Apabila ruh sudah suci dan
ringan (kembali fitrah) maka hati terasa ringan untuk mentaati Allah. Ahwa (hawa
nafsu) akan berubah dari nafsu yang rendah (jiwa fujur) kepada jiwa taqwa (jiwa
lawwamah lalu menuju jiwa muthmainnah). Di waktu itu kita akan senantiasa
merasa kita adalah hamba Allah, yang ingin hidup sebagai hamba dan rela
menerima apa saja atau tidak resah dan gelisah lagi. Dan adapun indikator dari
hati yang tenang, lapang setelah mampu melaksanakan ibadah bathiniyah,
sebagaimana dikemukakan oleh “Abuya Syeikh
Imam Ashaari Muhammad At Tamimi,”
dalam bukunya “Mengenal Diri Melalui Rasa
Hati,” sebagaimana
berikut ini:
1. Timbulnya
atau tumbuhnya rasa malu kepada Allah karena senantiasa merasa diawasi oleh
Allah SWT.
2. Rasa
takut dan hebat pada Allah karena terasa diri selalu berada di dalam kuasa
Allah, sehingga Allah bisa berbuat apa saja seperti sakit, miskin, mati dan
lain lain.
3. Selalu
merasa berdosa pada Allah, bukan hanya di depan manusia karena ada kesalahan
tersembunyi yang tidak dapat diketahui seperti dosa dosa hati. Sebab itu dia
selalu menangis seorang diri, bukan di depan umum, karena takut dosanya tidak
terampuni.
4. Tidak
menunda-nunda urusan dengan Allah karena hati selalu merasa kedatangan maut itu
bisa terjadi kapan saja.
5. Setiap
kali membuat kesalahan yang kecil hatinya merasa takut dan terhina di depan
Allah, sehingga cepat cepat meminta ampun kepada Allah SWT.
6. Setiap
kali selesai beramal, hati merasa itu adalah karunia Allah, bukan kemampuan
dirinya. Dia tidak merasa bangga karena merasa amalannya tidak sempurna. Karena
itu ia mengharapka belas kasihan dari Allah agar menerima amalannya.
7. Kalau
Allah menentukan satu peristiwa terjadi pada dirinya, hatinya akan ridha dengan
apa yang terjadi tanpa kesal dan keluh kesah, Dia sadar dirinya yang rendah
layak menerima apaun takdir Allah SWT.
8. Setiap
kali melihat pemandangan alam yang indah, hati segera merasakan kebesaran
Allah.
9. Kalau
dia mendapat kekayaan atau nikmat, hatinya segera merasakan bahwa itu adalah
pemberian dari Allah bukan kemampuan sendiri. Karena itu dia merasa takut
kepada Allah, karena menyalahgunakan atau kurang mensyukuri nikmat yang
diperoleh.
10. Kalau
dia menderita kemiskinan atau tidak memperoleh nikmat, hatinya terasa tentram
karena dia merasa bebas dari tanggungjawab untuk menjaga amanah Allah.
11. Kalau
mendapat musibah seperti sakit, hati bisa merasa tenang karena merasakan bahwa
bencana (musibah) adalah kifarah (balasan) dosanya. Dia merasa lebih baik
dihukum di dunia daripada dihukum di akhirat. Penderitaan di dunia adalah
pengampunan dosa di akhirat.
12. Bila
mendapat pujian, hati merasa tidak senang sebab pujian itu tidak layak baginya
dan bisa merusak rasa kehambaannya.
13. Kalau
dihina orang, hatinya merasa kasihan pada orang yang menghinanya dan segera
memaafkan orang itu tanpa diminta. Dia merasa bahwa dosanya telah menyebabkan
dia dihukum seperti itu. Kalau tidak begitu dia tidak akan mendapat pahala dari
penghinaan itu. Sebab itu dia tidak berniat sama sekali untuk membalas
perbuatan orang itu.
14. Dia
selalu berlapang dada berhadapan dengan aneka ragam manusia dan kesusahan yang
manusia timpakan ke atasnya.
15. Dia
tidak bangga dengan nikmat, tidak gelisah dengan musibah, tidak merasa tenang
dengan pujian dan tidak menderita dengan cacian. Hatinya selalu merasa sebagai
hamba yang serba kekurangan dan sangat memerlukan Allah SWT dalm setiap
keadaan.
16. Kalau
dia melihat dan mengetahui orang membuat maksiat, dia bersyukur pada Allah
karena dirinya selamat dari maksiat. Sebab itu dia tidak menghina orang itu
bahwa dia merasa kasihan, ingin menolong dengan memberi nasihat. Bahkan dia
tidak menaruh sangka buruk (jahat) pada orang itu. Dia menganggap kesalahan itu
adalah karena tidak tahu, lupa ataupun tidak sengaja.
17. Ketika
berhadapan dengan orang yang memarahinya, dia tidak ikut marah dan tidak
melawan/berdebat sekalipun dia benar.
18. Bila
berhadapan dengan kepandaian orang lain, dia akan menerima ilmu dan kebenaran
sekalipun dari seorang kanak kanak. Kalau bermuzakarah dia tidak memperlihatkan
bahwa dirinya pandai sehingga dia merasa bangga diri.
19. Kalau
ada orang yang memuji orang lain dihadapan dia tidak tidak sakit hati sebab dia
paham bahwa kuasa hak Allah yang melebihkan dan mengurangkan nikmat pada hamba
hambaNya.
20. Kalau
ada orang lain menyelesaikan kerjanya, dia tidak menggerutu sebab dia merasa
telah dibantu.
21. Kalau
dia digemari oleh banyak orang, dia tidak merasa bangga sebaliknya dia bimbang
kalau hal itu membuat dirinya riya.
22. Dia
tidak makan seorang diri, kalau memberi bantuan pada seseorang, tidak dihadapan
orang lain.
23. Beramal
serta berbuat kebaikan betul betul beribadah karena Allah semata bukan lagi
karena syurga ataupun neraka.
Alangkah nikmatnya hidup ini
jika saja semua orang mampu memiliki jiwa muthmainnah, yang tercermin dari hati
yang tenang nan lapang lagi tenteram yang ditunjukkan mampu berbuat seperti apa
apa yang kami kemukakan di atas ini.
Semoga hal ini terjadi pada
diri kita, pada keluarga kita, pada anak dan keturunan kita, pada masyarakat
kita, pada bangsa dan negara kita.
J. MAMPU
MENIKMATI DAN MERASAKAN INDAHNYA KESULITAN HIDUP.
Orang yang memiliki jiwa Muthamainnah adalah
orang yang mampu merasakan dan menikmati indahnya kesulitan hidup yang
dihadapinya. Karena ia paham dengan rumus kehidupan di bawah ini:
1. Seandainya hidup kita selalu indah, mungkin
kita tidak akan mengenal akan gigihnya bangkit dari kegagalan;
2. Seandainya hidupmu selalu berjalan mulus,
mungkin kita tidak akan menikmati nikmatnya sabar;
3. Seandainya kita tidak pernah kecewa, mungkin
kita tidak akan mengenal apa yang namanya ikhlas;
4. Seandainya semua keinginan kita langsung
terwujud, mungkin kita tidak akan bisa merasakan indahnya berdoa.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
berikut ini: “Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat bagi bagi dirimu sendiri
dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiril. (surat
Al Israa’ (17) ayat 7)”. Setiap musibah yang menimpa kita, meski ia
terasa begitu membuat kita bersedih namun kenyataannya ia adalah guru yang baik
bagi kehidupan kita. Karena setiap musibah yang menimpa kita dapat mengingatkan
agar tidak menimpa kita kembali. Terkadang begitu banyak musibah dan kesusahan
menimpa seseorang.
Bahkan musibah dan kesusahan itu datang
dengan silih berganti. Saat satu musibah belum juga pergi telah datang lagi
musibah yang baru. Namun ketahuilah bahwa dalam keadaan seperti ini salah satu
hal yang harus dilakukan adalah berlindung kepada Allah SWT, berdoa kepada-Nya
dan melakukan penyucian diri dengan apa yang selama ini dilakukan.
Sungguh dengan bersabar seseorang telah
mendapati keadaan yang begitu luar biasa. Bahkan terkadang seorang yang
bersabar dibuat terheran-heran dengan keistimewaan yang sangat luar biasa yang
dialaminya, yang menunjukkan bahwa Allah SWT sayang kepada diri kita.
K.
MAMPU
MENIKMATI PERBEDAAN ITU ADALAH INDAH.
Orang yang memiliki
jiwa Muthmainnah adalah orang yang mampu menikmati perbedaan itu adalah indah,
sehingga ia mampu hidup berdampingan dengan baik di tengah adanya perbedaan
agama, warna kulit, perbedaan mahzab dan lain lain tanpa ada rasa kebencian. Berdasarkan surat Yunus (10) ayat 99 berikut
ini: “Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka
menjadi orang orang yang beriman semuanya?”. Allah SWT justru sengaja
dan Allah SWT tahu bahwa perbedaan membuat dunia ini penuh dengan warna (tidak
monoton).
Akhirnya perbedaan
mampu menjadikan dunia dan seisinya penuh dengan keseimbangan, keserasian dan
keselarasan. Inilah prinsip dasar dari heterogen. Allah SWT tidak menciptakan
sesuatu dengan prinsip homogen, sebab Allah SWT menciptakan sesuatu secara
berpasang pasangan (berbeda dalam keserasian). Untuk itu Allah SWT sudah
merencanakan adanya syurga dan adanya neraka, yang berarti Allah SWT sudah
mempersiapkan keduanya dalam kondisi heterogen (yaitu adanya perbedaan).
Adanya syurga dan
adanya neraka menunjukkan akan adanya calon calon penghuni syurga dan calon
calon penghuni neraka yang berarti ada hak hidup ke duanya di muka bumi ini dan
inipun menunjukkan adanya heterogenitas. Katakan, kita sedang berusaha keras
untuk konsisten menjadi calon calon penghuni syurga dan jika ini sikap kita
maka kita tidak bisa memaksakan kehendak kita agar semua orang mengikuti kita,
atau kita mengganggap orang orang yang tidak sepemahaman dengan diri kita lalu
kita musuhi atau kita jauhi, atau bahkan kita aniaya. Hal ini tidak dibenarkan
oleh Allah SWT.
Pilihan menempuh dan
menjadi calon calon penghuni syurga atau calon calon penghuni neraka adalah
pilihan masing masing orang, yang tidak boleh kita campuri. Kita hanya bisa
menghimbau, hanya bisa mengingatkan selanjutnya biarkan mereka melaksanakan apa
apa yang menjadi pilihannya.
Adanya perbedaan perbedaan warna kulit, suku,
agama, bahasa, sosial budaya, profesi, pangkat, jabatan, kekayaan yang ada di
dunia ini, bukanlah sesuatu yang menghalangi kita untuk berbuat kebaikan kepada
sesama, apalagi menjadikan diri kita saling bermusuh musuhan. Adanya perbedaan
seharusnya menjadi hikmah yang indah dalam kehidupan ini. Apalagi Allah SWT
selaku pemilik dan pencipta dari keberagaman ini tidak pernah menjadikan
keberagaman sebagai dasar di dalam menilai kekhalifahan yang ada di muka bumi
ini. Allah SWT telah memiliki parameter tersendiri di dalam menilai, yaitu
melalui parameter ketaqwaan.
Sebagai orang yang berjiwa muthmainnah, tentu
kita tidak akan pernah merusak tatanan keberagaman ini dengan mengatasnamakan
suku tertentu, agama tertentu, warna kulit tertentu, keturunan tertentu,
golongan tertentu, profesi tertentu, bahasa tertentu, dengan mengatakan kamilah
yang terbaik, yang lain tidak ada apa apanya dibandingkan mereka. Padahal Allah
SWT tidak pernah melihat bentuk penampilan phisik seseorang, melainkan taqwa
yang menjadi ukurannya.
Untuk itu jadikan perbedaan yang ada sebagai
anugerah dalam kehidupan ini karena masing masing yang berbeda memiliki
karakteristik tersendiri yang saling melengkapi dan membuat sesuatu menjadi
enak, indah dan nyaman. Untuk itu mari kita belajar kepada masakan yang kita
masak dengan membayangkan jika masakan yang kita buat tidak ada garamnya atau
kurang garam. Lalu apa yang terjadi?
Rasa dari masakan menjadi hambar dan kurang enak. Padahal di dalam
masakan itu sudah ada berbagai macam macam bumbu, tetapi karena kurang garam,
rusaklah rasa masakan tadi.
Kehidupan yang bersifat heterogen ini jangan
sampai dirubah menjadi homogen karena ego sektoral dan memperturutkan ahwa
(hawa nafsu). Ingat, konsep kehidupan yang kita jalani saat ini laksana makanan
yang terdiri dari berbagai macam bumbu bumbu, yang masing masing bumbu membawa
nilai nilai yang terkandung di dalamnya.
Semakin pandai kita meramu berbagai macam
bumbu dalam ukuran tertentu maka lahirlah makanan yang lezat. Hal yang samapun
berlaku dalam kehidupan ini, yaitu jika kita adalah orang yang berjiwa muthmainnah
maka ia sangat pandai meramu nilai nilai perbedaan yang ada di dalam masyarakat
untuk kemaslahatan umat, bukan untuk kehancuran umat. Alangkah indahnya
kehidupan yang telah dipersiapkan Allah SWT untuk kita semua, sepanjang kita
tahu dan mengerti cara mengolahnya.
L.
MEMILIKI
PRINSIP HIDUP SEKALI, HARUS BERARTI, LALU MATI.
Orang yang memiliki
jiwa Muthamainnah adalah orang yang mampu menyadari dengan sepenuh hatinya
bahwa hidupnya hanya sekali, harus berarti lalu mati sehingga ia mampu
meninggalkan kenangan kebaikan yang baik bagi generasi yang datang di kemudian
hari, melalui anak dan keturunan yang shaleh dan shalehah baik langsung ataupun
tidak langsung, melalui pepohonan yang ditanamnya, dan melalui karya karya
nyata baik yang nampak maupun yang tidak nampak seperti memberikan beasiswa,
menyalurkan air, membangun masjid, melalui mushaf yang diwakafkan, memberikan
modal usaha kepada usaha kecil dan lain sebagainya.
Allah SWT berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (surat Ar Ruum (30) ayat
41)”. Orang yang berjiwa Muthmainnah mampu hidup selaras dengan
lingkungan, karena ia tahu dan paham bahwa hewan, tumbuhan, tanah, air, dan
udara adalah bagian dari hidup manusia, tanpa mereka kita tidak bisa hidup.
Mereka adalah karunia Allah dan manusia berkewajiban berterima kasih kepada
alam dengan cara merawat dan melestarikannya.
Orang yang berjiwa
muthmainnah tidak akan mudah terperdaya oleh harta benda, kedudukan dan
besarnya keluarga seseorang. Janganlah pula engkau tergiur olehnya, karena
Allah SWT tidaklah memandang manusia dari segi harta benda dan kekuatannya.
Melainkan Allah SWT melihat hati manusia.
Banyak orang fakir
yang mana hatinya penuh kaya dengan anugerah dari Allah SWT. Sehingga jamuan
makannya jauh lebih kaya dari seorang yang paling kaya sekalipun. Janganlah
pula engkau lupa tentang orang yang berbuat kedzaliman bahwa takdir di ubun
ubunnya adalah berada dalam genggaman Allah SWT. Allah SWT tidak akan berbuat
dzalim kepada siapapun, dan Allah SWT juga tidak menyukai orang yang berbuat
kedzaliman.
M. MAMPU
MENITI JALAN IKHLAS YANG DILANDASI NIAT YANG SUCI.
Orang yang memiliki jiwa muthmainnah
adalah orang yang mampu meniti jalan ikhlas dalam hidup dan kehidupannya, yakni
mampu meniti jalan bukan karena siapa siapa melainkan hanya karena Allah SWT
semata. Ikhlas
tidak akan terealisasi dalam amal, kecuali didukung oleh dua unsur pokok:
1. Menghadirkan
niat di dalam beramal tersebut, karena setiap amal itu tergantung niatnya.
Orang yang mengerjakan suatu amal tanpa disertai niat, yang baik atau buruk, ia
tidak akan masuk golongan orang yang ikhlas;
2. Memurnikan
niat dari semua motif yang bersifat pribadi atau duniawi, sehingga menjadi
benar benar ikhlas karena Allah ta’ala.
Agar diri kita mampu mempertahankan
keikhlasan yang sudah didukung oleh niat yang suci serta mampu bertambah
kualitasnya dari waktu ke waktu, berikut ini akan mengajak pembaca buku ini
untuk merenungi pernyataan dari “Albert
Einstein”, berikut ini: “Dari bahan yang sama dan dengan cara yang
sama, kita bisa menghasilkan sesuatu yang berbeda”. Pernyataan dari “Albert Einstein” ini bukanlah sebuah isapan jempol, akan tetapi
sebuah kenyataan yang tidak bisa kita bisa sembunyikan. Adanya rumus ini akan
menghasilkan adanya perbedaan perbedaan yang paling mendasar antar satu orang
dengan orang lainnya sehingga terlihatlah kualitas manusia.
Adapun yang membuat hasil akhir dari sesuatu
pekerjaan, atau suatu ibadah, atau pelaksanaan perintah dan larangan Allah SWT
bukan semata mata karena “bahan yang sama dan dengan cara yang sama” melainkan
ada faktor lain yang tidak kentara yang mengakibatkan hasil akhirnya berbeda.
Adapun faktor faktor yang memegang peranan sangat penting itu adalah:
1. Keikhlasan
seseorang di dalam melaksanakan pekerjaan, atau ibadah tertentu.
2. Niat
yang melatarbelakangi seseorang untuk berbuat sesuatu, melaksanakan sesuatu
atau melaksanakan ibadah tertentu.
3. Ilmu
dan pemahaman yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi kemampuan seseorang
terhadap sesuatu hal, katakan ibadah, sehingga setiap orang akan melakukan ibadah
sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya. Semakin baik pemahamannya semakin
baik ibadahnya, demikian pula sebaliknya.
4. Pengamalan
seseorang terhadap pemahaman yang dimilikinya menjadikan seseorang memiliki
pengalaman dan juga peningkatan penghayatan seseorang terhadap apa yang mereka
kerjakan atau ibadah yang mereka laksanakan.
5. Daya
juang seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan atau suatu ibadah. Atau
kesungguhan di dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau suatu ibadah akan
menjadi pembeda kualitas antar satu orang dengan orang lainnya yang pada
akhirnya akan menghasilkan hasil akhir yang berbeda.
6. Seni
(art) di dalam melakukan suatu pekerjaan atau suatu ibadah juga akan sangat
mempengaruhi hasil akhir dari suatu pekerjaan dikarenakan masing masing orang
memiliki latar belakang kemampuan yang berbeda beda.
Enam hal yang kami kemukakan di atas, merupakan
persoalan yang paling hakiki yang dihadapi oleh setiap orang karena dari
sinilah asal muasal kenapa hasil dari suatu pekerjaan, atau suatu ibadah tidak
menghasilkan sesuatu yang sama atau tidak sesuai dengan yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT.
Hal yang harus kita pahami dengan baik dan
benar adalah setiap perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT pasti
untuk kemaslahatan diri kita. Namun berapa banyak orang yang telah melaksanakan
perintah namun hasilnya diluar kehendak Allah SWT. Padahal kita telah tahu
bahwa perintah Allah SWT nya tidak
pernah salah, namun kitalah yang salah di dalam melaksanakan perintah Allah SWT
dimaksud. Dan yang paling hakiki adalah yang harus kita perbaiki terlebih
dahulu adalah enam hal diatas barulah kita bisa sesuai dengan kehendak Allah
SWT
Bagi orang orang yang telah mampu menjadikan
jiwanya jiwa muthmainnah, ke enam hal di atas bukanlah sesuatu yang menjadi
persoalan baginya karena ia telah mampu melewati masa masa itu dalam hidupnya.
Keikhlasan dalam beribadah yang ditunjang dengan niat yang suci sudah santapan
sehari hari mereka sehingga sudah menancap dalam hati nurani mereka. Mereka
sadar betul bahwa niat yang suci itu adalah amalan hati, bukanlah amalan lisan.
Orang yang berjiwa muthmaninnah mampu menghadirkan
niat yang suci yang dibarengi dengan mengosongkannya dari berbagai ambisi dan
keinginan yang bersifat pribadi dan duniawi. Kita harus mengikhlaskan niat
semata mata untuk Allah SWT dalam semua amal akhirat sehingga memperoleh
penerimaan di sisi Allah.Hal ini karena setiap amal shaleh mempunyai dua rukun,
Amal tersebut tidak akan diterima di sisi Allah, kecuali dengan memenuhi kedua
rukun tersebut. Pertama, ikhlas dan memperbaiki niat. Kedua, sesuai sunnah dan
cara cara yang diajarkan syariat.
Amal yang ikhlas tetapi tidak benar, maka ia
tidak akan diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak
diterima, sampai ia menjadi amal yang ikhlas dan benar. Ikhlas itu artinya
semata mata untuk Allah, dan benar artinya sesuai dengan sunnah.Perkataan tidak
berguna, kecuali dengan perbuatan. Perkataan dan perbuatan tidak berguna,
kecuali dengan niat. Perkataan, perbuatan, dan niat tidak berguna, kecuali yang
sesuai dengan sunnah/syariat yang berlaku. Amal tidak menjadi baik, kecuali
dengan tiga perkara; (1) Taqwa kepada Allah; (2) Niat yang baik;
(3) Benar, yakni dikerjakan dengan cara yang benar menurut syariat. Amal
amal itu ibarat patung patung yang berdiri tegak, sedangkan ruhnya adalah
keberadaan rahasia ikhlas di dalamnya. Jika demikian, tanpa ikhlas, amal tidak
akan diterima betapapun pada lahirnya ia tampak baik dan shaleh. Contohnya
pembangunan masjid dengan tujuan yang salah dan berjihad demi keuntungan
duniawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar