Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Sabtu, 09 Maret 2024

DIMENSI PUASA DAN KEMBALI FITRAH (PART 1 of 5)

  

Puasa berasal dari bahasa Sansekerta puwasa yang bermakna menahan. Dalam bahasa Arab disebut as Shiam atau as Shaum yang berarti menahan makan, minum dan syahwat atau dengan kata lain menahan segala alat pancaindera lahir dan bathin dalam kurun waktu tertentu dari segala perbuatan sia sia dan terlarang. Puasa menurut pengertian syara’ diartikan sebagai suatu bentuk ibadah dengan menahan diri dari makan, minum dan syahwat, mulai fajar sampai maghrib, dengan niat yang ikhlas untuk mendapatkan ridha Allah SWT dalam kerangka untuk mempersiapkan diri menjadi orang orang yang muttaqin (taqwa).

 

Nabi SAW bersabda: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, Allah SWT memerintahkan kamu berpuasa di dalam bulan itu.” (Hadits Riwayat Ahmad, Nasai dan Baihaqi dari Abu Hurairah ra).  Bulan Ramadhan adalah tonggak utama dalam rangka dan kerangka pembinaan dan peningkatan keimanan dan ketaqwaan. Ibadah puasa sebagai ibadah ruhiyah yang diwajibkan kepada umatNya agar menjadi mukmin yang muttaqin. Untuk menyambut kedatangan bulan Ramadhan maka kita harus berkemas diri dan bersiap sepenuh iman guna memasuki 2 (dua) buah kemungkinan, yaitu: (1) memasuki bulan pelatihan, atau (2) memasuki bulan pertandingan, guna menyimak dan mencermati hakekat hidup, melakukan  ijtihad untuk memerangi ahwa (hawa nafsu). Sehingga timbul motivasi bekerja dan beramal secara lebih mapan sebagai bekal untuk menghadap Allah SWT Tuhan semesta alam.

 

Menurut Imam Ghazali, puasa ada 3 (tiga)  tingkatan, yaitu “puasa umum, puasa khusus dan puasa khususil khusus”. Puasa umum yang hanya sekedar menahan haus, lapar dan syahwat semata. Puasa khusus, mencegah penglihatan, pendengaran, lidah, mulut, serta anggota lainnya dari berbuat dosa. Puasa khusus dari yang khusus (khususil khusus) adalah puasa hati dari segala kehendak dan niat yang hina dan segala pikiran duniawi, semata mata hanya untuk keridhaan Allah SWT. Untuk itu kita tinggal mengatur strategi untuk melaksanakan-nya, yang semuanya tergantung keimanan dan niat kita masing masing. Sesungguhnya segala perbuatan itu dimulai dan dinilai menurut niatnya.

 

Kondisi ini sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT selaku pemberi perintah melaksanakan puasa yaitu agar yang diperintahkan untuk berpuasa dapat memperoleh dan merasakan langsung manfaat dan hikmah yang hakiki yang ada dibalik perintah puasa sebagaimana termaktub dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183,184,185 yaitu “Taqwa; Fitrah; selalu Bersyukur dan Sehat”. Dan jika setelah berpuasa atau setelah hari raya idhul fitri, kita tidak bisa memperoleh dan merasakan 4 (empat) buah manfaat langsung manfaat dan hikmah yang hakiki yang terdapat dibalik perintah puasa berarti  perintah puasa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT tidak pernah salah (perintah puasanya tidak akan pernah salah), akan tetapi yang diperintahkan untuk berpuasalah yang memiliki masalah.

 

Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari ruhani dan jasmani diri kita maka dapat dipastikan bahwa Allah SWT lah yang paling paham dan yang paling mengerti tentang ruhani dan jasmani diri kita. Sebagai pemilik ruhani dan jasmani maka dapat dipastikan pula bahwa Allah SWT lah yang paling berkuasa atas apa apa yang diciptakannya. Jika ini kondisi dasar dari Allah SWT kepada ruhani dan jasmani berarti segala apa apa yang akan terjadi, apa apa yang sedang terjadi, serta bagaimana posisi yang seharusnya terjadi pada jasmani dan juga ruhani pasti diketahui oleh Allah SWT. Dan agar segala sesuatu yang telah diciptakan dan dimilikiNya sesuai dengan apa apa yang dikehendaki oleh Allah SWT itu sendiri seperti fitrahnya ruhani, atau sehatnya jasmani maka Allah SWT juga pasti memiliki cara dan tolak ukur untuk menunjukkan sesuatu itu masih dalam kondisi fitrah bagi ruhani, atau masih dalam kondisi sehat bagi jasmani termasuk di dalamnya bagaimana mengembalikan kefitrahan ruhani dan juga mengembalikan kesehatan jasmani. Kita harus imani hal ini.   

 

Sekarang mari kita bahas salah satu tujuan lain dari perintah melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan yaitu kembali fitrah. Fitrah secara harfiah artinya suci, murni, bersih, belum ternoda. Kembali kepada fitrah bukanlah berarti kembali suci, murni, bersih, belum ternoda, tetapi apakah kondisi dan keadaan diri kita masih sesuai dengan kondisi awal penciptaan manusia, atau apakah diri kita masih sesuai dengan kondisi aslinya, atau apakah diri kita masih sesuai dengan program Allah SWT saat menciptakan manusia, atau apakah diri kita masih sesuai dengan konsep awal penciptaan manusia yang termaktub dalam surat Al Baqarah (2) ayat 30 berikut ini: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (surat Al Baqarah (2) ayat 30)

 

Adanya kondisi ini berarti jika kita dikatakan dalam kondisi fitrah atau kembali ke fitrah maka keadaan diri kita harus masih sesuai dengan kodrat awal penciptaannya seperti yang dikemukakan oleh Allah SWT di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 30 serta pada saat Allah SWT mempersilahkan iblis dan syaitan untuk menggoda anak dan keturunan Nabi Adam a.s. Sekarang seperti apakah kodrat awal manusia yang masih fitrah itu atau seperti apakah kembali kepada fitrah itu?

 

Berikut ini akan kami kemukakan beberapa kondisi-kondisi awal dari manusia yang masih fitrah atau masih sesuai dengan konsep aslinya, yaitu :

 

A.     MANUSIA ADALAH MAKHLUK RUHANI.

 

Setiap manusia, siapapun dia, termasuk di dalamnya diri kita dapat dipastikan terdiri dari jasmani dan ruhani. Jasmani berdasarkan surat As Sajdah (32) ayat 7 berikut ini: Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.” berasal dari sari pati tanah. Sedangkan ruhani berdasarkan surat Asj Sajdah (32) ayat 9 berikut ini: Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkannya roh (ciptaan)Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” berasal dari Allah SWT.

 

Adapun hakekat dari manusia itu yang sesungguhnya bukanlah terletak pada sisi jasmaninya melainkan adalah dari sisi ruhaninya, atau dengan kata lain hakekat dari diri manusia yang seutuhnya adalah ruhani. Atas dasar apakah kita mengatakan bahwa diri kita yang sesungguhnya adalah ruhani? Berikut ini akan kami kemukakan dasar dari itu semua, yaitu:

 

1.       Berdasarkan ketentuan dalam surat Al A’raf (7) ayat 172 berikut ini: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” dan berdasarkan surat Al Hadiid (57) ayat 8 berikut ini:  Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah, padahal Rasul mengajak kamu beriman kepada Tuhanmu? Dan Dia telah mengambil janji (setia) mu, jika kamu orang orang mukmin.” Setiap ruh telah memberikan janji setia untuk bertuhankan kepada Allah SWT. Dan ini sudah terjadi setelah proses peniupan ruh ke dalam janin saat berusia 120 hari di dalam rahim seorang ibu.  Konsekuensi dari janji setia ini ialah setiap manusia harus mentaati Allah SWT selaku Tuhannya dan jika kita telah mentaati Allah SWT berarti kitapun wajib mempelajari, memahami, melaksanakan serta mentaati segala aturan, segala ketentuan, segala hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT yang termaktub dalam Diinul Islam.

 

2.       Hidup adalah saat bersatunya ruhani dengan jasmani dan jika ini yang terjadi ini berarti kita semua masih berada di dunia. Dan pada saat di dunia inilah kita dihadapkan bahwa hidup itu adalah pilihan. Pilihan untuk mementingkan kehidupan jasmani (dunia) ataukah untuk mementingkan kehidupan ruhani (akhirat). Jika kita mampu memilih sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad SAW yang telah menyatakan, bahwa Allah hanya akan memperhatikan ruhani semata. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim) berarti kita harus mementingkan/mendahulukna kehidupan akhirat dibandingkan kehidupan dunia.

 

3.       Setiap manusia akan mengalami saat dipisahkannya jasmani dengan ruhani, atau saat sakratul maut. Jasmani akan dikuburkan dan akan mengalami kehancuran, sedangkan ruhaninya tetap ada dan akan mendapat rahmat atau siksa di dalam Barzah. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim) 

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, maka kita harus memiliki ilmu dan pengetahuan tentang jasmani dan juga tentang ruhani, terutama bagaimana cara merawat, memelihara dan menjaga keduanya, yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Untuk merawat, memelihara dan menjaga kesehatan jasmani dan ruhani tidak bisa disamakan cara dan pendekatannya serta tidak bisa mendahulukan salah satu dengan mengabaikan yang lainnya. Baik jasmani maupun ruhani harus kita jaga dan kita rawat kesehatannya.

 

Untuk menjaga dan merawat jasmani, maka Allah SWT telah memberikan pedomannya yang terdapat di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 168 berikut ini: Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah langkah syaitan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu. ditambah dengan membaca basmallah dan doa sebelum mengkonsumsi segala sesuatu serta melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan dan/atau melaksanakan puasa sunnah di luar bulan Ramadhan.

 

Lalu bagaimana cara merawat dan menjaga ruhani, terutama kefitrahannya? Ruhani yang tidak lain adalah jati diri manusia yang sesungguhnya sehingga untuk mempertahankan kefitrahannya maka Ruhani tidak bisa dipisahkan dengan keimanan dikarenakan hanya keimananlah yang bisa mempertahankan kualitas atau kefitrahan Ruhani dari waktu ke waktu. Agar ruhani selalu fitrah atau berkualitas selama hayat masih di kandung badan maka Ruhani harus selalu memperoleh asupan energi keimanan melalui pelaksanaan ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT melalui pelaksanaan Diinul Islam secara kaffah dalam satu kesatuan, dengan catatan :

 

1.       Ibadah yang kita laksanakan bukanlah untuk mencari pahala atau membatalkan sebuah kewajiban, melainkan sebagai sebuah kebutuhan.

2.       Ibadah adalah sarara untuk memberi asupan makanan guna pertumbuhan keimanan atau untuk mempertahankan kualitas keimanan yang dibutuhkan oleh Ruhani.

3.       Ibadah adalah alat bantu untuk memantapkan iman dalam jiwa atau dalam ruhani sehingga jiwa kita berada di dalam kelompok jiwa taqwa.

4.       Ibadah adalah sarana untuk memperbaharui sumber kekuatan untuk memperoleh pertolongan Allah SWT yang sangat diperlukan untuk mensukseskan tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi.

5.       Ibadah seharusnya mampu untuk menggarap hati kita menjadi lebih peka terhadap lingkungan, lebih teguh terhadap perintah dan larangan Allah SWT.

6.       Ibadah untuk membina pribadi pribadi manusia dalam kerangka mempertahankan dan memelihara serta mengembangkan dan meningkatkan apa apa yang telah diberikan Allah kepada diri kita.

7.       Ibadah untuk mensukseskan tugas kita sebagai khalifah di muka bumi serta untuk mencari keridhaan Allah.

 

Selain dari itu, masih ada ketentuan lain yang harus kita pahami dengan baik dan benar yaitu tentang adanya ketentuan dasar tentang ruhani dan juga tentang jasmani, yaitu:

 

1.       Ruhani memiliki ketentuan datang fitrah kembali harus fitrah maka ruhani sangat membutuhkan pelaksanaan Diinul Islam secara kaffah dari waktu ke waktu tanpa pernah putus. 

2.       Kemampuan jasmani sangat berhubungan erat dengan posisi usia seseorang. Semakin tua usia seseorang maka jasmani pasti akan mengalami penurunan kemampuan dan fungsinya. Inilah sunnatullah yang pasti berlaku kepada jasmani.

3.       Kemampuan ruhani tidak berhubungan langsung dengan tua atau mudanya  seseorang, melainkan sejauh mana kita mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah. Semakin kaffah (khusyu’) kita melaksanakan Diinul Islam maka semakin berkualitas atau semakin fitrah ruhani seseorang.

4.       Untuk itu jangan pernah menjadikan ruhani mengikuti sunnatullah yang berlaku bagi jasmani. Semakin tua semakin berkurang kemampuannya. Cukup jasmani saja yang menjadi tua atau berkurang kemampuannya namun ruhani haruslah tetap muda (maksudnya tetap berkualitas/tetap fitrah sesuai dengan kehendak Allah SWT).

5.       Sebagai khalifah di muka bumi jangan sampai tuanya jasmani diikuti dengan tuanya ruhani (maksudnya jangan sampai penurunan kualitas jasmani diikuti dengan menurunnya kefitrahan ruhani) dan jika sampai ini terjadi maka sesuailah diri kita dengan kehendak syaitan.

6.       Ruhani yang tetap dalam kondisi fitrah akan sangat membantu kondisi dan keadaan jasmani yang sedang mengalami penurunan kemampuan, sehingga kita tetap mampu hidup berkualitas dari waktu ke waktu serta mampu bermanfaat bagi orang banyak. 

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, sadarilah hal ini agar jangan sampai kita salah menempatkan diri kita dihadapan Allah SWT yang pada hasil akhirnya membawa diri kita pada penyesalan yang tiada berujung sehingga menghantarkan kita menjadi penghuni neraka.

 

B.      RUHANI ADALAH JATI DIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA

 

Seorang dikatakan kembali fitrah atau telah difitrahkan kembali oleh Allah SWT melalui ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan maka orang tersebut tahu dan mengerti bahwa jati dirinya yang sesungguhnya adalah ruhani. Jika ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya maka yang sesungguhnya menjadi khalifah di muka bumi adalah ruhani serta yang dikhalifahi secara mikro adalah jasmani sedangkan secara makro yang dikhalifahi adalah bumi.

 

Ruhani asalnya dari Allah SWT sehingga hanya Allah SWT sajalah yang memiliki ilmu dan yang paling paham tentang ruhani, hanya Allah SWT sajalah yang mampu menciptakan ruhani serta Allah SWT sajalah yang mampu merawat ruhani. Apabila kita sangat berkepentingan dengan ruhani yang menjadi diri kita yang sesungguhnya dan yang menjadi khalifah maka hanya dengan memenuhi segala apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT maka kefitrahan ruhani bisa kita jaga sehingga ruhani datang fitrah kembalinya pun harus fitrah pula. 

 

Sekarang jika manusia kembali kepada fitrah berarti jati diri kita yang sesungguhnya adalah ruhani dan jika ruhani adalah jati diri kita yang sesungguhnya, lalu sudahkah perilaku, perbuatan ruhani yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan (Nass) yang sesuai dengan kehendak Allah SWT menjadi perilaku dan perbuatan diri kita saat menjadi khalifah di muka bumi? Jika sikap dan perbuatan kita belum mencerminkan sifat-sifat alamiah ruhani yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan (nass) berarti diri kita belum kembali fitrah atau kita belum sesuai dengan kehendak Allah SWT. Untuk itu segera kembalikan kefitrahan diri melalui proses taubatan nasuha yang diikuti dengan melaksanakan Diinul Islam secara kaffah saat ini juga karena waktu tidak bisa diputar ulang dan juga karena kita tidak tahu apakah masih memiliki kesempatan ke dua.

 

Lalu jika kita telah kembali fitrah (maksudnya telah mampu menjadikan diri yang sesungguhnya adalah ruhani) berarti kita telah mampu bertuhankan hanya kepada Allah SWT sesuai dengan janji yang telah dikemukakan oleh ruhani sesaat setelah ruhani dipersatukan dengan jasmani di dalam rahim seorang ibu. Ingat, orang yang telah bertuhankan hanya kepada Allah SWT berarti orang itu tidak pernah sekalipun memutuskan hubungan dengan Allah SWT saat hidup di muka bumi.

 

Allah SWT berfirman:  Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (surat Al A’raaf (7) ayat 172)

 

Sekarang jika manusia kembali kepada fitrah berarti melaksanakan puasa di bulan Ramadhan harus dapat mengembalikan jati diri manusia yang sesungguhnya adalah ruhani. Dan jika ruhani adalah jati diri kita yang sesungguhnya berarti sifat-sifat alamiah ruhani (Nass) yang mencerminkan Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) harus menjadi perilaku dan perbuatan diri kita saat menjadi khalifah di muka bumi. Jika sikap dan perbuatan diri kita setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan belum mencerminkan sifat-sifat alamiah ruhani (Nass) yang mencerminkan Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) berarti diri kita belum kembali fitrah, sehingga masih sesuai dengan kehendak syaitan.

 

Contohnya: jika sebelum melaksanakan ibadah puasa Ramadhan  kita pelit (bakhil), tidak mau berbagi, hanya mementingkan diri sendiri maka setelah bulan Ramadhan kita menjadi lebih dermawan, peduli kepada sesama. Lalu jika sebelum puasa Ramadhan kita selalu tergesa-gesa maka setelah bulan Ramadhankita menjadi orang yang sabar. Jika sebelum puasa Ramadhan kita sering berbuat korupsi, kolusi dan nepotisme, setelah bulan Ramadhan kita tidak mau lagi melakukan hal-hal yang merugikan orang banyak. Jika sebelum puasa Ramadhan kita tidak bisa menghargai orang lain, setelah bulan Ramadhan kita bisa toleran kepada sesama. Jika sebelum bulan Ramadhan masih menjadi beban masyarakat, setelah bulan Ramadhan kita harus bermanfaat bagi masyarakat.

 

Sebaliknya jika kita masih pelit, masih mementingkan diri sendiri dan kelompok tertentu saja, masih selalu tergesa-gesa, masih menyakiti orang lain melalui kata-kata atau perbuatan, masih juga korupsi secara sendiri-sendiri atau berjamaah, masih suka kolusi, masih suka nepotisme, masih suka menjadi teroris, masih tetap menjadi pecandu narkoba, masih suka menipu, masih suka pamer aurat, masih berjudi, yang kesemuanya pada sesuai dengan kehendak Syaitan sang lakanatullah, maka berarti kita harus segera introspeksi diri karena kita masih memiliki masalah dengan perintah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan yang telah diperintahkan oleh Allah SWT, terkecuali jika mampu menahan panasnya api Neraka yang panasnya 70 (tujuh puluh) kali api dunia.

 

Selanjutnya jika konsep fitrah itu adalah manusia yang sesungguhnya adalah ruhani berarti kita harus mendahulukan pendidikan ruhani, dibandingkan dengan pendidikan jasmani (phisik). Kondisi ini sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh para pendiri bangsa ini yang tertuang di dalam lagu kebangsaan Indonesia, yaitu Indonesia Raya. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.” (Wage Rudolf Supratman) Alangkah hebatnya bangsa Indonesia yang setiap tahun rakyatnya banyak yang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan lalu semuanya mampu meningkatkan ketaqwaan, kembali fitrah selalu bersyukur yang ditunjang dengan jasmani yang sehat yang kemudian menunjukkan hasil ibadah puasanya  kepada bangsa dan negara ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar