Ibadah
puasa wajib di bulan Ramadhan bukanlah ibadah yang biasa biasa saja, namun
ibadah yang sangat luar biasa sepanjang diri kita memiliki ilmu dan pemahaman
yang luar biasa pula tentang ibadah puasa. Sebagai ibadah yang sangat luar
biasa yang tidak hanya berdampak langsung kepada kembali fitrahnya manusia,
ibadah ini juga memberikan hasil yang mampu mensukseskan manusia sebagai abd’
(hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi.
Selanjutnya
untuk lebih mempertegas kembali dimensi puasa dan kembali fitrah yang telah
kami kemukakan di atas. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa dimensi lain
dari hasil pelaksanakan ibadah puasa yang berkaitan erat dengan kefitrahan
ruh/ruhani atau jiwa kita yang tidak adalah khalifah Allah SWT di muka bumi,
sebagaimana dikemukakan oleh “Dr Idri Saffat MAg” dalam bukunya “Indahnya Puasa Ramadhan” yaitu:
A. PUASA DAN PENCAPAIAN KEBAHAGIAN HIDUP.
Apa
yang manusia cari dalam kehidupan ini? Orang mencari ilmu, bekerja,
berkeluarga, mengejar jabatan, bermasyarakat, menciptakan keamanan dan
ketertiban, membuat peraturan dan undang undang dan sebagainya karena hendak
mencapai sesuatu. Dengan kata lain, setiap manusia yang sehat secara ruhani dan
jasmani selalu mendambakan kesejahteraan dan kebahagian itu. Barangkali inilah
salah satu maksud dari doa yang diajarkan Allah SWT yang terdapat di dalam
AlQuran surat Al Baqarah (2) ayat 201 berikut ini: “dan di antara mereka ada orang
yang berdoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan
di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka"[127]. (surat Al Baqarah
(2) ayat 201)
[127] Inilah doa yang
sebaik-baiknya bagi seorang Muslim.
Akan
tetapi, pada kenyataannya, tidak sedikit manusia yang mencari kebahagiaan dunia
saja dan berburu kekayaan sebagai tujuan hidup yang paling luhur. “Yang
menjadi dasar kebahagiaan (mereka) adalah harta kekayaan dan berburu kekayaan
adalah tujuan hidup yang paling luhur bagi manusia” (EFE Douwes Dekker). Kesejahteraan
dan kebahagiaan yang dipilih kelompok ini berorientasi pada materi. Materi
menjadi tujuan segala aktifitas dan sekaligus dengan bentuk bentuk ideology
yang mendukungnya. Titik ekstrim dari kecintaan pada materi ini adalah
keserakahan terhadap materi itu dan ini sangat dilarang dalam ajaran Islam.
Bagi kelompok ini, yang menjadi dasar kebahagiaan adalah harta kekayaan dan
berburu kekayaan adalah tujuan hidup yang mulia.
Berbeda
dengan itu, sebagian manusia memilih kebahagiaan ruhani dan ukhrawi. Mereka
memilih hidup dengan kebahagiaan bathiniyah tanpa banyak menghiraukan kehidupan
materiil, yang dalam istilah sufi disebut dengan zuhud.“Bagi mereka, benda (dunia)
bukanlah hal yang paling tinggi, mereka bahkan meremehkan materi. Bagi mereka
keabadianlah yang paling agung, demikian pula tercapainya keabadian tersebut
melalui jalan yang telah ditunjukkan oleh para ulama, yaitu jalan kearah
kebahagiaan. Itulah yang senantiasa menjadi tujuannya”. (EFE Douwes Dekker)
Kelompok
kedua ini biasanya dikenal dengan kaum sufi yang lebih mementingkan kehidupan
akhirat daripada kehidupan duniawi. Mereka mencari kebahagiaan dengan
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Pendekatan diri kepada Allah SWT,
menurut ajaran tasawuf, ditempuh dengan
cara cara berikut: (1) Ikhlas,
yaitu bersih segala amal dan niat; (2) Muqarabah,
yaitu merasa diri selalu diawasi Allah dalam segala gerak geriknya; (3) Muhasabah, yaitu memperhitungkan untung
rugi amalnya dengan selalu menambah amal baik; (4) Tajarrud, yaitu melepaskan segala ikatan apapun yang merintangi
dirinya menuju jalan itu untuk mencapai kerinduan pada Allah; (5) Isyq, yaitu rindu yang tidak terbatas
terhadap Allah dan; (6) Hubb, yaitu
cinta kepada Allah melebihi dirinya sendiri dan segala makhluk yang ada
disekitarnya.
Melalui
cara cara yang kami kemukakan di atas ini, para ahli tasawuf merasakan
kebahagiaan tak terhingga terutama ketika mereka telah bersua denganNya.
Kebahagiaan bukanlah ketika seseorang mendapatkan kenikmatan surgawi di dunia
ataupun di akhirat atau terhindar dari kesengsaraan neraka dunia atau akhirat
kelak. Kebahagiaan yang sesungguhnya adalah apabila seseorang dapat cinta dan
dicintai oleh Sang Khaliq lalu bisa melihat wajah Sang Khaliq kelak.
“Ya’
Ilahi, jika sekiranya aku beribadat kepadaMu karena takut akan siksa neraka,
biarkan aku dengan jahannam. Dan jika aku beribadat kepadaMu karena harap akan
surga, jauhkan dia dariku. Tetapi jika aku beribadah kepadaMu hanya karena
semata mata cinta kepadaMu, maka janganlah ya Ilahi, Kau haramkan daku melihat
keindahanMu yang azali”
(Rabiah
Al Adawiyah)
Dua
kelompok manusia di atas memahami kebahagiaan dalam perspektif yang berbeda.
Kelompok pertama ekstrim pada bidang dunia dan kelompok kedua ekstrim pada
bidang akhirat. Keduanya mempunyai sisi negatif. Allah SWT melalui surat Al
Qashash (28) ayat 77 berikut ini: “dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. (surat Al Qashash (28) ayat 77). Yang menganjurkan
agar manusia mencari kebahagiaan hidup duniawi dan sekaligus kebahagiaan hidup
ukhrawi.
Salah
satu rahasia dari disyariatkannya ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan adalah
untuk memberikan kebahagiaan kepada manusia karena pensyariatan ibadah puasa
memiliki dua makna, yaitu :
a.
Pertama, makna intrinsik atau personal,
sebagai komitmen pribadi yang bertujuan mendidik dan membersihkan jiwa,
mengangkat kekelaman bathin dan menyinarinya dengan sinar ilahiah (ketuhanan),
menumbuhkan potensi dalam ruh serta menyiapkannya untuk menerima kenikmatan
bertuhankan Allah serta menerima pancaran nur kerinduan kepada Allah SWT.
b.
Kedua, makna instrumental atau makna sosial
sebagai sarana pendidikan kea rah nilai nilai luhur. Ringkasnya, ibadah puasa
mempunyai tujuan menciptakan hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya Yang
Maha Tinggi serta mengukuhkan sendi sendi hubungan manusia dengan sesamanya.
Melalui keharmonisan hubungan vertikal dan horizontal itu, manusia akan
mendapatkan kebahagiaan secara ruhani dan jasmani.
Efek
dari puasa wajib di bulan Ramadhan harus mengalir dari level individual kepada
yang lebih sosial/kemasyarakatan. Puasa memberikan dampak meningkatkan kualitas
penghayatan individu terhadap universalitas nilai nilai kemanusiaan. Kedudukan
puasa bukan semata mata cultus privatus
yang berdimensi interior tetapi juga cultus publicus yang berdimensi eksterior.
Puasa bukan hanya ritual, melainkan suatu pelepasan dari kehidupan yang mekanis
ke kebebasan, sehingga orang yang berpuasa akan menjadi manusia yang lebih
terbuka dan secara kritis tanggap
terhadap masalah masalah keadilan, kebenaran, kebajikan dan sebaliknya yang ada
di dalam masyarakat.
Orang
yang berpuasa juga terdidik dan terdorong untuk mewujudkan sebuah idea atau
cita cita yang ideal dan luhur, yaitu terbentuknya masyarakat yang penuh
kedamaian, keadilan dan perkenan Tuhan melalui usaha pemerataan sumber daya
kehidupan untuk seluruh warga masyarakat dan memiliki tanggung jawab moral
sebagai aksioma Ilahiyah yang menyingkirkan keterbelakangan dan kemungkaran.
Ketika
kita berpuasa sebelum penuh namun ternyata itu tidak mempunyai pengaruh ke
dalam jiwa, tidak mengangkat kekelaman bathin, ruhani tidak mampu merasakan
kesan kenikmatan bertuhankan kepada Allah, maka itu menunjukkan bahwa ibadah
puasa kita masih berada pada tingkatan paling rendah dari beberapa level
tingkatan puasa. Lebih parah lagi bila dengan puasa ternyata makin hari makin
bertambah kegelapan dan kekeruhan kalbu dan ketumpulan jiwa serta makin
bertambahnya rindu dan cinta kita kepada materi yang berlebihan, lebih patuh
ahwa serta mudah dipengatuhi oleh bisikan rayuan syaitan. Hal ini terjadi
karena ibadah puasa yang kita lakukan sekedar kulitnya saja tanpa sampai kepada
isi dan hakekatnya. Akhitnya puasa yang seharusnya menjadi inspirator dan
motivator bagi timbulnya beberapa gerakan positif tiba tiba membuat kita malas,
tidak mau berusaha.
Merupakan
sebuah kerugian yang sangat luar biasa bila kita telah berpuasa sebulan penuh
di dengan disertai tadarus, memberikan takjil setiap sore, shalet taraweh tiap
malam, namun ia tidak membawa manfaat apapun, tidak mampu membawa diri kita
naik derajat menjadi muttaqin, tidak menjadikan diri kita fitrah, tidak membawa
diri kita pada cahaya Ilahi, tidak mencegah perbuatan keji dan mungkar, dan
mensucikan ruh/jiwa kita. Padahal adanya perintah puasa yang berulang ulang
atau mengulang ulang ibadah adalah agar kalbu ini bisa bereaksi dan mendapatkan
kesan dariNya sehingga secara bertahap bathin kita membentuk hakekat ibadah itu
sendiri, serta kalbu kita bersatu dengan ruh ibadah.
Urip Kuwi yen: Ngibadah
jenak; Kubur ra sesak; Suwargo mbukak; Rezekine jembar; Uripe berkah, Mangan
enak; Turu kepenak; Tonggo semanak; Keluargo cedhak; Sedulur grapyak; Bondo cemepak; Ono panganan ora cluthak; ketemu konco ngguyu Ngakak. Dengan
kata lain, jika puasa tidak mampu menjadikan diri kita lebih tentram, lebih bahagia,
lebih ayem dan bersemangat dalam hidup berarti sia sialah
perjuangan/pertandingan kita selama bulan Ramadhan. Dan jika di bulan Ramadhan
saja kita sudah kalah, bagaimana dengan sebelas bulan lainnya yang memiliki
aturan main yang berbeda dengan aturan main saat di bulan Ramadhan.
B. PUASA DAN HIKMAH-HIKMAH KEHIDUPAN.
Suatu
ketika Michalangelo, seorang kakek renta berusia lanjut, sebagaimana
diceritakan oleh Muhammad Ibrahim Salim (2007:47), pernah ditanya tentang
rahasia di balik kesehatannya yang prima dan gaya hidupnya yang menikmati
performa enerjik yang luar biasa setelah melewati usia enam puluh tahun. Ia
menjawab: “Aku ini hanya tekun menjaga kesehatan, energi dan vitalistasku pada
usia tiga puluh tahun sampai lima puluh tahun sampai akhirnya aku membiasakan
diri berpuasa dari waktu ke waktu. Dalam setiap tahun aku berpuasa selama
sebulan, dalam setiap bulan aku berpuasa seminggu, dalam seminggu aku berpuasa
sehari, dan dalam sehari aku hanya makan dua kali, tidak tiga kali seperti yang
dilakukan kebanyakan orang. Selama berpuasa, aku hanya mengkonsumsi air.
Terkadang aku juga mengkonsumsi buah buahan dan sesendok teh madu lebah asli
ketika aku merasa tidak lagi sanggup meneruskan aktifitas dan menunaikan
kewajiban sehari hari”.
Benq,
seorang berkebangsaan Hungaria adalah sosok kakek usia lanjut lainnya yang
masih menikmati kesehatan yang prima setelah melewati usia seratus tahun. Ia
membuka rahasinya: “Dahulu aku berpuasa pada waktu waktu tertentu di setiap tahun,
sehingga aku dapat menjauhkan diri dari bahaya penyakit dan kelesuan di masa
tua”.Disamping tercapainya kesehatan jasmani melalui ibadah puasa
sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, puasa juga memberikan hikmah
yang besar baik dilihat dari sisi kemampuan intelegensiam ruhani/jiwa, maupun
sosial. Kemampuan intelegensia dan daya pikir mengalami peningkatan kinerja
selama berpuasa, begitu juga dengan daya ingat. Selain itu, daya spiritual
seperti emosi, cinta, dan intuisi mengalami peningkatan yang signifikan dengan
pengaruh puasa.
Selama
berpuasa, energi energi spiritual mengalami peningkatan dan banyak orang yang
berpuasa memperoleh kebeningan jiwa dan penerangan hati. Puasa juga dapat
meningkatkan kemampuan pengendalian diri melawan semua hawa nafsu dan dorongan
negatif. Oleh karena itu, kebanyakan orang yang mengkonsentrasikan diri pada
ibadah lebih memilih puasa ini sebagai langkah alternatif agar dapat
mengendalikan hawa nafsu dan menguasai gelora emosi mereka.
Ajaran
Islam memang mensyariatkan puasa bagi manusia dengan tujuan untuk melatih
mereka mengontrol hawa nafsu bukan justru untuk tunduk kepadanya, juga bukan
berpuasa menahan diri dari membunuh nafsu, tetapi hanya untuk membedakan antara
manusia dan binatang. Lebih dari itu, puasa disyariatkan untuk membedakan antara
orang sukses (pemenang) dengan orang orang yang gagal (pecundang). Adapun
hikmah yang ada di balik ibadah puasa di bulan Ramadhan, sesungguhnya hanya
diketahui oleh Allah SWT selaku pemberi perintah, yaitu:
1.
Terbentuknya pribadi yang muttaqin, pribadi
pribadi yang mempunyai integritas yang tinggi dihadapan Allah SWT. Allah SWT
berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (surat
Al Baqarah (2) ayat 183). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Syeikh
Muhammad Abduh, seperti dikutip Muhammad Ibrahim Salim menegaskan bahwa “puasa
adalah sebuah proses untuk mempersiapkan jiwa jiwa orang yang berpuasa untuk
bertaqwa kepada Allah SWT.” Hal itu tampak terlihat dari berbagai
aspek: pribadinya yang paling mulia, petunjuknya yang laing otentik,
pengaruhnya yang menonjol, dan yang paling tinggi kedudukannya. Puasa itu
diserahkan sepenuhnya kepada orang yang menjalankan nya. Selama berpuasa ini
tang mengawasi dirinya adalah hanyalah Allah SWT semata. Puasa adalah rahasia
yang terjaga antara seorang hamba dengan Tuhannya. Tidak ada seorangpun juga
yang mengawasinya selain Allah SWT.
Jika
seseorang telah mampu meninggalkan hawa nafsunya dan kelezatan hidupnya yang
selalu ia hadapi sepanjang waktu hanya untuk mengimplementasikan perintah Allah
dan tundak pada petunjuk-Nya selama sebulan penuh dalam waktu setahun dengan
memperhatikan (ketika menghadapi makanan, minuman dan lainnya), bahwa
seandainya tidak ada pengintaian dan pengawasan Allah SWT terhadap dirinya,
agar dirinya tetap bersabar, agar tidak memakan itu semua, padahal dirinya
sangat menginginkan makanan itu, maka pastilah dari yang perhatian yang selalu
mengiringi setiap aktifitas yang berulang ulang ini, dalam diri orang yang
berpuasa terbentuk pengawasan Allah SWT dan rasa malu kepada-Nya kalau ia
melihat-Nya melarangnya. Dalam perasaan selalu diawasi (muqarabah) muncul dari
kesempurnaan iman kepada Allah SWT serta ketenggelaman dalam pengagungan
(ta’zhim) dan penyucian (taqdis) Allah SWT ini terkandung unsur penjaminan
untuk meraih kebahagiaan akhirat, disamping itu, perasaan selalu diawasi juga
mempersiapkan diri untuk memperoleh kebahagiaan dunia.
2.
Orang yang berpuasa akan mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat serta keharuman di mata Allah SWT.
Kebahagiaan yang diterima orang berpuasa tidak hanya ketika ia berbuka setelah
menahan lapar, haus, syahwat seharian tetapi juga nanti di akhirat mana kala ia
bertemu dengan Sang Khaliq, Allah Tuhan Semesta Alam.
3.
Orang yang berpuasa memiliki pintu di syurga
yang tidak akan dimasuki oleh orang yang tidak berpuasa. Ini sebagai bentuk
penghormatan dan sekaligus keistimewaan yang akan diperoleh orang orang yang
puasa di akhirat kelak.
4.
Doa orang yang berpuasa tidak ditolak. Karena
itu, perbanyaklah berdoa saat berpuasa. Mengapa doa orang berpuasa dikabulkan?
Ini tidak lain karena saat berpuasa seseorang dalam keadaan bersih dan suci
secara lahir dan bathin sehingga mudah terhubung dengan Allah SWT.
5.
Allah SWT memberikan ampunan kepada orang
orang yang bepuasa atas dosa yang telah lewat. Pengampunan dosa berarti
peringanan/keringanan beban. Orang yang sedikit dosa, secara psikologis, beban
hidupnya di dunia sedikit pula karena ia tidak merasa bersalah kepada siapapun.
Terlebih ketika di akhirat, orang yang berdosa akan menanggung beban siksa yang
pedih.
6.
Puasa sebagai penawar bagi para pemuda yang
belum mampu menikah. Bagi orang yang belum mempunyai bekal untuk melangsungkan
pernikahan sedang seksualitasnya menutut untuk itu, maka salah satu jalan
keluarnya adalah berpuasa.
Begitu
luar biasanya ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan yang telah diperintahkan
oleh Allah SWT yang kesemuanya untuk kemaslahatan umat manusia. Lalu masihkah
kita ragu- ragu di dalam melaksanakannya! Apakah kita masih malas dan enggan
untuk menjadikan-nya sebagai sebuah kebutuhan diri yang hakiki! Semoga kita
mampu melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT dan memperoleh
taqwa, fitrah, sehat dan selalu bersyukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar