E. PUASA
ADALAH PENJAGA KESEIMBANGAN HIDUP.
Puasa pada hakekatnya
tidak hanya menahan makan, minum dan menahan syahwat semata, sebab puasa
merupakan upaya pengendalian diri secara total, tidak hanya larangan pokok
tetapi larangan larangan lain harus dihindari seperti menfitnah, menghina,
menyebarkan berita yang tidak benar, mengadu domba, menipu, dan perbuatan yang
tercela lainnya. Perilaku yang seperti ini pada masa sekarang bukanlah sesuatu
yang tabu, justru menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk memenuhi
hasrat dan kepentingan sesaat hidup mereka. Sehingga tidak jarang untuk
mendapatkan sesuatu, orang tidak sungkan lagi menfitnah dan menjatuhkan teman
sendiri. Orang yang berbuat seperti ini tidak menyadari bahwa perbuatan yang
mereka lakukan membatalkan amal shaleh yang mereka lakukan, termasuk
membatalkan ibadah puasa yang mereka kerjakan.
Adanya kondisi yang kami
kemukakan di atas, bisa disebabkan karena banyak manusia yang mengalami
ketidakseimbangan hidup yang tercermin dari bertindak dan berbuat hanya
berdasarkan ratio semata dengan mengabaikan aspek ruhaniah/bathin, sehingga
secara rasional sehat tapi sakit secara emosional lalu terjadilah apa yang
dinamakan dengan krisis spiritual dan kepribadian dalam diri seseorang. Jika
sudah demikian keadaannya mereka sudah tidak memiliki rasa malu lagi, baik
kepada manusia apalagi kepada Allah SWT. Hilangnya rasa malu, menjadikan
manusia lebih buas dari buaya, lebih ganas dari singa, dan lebih jahat dari
binatang buas lainnya. Apa apa dimakan, besi dimakan, semen dimakan, pasir
dimakan, kayu dimakan, oli dimakan dan lain sebagainya padahal hewan saja
memilih apa apa yang dimakan olehnya.
Sekarang
mari kita pelajari tentang hidup. Hidup adalah saat bersatunya ruh/ruhani
dipersatukan dengan jasmani dan pada saat hidup terjadilah apa yang dinamakan
dengan saling pengaruh mempengaruhi antara sifat alamiah ruhani dengan sifat
alamiah jasmani. Adapun proses saling pengaruh dan mempengaruhi yang terjadi
pada diri kita dapat dibedakan dalam dua kondisi, yaitu :
1.
Selama sebelas bulan dengan ketentuan sunnah dinilai
sunnah dan wajib dinilai wajib serta syaitan dilepas oleh Allah SWT. Kondisi
ini bisa kita maknai sebagai: (1)
sebagai bulan pertandingan jika keimanan diri kita masih bermasalah atau
kondisi jiwa kita belum sepenuhnya jiwa taqwa; (2) sebagai bulan pelatihan
sepanjang keimanan dan kefitrahan kita selalu di dalam kategori jiwa taqwa.
2.
Selama sebulan dengan ketentuan sunnah dinilai wajib
dan wajib dilipatgandakan serta syaitan dibelenggu oleh Allah SWT. Kondisi ini
bisa kita maknai sebagai: (1) sebagai bulan pelatihan untuk menuju sebelas
bulan pertandingan jika keimanan diri kita masih bermasalah atau jiwa kita
belum konsisten dalam kategori jiwa taqwa; (2) sebagai bulan pertandingan yang
bertabur bonus dari Allah SWT jika keimanan dan kefitrahan diri kita selalu di
dalam kategori jiwa taqwa.
Adanya
perbedaan yang mencolok ketentuan yang berlaku, tentu saat sebelas bulan
berjalan, sangat terasa berat perjuangan kita untuk mempertahankan kefitrahan
diri, yang mengakibatkan diri kita kadang menang kadang kalah, lalu menang
menang menang lalu kalah kalah kalah, yang pada akhirnya kefitrahan diri kita
menjadi kotor atau menjadikan jiwa kita menjadi tidak taqwa lagi. Padahal Allah
SWT berkehendak agar kefitrahan diri kita selalu stabil dari waktu ke
waktu.
Di
lain sisi, saat diri kita melaksanakan tugas penghambaan dan kekhalifahan di
muka bumi berarti pada saat itu kita sedang melaksanakan suatu permainan untuk
mengalahkan musuh abadi diri kita yaitu ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan.
Ahwa (hawa nafsu) dan syaitan selaku musuh abadi manusia akan sangat mudah
melaksanakan aksinya melalui apa yang kami istilahkan dengan monster monster
melalui perasaan takut atau ketakutan akan adanya kalaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah
buahan, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (surat Al Baqarah (2) ayat 155). Semakin
kita takut maka semakin hebat kekuatan monster monster itu dan semakin mudah
musuh abadi diri kita melaksanakan aksinya. Jika sudah seperti ini keadaannya maka semakin berat
perjuangan kita, semakin terganggu kefitrahan diri kita akibat ulah monster
yang ditunggangi oleh ahwa dan syaitan.
Adanya perintah untuk
melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang memiliki ketentuan tersendiri
dibandingkan dengan bulan bulan lainnya, menunjukkan kepada diri kita bahwa
Allah SWT telah mempersiapkan sebuah skenario khusus atau sebuah cara yang unik
untuk menjaga keseimbangan dalam hidup dan kehidupan manusia dari pengaruh ahwa
(hawa nafsu) dan juga syaitan serta dalam kerangka manusia memenangkan
permainan kekhalifahan di muka bumi ini atau menjalankan fungsi kekhalifahan di
muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, yaitu menjadi seorang
pemenang, bukan menjadi pecundang.
Kita harus mampu menjadi
umat yang seimbang dalam hidup dan kehidupannya yakni bukan umat yang
berlebihan (ekstrem) yang hanya cenderung ke kiri (maksudnya lebih condong
kepada kehidupan duniawi dengan mengabaikan kehidupan akhirat), atau hanya
cenderung ke kanan dengan mengabaikan ke kiri. Hidup yang berkeseimbangan bukan pula hidup dan kehidupan yang hanya condong
ke Timur semata ataupun yang hanya condong ke Barat semata, atau kita tidak
boleh berat sebelah hanya mementingkan diri sendiri atau hanya mementingkan
orang lain, sebagaimana firman Allah SWT yang kami kemukakan berikut ini: “Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang
menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang
benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (surat Al Baqarah
(2) ayat 177)”.
Konsep hidup inilah yang
kami istilahkan sebagai pola hidup yang berkeseimbangan. Hidup yang seimbang
dapat diibaratkan laksana neraca/timbangan yang harus seimbang kondisinya,
sehingga saat ia dipergunakan mampu berbuat adil atau sesuai dengan fungsinya
serta tidak merugikan orang lain.
Agama Islam tidak
menghalangi umatnya untuk mendapatkan kesenangan, tetapi dengan koridor koridor
tertentu.Islam menganjurkan agar umatnya senantiasa mencari karunia Allah di
dunia dengan tidak melupakan bahagiannya untuk akhirat. Allah SWT berfirman: “dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (surat Al Qashash (28)
ayat 77). Kesenangan dibenarkan selama tidak menjadikan manusia terbuai
dengan rayuan dan bujukan duniawi yang menyebabkan mereka hidup ingin serba
enak secara cepat (instant), serta boleh memperturutkan hawa nafsunya yang
kadang kadang manusia merusak keseimbangan ekosistem alam ini tanpa ada rasa
malu dan bersalah sedikitpun. Manusia lebih memilih seleranya sendiri, nafsu
untuk selalu menguasai, memperbudak yang lemah, meremehkan moral atau bahkan
manusia telah merubah dirinya bagai serigala terhadap sesamanya.
Disinilah letak betapa
pentingnya kewajiban untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan karena
dapat menjadi obat (penyembuh) bagi syahwat memperturutkan kemauan sendiri,
nafsu untuk selalu menguasai dan memperbudak yang lemah, syahwat yang ingin
hidup serba enak (hedonis) dan yang selalu meremehkan pesan pesan moral
kebaikan. Ibadah puasa yang diperintahkan Allah SWT mengajarkan kepada umat
Islam untuk bersikap bijak menghadapi segala syahwat, godaan hawa nafsu, lalu
mengajarkan agar kita menahan diri dari kesenangan kesenangan duniawi dengan
dilatih tidak makan, tidak minum dan mengumbar syahwat, serta
menambah/memperbanyak ibadah wajib dan sunnah yang sesuai dengan syariat yang
berlaku.
Manusia memang makhluk
yang pandai bersandiwara layaknya dalam sinetron. Dalam kesempitan, kesulitan,
dan ketidakberdayaan Allah SWT senantiasa disapanya dengan penuh pengharapan
dan linangan air mata. Tatkala kelonggaran dan kecukupan serta kemapanan
menghampirinya, maka Allah SWT dicampakkan, eksistensi-Nya diabaikan, seruan-Nya
dianggap angin lalu, agama-Nya diprotes, bahkan Allah SWT tidak luput digugat.
Kini manusia semakin gila bahkan tergila gila dengan kecanggihan pikirannya
dengan tidak memperdulikan nilai nilai agama. Manusia juga tidak segan dan
tidak malu- malu lagi meragukan Tuhan dan mencibir kebesaran dan kemahaan-Nya. Pada sebagian
masyarakat kita, agama tidak lagi dipahami sebagai ajaran murni yang berasal dari
Allah SWT. Agama hanya pelipur lara tanpa penghayatan dan pengamalan yang
sesungguh-nya, dengan kata lain Agama hanya berada pada wilayah luar kehidupan
manusia tanpa menyentuh nurani yang terdalam.
Dan untuk menghindari
ketimpangan yang melanda masyarakat modern saat ini, ketika agama telah
kehilangan Tuhan-Nya maka kesadaran yang seimbang, hidup dalam keseimbangan
antara nalar dan bathin, rasio dan wahyu, kecerdasan dan kearifan adalah satu
kesadaran yang dapat mengintegrasikan kehidupan manusia agar tidak terjadi
ketimpangan itu. Hal ini dimaksudkan agar manusia mendapatkan kesadaran yang
hakiki (kulural) yang selama ini sering terlupakan.
Selama manusia mengaku
memiliki kebudayaan, kemajuan, kekayaan, tradisi, disiplin, kesucian, keilmuan
dan keimanan, secara otomatis dikatakan bahwa ia sedang berkesadaran kultural.
Begitu pentingnya kesadaran ini sehingga setiap individu harus menyatupadukan
otak dengan hati. Otak bekerja untuk menginventarisir data kelima indera dan
mempunyai otoritas penuh dalam mengambil setiap kebijakan rasional. Hati adalah
tempat di mana semua pengendali indera bersemayam, maka tidak mengherankan
apabila ia menjadi majelis pertimbangan segala kebijakan, sehingga ia perlu di
manage (dijaga dan dipelihara serta dirawat) agar tidak terjebak dalam taklid
buta.
Menghadapi hidup yang
penuh dengan tantangan ini tidaklah mudah. Gaya hidup konsumtif konsumeris yang
dipengaruh oleh peradaban global tidak jarang menuntut umat Islam bersikap hati
hati agar tidak terjebak dalam rayuan dan buaian materi yang bersifat duniawi.
Melalui ibadah puasa dan ibadah ibadah lain selama satu bulan Ramadhan, umat
Islam berharap dapat kembali kepada fitrahnya, mendapatkan kesehatan ruhani dan
juga jasmani sehingga mampu berjuang menghadapi kesulitan hidup, serta mencapai
keseimbangan antara kemampuan dan kesehatan intelektual, emosional dan
spiritual. Yang pada akhirnya mampu menghantarkan diri kita semakin dekat
dengan Allah SWT, Tuhan semesta alam.
F. PUASA
ADALAH MEDIA UNTUK MEWARISI NILAI NILAI ISLAMI KEPADA GENERASI MUDA.
Perhelatan untuk mewariskan suatu
nilai dari generasi tua kepada generasi muda telah ada sejak manusia diciptakan
sebagai khalifah di muka bumi. Baik ketika manusia masih primitif maupun
setelah mereka maju dan berbudaya sehingga manusia mempunyai potensi dan
sekaligus tendensi untuk menerima, melestarikan dan kemudian mewariskan nilai
nilai itu. Hal ini terutama bila berkenaan dengan nilai nilai luhur yang
dijunjung tinggi oleh komunitas sosial di mana manusia itu berada, khususnya
berkenaan dengan nilai nilai agama.
Sebagai ajaran yang berasal dari Yang
Maha Agung, Yang Maha Berkuasa, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dan
sebagainya, agama tidak hanya sangat layak untuk diwariskan tetapi merupakan
suatu keharusan dalam rangka membina dan mempertahankan manusia dari kerusakan
moral spiritual. Begitu pentingnya pewarisan ini hingga setiap nabi pada masa
hidupnya selalu berpesan agar umatnya tidak meninggalkan agama yang telah diajarkanNya.
Salah satunya adalah Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW sebagai panutan dan
suri tauladan kita, telah mewasiatkan kepada umatnya agar selalu berpegang
teguh dengan AlQuran dan Hadits maka kita akan selamat dunia dan akhirat. Allah
SWT berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (surat Al Ahzab (33) ayat 21) Sekarang
sudahkah kita yang diwasiatkan oleh Nabi Muhammad SAW juga telah mewasiatkan
dengan memberikan kepada setiap anak dan keturunan kita sebuah AlQuran dan juga
sebuah buku Hadits sehingga anak dan keturunan kita selamat? Jika belum, segera
lakukan dan berikan kepada mereka di moment dan waktu yang tepat.
Di lain sisi, kecenderungan untuk
hidup lepas, terlepas dari ketentuan nilai nilai yang telah mapan, menghantui
sebagian manusia terutama yang beriman dangkal alias lemah terhadap nilai nilai
tersebut. Maka timbullah penyelewengan penyelewengan dari ajaran ajaran yang
mapan itu yang akhirnya mempersempit ruang gerak ajaran luhur itu dan bahkan
meniadakannya sama sekali. Mereka lama kelamaan membentuk ajaran dan nilai
nilai baru yang penuh dengan penyelewengan, kemaksiatan, mementingkan kelompok
dan golongan, dan lain sebagainya yang kemudian juga diwariskan kepada generasi
berikutnya. Akhirnya timbullah pertikaian nilai antara yang baik dan yang
buruk. Satu golongan berusaha mempertahankan agama Allah SWT dan golongan yang
lain berusaha mempertahankan nilai nilai yang diciptakan oleh manusia. Tarik
menarik antara nilai nilai itu terus berlangsung hingga akhirnya terjadilah
kesenjangan nilai di antara manusia.
Keluarga sebagai tempat awal di mana
anak, generasi muda, ditaburi dan ditanami dengan benih benih keimanan sesuai
dengan agama orang tua. Dan dari sinilah awal mula anak diperkenalkan dengan
nilai nilai akidah yang kemudian jadi pegangan hidupnya. Peranan pendidikan
dalam keluarga sangat menentukan watak dan karakter keyakinan anak. Mungkin
karena ini, dalam sebuah haditsnya, Rasulullah bersabda: “Tiap tiap anak dilahirkan dalam
keadaan suci, maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau
Majusi.” Berdasarkan ketentuan hadits di atas ini, peranan orang tua
sangat dominan di dalam membentuk karakter dan keimanan seorang anak.
Sebagai
orang tua tentu kita harus pandai pandai memanfaatkan peristiwa/momentum
terutama adanya momentum keagamaan, katakan saat tibanya bulan Ramadhan. Kita
harus bisa mewarisi nilai nilai pendidikan keagamaan terutama pelaksanaan
ibadah puasa kepada anak anak kita sejak usia dini. Ajarkan kepada anak anak
kita untuk melaksanakan puasa walaupun mereka belum wajib melaksanakannya.
Mulailah dari puasa setengah hari atau mulailah memerintahkan anak berpuasa
dengan memberikan iming iming hadiah dan lain sebagainya. Adanya perintah
kepada anak yang masih berusia dini melaksanakan puasa berarti kita sudah mulai
menanamkan atau mulai mewariskan nilai nilai berpuasa kepada anak keturunan kita
sejak kecil. Jangan sampai karena anak kita masih kecil lalu kita merasa
kasihan kepada anak untuk melaksanakan puasa.
Di saat anak
mulai dilatih untuk berpuasa, maka kita harus menanamkan pula rasa berbagi
dengan memberikan pendidikan berbagi kepada sesama melalui pemberian takjil ke
masjid sekitar rumah atau ke asrama yatim piatu. Ajak dan ajarkan mereka
sendiri yang langsung memberikan sehingga tertanam di dalam diri mereka bahwa
berbagi itu adalah kebahagian dari memiliki. Saat hari raya idul fitri ajak
anak anak untuk shalat ied jauh dari rumah untuk memberikan kenangan bathiniah
serta dilanjutkan dengan bermaafmaafan kepada ke dua orang tua, saudara,
tetangga dan lain sebagainya.
Sekarang
mari kita lihat keberadaan diri kita dimana keberadaan diri kita adalah bagian
yang tidak terpisahkan dengan regenerasi kekhalifahan yang ada di atas diri
kita, sehingga hal yang sama pun terjadi pada anak dan keturunan kita yaitu ia
pun tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan diri kita saat ini. Selanjutnya,
jika diri kita melakasanakan puasa lalu anak dan keturunan kita tidak
melaksanakan puasa berarti ada sesuatu yang salah atau yang terputus di dalam
mata rantai regenerasi kekhalifahan yang kita buat di muka bumi ini, yaitu ada
satu pihak yang tidak mau melaksanakan ketentuan dari pencipta dan pemilik
langit dan bumi.
Agar antara
diri kita dengan anak dan keturunan kita berada di dalam kesesuaian dengan
ketentuan Allah SWT yang berlaku di muka bumi ini, atau seluruh pihak mau
melaksanakan perintah Allah SWT maka harus dimulai dari adanya keluarga sakinah,
yang mana keluarga sakinah merupakan prasyarat yang harus kita buat guna
menselaraskan antara diri kita dengan anak keturunan kita di dalam melaksanakan
segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Timbul
pertanyaan, dapatkah kita membuat, menjadikan diri kita sendiri, atau
menjadikan keluarga kita sendiri menjadi sebuah keluarga yang sakinah jika
tanpa dilandasi dengan suatu konsep yang berasal dari Allah SWT yaitu berupa
Diinul Islam yang dilaksanakan secara kaffah, atau apakah hanya salah satu
anggota keluarga saja yang melaksanakan Diinul Islam secara kaffah maka
keluarga sakinah dapat kita wujudkan, atau apakah seluruh keluarga termasuk
anak dan keturunan yang melaksanakan Diinul Islam yang kaffah barulah keluarga sakinah
dapat kita wujudkan? Untuk dapat mewujudkan keluarga sakinah diperlukan
sebuah tuntunan dan pedoman yang baku dan jelas di dalam mewujudkannya.
Tanpa
adanya tuntunan dan pedoman yang baku, serta perjuangan antar sesama anggota
keluarga, apakah itu orang tua, apakah anak dan keturunan, maka keluarga sakinah
akan sangat sulit diwujudkan. Adanya kondisi ini berarti untuk
mewujudkan keluarga sakinah di tengah keluarga kita serta regenerasi kekhalifahan
di muka bumi, tidak hanya diri kita secara pribadi saja yang harus memeluk
Diinul Islam secara kaffah, atau tidak hanya diri kita saja yang melaksanakan syahadat,
atau yang melaksanakan puasa. Akan tetapi anak dan keturunan dari diri kita,
termasuk istri atau suami juga harus memeluk Diinul Islam secara kaffah, atau
melaksanakan syahadat dan melaksanakan ibadah puasa secara baik dan benar sesuai
kehendak Allah SWT.
Selanjutnya
jika hari ini kita telah mampu merasakan kenikmatan dari bertuhankan hanya
kepada Allah SWT yang berasal dari pelaksanaan Diinul Islam yang kaffah,
dapatkah anak dan keturunan kita merasakan hal yang sama dengan yang kita
rasakan saat ini? Sepanjang diri kita tidak pernah memperkenalkan,
tidak pernah mengajarkan Diinul Islam secara kaffah, atau sepanjang diri kita
tidak pernah menjadikan syahadat sebagai sebuah komitmen dan pengakuan kepada
Allah SWT dan kepada Nabi Muhammad SAW, atau sepanjang diri kita tidak pernah
mendidik dan mengajarkan tentang puasa
kepada anak dan keturunan kita maka hal-hal yang telah pernah kita rasakan tidak
akan pernah dapat dirasakan oleh anak dan keturunan kita. Jika ini adalah
keadaannya, berarti nikmat bertuhankan kepada Allah SWT, atau buah dari
pelaksanaan syahadat, atau buah dari melaksanakan ibadah puasa tidak akan dapat
diwariskan, tidak akan dapat dialihkan walaupun kepada anak dan keturunan kita
sepanjang anak dan keturunan kita tidak mau menjadikan dirinya melakukan hal
yang sama seperti yang kita lakukan.
Sebagai orang tua, sebagai pendidik, sudahkah
diri kita mengajarkan, mendidik, mencontohkan, menjadikan diri kita sendiri
sebagai suri tauladan bagi anak keturunan kita sendiri untuk melaksanakan puasa
yang sesuai dengan kehendak Allah SWT? Jika kita sebagai orang tua, jika kita sebagai
pendidik, tidak pernah mengajarkan, tidak pernah mendidik, tidak pernah memberi
contoh kepada anak kita sendiri untuk melaksanakan puasa, padahal kita memiliki
kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan itu semua maka bersiap-siaplah
mempertanggung jawabkan apa yang kita lakukan kepada anak dan keturunan kita
sendiri dihadapan Allah SWT kelak.
Sekarang tolong perhatikan hadits berikut ini: “Rasulullah
SAW bersabda: “Bila seseorang telah meninggal, terputus untuknya pahala segala
amal kecuali tiga hal yang tetap kekal: Shadaqah Jariah, Ilmu yang bermanfaat,
dan anak shaleh yang senantiasa mendoakannya”. (Hadits Riwayat Bukhari-Muslim).
Hadits ini dapat dikatakan sebagai bonus, atau pemberian ekstra ataupun
bukti bakti dari anak yang shaleh/shalehah kepada orang tua, sehingga orang tua
termasuk di dalamnya kakek, nenek dapat pula kita doakan kepada Allah SWT, agar
mereka semua diampuni segala dosa dan kesalahannya, dilapangkan jalannya, atau
dilapangkan kuburnya, diterima amal ibadahnya, oleh sebab doa dari anak dan
keturunan yang shaleh atau shalehah.
Lalu
darimanakah datangnya anak yang shaleh dan shalehah itu, atau apakah anak shaleh
dan shalehah datang dengan begitu saja dari langit untuk diri kita? Untuk
mendapatkan, untuk memperoleh anak yang shaleh dan shalehah, bukanlah proyek
“bim salabim”. Untuk itu kita diwajibkan untuk memprogram, untuk mengajarkan,
untuk mendidik anak dan keturunan kita dengan menjadikan Diinul Islam sebagai
satu-satunya agama yang haq serta menjalankannya secara kaffah sejak mereka
dalam kandungan. Tanpa adanya keseriusan diri kita untuk
menciptakan, untuk memprogram keberadaan anak shaleh dan shalehah maka
keberadaan anak shaleh dan shalehah yang akan mendoakan diri kita kelak,
hanyalah mimpi di siang bolong.
Selanjutnya,
sebagai bahan pemikiran dan sebagai pemacu bagi diri kita untuk menjadikan
anak dan keturunan kita berada di dalam
kesamaan Diinul Islam sebagai agama yang haq. Berikut ini akan kami kemukakan
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari,Muslim tentang paman dari Nabi Muhammad
SAW yang sampai akhir hayatnya belum menjadikan Diinul Islam sebagai agama yang
haq, sebagaimana berikut ini: Al-Abbas
bin Abdulmuththalib ra. bertanya kepada Nabi SAW: Apakah pertolonganmu
(manfaatmu) bagi Abu Thalib yang telah memeliharamu dan membelamu, bahkan ia
marah karenamu? Jawab Nabi SAW: Ia kini di atas permukaan neraka, dan andaikan
tidak karenaku niscaya ia di tingkat terbawah dalam neraka. (Hadits
Riwayat Bukhari,Muslim; Al Lulu Wal Marjan:125)
Abu Said Alkhudri ra. mendengarkan Rasulullah SAW
ketika disebut padanya Abu Thalib, maka sabda Nabi SAW: Semoga berguna baginya
syafa'atku sehingga diletakkan di bagian atas dalam neraka sehingga api neraka
hanya membakar sampai batas mata kakinya yang cukup untuk mendidihkan otaknya. (Hadits
Riwayat Bukhari,Muslim; Al Lulu Wal Marjan:126)
Adanya perbedaan keyakinan antara Abu Thalib dengan
Nabi Muhammad SAW, mengakibatkan terjadinya jurang pemisah yang tidak dapat
ditolerir oleh Allah SWT. Selanjutnya coba anda bayangkan doa, permohonan dari
Nabi dan Rasul terakhir saja tidak mampu menghantarkan Abu Thalib secara
langsung ke syurga, sekarang bagaimana dengan diri kita yang tidak ada
apa-apanya dibandingkan dengan Nabi Muhammad SAW. Jika ini
adalah kondisi Nabi Muhammad SAW kepada pamannya sendiri, selanjutnya bagaimana
dengan diri kita kepada kedua orang tua kita sendiri, atau bagaimana dengan
anak keturunan kita dengan diri kita?
Kita tidak akan pernah tahu, apakah akan didoakan
oleh anak dan keturunan kita sendiri setelah kita meninggal dunia. Sekali lagi,
kita juga tidak memiliki jaminan sama sekali apakah akan didoakan oleh anak dan
keturunan kita sendiri kelak setelah diri kita meninggal dunia. Adanya kondisi
yang kami kemukakan di atas maka kita harus menyadari betapa pentingnya pendidikan
dan pengajaran Diinul Islam sebagai agama yang haq kepada anak dan keturunan
kita sendiri. Tanpa ini, apa yang dapat kita lakukan kepada orang tua kita, atau apa
yang dapat kita harapkan dari anak dan keturunan kita jika kita tidak pernah
memberikan dan mengajarkan Diinul Islam sebagai agama yang haq yang berasal
dari fitrah Allah SWT. Tanpa adanya kesamaan, dalam hal ini adalah
kesamaan dalam Diinul Islam sebagai agama yang yang diridhai Allah SWT, maka
jangan pernah berharap Allah SWT memberikan fasilitas kemudahan ini.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya
di muka bumi, atau kita sebagai orang tua maka kita wajib mengajarkan kepada anak dan keturunan kita
masing-masing tentang Diinul Islam, tentang syahadat sebagai sebuah komitmen
dan pengakuan kepada Allah SWT dan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan
Allah SWT, mengajarkan tentang shalat, mengajarkan tentang zakat, mengajarkan
tentang puasa dan mengajarkan tentang haji (atau mengajarkan tentang Diinul
Islam secara kaffah) sehingga baik diri kita maupun anak dan keturunan kita
selalu berada dalam satu kesatuan yaitu di dalam Diinul Islam sebagai agama
yang fitrah dari Allah SWT. Semoga anak keturunan kita semuanya sama dalam
kebersamaan yaitu sama sama memeluk dan mampu melaksanakan Diinul Islam secara
kaffah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar