Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Senin, 04 Maret 2024

APA ITU PUASA (PART 3 OF 4)

 

E.      PUASA ADALAH PENJAGA KESEIMBANGAN HIDUP.

 

Puasa pada hakekatnya tidak hanya menahan makan, minum dan menahan syahwat semata, sebab puasa merupakan upaya pengendalian diri secara total, tidak hanya larangan pokok tetapi larangan larangan lain harus dihindari seperti menfitnah, menghina, menyebarkan berita yang tidak benar, mengadu domba, menipu, dan perbuatan yang tercela lainnya. Perilaku yang seperti ini pada masa sekarang bukanlah sesuatu yang tabu, justru menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk memenuhi hasrat dan kepentingan sesaat hidup mereka. Sehingga tidak jarang untuk mendapatkan sesuatu, orang tidak sungkan lagi menfitnah dan menjatuhkan teman sendiri. Orang yang berbuat seperti ini tidak menyadari bahwa perbuatan yang mereka lakukan membatalkan amal shaleh yang mereka lakukan, termasuk membatalkan ibadah puasa yang mereka kerjakan.

 

Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas, bisa disebabkan karena banyak manusia yang mengalami ketidakseimbangan hidup yang tercermin dari bertindak dan berbuat hanya berdasarkan ratio semata dengan mengabaikan aspek ruhaniah/bathin, sehingga secara rasional sehat tapi sakit secara emosional lalu terjadilah apa yang dinamakan dengan krisis spiritual dan kepribadian dalam diri seseorang. Jika sudah demikian keadaannya mereka sudah tidak memiliki rasa malu lagi, baik kepada manusia apalagi kepada Allah SWT. Hilangnya rasa malu, menjadikan manusia lebih buas dari buaya, lebih ganas dari singa, dan lebih jahat dari binatang buas lainnya. Apa apa dimakan, besi dimakan, semen dimakan, pasir dimakan, kayu dimakan, oli dimakan dan lain sebagainya padahal hewan saja memilih apa apa yang dimakan olehnya.

 

Sekarang mari kita pelajari tentang hidup. Hidup adalah saat bersatunya ruh/ruhani dipersatukan dengan jasmani dan pada saat hidup terjadilah apa yang dinamakan dengan saling pengaruh mempengaruhi antara sifat alamiah ruhani dengan sifat alamiah jasmani. Adapun proses saling pengaruh dan mempengaruhi yang terjadi pada diri kita dapat dibedakan dalam dua kondisi, yaitu :

 

1.        Selama sebelas bulan dengan ketentuan sunnah dinilai sunnah dan wajib dinilai wajib serta syaitan dilepas oleh Allah SWT. Kondisi ini bisa kita maknai sebagai:  (1) sebagai bulan pertandingan jika keimanan diri kita masih bermasalah atau kondisi jiwa kita belum sepenuhnya jiwa taqwa; (2) sebagai bulan pelatihan sepanjang keimanan dan kefitrahan kita selalu di dalam kategori jiwa taqwa.  

 

2.        Selama sebulan dengan ketentuan sunnah dinilai wajib dan wajib dilipatgandakan serta syaitan dibelenggu oleh Allah SWT. Kondisi ini bisa kita maknai sebagai: (1) sebagai bulan pelatihan untuk menuju sebelas bulan pertandingan jika keimanan diri kita masih bermasalah atau jiwa kita belum konsisten dalam kategori jiwa taqwa; (2) sebagai bulan pertandingan yang bertabur bonus dari Allah SWT jika keimanan dan kefitrahan diri kita selalu di dalam kategori jiwa taqwa.

 

Adanya perbedaan yang mencolok ketentuan yang berlaku, tentu saat sebelas bulan berjalan, sangat terasa berat perjuangan kita untuk mempertahankan kefitrahan diri, yang mengakibatkan diri kita kadang menang kadang kalah, lalu menang menang menang lalu kalah kalah kalah, yang pada akhirnya kefitrahan diri kita menjadi kotor atau menjadikan jiwa kita menjadi tidak taqwa lagi. Padahal Allah SWT berkehendak agar kefitrahan diri kita selalu stabil dari waktu ke waktu.  

 

Di lain sisi, saat diri kita melaksanakan tugas penghambaan dan kekhalifahan di muka bumi berarti pada saat itu kita sedang melaksanakan suatu permainan untuk mengalahkan musuh abadi diri kita yaitu ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan. Ahwa (hawa nafsu) dan syaitan selaku musuh abadi manusia akan sangat mudah melaksanakan aksinya melalui apa yang kami istilahkan dengan monster monster melalui perasaan takut atau ketakutan akan adanya  kalaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah buahan, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (surat Al Baqarah (2) ayat 155). Semakin kita takut maka semakin hebat kekuatan monster monster itu dan semakin mudah musuh abadi diri kita melaksanakan aksinya. Jika sudah seperti ini keadaannya maka semakin berat perjuangan kita, semakin terganggu kefitrahan diri kita akibat ulah monster yang ditunggangi oleh ahwa dan syaitan.  

 

Adanya perintah untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang memiliki ketentuan tersendiri dibandingkan dengan bulan bulan lainnya, menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT telah mempersiapkan sebuah skenario khusus atau sebuah cara yang unik untuk menjaga keseimbangan dalam hidup dan kehidupan manusia dari pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan serta dalam kerangka manusia memenangkan permainan kekhalifahan di muka bumi ini atau menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, yaitu menjadi seorang pemenang, bukan menjadi pecundang. 

 

Kita harus mampu menjadi umat yang seimbang dalam hidup dan kehidupannya yakni bukan umat yang berlebihan (ekstrem) yang hanya cenderung ke kiri (maksudnya lebih condong kepada kehidupan duniawi dengan mengabaikan kehidupan akhirat), atau hanya cenderung ke kanan dengan mengabaikan ke kiri. Hidup yang berkeseimbangan  bukan pula hidup dan kehidupan yang hanya condong ke Timur semata ataupun yang hanya condong ke Barat semata, atau kita tidak boleh berat sebelah hanya mementingkan diri sendiri atau hanya mementingkan orang lain, sebagaimana firman Allah SWT yang kami kemukakan berikut ini: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. (surat Al Baqarah (2) ayat 177)”.

 

Konsep hidup inilah yang kami istilahkan sebagai pola hidup yang berkeseimbangan. Hidup yang seimbang dapat diibaratkan laksana neraca/timbangan yang harus seimbang kondisinya, sehingga saat ia dipergunakan mampu berbuat adil atau sesuai dengan fungsinya serta tidak merugikan orang lain.

 

Agama Islam tidak menghalangi umatnya untuk mendapatkan kesenangan, tetapi dengan koridor koridor tertentu.Islam menganjurkan agar umatnya senantiasa mencari karunia Allah di dunia dengan tidak melupakan bahagiannya untuk akhirat. Allah SWT berfirman: “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (surat Al Qashash (28) ayat 77). Kesenangan dibenarkan selama tidak menjadikan manusia terbuai dengan rayuan dan bujukan duniawi yang menyebabkan mereka hidup ingin serba enak secara cepat (instant), serta boleh memperturutkan hawa nafsunya yang kadang kadang manusia merusak keseimbangan ekosistem alam ini tanpa ada rasa malu dan bersalah sedikitpun. Manusia lebih memilih seleranya sendiri, nafsu untuk selalu menguasai, memperbudak yang lemah, meremehkan moral atau bahkan manusia telah merubah dirinya bagai serigala terhadap sesamanya.

 

Disinilah letak betapa pentingnya kewajiban untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan karena dapat menjadi obat (penyembuh) bagi syahwat memperturutkan kemauan sendiri, nafsu untuk selalu menguasai dan memperbudak yang lemah, syahwat yang ingin hidup serba enak (hedonis) dan yang selalu meremehkan pesan pesan moral kebaikan. Ibadah puasa yang diperintahkan Allah SWT mengajarkan kepada umat Islam untuk bersikap bijak menghadapi segala syahwat, godaan hawa nafsu, lalu mengajarkan agar kita menahan diri dari kesenangan kesenangan duniawi dengan dilatih tidak makan, tidak minum dan mengumbar syahwat, serta menambah/memperbanyak ibadah wajib dan sunnah yang sesuai dengan syariat yang berlaku.

 

Manusia memang makhluk yang pandai bersandiwara layaknya dalam sinetron. Dalam kesempitan, kesulitan, dan ketidakberdayaan Allah SWT senantiasa disapanya dengan penuh pengharapan dan linangan air mata. Tatkala kelonggaran dan kecukupan serta kemapanan menghampirinya, maka Allah SWT dicampakkan, eksistensi-Nya diabaikan, seruan-Nya dianggap angin lalu, agama-Nya diprotes, bahkan Allah SWT tidak luput digugat. Kini manusia semakin gila bahkan tergila gila dengan kecanggihan pikirannya dengan tidak memperdulikan nilai nilai agama. Manusia juga tidak segan dan tidak malu- malu lagi meragukan Tuhan dan mencibir  kebesaran dan kemahaan-Nya. Pada sebagian masyarakat kita, agama tidak lagi dipahami sebagai ajaran murni yang berasal dari Allah SWT. Agama hanya pelipur lara tanpa penghayatan dan pengamalan yang sesungguh-nya, dengan kata lain Agama hanya berada pada wilayah luar kehidupan manusia tanpa menyentuh nurani yang terdalam.

 

Dan untuk menghindari ketimpangan yang melanda masyarakat modern saat ini, ketika agama telah kehilangan Tuhan-Nya maka kesadaran yang seimbang, hidup dalam keseimbangan antara nalar dan bathin, rasio dan wahyu, kecerdasan dan kearifan adalah satu kesadaran yang dapat mengintegrasikan kehidupan manusia agar tidak terjadi ketimpangan itu. Hal ini dimaksudkan agar manusia mendapatkan kesadaran yang hakiki (kulural) yang selama ini sering terlupakan.

 

Selama manusia mengaku memiliki kebudayaan, kemajuan, kekayaan, tradisi, disiplin, kesucian, keilmuan dan keimanan, secara otomatis dikatakan bahwa ia sedang berkesadaran kultural. Begitu pentingnya kesadaran ini sehingga setiap individu harus menyatupadukan otak dengan hati. Otak bekerja untuk menginventarisir data kelima indera dan mempunyai otoritas penuh dalam mengambil setiap kebijakan rasional. Hati adalah tempat di mana semua pengendali indera bersemayam, maka tidak mengherankan apabila ia menjadi majelis pertimbangan segala kebijakan, sehingga ia perlu di manage (dijaga dan dipelihara serta dirawat) agar tidak terjebak dalam taklid buta.

 

Menghadapi hidup yang penuh dengan tantangan ini tidaklah mudah. Gaya hidup konsumtif konsumeris yang dipengaruh oleh peradaban global tidak jarang menuntut umat Islam bersikap hati hati agar tidak terjebak dalam rayuan dan buaian materi yang bersifat duniawi. Melalui ibadah puasa dan ibadah ibadah lain selama satu bulan Ramadhan, umat Islam berharap dapat kembali kepada fitrahnya, mendapatkan kesehatan ruhani dan juga jasmani sehingga mampu berjuang menghadapi kesulitan hidup, serta mencapai keseimbangan antara kemampuan dan kesehatan intelektual, emosional dan spiritual. Yang pada akhirnya mampu menghantarkan diri kita semakin dekat dengan Allah SWT, Tuhan semesta alam. 

 

F.       PUASA ADALAH MEDIA UNTUK MEWARISI NILAI NILAI ISLAMI KEPADA GENERASI MUDA.

 

Perhelatan untuk mewariskan suatu nilai dari generasi tua kepada generasi muda telah ada sejak manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi. Baik ketika manusia masih primitif maupun setelah mereka maju dan berbudaya sehingga manusia mempunyai potensi dan sekaligus tendensi untuk menerima, melestarikan dan kemudian mewariskan nilai nilai itu. Hal ini terutama bila berkenaan dengan nilai nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh komunitas sosial di mana manusia itu berada, khususnya berkenaan dengan nilai nilai agama. 

 

Sebagai ajaran yang berasal dari Yang Maha Agung, Yang Maha Berkuasa, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang dan sebagainya, agama tidak hanya sangat layak untuk diwariskan tetapi merupakan suatu keharusan dalam rangka membina dan mempertahankan manusia dari kerusakan moral spiritual. Begitu pentingnya pewarisan ini hingga setiap nabi pada masa hidupnya selalu berpesan agar umatnya tidak meninggalkan agama yang telah diajarkanNya. Salah satunya adalah Nabi Muhammad SAW.

 

Nabi Muhammad SAW sebagai panutan dan suri tauladan kita, telah mewasiatkan kepada umatnya agar selalu berpegang teguh dengan AlQuran dan Hadits maka kita akan selamat dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. (surat Al Ahzab (33) ayat 21) Sekarang sudahkah kita yang diwasiatkan oleh Nabi Muhammad SAW juga telah mewasiatkan dengan memberikan kepada setiap anak dan keturunan kita sebuah AlQuran dan juga sebuah buku Hadits sehingga anak dan keturunan kita selamat? Jika belum, segera lakukan dan berikan kepada mereka di moment dan waktu yang tepat.

 

Di lain sisi, kecenderungan untuk hidup lepas, terlepas dari ketentuan nilai nilai yang telah mapan, menghantui sebagian manusia terutama yang beriman dangkal alias lemah terhadap nilai nilai tersebut. Maka timbullah penyelewengan penyelewengan dari ajaran ajaran yang mapan itu yang akhirnya mempersempit ruang gerak ajaran luhur itu dan bahkan meniadakannya sama sekali. Mereka lama kelamaan membentuk ajaran dan nilai nilai baru yang penuh dengan penyelewengan, kemaksiatan, mementingkan kelompok dan golongan, dan lain sebagainya yang kemudian juga diwariskan kepada generasi berikutnya. Akhirnya timbullah pertikaian nilai antara yang baik dan yang buruk. Satu golongan berusaha mempertahankan agama Allah SWT dan golongan yang lain berusaha mempertahankan nilai nilai yang diciptakan oleh manusia. Tarik menarik antara nilai nilai itu terus berlangsung hingga akhirnya terjadilah kesenjangan nilai di antara manusia.

 

Keluarga sebagai tempat awal di mana anak, generasi muda, ditaburi dan ditanami dengan benih benih keimanan sesuai dengan agama orang tua. Dan dari sinilah awal mula anak diperkenalkan dengan nilai nilai akidah yang kemudian jadi pegangan hidupnya. Peranan pendidikan dalam keluarga sangat menentukan watak dan karakter keyakinan anak. Mungkin karena ini, dalam sebuah haditsnya, Rasulullah bersabda: “Tiap tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” Berdasarkan ketentuan hadits di atas ini, peranan orang tua sangat dominan di dalam membentuk karakter dan keimanan seorang anak.

 

Sebagai orang tua tentu kita harus pandai pandai memanfaatkan peristiwa/momentum terutama adanya momentum keagamaan, katakan saat tibanya bulan Ramadhan. Kita harus bisa mewarisi nilai nilai pendidikan keagamaan terutama pelaksanaan ibadah puasa kepada anak anak kita sejak usia dini. Ajarkan kepada anak anak kita untuk melaksanakan puasa walaupun mereka belum wajib melaksanakannya. Mulailah dari puasa setengah hari atau mulailah memerintahkan anak berpuasa dengan memberikan iming iming hadiah dan lain sebagainya. Adanya perintah kepada anak yang masih berusia dini melaksanakan puasa berarti kita sudah mulai menanamkan atau mulai mewariskan nilai nilai berpuasa kepada anak keturunan kita sejak kecil. Jangan sampai karena anak kita masih kecil lalu kita merasa kasihan kepada anak untuk melaksanakan puasa.

 

Di saat anak mulai dilatih untuk berpuasa, maka kita harus menanamkan pula rasa berbagi dengan memberikan pendidikan berbagi kepada sesama melalui pemberian takjil ke masjid sekitar rumah atau ke asrama yatim piatu. Ajak dan ajarkan mereka sendiri yang langsung memberikan sehingga tertanam di dalam diri mereka bahwa berbagi itu adalah kebahagian dari memiliki. Saat hari raya idul fitri ajak anak anak untuk shalat ied jauh dari rumah untuk memberikan kenangan bathiniah serta dilanjutkan dengan bermaafmaafan kepada ke dua orang tua, saudara, tetangga dan lain sebagainya.

 

Sekarang mari kita lihat keberadaan diri kita dimana keberadaan diri kita adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan regenerasi kekhalifahan yang ada di atas diri kita, sehingga hal yang sama pun terjadi pada anak dan keturunan kita yaitu ia pun tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan diri kita saat ini. Selanjutnya, jika diri kita melakasanakan puasa lalu anak dan keturunan kita tidak melaksanakan puasa berarti ada sesuatu yang salah atau yang terputus di dalam mata rantai regenerasi kekhalifahan yang kita buat di muka bumi ini, yaitu ada satu pihak yang tidak mau melaksanakan ketentuan dari pencipta dan pemilik langit dan bumi.

 

Agar antara diri kita dengan anak dan keturunan kita berada di dalam kesesuaian dengan ketentuan Allah SWT yang berlaku di muka bumi ini, atau seluruh pihak mau melaksanakan perintah Allah SWT maka harus dimulai dari adanya keluarga sakinah, yang mana keluarga sakinah merupakan prasyarat yang harus kita buat guna menselaraskan antara diri kita dengan anak keturunan kita di dalam melaksanakan segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

 

Timbul pertanyaan, dapatkah kita membuat, menjadikan diri kita sendiri, atau menjadikan keluarga kita sendiri menjadi sebuah keluarga yang sakinah jika tanpa dilandasi dengan suatu konsep yang berasal dari Allah SWT yaitu berupa Diinul Islam yang dilaksanakan secara kaffah, atau apakah hanya salah satu anggota keluarga saja yang melaksanakan Diinul Islam secara kaffah maka keluarga sakinah dapat kita wujudkan, atau apakah seluruh keluarga termasuk anak dan keturunan yang melaksanakan Diinul Islam yang kaffah barulah keluarga sakinah dapat kita wujudkan? Untuk dapat mewujudkan keluarga sakinah diperlukan sebuah tuntunan dan pedoman yang baku dan jelas di dalam mewujudkannya.

 

Tanpa adanya tuntunan dan pedoman yang baku, serta perjuangan antar sesama anggota keluarga, apakah itu orang tua, apakah anak dan keturunan, maka keluarga sakinah akan sangat sulit diwujudkan. Adanya kondisi ini berarti untuk mewujudkan keluarga sakinah di tengah keluarga kita serta regenerasi kekhalifahan di muka bumi, tidak hanya diri kita secara pribadi saja yang harus memeluk Diinul Islam secara kaffah, atau tidak hanya diri kita saja yang melaksanakan syahadat, atau yang melaksanakan puasa. Akan tetapi anak dan keturunan dari diri kita, termasuk istri atau suami juga harus memeluk Diinul Islam secara kaffah, atau melaksanakan syahadat dan melaksanakan ibadah puasa secara baik dan benar sesuai kehendak Allah SWT.

 

Selanjutnya jika hari ini kita telah mampu merasakan kenikmatan dari bertuhankan hanya kepada Allah SWT yang berasal dari pelaksanaan Diinul Islam yang kaffah, dapatkah anak dan keturunan kita merasakan hal yang sama dengan yang kita rasakan saat ini? Sepanjang diri kita tidak pernah memperkenalkan, tidak pernah mengajarkan Diinul Islam secara kaffah, atau sepanjang diri kita tidak pernah menjadikan syahadat sebagai sebuah komitmen dan pengakuan kepada Allah SWT dan kepada Nabi Muhammad SAW, atau sepanjang diri kita tidak pernah mendidik dan  mengajarkan tentang puasa kepada anak dan keturunan kita maka hal-hal yang telah pernah kita rasakan tidak akan pernah dapat dirasakan oleh anak dan keturunan kita. Jika ini adalah keadaannya, berarti nikmat bertuhankan kepada Allah SWT, atau buah dari pelaksanaan syahadat, atau buah dari melaksanakan ibadah puasa tidak akan dapat diwariskan, tidak akan dapat dialihkan walaupun kepada anak dan keturunan kita sepanjang anak dan keturunan kita tidak mau menjadikan dirinya melakukan hal yang sama seperti yang kita lakukan.

 

Sebagai orang tua, sebagai pendidik, sudahkah diri kita mengajarkan, mendidik, mencontohkan, menjadikan diri kita sendiri sebagai suri tauladan bagi anak keturunan kita sendiri untuk melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak Allah SWT? Jika kita sebagai orang tua, jika kita sebagai pendidik, tidak pernah mengajarkan, tidak pernah mendidik, tidak pernah memberi contoh kepada anak kita sendiri untuk melaksanakan puasa, padahal kita memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan itu semua maka bersiap-siaplah mempertanggung jawabkan apa yang kita lakukan kepada anak dan keturunan kita sendiri dihadapan Allah SWT kelak.

 

Sekarang tolong perhatikan hadits berikut ini: “Rasulullah SAW bersabda: “Bila seseorang telah meninggal, terputus untuknya pahala segala amal kecuali tiga hal yang tetap kekal: Shadaqah Jariah, Ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang senantiasa mendoakannya”.  (Hadits Riwayat Bukhari-Muslim). Hadits ini dapat dikatakan sebagai bonus, atau pemberian ekstra ataupun bukti bakti dari anak yang shaleh/shalehah kepada orang tua, sehingga orang tua termasuk di dalamnya kakek, nenek dapat pula kita doakan kepada Allah SWT, agar mereka semua diampuni segala dosa dan kesalahannya, dilapangkan jalannya, atau dilapangkan kuburnya, diterima amal ibadahnya, oleh sebab doa dari anak dan keturunan yang shaleh atau shalehah.

 

Lalu darimanakah datangnya anak yang shaleh dan shalehah itu, atau apakah anak shaleh dan shalehah datang dengan begitu saja dari langit untuk diri kita? Untuk mendapatkan, untuk memperoleh anak yang shaleh dan shalehah, bukanlah proyek “bim salabim”. Untuk itu kita diwajibkan untuk memprogram, untuk mengajarkan, untuk mendidik anak dan keturunan kita dengan menjadikan Diinul Islam sebagai satu-satunya agama yang haq serta menjalankannya secara kaffah sejak mereka dalam kandungan. Tanpa adanya keseriusan diri kita untuk menciptakan, untuk memprogram keberadaan anak shaleh dan shalehah maka keberadaan anak shaleh dan shalehah yang akan mendoakan diri kita kelak, hanyalah mimpi di siang bolong.

 

Selanjutnya, sebagai bahan pemikiran dan sebagai pemacu bagi diri kita untuk menjadikan anak  dan keturunan kita berada di dalam kesamaan Diinul Islam sebagai agama yang haq. Berikut ini akan kami kemukakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari,Muslim tentang paman dari Nabi Muhammad SAW yang sampai akhir hayatnya belum menjadikan Diinul Islam sebagai agama yang haq, sebagaimana berikut ini: Al-Abbas bin Abdulmuththalib ra. bertanya kepada Nabi SAW: Apakah pertolonganmu (manfaatmu) bagi Abu Thalib yang telah memeliharamu dan membelamu, bahkan ia marah karenamu? Jawab Nabi SAW: Ia kini di atas permukaan neraka, dan andaikan tidak karenaku niscaya ia di tingkat terbawah dalam neraka. (Hadits Riwayat Bukhari,Muslim; Al Lulu Wal Marjan:125)

 

Abu Said Alkhudri ra. mendengarkan Rasulullah SAW ketika disebut padanya Abu Thalib, maka sabda Nabi SAW: Semoga berguna baginya syafa'atku sehingga diletakkan di bagian atas dalam neraka sehingga api neraka hanya membakar sampai batas mata kakinya yang cukup untuk mendidihkan otaknya. (Hadits Riwayat Bukhari,Muslim; Al Lulu Wal Marjan:126)

 

Adanya perbedaan keyakinan antara Abu Thalib dengan Nabi Muhammad SAW, mengakibatkan terjadinya jurang pemisah yang tidak dapat ditolerir oleh Allah SWT. Selanjutnya coba anda bayangkan doa, permohonan dari Nabi dan Rasul terakhir saja tidak mampu menghantarkan Abu Thalib secara langsung ke syurga, sekarang bagaimana dengan diri kita yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Nabi Muhammad SAW. Jika ini adalah kondisi Nabi Muhammad SAW kepada pamannya sendiri, selanjutnya bagaimana dengan diri kita kepada kedua orang tua kita sendiri, atau bagaimana dengan anak keturunan kita dengan diri kita?

 

Kita tidak akan pernah tahu, apakah akan didoakan oleh anak dan keturunan kita sendiri setelah kita meninggal dunia. Sekali lagi, kita juga tidak memiliki jaminan sama sekali apakah akan didoakan oleh anak dan keturunan kita sendiri kelak setelah diri kita meninggal dunia. Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas maka kita harus menyadari betapa pentingnya pendidikan dan pengajaran Diinul Islam sebagai agama yang haq kepada anak dan keturunan kita sendiri. Tanpa ini, apa yang dapat kita lakukan kepada orang tua kita, atau apa yang dapat kita harapkan dari anak dan keturunan kita jika kita tidak pernah memberikan dan mengajarkan Diinul Islam sebagai agama yang haq yang berasal dari fitrah Allah SWT. Tanpa adanya kesamaan, dalam hal ini adalah kesamaan dalam Diinul Islam sebagai agama yang yang diridhai Allah SWT, maka jangan pernah berharap Allah SWT memberikan fasilitas kemudahan ini.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, atau kita sebagai orang tua maka kita wajib  mengajarkan kepada anak dan keturunan kita masing-masing tentang Diinul Islam, tentang syahadat sebagai sebuah komitmen dan pengakuan kepada Allah SWT dan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah SWT, mengajarkan tentang shalat, mengajarkan tentang zakat, mengajarkan tentang puasa dan mengajarkan tentang haji (atau mengajarkan tentang Diinul Islam secara kaffah) sehingga baik diri kita maupun anak dan keturunan kita selalu berada dalam satu kesatuan yaitu di dalam Diinul Islam sebagai agama yang fitrah dari Allah SWT. Semoga anak keturunan kita semuanya sama dalam kebersamaan yaitu sama sama memeluk dan mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar