Allah
SWT adalah pencipta dan pemilik dari konsep dwifungsi yang ada di muka bumi.
Allah SWT selaku pencipta dan pemilik tentu tidak bisa sembarangan di dalam
menilai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya yang telah diutusnya ke
muka bumi. Allah SWT tentu tidak akan mencoreng kemahaan yang dimiliki-Nya
dengan bersikap tidak adil kepada abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya.
Dalam kerangka adil dan bersikap “fair play” kepada seluruh manusia maka Allah
SWT telah menetapkan adanya parameter tersendiri untuk menilai atas keberadaan
manusia.
Allah
SWT selaku dzat yang maha adil lagi maha bijaksana tentu saja tidak akan
menilai manusia yang telah diciptakan
dan yang dimiliki-Nya berdasarkan penampilan phisiknya, seperti tinggi badan
seseorang, warna kulit seseorang, berjenggot apa tidak, bercadar apa tidak,
pangkat dan jabatan serta kedudukan seseorang, keturunan seseorang, atau
berdasarkan harta kekayaan yang dimiliki seseorang. Buang jauh jauh konsep
penilaian yang seperti ini karena itu tidak akan pernah terjadi sampai dengan
kapanpun juga.
Nabi
SAW bersabda: “Sekali kali allah tidak menilai bentuk rupamu atau banyaknya hartamu,
dan tidak pula menilai keadaanmu, tetapi yang Dia nilai adalah amal perbuatan
dan niat hatimu.” Allah SWT selaku pencipta dan pemilik konsep
dwifungsi telah memiliki konsep penilaian tersendiri kepada setiap manusia
secara perseorangan yaitu berdasarkan tingkat ketaqwaan seseorang. Semakin baik
tingkat ketaqwaan seseorang maka semakin baik kedudukan seseorang dihadapan Allah
SWT.
Sebaliknya
semakin buruk tingkat ketaqwaan seseorang maka semakin buruk kedudukan
seseorang dihadapan Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT berikut ini: “Kedudukan
mereka itu bertingkat tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang
mereka kerjakan. (surat Ali Imran (3) atar 163).”
Sebagai
orang yang akan dinilai tingkat ketaqwaannya oleh Allah SWT maka kita tidak
bisa menentukan sendiri bahwa kita telah bertaqwa kepada Allah atau menyatakan
diri telah bertaqwa kepada Allah dengan mempergunakan parameter yang kita
tentukan sendiri. Adanya kondisi ini kita tidak tahu berapa tingkat ketaqwaan
kita, hanya Allah SWT sajalah yang tahu berapa sebenarnya tingkat (kualitas)
ketaqwaan yang kita miliki.
Dan
jangan sampai kita merasa atau mengaku-ngaku telah bertaqwa kepada Allah SWT
padahal kenyataannya tidak sesuai dengan konsep yang telah Allah SWT tetapkan,
yaitu Allah SWT sajalah yang berhak menilai ketaqwaan seseorang. Jika ini
keadaannya berarti kita harus segera memiliki ilmu tentang ketaqwaan yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT saat ini juga karena kita sangat
berkepentingan dengan kualitas taqwa tersebut dalam hidup ini.
A. APA ITU TAQWA.
Sebelum kami membahas tentang apa itu taqwa,
ketahuilah bahwa taqwa adanya bukan di dalam kepala (dalam pikiran), bukan pula
adanya di bibir (atau di mulut), melainkan adanya di dalam hati yang kemudiann
terpancar seluruh jaringan tubuh manusia. Nabi Muhammad SAW bersabda: “At
Taqwa ha Huna,” (taqwa itu disini,.…sambil menunjuk dadanya). Ia mengisyaratkan
bahwa letak dari sebuah ketaqwaan adalah di dalam hati. (Hadits Riwayat Muslim)”.
Adanya kondisi ini maka jangan pernah sekali kali kita mengatakan bahwa
kita telah bertaqwa karena taqwa bukanlah amaliah lisan, melainkan amaliah hati
(bathiniyah) yang hanya diketahui oleh Allah SWT semata.
Kata taqwa di dalam Al Qur’an terulang
sebanyak 259 kali dengan makna yang sangat beragam sehingga taqwa memiliki
makna yang sangat luas sehingga tidak bisa bisa didefinisikan dalam satu
definisi semata. Luasnya pengertian dari taqwa mengharuskan diri kita untuk
belajar dari waktu ke waktu dari satu pengertian ke pengertian lainnya. Dimana
masing masing pengertian dari taqwa itu sendiri selalu saling lengkap-melengkapi,
yang menunjukkan betapa dalamnya makna yang terkandung di balik kata taqwa itu.
Berikut ini akan kami kemukakan 10 (sepuluh)
makna dari taqwa (ketaqwaan) itu, yaitu:
1. Secara
etimologi taqwa berasal dari kata waqa, yaqi, wiqayah yang artinya menjaga
diri, menghindari dan menjauhi atau mencegah dari sesuatu yang dibenci dan
dilarang Allah. Secara terminologi taqwa berarti takut kepada Allah berdasarkan
kesadaran dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
serta takut terjerumus dalam perbuatan dosa.
2. Ibnu
Abbas ra, mendefinisikan, taqwa adalah takut berbuat syirik kepada Allah dan
selalu mengerjakan ketaatan kepada-Nya. Ketika Abu Dzar Al Ghifari meminta
nasihat kepada Rasulullah SAW, maka pesan paling pertama dan utama yang beliau
sampaikan kepada sahabatnya itu adalah taqwa. Kata Rasulullah SAW, “Saya
wasiatkan kepadamu, bertaqwalah engkau kepada Allah karena taqwa itu adalah
pokok dari segala perkara”.
3. Taqwa
kepada Allah adalah rasa takut, takzim dan kagum kepada Allah SWT serta
mengakui superioritas Allah SWT. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Baqarah
(2) ayat 40 berikut ini: “Wahai Bani Israil, Ingatlah nikmatKu yang
telah Aku berikan kepadamu. Dan penuhilah janjimu kepadaKu, niscaya Aku penuhi
janjiKu kepadamu, dan takutlah kepadaKu saja.” Alhasil dari pernyataan
ini adalah kita bukanlah apa apa dibandingkan dengan Allah SWT. Taqwa juga
dapat dikatakan sebagai takutnya diri kita akan hukum, ketentuan, aturan yang
berasal dari Allah SWT termasuk di dalamnya takut akan azab yang akan
ditimpakan oleh Allah SWT kepada yang melanggar aturan-Nya.
4. Taqwa
kepada Allah adalah taat dan beribadah yang sesuai dengan kehendak Allah. Hal
ini berdasarkan ketentuan surat Ali Imran (3) ayat 102 berikut ini: “Wahai
orang orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar benar takwa
kepadaNya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. (surat Ali
Imran (3) ayat 102.” Alhasil
dari pernyataan ini adalah ibadah yang kita lakukan bukanlah menjadi sebuah
kewajiban, apalagi sekedar mencari pahala. Ibadah adalah sebuah kebutuhan bagi
diri kita.
5. Taqwa
kepada Allah adalah jalan bagi manusia untuk mendapatkan, merasakan kemenangan,
yaitu memenangkan diri dari pengaruh jiwa fujur yang didukung oleh syaitan. Hal
ini berdasarkan ketentuan surat An Nur (24) ayat 52 berikut ini: Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya
serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang orang
yang mendapatkan kemenangan.”
6. Taqwa
kepada Allah adalah wasiat (perintah) yang ditujukan kepada seluruh umat
manusia tanpa terkecuali. Hal ini berdasarkan ketentuan surat An Nisaa’ (4)
ayat 131 berikut ini: Dan milik Allah lah apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi, dan sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang
yang diberi kitab suci sebelum kamu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada
Allah. Tetapi jika kamu ingkar (ketahuilah), milik Allah lah apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Mahakaya, Mahaterpuji.
7. Taqwa
kepada Allah adalah jalan menggapai keberuntungan atau kemenangan. Hal ini berdasarkan
ketentuan surat Al Maidah (5) ayat 10 berikut ini: “Maka bertakwalah kepada Allah,
hai orang orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung.”
8. Taqwa
kepada Allah adalah bekal menuju hari pembalasan. Hal ini berdasarkan ketentuan
surat Al Baqarah (2) ayat 197 berikut ini: “Berbekallah, dan sesungguhnya
sebaik baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang orang yang
berakal.” .
9. Taqwa
adalah taat dan patuhnya diri kita kepada apa apa yang diperintahkanNya dan
yang telah dilarang oleh Allah SWT sehingga ia mampu menjadi penegak keadilan
serta tidak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya serta selalu menjaga
hubungan baik diantara sesama manusia. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al
Maaidah (5) ayat 8 berikut ini: “Wahai orang orang yang beriman! Jadilah kamu
sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu
kerjakan.” dan juga berdasarkan surat Al Anfal (8) ayat 1 berikut ini:
“Mereka
menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang.
Katakanlah, “Harta rampasan perang itu milik Allah dan Rasul (menurut ketentuan
Allah dan RasulNya),maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di
antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu orang orang
yang beriman.” .
10.Taqwa
adalah memelihara diri dari terputusnya hubungan antara diri kita dengan Allah
SWT dengan selalu patuh dan taat kepada apa yang telah ditetapkan berlaku oleh
Allah SWT. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Yunus (10) ayat 31 berikut ini: Katakanlah
(Muhammad), “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau
siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran, penglihatan, dan siapakah yang
mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang
hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah”.
Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak
bertakwa (kepada-Nya)?. dan juga berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat
14 berikut ini: Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya dan melanggar batas batas hukumNya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka, dia
kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang menghinakan.”
Selain
dari sepuluh hal yang telah kami kemukakan di atas tentang taqwa serta untuk
menambah wawasan dan pemahaman tentang taqwa (ketaqwaan). Berikut ini akan kami
kemukakan beberapa pengertian mendasar dari taqwa (ketaqwaan) yang harus kita
pelajari, yang harus kita pahami dan selanjutnya harus kita laksanakan dan
amalkan dalam hidup dan kehidupan ini jika kita berharap memiliki jiwa taqwa,
dalam hal ini jiwa muthamainnah, yaitu:
1. Taqwa
kepada Allah adalah melindungi dari apa yang merugikan diri dan merusak diri di
akhirat. Semakin diri ini dibatasi, semakin baik diri ini.
2. Taqwa
kepada Allah adalah takut kepada Allah dan menjaga diri dari kedurjanaan,
keburukan, kejahatan, kekejiaan, dan dosa.
3. Taqwa
kepada Allah adalah cahaya di dalam hati, sedangkan dampak dan pengaruhnya akan
nampak jelas di dalam perbuatan anggota tubuh dan hati.
4. Taqwa
kepada Allah adalah cahaya yang Allah tempatkan dalam hati orang orang yang
beriman. Tak ada yang mengetahui kadarnya kecuali Allah dan tak ada yang
mengetahui siapa yang paling bertaqwa, kecuali Allah SWT.
5. Taqwa
kepada Allah adalah sifat teragung yang bersemayam di dalam diri orang beriman,
taat, dan memiliki jiwa ikhsan. Taqwa adalah sifat yang melekat sangat kuat
dalam hati dan nurani mereka.
6. Taqwa
kepada Allah adalah faktor kemenangan, sumber kebaikan dan perbaikan. Orang
yang memiliki sifat ini akan hidup dalam keberuntungan, tak akan pernah
sengsara apalagi menderita.
7. Taqwa
kepada Allah adalah pilar yang menopang orang beriman di dunia, cahaya yang
akan menerangi kuburnya, dan petunjuk yang akan menuntunnya di akhirat menuju
syurga yang penuh kenikmatan.
8. Taqwa
kepada Allah adalah kalimat agung. Tak ada kebaikan bagi kita jika kita tak
pernah mengucapkannya, dan tak ada kebaikan pada diri orang yang mendengarnya
tapi tidak melaksanakannya.
9. Taqwa
kepada Allah adalah kalimat yang tidak asing dikalangan manusia, akan tetapi
yang mampu melaksanakannya sangatlah sedikit.
10. Taqwa
kepada Allah adalah kalimat yang memuliakan Salman Al Farisi, Shuhaib Ar Rumi,
dan Bilal al Habsyi. Akibat enggan menerima kalimat ini, maka Abu Lahab tetap
terbenam dalam kemusyrikan dan menderita dalam siksaan.
11. Taqwa
kepada Allah adalah benteng yang melindungi di kala susah dan tabungan yang
sangat berguna di kala sengsara.
12. Taqwa
kepada Allah bukan sekedar ucapan dan materi pelajaran yang hanya disampaikan
di ruang perkuliahan atau di atas mimbar. Tapi harus diterapkan dalam gerak
nyata, dan dalam akhlak pergaulan seorang muslim sehari hari.
13. Taqwa
kepada Allah adalah lentera yang benderang dan pedang yang berkilauan di kala
krisis mendera. Betapa seringnya takwa mengusir kegundahan, menyingkap awan
gelap, mendatangkan rezeki, dan memudahkan urusan semasa hidup di dunia dan
setelah kematian.
14.Taqwa
kepada Allah senantiasa mendatangkan ketenangan, ketentraman, kekuatan dan
keyakinan. Taqwalah yang membuat jiwa mulia naik menuju langit.
15. Taqwa
kepada Allah adalah pengokoh di saat kaki akan tergelincir dan menyatukan hati
di kala fitnah sedang bertebaran dan taqwa kepada Allah adalah kekayaan
terbesar yang dibawa seorang manusia di dalam relung hatinya dalam meniti kehidupan
dunia.
Berdasarkan uraian yang telah kami kemukakan
di atas tentang taqwa (ketaqwaan) kepada Allah, pada hakikatnya taqwa itu
adalah kandungan Diinul Islam secara keseluruhan, yaitu menjalankan apa yang
telah diperintahkan dan meninggalkan segala larangan,serta takut kepada Allah
di kala tersembunyi atau terang terangan.
TAQWA ADALAH PENGENDALIAN DIRI DAN
PENJAGAAN DIRI DARI APA YANG BERTENTANGAN DENGAN ALLAH SWT.
Ini berarti kehidupan seseorang yang dihiasi
dengan agama, keimanan yang kuat, amal shaleh adalah gambaran dari takwa itu
sendiri. Karena taqwa bisa melindungi seseorang dari perbuatan yang tidak bermanfaat
dan dari hawa nafsu yang hina dan hanya orang orang yang berjiwa muthmainnah
lah yang kualitas ketaqwaannya paling tinggi.
Diinul
Islam sebagai sebuah konsep ilahiah maka ia adalah agama yang haq yang mampu
mengerem laju hawa nafsu dan juga syahwat yang terus merongrong manusia
sepanjang hari. Agama ini juga yang mampu mengendalikan gairah seksual dalam
diri manusia, agar berjalan lurus sesuai dengan yang digariskan Tuhan, penuh
keridhaan, ketaatan, dan kesucian yang pada akhirnya mampu menghadirkan
ketakwaan dalam diri kita.
Lalu
apakah kita sudah melakukan hal-hal yang disukai dan diridhai Allah, dan apakah
sudah pula kita menjauhi apa yang menyebabkan Allah murka? Untuk itu mari kita
perhatikan firman-Nya berikut ini: “Siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik
laki laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan. (surat An Nahl (16) ayat 97).” Ayat ini mengemukakan tentang
hasil dari perbuatan yang disukai dan diridhai oleh Allah SWT, apakah kita sudah
melaksanakannya!
Untuk
dapat melaksanakan apa-apa yang disukai dan diridhai oleh Allah SWT kita tidak
bisa begitu saja kita melakukannya. Semua ini menuntut kepada kita untuk
mencermati lebih dalam, sejenak berhenti dihadapan jiwa kita, dan menelisik di
mana sebenarnya posisi jiwa kita dari pelajaran agung tentang keimanan dan
ketakwaan yang melandasi perbuatan diri kita. Hal ini sebagaimana dikemukakan
dalam firman-Nya berikut ini: Sesungguhnya beruntunglah orang yang
menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (surat
Asy Syams (91) ayat 9 dan 10). Dan juga berdasarkan hadits sebagaimana berikut
ini:
Setiap manusia beraktivitas, karena itu bisa jadi dengan aktivitas tersebut ia
membebaskan dirinya dari api neraka, atau justru akan membahayakan dirinya.
(Hadits Riwayat Muslim).” Disinilah letak betapa pentingnya diri kita
memiliki ilmu dan pemahaman yang baik dan benar tentang keimanan, ketaqwaan
(ketauhidan) sebelum diri kita bertindak dan berbuat.
Sekarang
mari kita perhatikan sebuah kisah tentang sahabat Nabi SAW berikut ini: Umar
bin Al Khaththab ra, bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang taqwa. Ubay
menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, pernahkah Anda meniti jalan yang dipenuhi
duri?” Umar menjawab, “Pernah.” Ubay bertanya lagi, “Apa yang Anda lakukan pada
saat itu?” Umar menjawab, “Aku singsingkan lengan bajuku dan berupaya
semaksimal mungkin?’ Kemudian Ubay berkata, “Begitulah taqwa. Jika seorang Umar
sang Amirul Mukminin, yang telah dijanjikan syurga saja masih bertanya tentang
makna taqwa, dan sangat antusias untuk merealisasikannya, maka mengapa kita
yang jauh berada di bawahnya, justru malah bermalas malasan, enggan, dan pura
pura lupa, atau pura pura sibuk untuk merealisasikan tujuan yang sangat mulia
ini. Ketaqwaan bukanlah hal yang bisa kita
akui begitu saja, bukan pula impian yang tak ada bukti dalam realita.
Taqwa
adalah hakekat yang harus diterapkan, ditampakkan dampak dan pengaruhnya dalam
setiap perbuatan, tentu saja setelah sebelumnya dikokohkan terlebih dahulu di
dalam relung hati yang paling dalam. Taqwa itu adalah sifat yang apabila telah
bersemayam dalam diri seorang hamba, maka akan memberikan celupan (sibghah)
khusus baginya. Untuk kemudian mendorongnya dalam melakukan ketaatan dan
perbuatan baik lainnya, mencegahnya dari keburukan dan maksiat, dan membawanya
untuk menggapai pahala dari sisi Allah.
Lalu sudahkah saat ini kita
semua menerapkan dalam hidup, bahwa taqwa kepada Allah SWT tidaklah hanya saat
di bulan Ramadhan, atau hanya saat di masjid, atau di tempat pengajian dan di
majelis taklim, atau saat melaksanakan ibadah haji dan umroh saja.
Sangat disayangkan tatkala sesorang kembali ke rumahnya masing masing, ke
sawah, ke kantor dan tempat usahanya masing masing, atau ke komunitasnya masing
masing, dia kembali dalam keterlenaan, yang seharusnya tetap menjadi orang yang
bertaqwa kepada Allah SWT. Untuk itu segera tanamkanlah sikap taqwa pada jiwa
kita, pada istri/suami kita, pada anak dan keturunan kita, pada profesi, pada
ucapan dan tindak tanduk kita.
Untuk
itu simaklah firman Allah SWT berikut ini: Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya kami
telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu.
Tetapi pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian
dari tanda tanda kekuasaan Allah, mudah mudahan mereka selalu ingat. (surat Al
A’raf (7) ayat 26).” yang mengarahkan kepada kita semua kepada pakaian
kebesaran yang sepatutnya dipakai oleh setiap manusia, yaitu pakaian takwa.
Semoga
Allah SWT menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang bertaqwa,
senantiasa berbuat kebajikan, dan selalu selalu berbusanakan atau berpakaian
taqwa serta selalu mempersiapkan bekal taqwa sepanjang hayat masih dikandung
badan. Dan yang berarti jiwa kita adalah jiwa yang muthmainnah. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa dan harapan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar