Ketika
dalam otak (pikiran) seseorang tercetus pikiran negatif terhadap sesuatu hal,
atau adanya keinginan berbuat kejahatan dan kecurangan maka pada saat itu juga
partikel- partikel kimia atau cairan yang ada dalam otak langsung bergerak dan
berpendar. Gerakan itu menggeser partikel yang ada di sebelahnya. Itu terjadi
karena di dalam diri kita (pikiran) dan di alam ini tidak ada ruang kosong,
semua sudah terisi oleh partikel partikel yang sangat rapat.
Pergerakan
kecil yang terjadi pada otak (pikiran) akan mengakibatkan gerakan berantai yang
akan menimbulkan gelombang, dan pada akhirnya mengeluarkan aura negatif,
pikiran jelek, hanya mementingkan urusan jangka pendek, lalu terjadilah
aktifitas atau perbuatan yang tercela. Inilah yang terjadi pada orang orang
yang berjiwa fujur.
Lain
halnya bagi orang orang yang berjiwa muthmainnah, kondisi yang kami kemukakan
di atas ini tidak terjadi dikarenakan sewaktu timbul godaan, rayuan, pikiran
kotor, yang dihadapinya tidak diserahkan kepada pikiran, melainkan diserahkan
kepada hati nurani, sehingga hati nurani mengambil prosesnya yang dihadapi oleh
manusia. Adanya peran hati nurani di dalam menghadapi godaan, rayuan, pikiran
kotor, maka nilai nilai keburukan yang dibawa oleh jasmani dapat dihindari,
atau bahkan bisa hilang dalam diri tergantikan dengan kebaikan yang berasal dari nilai nilai
kebaikan.
Sedangkan
bagi orang orang yang berjiwa fujur, proses menghadapi persoalan hidup hanya
mengandalkan pikiran (otak) semata tanpa melibatkan peran hati nuraninya,
akhirnya bukan jalan kebaikan yang di dapat melainkan jalan keburukan yang
nampak karena pikiran (otak) tanpa peran hati nurani lebih mudah untuk
diintervensi oleh syaitan sedangkan hati nurani tidak. Akibat yang ditimbulkan
dari tidak dilibatkannya hati nurani di dalam menghadapi persoalan hidup dan
kehidupan, mengakibatkan perilaku, tabiat, perbuatan, penampilan seseorang
menjadi tidak sesuai dengan nilai nilai kebaikan yang dikehendaki Allah SWT.
Berikut
ini akan kami sampaikan beberapa bentuk
tabiat, perilaku ataupun penampilan dari orang orang yang berjiwa fujur,
yang hanya mengandalkan pikiran (otak) semata tanpa pernah melibatkan hati
nurani, yaitu:
A. MAMPU MENJADIKAN SESEORANG
MENJADI PEMBUNUH (PERISTIWA QABIL MEMBUNUH SAUDARANYA HABIL).
Tabiat,
perilaku ataupun bentuk penampilan dari orang yang berjiwa fujur akan kami
kemukakan sesuai dengan firman Allah SWT berikut ini:
“Ceritakanlah
(Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika
kedunya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua
(Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diteriman. Dia (Qabil)
berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!’ Dia (Habil) berkata: “Sesungguhnya
Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertaqwa. Sungguh, jika engkau
(Qabil) menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan
menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Aku takut kepada Allah, Tuhan
seluruh alam. Sesungguhnya aku ingin ahgar engkau kembali dengan membawa dosa
(membunuh)ku dan dosamu sendiri, maka engkau akan menjadi penghuni neraka; dan
itulah balasan bagi orang orang yang zalim. Maka nafsu (Qabil) mendorongnya
untuk membunuh saudaranya, kemudian dia pun (benar benar) membunuhnya, maka
jadilah ia termasuk orang yang rugi. (surat Al
Maaidah (5) ayat 27, 28, 29, 30).”
Ayat di atas ini mengemukakan bahwa Allah SWT telah mengabadikan
sebuah peristiwa pembunuhan yang pertama kali terjadi di muka bumi ini, yaitu
peristiwa Qabil membunuh saudara kandungnya sendiri yang bernama Habil.
Peristiwa pembunuhan ini terjadi karena Qabil telah memperturutkan
ahwa (hawa nafsu) nya akibat dilarang menikah dengan saudara kembarnya sendiri.
Akhirnya terjadilah peristiwa yang sangat luar biasa kejam yaitu saudara
kandung membunuh saudara kandungnya sendiri hanya karena ketidaksukaannya untuk
menikah dengan saudara kembar dari Habil. Adanya peristiwa pembunuhan Habil oleh
Qabil menunjukkan bahwa orang yang memperturutkan ahwa (hawa nafsu)nya mampu
bertindak diluar batas kepatutan dan kepantasan yang berlaku.
Allah SWT mengabadikan peristiwa pembunuhan yang pertama kali
terjadi bukan tanpa maksud dan tujuan, melainkan ingin menunjukkan kepada kita
semua, terutama kepada umat manusia, jangan pernah sekalipun memperturutkan
ahwa (hawa nafsu) karena semua hal yang tidak mungkin terjadi bisa terjadi
karena faktor memperturutkan ahwa (hawa nafsu) yang bersifat menyesatkan lagi
menyengsarakan akhirnya.
Bayangkan saat peristiwa pembunuhan Habil terjadi, penduduk muka
bumi saat itu masih sangat sedikit jumlahnya, namun akibat terpengaruh ahwa
(hawa nafsu) nya Qabil dengan sangat teganya membunuh saudara kandungnya
sendiri. Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari rencana besar kekhalifahan
di muka bumi sudah mengingatkan kepada seluruh umat manusia, agar diri kita
tidak mengikuti atau terpengaruh atau memperturutkan ahwa (hawa nafsu) karena
sangat berbahaya dan akhirnya menggagalkan usaha manusia untuk masuk ke dalam
syurga karena kondisi manusia sudah tidak lagi sesuai dengan kehendak Allah
SWT.
B.
RUSAKNYA CIPTAAN ALLAH SWT DI MUKA BUMI.
Akibat dari memperturutkan ahwa (hawa nafsu) adalah
banyaknya orang-orang yang membuat langit,
bumi beserta isinya hancur, rusak, punah atau binasa. Ini semua terjadi akibat
adanya manusia-manusia yang tidak mengindahkan perintah dan larangan Allah SWT
selaku pencipta dan pemilik alam semesta ini. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Mu’minuun (23) ayat 71 berikut ini: “Andaikata
kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini,
dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada
mereka kebanggan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”.
Lihatlah hutan yang
semakin gundul, lihatlah kerusakan lingkungan akibat eksplorasi yang
mengabaikan amdal, lihatlah flora dan fauna yang telah punah karena hobbi yang
tidak berguna, lihatlah sisa-sisa penambangan yang ditinggalkan begitu saja
tanpa direstorasi kembali, yang kesemuanya terjadi akibat keserakahan manusia yang hanya memikirkan
keuntungan sesaat, yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan siapa
yang menciptakan itu semua dan tanpa mengindahkan kehendak pencipta-Nya.
Apa
yang terjadi diatas ini seperti kerusakan langit dan bumi dan juga pertumpahan
darah dan lainnya sangat berkesesuaian dengan apa yang dikhawatirkan oleh
malaikat saat Allah SWT pertama kali mengemukakan rencana besarNya tentang kekhalifahan
di muka bumi. Allah SWT berfirman: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.” Mereka
berkata: “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan
darah disana, sedangkan kami bertasbih memujiMu dan menyucikan namaMu? Dia
berfirman: “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (surat Al
Baqarah (2) ayat 30).”
Jika
sampai diri kita menjadi pelaku kerusakan alam berarti diri kita sudah gagal
melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekalugus khalifah-Nya di muka
bumi, dikarenakan tujuan dari diciptakannya manusia di muka bumi adalah untuk
menjaga, merawat, memelihara alam serta terciptanya kedamaian dan keteraturan
di muka bumi melalui kekhalifahan yang diciptakan Allah SWT.
Hal
lain yang harus kita perhatikan saat ini adalah bahwa segala keserakahan,
tamak, loba tidak akan bisa menjadikan diri kita tetap menjadi makhluk
terhormat serta tidak akan bisa pula menghantarkan diri kita pulang kampung ke
tempat yang terhormat dengan cara yang terhormat. Sudahkah kita memahaminya.!
C. SULIT MENERIMA AJAKAN
KEBAIKAN.
Tabiat, perangai dan perilaku dari
orang orang yang berjiwa fujur, apakah itu jiwa hewani, jiwa amarah ataupun
jiwa mushawwilah akan sulit memahami dan bahkan tidak mau menerima pernyataan
yang mengajak kepada kebaikan. Inilah
salah satu perilaku orang yang berjiwa fujur adalah selalu
menolak kebaikan, atau akan sulit menerima sebuah kebenaran walaupun telah
datang petunjuk yang benar dihadapan mereka langsung. Hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama
mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”.
Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu (surat Al
Baqarah (2) ayat 120)”.
Ingat, orang yang berjiwa
fujur adalah orang yang masih munafik terhadap dirinya sendiri. Munafik karena hatinya meyakini tapi
raganya tak mau mengikuti, nuraninya mengimani tapi jasadnya mengingkari,
karena pendengaran,
penglihatan, dan perasaan (af’idah) serta iradat yang mereka miliki telah
dijajah (dipengaruhi) oleh ahwa (hawa nafsu). Sehingga yang ada hanyalah nilai
nilai keburukan melalui merasa dirinya saja yang benar orang lain salah
sehingga mereka sesuai dengan kehendak syaitan melalui program memandang indah
perbuatan buruk. Akhirnya mereka merasa dirinya hebat, dibandingkan dengan Nabi
dan RasulNya dan bahkan merasa sudah tidak membutuhkan Allah SWT lagi.
Sebagai
makhluk terhormat, tentu kita tidak bisa melanggar ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT. Untuk itu sebelum kita bertindak dan berbuat
sesuatu, pikirkanlah segala sesuatunya dengan cermat. Jika kita berharap untuk memperoleh kebaikan
tidak akan bisa diperoleh melalui jalan keburukan. Dikarenakan sesuatu yang
bersifat keburukan tidak akan dapat menghasilkan sesuatu yang bersifat kebaikan
sebab keduanya saling bertolak belakang. Untuk mendapatkan atau
menghasilkan sesuatu yang baik harus di mulai dari niat yang baik melalui proses yang baik pula. Hal ini dikarenakan
ukuran dan parameter dari kebaikan yang kita lakukan bukanlah parameter dari
diri kita sendiri, akan tetapi parameter yang dari sisi Allah SWT.
Jika
di dalam diri manusia sudah tidak mempunyai serta tidak mengakui adanya
kebaikan, mungkinkah manusia tersebut dapat memperoleh dan menghasilkan sebuah
kebaikan? Jika apa yang kami kemukakan di atas merupakan parameter dari
ketetapan Allah SWT untuk memperoleh kebaikan, sekarang bisakah, mampukah,
berhasilkah manusia memperoleh dan mendapatkan kebaikan dan kesuksesan hidup
melalui jiwa fujur, atau menjadikan jiwa fujur sebagai alat bantu saat diri
kita hidup di dunia? Jawabannya bisa berhasil, tetapi di dalam koridor nilai
nilai syaitaniyah yang menghantarkan kita ke neraka.
Selain menolak kebaikan, orang orang yang
berjiwa fujur, mereka juga menolak kebenaran walaupun bukti bukti kebenaran itu
sudah mereka saksikan langsung. Berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 27 berikut
ini: Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang
orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud bermaksud supaya kamu
berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)”.
orang yang selalu memperturutkan kepentingan ahwanya paling suka menolak
kebenaran sehingga acuan dasar tindakan yang dilakukannya selalu berada di
dalam koridor nilai-nilai keburukan yang dikehendaki syaitan.
Jika sampai kondisi jiwa fujur terjadi pada
diri kita berarti cara-cara menipu dengan menolak kebenaran atau memberikan
keterangan palsu atau membuat kesaksian palsu, akan lebih sering kita lakukan
yang pada akhirnya apa yang kita lakukan atau hasil akhir dari perbuatan kita
dapat dipastikan sesuai dengan nilai-nilai Syaitani.
Hal ini terjadi karena orang orang tersebut
telah mengorbankan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7, sesuatu yang sangat baik
yang berasal dari Allah SWT, didayagunakan untuk kepentingan nilai-nilai keburukan
dan kejahatan yang dibawa oleh jasmani serta yang dikehendaki oleh syaitan.
Selanjutnya hasil akhir dari manusia yang selalu memperturutkan ahwa (hawa
nafsu)nya atau manusia yang mengorbankan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 yang melalui
cara-cara yang tidak elegan, tidak jujur, tidak bertanggungjawab, akan dapat menghantarkan diri mereka kita ke neraka jahannam
untuk hidup bertetangga dengan syaitan.
D. BERPERILAKU
(DIPERSAMAKAN) SEPERTI ANJING.
Yang harus kita ketahui adalah orang orang yang
berjiwa fujur dipersamakan dengan anjing oleh Allah SWT.Hal ini berdasarkan
surat Al A’raaf (7) ayat 176 berikut
ini, “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya kami
tinggikan (derjat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia
dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika
kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia
mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu
agar mereka berfikir”. orang yang telah menjadikan dirinya
menjadi jiwa fujur disamakan dengan Anjing oleh Allah SWT.
Untuk
itu lihatlah anjing, dari sisi negatifnya yaitu “setiap orang dicela dan
diolok-olok (maksudnya tuan rumah digonggong, tamu juga digonggong), anjing tak
tahu yang baik dan buruk (maksudnya diberi bangkai dimakan, diberi makanan enak
dimakan), anjing kemana-mana selalu menjulurkan lidah (maksudnya senang
berkeluh kesah, susah berkeluh kesah).” Di lain sisi anjing juga memiliki
sifat-sifat positif yaitu “kesetiaan dan amanah”.
Sekarang
Allah SWT berdasarkan surat Al A'raaf (7) ayat 176 telah menyatakan bahwa orang
yang memperturutkan ahwa (hawa nafsu)nya disamakan dengan anjing. Timbul
pertanyaan, jika manusia disamakan dengan anjing, sisi manakah dari anjing yang
disamakan dengan manusia, apakah sisi yang negatif ataukah sisi yang positif? Allah SWT
menyamakan manusia dengan anjing, bukan dilihat dari sisi positif yang dimiliki
oleh anjing melainkan dari sisi negatif dari anjing.
Jika ada manusia yang hanya
dapat memberi komentar tanpa dapat memberi solusi, jika manusia hanya melihat
kejelekan seseorang tanpa bisa melihat kebaikan seseorang, jika manusia hanya
bisa mencela tanpa dapat melihat kebaikan seseorang, jika manusia hanya mampu
memberikan opini miring tanpa melihat masalah secara seutuhnya, jika manusia
hanya selalu berburuk sangka kepada siapapun tanpa mau tahu apa latarbelakang
dari itu semua, itulah sisi buruk dari anjing yang dipakai
oleh manusia akibat dari penguasaan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 untuk
kepentingan jasmani, atau karena jiwanya telah menjadi jiwa fujur.
Sekarang siapakah yang
meniru, apakah anjing yang meniru manusia, ataukah manusia yang meniru anjing?
Yang
pasti anjing tidak meniru manusia, akan
tetapi manusialah yang meniru anjing. Jika ini yang terjadi, jadi siapakah yang
lebih hebat, manusiakah atau anjingkah? Mudah-mudahan hal ini tidak terjadi
pada diri kita, dan juga pada anak dan keturunan kita selama lamanya.
Untuk
itu coba
kita renungkan kenapa Allah SWT menyamakan manusia dengan anjing, padahal
awalnya manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang terhormat yang
mampu menjadi menjadi perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi? Jika
pencipta dan penggagas dari manusia sudah seperti itu penilaiannya kepada
ciptaannya sendiri yang telah diangkat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus
khalifah-Nya di muka bumi, berarti manusia tersebut sudah keluar dari konsep awal penciptaan
manusia atau ada sesuatu yang salah di dalam diri manusia tersebut.
E. HATINYA DIKUNCI OLEH ALLAH SWT.
Yang
juga harus kita ketahui adalah orang orang yang berjiwa fujur, hatinya dikunci
oleh Allah SWT. Hal ini berdasarkan surat Muhammad (47) ayat 16 berikut ini: “Dan diantara mereka ada orang yang mendengarkan
perkataanmu sehingga apa bila mereka ke luar dari sisimu mereka berkata kepada
orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): “Apakah yang
dikatakannya tadi?” Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka
oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka”. Apa
maksudunya?
Setiap
manusia tanpa terkecuali telah diberikan oleh Allah SWT apa yang dinamakan
dengan perasaan (af’idah) yang diletakkan di dalam hati nurani. Adanya perasaan
yang ada di dalam hati nurani, maka kita dapat merasakan rasa sedih ataupun
gembira ataupun kecewa. Dan melalui perasaan kita dapat juga mengungkapkan rasa
syukur atau rasa penyesalan atas apa-apa yang telah kita perbuat.
Sekarang
perasaan (af’idah) ini telah dikunci, dicabut, dihilangkan oleh Allah SWT apa
yang dapat kita rasakan? Dapatkah kita menangis setelah merasakan kesedihan
atau mengungkapkan rasa syukur atau dapatkah kita tertawa setelah merasakan
kebahagiaan atau setelah bergurau?
Selain
daripada itu, jika sampai Allah SWT menutup hati nurani kita berarti kita tidak
akan dapat berkomunikasi dengan Allah SWT, kita tidak akan dapat merasakan
kebesaran Allah SWT, kita tidak dapat merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah
SWT, kitapun tidak merasakan getaran saat menerima pesan pesan baik atau bahkan
melihat kematianpun biasa bisa saja.
Kenapa
hal ini bisa terjadi? Ingat, hanya hati nurani orang mukminlah yang dapat
menjangkau Allah SWT. Sebagaimana hadits berikut ini: “Wahai bin Munabbih berkata; Nabi
SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya langit langit dan bumi tidak
berdaya menjangkauKu, namun Aku telah dijangkau oleh hati seorang mukmin.
(Hadits Qudsi Riwayat Ahmad; 272:32)”. Di dalam kehidupan sehari-hari hanya orang
yang hilang ingatan atau yang tidak waras atau hanya orang gila saja yang
disebut dengan orang tidak mempunyai perasaan.
Sekarang
jika kita tidak mau kehilangan perasaan yang telah diletakkan oleh Allah SWT di
dalam Hati Ruhani maka jangan serahkan atau jangan perturutkan ahwa (hawa
nafsu) saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi,
terkecuali jika kita ingin menjadi pengikut syaitan yang ingin merasakan pulang
kampung ke Neraka.
Ingat,
bahwa orang orang yang telah dikunci hatinya oleh Allah SWT akan memiliki
delapan kelemahan yaitu:
1.
Orang yang duduk dalam majelis padahal dia
bukan ahlinya;
2.
Orang yang berbicara kepada orang yang tidak
mendengarnya;
3.
Ikut berbicara di tengah dua orang yang sedang berbicara dalam urusan yang lain;
4.
Orang yang mencampuri urusan yang bukan
wewenangnya;
5.
Orang yang berniat buruk terhadap tuan rumah
di rumahnya sendiri;
6.
Orang yang mendatangi resepsi (walimah) tanpa
undangan;
7.
Orang yang mengharapkan kebaikan dari lawan
lawannya;
8.
Orang yang meremehkan kekuasaan penguasa.
Semoga
hal ini tidak pernah terjadi pada diri kita, pada keluarga kita, pada anak dan
keturunan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar