maka tidak ada jalan lain kecuali kita melaksanakan puasa di bulan Ramadhan
yang sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pemberi perintah. Yang sering
menjadi persoalan dalam hal perintah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan
adalah adanya persoalan di dalam memaknai arti dari perintah Allah SWT karena
adanya latar belakang keilmuan yang berbeda beda di antara yang diperintah yang
pada akhirnya berbeda pula tingkat pemahamannya.
Lalu
berdasarkan pemahaman yang dimilikinya maka orang tersebut melaksanakan
puasanya sehingga hasilnya mengikuti kadar dari pemahaman yang dimilikinya. Berikut
ini akan kami kemukakan beberapa pemaknaan yang terdapat di dalam masyarakat
tentang perintah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, yaitu:
1.
Perintah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT kadang-kadang
dimaknai oleh sebagian orang sebatas melaksanakan rukun Islam semata. Jika hal
ini yang kita lakukan saat melaksanakan perintah puasa di bulan Ramadhan maka
sebatas itulah kita memperoleh makna dan hakekat dari perintah melaksanakan
puasa Ramadhan. Lalu apakah hal ini salah? Jawabannya adalah tidak, tetapi
hanya sampai disitulah kemampuan diri kita dan hanya sampai disitulah kita
mampu menikmati hakekat dari puasa di bulan Ramadhan, padahal makna yang hakiki
dari puasa lebih dari itu.
2.
Perintah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT ada yang memaknai sebagai sebuah kewajiban
yang harus dilaksanakan sehingga jika kita telah berpuasa di bulan Ramadhan
berarti kita telah menggugurkan kewajiban puasa tersebut sehingga kita tidak
memiliki hutang lagi serta bisa terhindar dari resiko dari tidak
dilaksanakannya puasa, tanpa melihat makna yang tersembunyi yang ada di balik
perintah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Jika konsep ini yang kita
lakukan maka ibadah puasa yang akan kita laksanakan akan dilakukan secara apa
adanya, atau seadanya saja yang penting kewajiban sudah kita laksanakan, yang
pada akhirnya hanya sebatas itulah kita menikmati ibadah puasa yang kita
laksanakan. Lalu apakah hal ini salah? Jawabannya adalah tidak, tetapi hanya
sampai disitulah kemampuan diri kita dan hanya sampai disitulah kita mampu
menikmati hakekat dari puasa, padahal maksud dan tujuan yang hakiki dari puasa
lebih dari itu semua.
3.
Perintah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT, juga bisa dimaknai sebagai ibadah untuk
mencari nilai atau pahala dari ibadah puasa yang kita laksanakan. Sehingga
nilai atau pahala lah yang menjadi tujuan kita melaksanakan perintah yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT.Jika konsep ini yang kita lakukan saat
melaksanakan ibadah puasa berarti kita melaksanakan kewajiban tersebut sebatas
untuk mendapatkan iming-iming atau hadiah berupa pahala yang pada akhirnya kita
tidak akan menikmati hadirnya Allah SWT di dalam ibadah puasa yang kita
laksanakan. Lalu apakah hal ini salah? Jawabannya adalah tidak, tetapi hanya
sampai disitulah kemampuan diri kita dan hanya sampai disitulah kita mampu
menikmati hakekat dari puasa, padahal makna dan hakekat dari puasa lebih dari
itu semua.
4.
Perintah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT juga bisa dimaknai sekedar untuk
menyenangkan pemberi perintah. Sehingga kita tidak pernah merasakan hakekat
yang terdapat di balik perintah melaksanakan ibadah puasa. Selesai melaksanakan
kewajiban maka selesai sudah kita melaksanakan puasa tanpa memperoleh makna
yang hakiki dari ibadah puasa yang kita laksanakan. Lalu apakah hal ini salah?
Jawabannya adalah tidak, tetapi hanya sampai disitulah kemampuan diri kita dan
hanya sampai disitulah kita mampu menikmati hakekat dari puasa, padahal makna
yang hakiki dari puasa lebih dari itu.
5.
Perintah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT sebaiknya dimaknai sebagai sebuah kebutuhan
yang hakiki bagi diri kita. Jika konsep ini
mampu kita laksanakan berarti kita mampu melihat apa-apa yang ada atau
yang terdapat dibalik perintah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan atau kita
mampu melihat ada sesuatu yang luar biasa yang siap kita rasakan atau yang akan
kita dapatkan dari ibadah puasa yang kita laksanakan, atau kita dapat melihat
adanya ancaman atau resiko akibat perintah puasa jika sampai tidak dilaksanakan
oleh yang telah diperintahkan untuk berpuasa. Jika ini kondisinya maka dapat
dipastikan orang yang melaksanakan ibadah puasa sebagai sebuah kebutuhan maka
ia akan melaksanakan ibadah puasa secara suka rela tanpa keterpaksaan (ikhlas)
bahkan merasa bahagia saat melaksanakannya serta merasakan hasilnya sepanjang
hayat masih di kandung badan untuk kepentingan diri kita sendiri.
Jika kita mampu menempatkan dan meletakkan bahwa
ibadah puasa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT sebagai sebuah kebutuhan
hakiki diri maka secara tidak langsung kita sudah melaksanakan Rukun Islam,
kita juga sudah melaksanakan kewajiban melaksanakan puasa, kita sudah pula
menyenangkan Allah SWT dengan melaksanakan kewajiban, kita sudah pula
mendapatkan nilai dari apa yang kita laksanakan. Akan tetapi jika kita tidak
menjadikan puasa sebagai sebuah kebutuhan, maka hanya sebatas itulah yang kita
dapatkan. Alangkah ruginya diri kita.
Hal yang harus kita jadikan pelajaran adalah jika
kita mampu menempatkan bahwa puasa adalah kebutuhan bagi diri kita sendiri,
baik ruhani dan juga jasmani, berarti kita mampu melihat ke depan bahwa puasa
yang kita laksanakan ini bukanlah tujuan akhir melainkan sarana bagi diri kita
untuk memperoleh, merasakan sesuatu yang
luar biasa yang telah dipersiapkan Allah SWT untuk kepentingan ruhani diri dan
juga untuk jasmani diri. Oh, Alangkah nikmat dan indahnya hidup ini jika ruhani
selalu dalam kefitrahan dan jasmani selalu sehat. Inilah salah satu yang
dikehendaki oleh Allah SWT melalui ibadah puasa di bulan Ramadhan, sekarang
tergantung diri kita sendiri yang menyikapinya. Semoga kita tidak salah dalam
mengambil sikap dan keputusan.
Selain
adanya pemahaman tentang puasa yang telah kami kemukakan di atas, puasa juga
bisa dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1.
Puasa
orang orang awam, yakni berpuasa dengan menghindarkan diri dari makan dan
minum,serta melaksanakan ritual ritual syarat sah puasa lainnya sebagaimana
terurai dalam kitab kitab fikih.
2.
Puasa
orang orang khusus, yakni berpuasa dengan melakukan hal hal pada jenis puasa
yang pertama ditambah dengan memasukkan penghindaran diri dari dosa dosa
sebagai kewajiban pada dirinya, yakni dengan mengendalikan mata, telinga, lidah
dan anggota anggota tubuh lainnya dari dosa dan melanggar batas syariat.
3.
Puasa
orang orang yang paling khusus, yakni berpuasa dengan tidak hanya melaksanakan
yang wajib dan meninggalkan yang haram, seperti yang pertama; dan dilanjutkan
dengan meninggalkan yang makruh secara badani dan hati serta meninggalkan yang
mubah secara hati saja, seperti pada yang kedua, tetapi berpuasa dengan
menghindarkan diri dari segala sesuatu yang menjadikan pikiran dan kesadarannya
abai dari mengingat Allah SWT.
Pembagian jenis puasa yang kami kemukakan di atas,
sangat tergantung kepada kualitas pribadi pribadi yang melaksanakan puasa,
dalam hal ini adanya perbedaan derajat keimanan, derajat ilmu dan pemahaman
sehingga apa yang dilaksanakannya tergantung dengan derajatnya itu yang secara
otomatis menentukan hasil akhirnya.
Allah
SWT selaku pemberi perintah untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan,
mempersilahkan kepada diri kita untuk memilih makna dan hakekat serta jenis
puasa yang telah diperintahkanNya. Ingat, pilihan dari memaknai melaksanakan
perintah yang telah diperintahkan akan memberikan dampak yang berbeda beda
pula. Awas jangan sampai salah memaknai perintah Allah SWT di dalam
melaksanakan kewajiban ibadah puasa yang sudah berlaku di langit dan di bumi
ini sampai dengan hari kiamat kelak. Dan ingat resiko salah pilih menjadi tanggung
jawab kita.
Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bimi yang membutuhkan
puasa jangan pernah melaksanakan puasa karena ingin melaksanakan Rukun Islam,
atau jangan pernah melaksanakan puasa karena ingin menunaikan kewajiban, atau
jangan pernah sekalipun melaksanakan puasa karena ingin memperoleh nilai atau
mengharapkan pahala atau sebatas melaksanakan ritualnya saja. Akan tetapi jadikan
puasa sebagai sebuah kebutuhan yang hakiki bagi diri kita sendiri dengan
menyatakan bahwa ibadah puasa yang kita lakukan bukanlah tujuan akhir akan
tetapi sarana untuk memperoleh hakekat yang tersembunyi dibalik puasa
dikarenakan kita sangat membutuhkan hasil akhir dari puasa untuk kepentingan
diri kita sendiri, seperti taqwa (menjadikan jiwa kita menjadi jiwa taqwa),
kembali fitrah dan juga sehatnya jasmani serta menjadi orang yang bersyukur.
Ingat, Allah
SWT tidak butuh dengan ibadah puasa yang kita lakukan. Akan tetapi kitalah yang
membutuhkan hasil akhir dari ibadah puasa yang kita laksanakan serta jangan
lupa bahwa Allah SWT memerintahkan kita untuk melaksanakan Puasa (atau Allah
SWT memerintahkan untuk melaksanakan Diinul Islam secara kaffah) karena Allah
SWT sangat sayang kepada diri kita yang tidak lain adalah khalifahNya di muka
bumi.
Lalu
apakah kondisi ini akan kita buang begitu saja sehingga kita hanya memperoleh
lapar dan haus serta menahan syahwat semata saat melaksanakan ibadah puasa?
Jangan pernah salahkan Allah SWT jika kita hanya mampu memperoleh ala kadarnya
dari apa yang kita laksanakan akibat kebodohan kita sendiri, akibat kita malas
untuk belajar, akibat kita tidak memiliki ilmu tentang puasa yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar