C. PUASA DAN DAYA NALAR YANG TINGGI.
Ibadah
puasa pada dasarnya adalah penapis dan penyaring, yang selanjutnya menentukan
kadar ketaqwaan seseorang. Puasa dapat membentuk watak yang kukuh tegar dalam
segala keadaan dan waktu, tidak mudah terpedaya oleh terpaan dan godaan,
lantaran menghujam di relung hati iman
yang mapan. Bahkan yang lebih hebat lagi, membersihkan ruhani dan nalar pikir
dari segala macam kesulitan serta mampu mengangkat derajat kemanusian.
Manusia
hidup bergantung dari udara, makanan, tanah dan alam jagad raya sekitarnya.
Faktor tersebut memberikan pengaruh kuat bagi hidup dan kehidupannya menuju
obyek yang material. Hal ini bisa diraih dengan ilmu pengetahuan. Sedang ilmu
itu sendiri tidak bisa diraih/dimiliki tanpa melalui adanya kecerdasan otak dan
kecakapan nalar pikir. Fungsi otak sebagai pusat syaraf, merupakan jaringan sel
sel yang sangat halus, rumit dan kompleks. Setiap kemajuan yang diperoleh
adalah melalui penalaran akal sehat serta penelaahan pikiran yang kritis.
Sebagai khalifah di muka bumi, kita perlu mencermati dan meneliti gerak dan
daya pikir otaknya, agar setiap langkah dan tindakannya dituntun oleh pikiran
yang sehat dan jernih.
Lantaran
otak menjadi pusat urat syaraf yang tersusun dari kumpulan ‘sel sel’ yang
berbilliun jumlahnya. Fungsi syaraf
menjadi perantara yang menerima kesan pesan perangsang yang datang dari luar
tubuh, langsung disampaikan kepada otak. Ilmu psikologi dan anatomi menyebutkan
bahwa otak besar itulah yang mengatur dan mengendalikan langkah dan perbuatan
manusia. Sebab setiap sesuatu yang terjadi di luar tubuh, mustahil dapat
diketahui dan disadari sebelum peristiwa itu disampaikan oleh urat syaraf
kepada otak besar.
Banyak
pakar mengemukakan, puasa dapat mengobati berbagai penyakit seperti diabetes,
maag, gangguan usus, gangguan pencernaan, sakit jantung, kegemukan, paru paru,
lemah badan, atau tekanan darah tinggi. Tapi banyak pula orang beranggapan
bahwa puasa penyebab menurunnya prestasi kerja, berkurangnya konsentrasi dan
melemahnya tenaga. Padahal kita meyakini, justru berpuasa salah satu cara
menuju sehat sebagaimana dikemu-kakan oleh WHO Expert Committee yang
mengartikan sehat ialah suatu kondisi dimana terdapat keseimbangan yang optimal
baik fisik, psikis maupun sosial.
Jadi
sehat itu tidak hanya sekedar bebas dari penyakit lahiriyah, kelemahan dan
cacat. Tetapi sehat adalah keseimbangan dan keserasian jasmani dan ruhani,
duniawi dan ukhrowi antara fisik dan psikis. Keseimbangan merupakan prinsip
dasar dari ajaran Islam. Agama Islam adalah agama yang sederhana, mudah,
ilmiah, kompleks dan universal. Ia memberikan tuntunan kepada umatnya untuk
hidup sederhana tapi bersahaja, sebagaimana dikemukakan dalam surat Al A’raaf
(7) ayat 31 berikut ini: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang
indah di Setiap (memasuki) mesjid[534], Makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.”
[534] Maksudnya: tiap-tiap
akan mengerjakan sembahyang atau thawaf keliling ka'bah atau ibadat-ibadat yang
lain.
[535] Maksudnya: janganlah
melampaui batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui
batas-batas makanan yang dihalalkan.
Dikemukakan
bahwa prinsip keseimbangan termaktub di dalamnya. Jika sampai manusia kelewat
tebal jasadnya/gemuk/berat badannya berlebih atau hanya mementingkan jasmani
semata, maka kekuatan ruh/ruhaninya akan melemah atau sifat sifat jasmaniahnya
mampu mengalahkan sifat ruhaniahnya sehingga menjadikan jiwanya jiwa fujur.
“Makanlah
ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang”. “Kejarlah duniamu, seolah kau
hidup terus dan kejarlah akhiratmu seolah olah kau akan mati esok hari”. Prinsip
keseimbangan hanya dapat dilakukan dengan latihan dan kebiasaan sehari hari.
Dan kiranya puasa di bulan Ramadhan adalah saat yang tepat untuk pemusatan
latihan agar jiwa mempunyai disiplin yang kuat, mental yang terbina secara
mapan dan ruh/ruhani yang selalu terjaga kefitrahannya.
Sewaktu
perut kita kenyang, banyak darah tersalur untuk melakukan proses pencernaan makanan
dan selagi berpuasa, ketika perut kosong, volume darah ke bagian pencernaan
dapat dikurangi (berkurang) dan dapat dipakai untuk keperluan lain, terutama
untuk melayani kebutuhan otak. Zat zat makanan yang telah tersaring bersih lalu
oleh jantung disebarluaskan ke seluruh tubuh dan di saat itulah seluruh sel sel
dalam tubuh menerima asupan makanan. Itulah sebabnya, meski manusia memerlukan
makanan harus disesuaikan dengan kemampuan tubuhnya, gizi yang memadai,
sehingga kerja sel tersebut berjalan lancar, demikian pula dengan kemampuan
otak menjadi selaras serasi seimbang.
Namun,
apabila perut manusia selalu dipenuhi makanan berlebih, maka sel sel tadi tidak
akan kebanjiran zat makanan, yang berakibat urat syaraf menjadi lembab, kerja
otak terhambat dan mundur. Sebaliknya kalau kita memberikan waktu sesaat bagi
perut dan lambung untuk membersihkan bermacam macam kotoran yang setahun penuh
bermukim di dalamnya, maka kerja otak kita bertambah giat dan cepat sehingga
menimbulkan daya yang sanggup memecahkan berbagai persoalan tanpa rasa letih.
Cara berfikir yang energik ini akan menghasilkan buah berbagai disiplin ilmu
pengetahuan. Dengan berpuasa kita juga dapat mengurangi atau bahkan dapat
menghilangkan kemungkinan masuknya kuman kuman ke dalam lambung.
Para
ahli di bidang kesehatan juga mengakui bahwa perut adalah sumber asal muasal
dari timbulnya penyakit. “Perut adalah sumber penyakit dan
pemeliharaannya merupakan obat yang paling utama”.Orang yang terlalu
kenyang, mudah diserang rasa kantuk, malas, letih dan konsentrasi, kemampuan
pikir menjadi kurang. Karena itu Rasullah SAW memberikan peringatan kepada
umatnya, “Ilmu dan akal tidak akan mungkin ada bersama lambung yang penuh dengan
makanan “. Nabi Muhammad SAW juga bersabda: “Perut semisal kolam air dalam
badan manusia dan pembuluh pergi kesana untuk diisi. Kalau perut itu sehat maka
kesehatan yang dibawa kembali oleh pembuluh pembuluh itu. Tapi sebaliknya kalau
perut itu sakit, penyakitlah yang dibawanya”.
Otak
adalah salah satu titik sentral di dalam organ tubuh manusia yang dipergunakan untuk
berfikir, belajar, dan bekerja. Ini berarti bahwa selama lambung kosong, atau sewaktu
lambung berhenti beraktifitas sejenak dari kerja keras selama setahun, cara
berfikir kita lebih cemerlang. Untuk itu jadikan puasa yang kita laksanakan
sebagai puasa yang lengkap, untuk fisik, untuk psikis dan untuk kejiwaan.
Melatih ketenangan bathin, menumbuhkan akal pikiran yang sehat, mengendurkan
ketegangan, stress, mensirnakan iri, dengki, hasut dan perbuatan tercela
lainnya.
D. PUASA MAMPU MERUBAH NALAR PIKIR KE ALAM
ILAHIAH.
Bukan
suatu yang kebetulan jika banyak karya karya yang bermutu tinggi justru lahir
pada saat bulan Ramadhan. Hal ini dikarenakan dengan berpuasa, sebenarnya tidak
akan melemahkan fisik seseorang atau menyebabkan kekurangan gizi, sebab tubuh
manusia adalah hasil cipta dan rekayasa langsung dari Allah SWT yang tentunya
berteknologi tinggi yang tidak tertandingi. Tubuh manusia mampu bertahan
beberapa hari tanpa makan dan minum, sebab hidrat arang, lemak atau protein
merupakan persedian yang bisa bertahan cukup lama. Hasil dari ini semua adalah
puasa itu menghidupkan pikiran dan penglihatan mata bathin/hati ruhani. Ingat,“Apabila
perutmu penuh sesak dengan makanan, tidurlah pikiranmu, luluhlah hikmah dan
berhentilah anggotamu dari beribadah kepada Allah SWT dan hilanglah kebersihan
hati, dan sebenarnya kehalusan pengertian yang dengan kedunyalah diperoleh
kelezatan dan berkasnya dzikir pada jiwa”.
Memang
sesuatu yang dihasilkan kecerdasan otak, secara empirik belumlah dikatakan yang
benar atau murni, sebelum dilengkapi keberhasilan hati ruhani yang tercermin
dalam budi pekerti. Kecakapan otak hanya sebatas obyek yang nyata, yang bisa
diraba dan disaksikan oleh pancaindera lahir yang riil, logis dan positif.
Hasil penalaran pancaindera lahiriyah semata mata akan menimbulkan bermacam
macam aliran serba benda, seperti
rasionalisme, pragamatisme, materialisme dan sebagainya. Bahkan masih
juga berlanjut, penyelidikannya mengenai keEsaan Tuhan hanya berdasarkan pada
olah pikir lahiriyah semata, lalu menumbuhkan kepercayaan adanya Tuhan yang
berbentuk, berupa, berukuran atau berwujud. Bahkan jika pengamatannya itu
diteruskan tiada menemukan Tuhan, niscaya ia akan mengatakan Tuhan itu tidak
ada (Atheis).
Sementara
itu, jika beranggapan hasil pemikiran yang didasarkan hanya pada akal saja,
logika dan bukti, pastilah tidak akan bebas dari pengaruh nafsu. Dr Fritz Khant
dalam bukunya:’der Mensh Gezund und Krank’ mengemukakan bahwa pangkal otak itu
pusatnya nafsu, sedangkan fungsi nafsu umumnya saling bergetar dengan
iblis/syaitan yang menjelmakan tindakan jahat dan buruk. Jadi, manakala cara
berfikir cuma didasarkan atas kecakapan
tubuh lahiriyah tanpa memperoleh daya dukung dari hati ruhani yang fitrah, maka
akan mewujudkan hasil yang salah/menyimpang.
Hal
ini disebabkan hakekatnya ia akan mengingkari peristiwa yang tidak dapat
ditimbang, diukur, yang tidak mampu disaksikan oleh pancaindera, meski bukti
buktinya selalu berkembang dan nyata. Dan kalau dikaji lebih dalam lagi,
pastilah gerakan pikirannya bertumpu pada pengaruh keinginan mementingkan diri
sendiri, angkara murka, serakah, bahkan nafsu kanibalisme dan semacamnya.
Akibatnya ia tidak bakal memiliki cita cita untuk berkiprah membagun bagi
kesejahteraan umat, tapi kiat hidupnya hanya untuk kepentingan sendiri, mencari
keuntungan sebanyak mungkin bagi kemewahan hidup. Umat atau bangsa yang
demikian akan mudah sekali diperalat atau diperbudak bangsa lain yang memiliki
kecerdasan olah pikir yang lebih memadai. Sisi lain yang unggul tentu mereka
mampu menggunakan akalnya yang ditopang kebersihan ruhaninya atau budi
pekertinya. Budi bermakna kecakapan ruhaniyah dan pekerti adalah hasil
kecerdasan otak.
Tapak
tapak perjalanan latihan spiritual dengan semangat jihad hanya untuk keridhaan
Allah SWT yang akan menghasilkan kecerdasan otak, dan kecakapan nalar pikir,
membuahkan wujud kebenaran hakiki, lantaran kebersihan ruh/ruhaninya yang
dipanjatkan ke alam ilahiah. Setiap sesuatu yang dibenarkan oleh akal belum
tentu dibenarkan oleh “Rabb’ dan setiap yang disalahkan oleh akal belum tentu
pula salah dalam pandangan “Al Khaliq” karena itu pula titik tumpu kita, segala
kejadian fenomena alam pastilah dikendalikan oleh sunnatullah, yang termaktub
dalam surat Al Jaatsiyah (45) ayat 13 berikut ini: “dan Dia telah menundukkan
untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat)
daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (surat Al Jaatsiyah (45)
ayat 13)
Berdasarkan
ayat ini, seluruh jagad raya dan isinya ditundukkan oleh Al Khaliq bagi umat
manusia dengan sains yang diterapkan, dengan teknologi, yang akan diberikan
kepada mereka yang mau melibatkan akalnya dan menggunakan nalar pikirannya.
Oleh karena itu Latihan spiritual yang maha akbar di bulan Ramadhan, merupakan
cara terbaik mengutamakan kemapanan ibadah, berlomba dalam kebajikan dan
berjuang melawan ahwa. Akan terasa mumpuni, mengangkat harkat dan martabat
secara dua sisi yaitu akal dan budi serta menjernihkan jiwa ruhani.
Selain
daripada itu, dengan berpuasa dapat menentukan kelebihan derajat manusia
dibandingkan dengan hewan terutama otak dan budi pekertinya. Akan tetapi ada
juga manusia yang bersifat seperti hewan yang tujuannya hanya makan dan
memuaskan hawa nafsunya belaka dan jika ini terjadi maka tidak mungkin mereka
akan mencapai kemajuan mental spiritual, ketaqwaan dan jiwa yang fitrah.
Lihatlah
sejarah bangsa bangsa, sebagaimana bangsa Babilonia, Mecedonia dan bangsa lain
yang mampu meraup kemajuan lantaran mereka banyak mengurangi makan dan minum,
meski dengan gizi yang seimbang. Mahatma Gandhi dengan puasanya menjadi senjata
ampuh untuk mengusir penjajah. Kemajuan suatu bangsa yang hanya didasarkan atas
ilmu pengetahuan dan teknologi semata, tetapi menyangkal bahwa pendidikan
ruh/ruhani atau budi pekerti adalah mampu menjurus kea rah kebenaran hakiki dan
kejujuran, maka rasa cinta terhadap sesama ataupun makhluk di luar manusia
dianggapnya tidak menguntungkan, keadilan hanya terdapat pada golongan yang
lebih kuat dan berkuasa, penghargaan dan penghormatan hanya terdapat pada
manusia yang bergelar akademik, setumpuk harta kekayaan, kedudukan dan yang
menyandang pangkat tertentu.
Dari
situ pulalah tercermin kemuliaan dan pujian yang nisbi hanya ditujukan kepada
yang berwenang, sebab dianggapnya paling terhormat. Walau cara berpikirnya
hanya dituntut oleh rumus rumus kaku yang diperoleh dari akal dan kecakapan
alat pancaindera lahir yang memuja obyek kebendaan atau kesenangan lahiriyah.
Sedangkan budi pekerti dipandang kurang sesuai dengan intelektualnya, bahkan
tidak selaras dengan tuntunan rumus patokan dan bayangan tiga dimensi atau tidak
pas dengan logika ilmu pengetahuan. Paham yang bertalian dengan ilmu
pengetahuan di luar alam benda, metafisika, intuisi, inspirasi ataupun ragam
transenden yang tidak bertepi, dianggapnya hanya suatu impian yang mustahil.
Bahkan dikatakan sebagai tahayul, nonsen, sulap, tidak terangkum oleh akal
sehingga dipercayainya hanya buah pikiran otak lahiriyah semata sehingga
makhluk hidup yang bertebaran di jagad raya disangkalnya.
E. PUASA MAMPU TAKLUKKAN SINAR
IBLIS/SYAITAN.
Seperti
telah kita ketahui bersama bahwa ahwa/hawa nafsu itu mengandung ajakan yang
dapat disamakan dengan instink hewan, seperti lapar, menghindarkan diri atau
mencari perlindungan, rakus, tamak, berkelahi, berperang dan semacamnya. Semua
nafsu tersebut seperti berbentuk api yang abstrak yang mengandung ajakan berupa
keinginan yang berkobar untuk menyampaikan maksudnya, tak ubahnya bagaikan api
yang berkobar untuk menjilat apa saja yang berada di sekitarnya. Api yang
sangat abstrak ini hanya mempunyai hubungan saling menggetar (resonansi) dengan
makhluk yang tersusun dari api yang abstrak dalam hal ini ialah iblis dan
syaitan. “dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat
panas”. (surat Al Hijr (15) ayat 27). Untuk menggambarkan api yang
sangat panas (narishsamum) kita bisa melihat melalui api untuk las, dimana api
yang terdapat di ujung las terlihat berwarna merah, akan tetapi api yang ada di
pangkal las warnanya tidak terlihat namun panasnya sangat luar biasa dan dari
api jenis inilah jin/syaitan diciptakan oleh Allah SWT.
Iblis
dan syaitan menurut kejadiannya berasal dari electron hidup berwujud dari daya
daya elektro magnetic yang memiliki gelombang lebih pendek dari gelombang arus
listrik teknik bolak balik, lebih pendek dari telegraf tanpa kawat, lebih
pendek dari gelombang radio dan sinar cahaya dan bahkan lebih pendek dari sinar
ultra violet. Oleh karenanya, siapa yang tidak dapat mengendalikan ahwa (hawa
nafsunya) akan menjadi korban sinar iblis/syaitan, sehingga pikirannya selalu
dikendalikan iblis/syaitan yang selalu mengajak berbuat buruk dan jahat sesuai
dengan ide yang dimiliki oleh iblis/syaitan. Maka untuk mencegah agar nafsu
nafsu tidak bertindak leluasa di dalam tubuh manusia, maka harus senantiasa
diusahakan suatu alat yang ampuh. Untuk menaklukkannya ialah dengan daya daya
yang mempunyai gelombang yang bisa mengalahkan iblis/syaitan yaitu sinar Allah
SWT (Nurullah/Nur Ilahi).
Nur
Ilahi hanya dapat diperoleh dengan bermacam syarat beribadah, salah satunya
melalui ibadah puasa. Sehinga secara otomatis Nur Ilahi yang berada di dalam
diri manusia mampu memanjat/menyatu ke alam Ilahiah. Hal ini dikarenakan Nur
Ilahi adalah gelombang yang paling pendek dari semua gelombang sehingga mampu
menembus alam semesta, mampu menembus segala keadaan, termasuk ke dalam hati/kalbu
manusia. Nur Ilahi yang menembus ke dalam hati/kalbu manusia sanggup menghancur
leburkan gelombang iblis dan syaitan yang bersarang dalam diri manusia. Lalu
Nur Ilahi ini akan diserap oleh akal dan hati manusia yang pada akhirnya akan
menimbulkan pikiran/daya nalar yang disebabkan daya daya dalam otak dan hati
telah beresonansi dengan alam ilahiah.
Hati
yang berisi Nur Ilahi akan sanggup mencegah segala kegiatan ahwa (hawa nafsu)
dan iblis dan syaitan sehingga pancaindera dan alat alat tubuh dapat
dikendalikannya dengan sempurna. Contohnya,
mata dapat dicegah dari pandangan yang membawa pengaruh buruk, telinga dapat
dicegah dari mendengarkan kata kata yang memberikan pengaruh buruk/menimbulkan
amarah. Lisan dapat pula menahan kata kata buruk, menfitnah dan kata kata yang
tidak sedap, kotor, menyakitkan hati orang, dan segala macam tindakan, tingkah
laku dan gerak gerik yang menjurus kepada kejahatan dapat kita hindari.
Jelaslah
bahwa melaksanakan ibadah puasa baik di bulan Ramadhan atau di luar Ramadhan
menurut ajaran Islam tidak hanya untuk menahan lapar dan haus serta syahwat
semata, melainkan harus mampu menutup semua pintu pintu alat pancaindera agar
tidak kemasukan daya daya iblis dan syaitan. Sabda Nabi SAW: “Berapa
banyak orang yang berpuasa, tetapi puasanya tidak berarti kecuali hanya menahan
lapar, haus dan syahwat saja”. Maksud hadits ini adalah orang yang
berpuasa seperti ini tidak dapat mencegah perbuatannya dari pengaruh iblis dan
syaitan, sehingga puasanya tidak memperoleh hikmah apa apa.
Jadi
yang dimaksudkan dengan puasa bukan hanya sanggup menahan lapar, haus dan
syahwat saja adalah saat ruh/ruhaninya harus mampu menghalau, mampu mengalahkan
nafsu nafsu iblis/syaitan yang mengandung ajakan untuk berbuat jahat/kejahatan.
Berkata umar Ibnul Khattab: “Perangilah nafsu nafsumu sebelum kamu
memerangi musuh musuhmu” memerangi atau mengalahkan ahwa (hawa nafsu)
pasti dapat ditundukkan dengan melakukan puasa lahiriyah dan puasa panca
indera. Puasa lahiriyah yakni menahan makan, minum dan syahwat, sedangkan puasa
panca indera ialah menutup alat pancaindera (mata, telinga, hidung) dan segala
macam daya daya yang menimbulkan nafsu yang berkonotasi kepada perbuatan
maksiat yang sesuai dengan kehendak iblis/syaitan.
F. PUASA MAMPU MERUBAH DARI EGOIS MENJADI
IKHLAS.
Penyakit
egosentris, seringkali menggunakan golongan lain sebagai alat untuk
mempengaruhi atau menguasai sesuatu yang merupakan obyek. Seperti halnya kaum
buruh dan tani yang dijadikan alat agar menimbulkan pertentangan antara buruh
dan majikan, yang mengakibatkan penutupan perusahaan/perkebunan, yang berujung
pada pemutusan hubungan kerja dan terjadilah masalah pengangguran, yang berarti
pula menambah kemelaratan dan penderitaan. Kegiatan nafsu yang demikian, sering
dianut oleh faham kolonialis dan imperialis yang tidak jarang oleh kecerdasan
otak lahir tanpa di dukung oleh otak bathin (hati nurani), maka dunia tidak
akan lolos dari segala ancaman kesesatan, pertentangan dan kekacauan.
Allah
SWT berfirman: “Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai
hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan
itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (surat Al Hajj (22) ayat 46). Ayat
di atas menyinggung mereka yang tidak memperdulikan ruh/ruhani yang memiliki
hati tempat diletakkannya akal, perasaan, ketentraman, tanpa dimanfaatkan
sebagaimana mestinya. Hati selama ia dalam kondisi fitrah akan memiliki daya
yang sangat luar biasa sehingga mampu merasakan nikmatnya bertuhankan kepada
Allah SWT atau menuju alam ilahiah yang sangat menenangkan jiwa.Kemampuan hati
ruhani hanya dapat memancarkan kemampuannya melalui tafakkur, meditasi dan
perenungan yang hakiki.
Meditasi
yang sedemikian ini hanya dapat dilakukan dengan tertib dan teratur, latihan
yang sungguh, apalagi ditunjang seluruh alat pencernaan dapat beristirahat
dengan sebaik baiknya manakala melakukan puasa di siang hari. Dengan melakukan
puasa yang didasarkan oleh iman yang diikat dengan niat ikhlas, maka daya pikir
meneriman pancaran daya yang dialirkan oleh hati ruhani sehingga terjadilah
perpaduan yang harmonis antara otak yang semual menjadi setral sentral nafsu
menjadi pikiran yang bersih dan murni yang disebut jiwa muthmainnah.
Menurut
hukum kekekalan daya, tidak ada daya yang hilang lenyap tanpa berubah menjadi
daya lain. Semisal, elekron yang kehilangan sifat sebagai electron akan berubah
menjadi sinar atau gelombang aether. Daya yang dapat meruntuhkan electron
menjadi aether dinamakan daya radio aktif.
Demikian juga dengan daya otak yang berpadu dengan hati ruhani, akan
berubah menjadi daya lain yang disebut dengan akal budi/budi pekerti. Adanya hal ini otak yang semula berada di
bawah pengaruh ahwa (hawa nafsu) egosentris setelah perpaduan dengan hati itu
berubah sifatnya menjadi suci yang selalu mengajak kepada kebaikan, etis dan
berkeadilan. Nafsu egois berubah menjadi ikhlas.
Hasil
bekerja otak yang berpadu dengan hati ruhani yang demikian akan menjadi pikiran
yang murni dan asli yang mengandung rasa perikemanusiaan yang dalam. Dan hasil
pemikiran yang demikian akan mampu menghasilkan teori teori baru, menciptakan
pendapat baru yang bermanfaat bagi orang banyak, mengetahui
sesuatu/menghasilkan sesuatu yang luar biasa karena adanya pancaran hati ruhani
yang fitrah tanpa pengaruh ahwa dan syaitan. Dengan adanya uraian ini dapat
disadari betapa berfaedahnya dan hikmah ibadah puasa bagi kecerdasan otak dan
kecakapan berpikir. Sekiranya umat Islam zaman sekarang mampu melakukan ibadah
puasanya benar benar mencontoh jejak puasa Nabi dan para sahabat, yang dengan
hasil puasanya, mereka menjadi ahli pikir dan berhasil membina suatu negara
yang demokratis yang belum pernah dicapai oleh bangsa bangsa sebelum mereka.
Maka,
umat Islam di zaman sekarang ini sedikitnya setahun sekali dengan ibadah
puasanya akan berhasil menjelmakan ahli ahli pikir yang infra dan supra
intelectual, seniman yang jenius, sastrawan dan pujangga yang mampu membentuk
pembaharuan di bidangnya masing masing dan merubah rona (wajah) dunia
masyarakat jaman kini dalam segala bidang pembangunan material dan spiritual
yang sesuai dengan kehendak Allah SWT atau yang dapat menghantarkan bangsa ini
adil makmur rukun sejahtera sehingga umat Islam mampu berperan sebagai tenaga
penggerak bagi kemaslahatan umat baik skala nasional maupun international .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar