Puasa
berasal dari bahasa Sansekerta puwasa
yang bermakna menahan. Dalam bahasa Arab disebut as Shiam atau as Shaum yang
berarti menahan makan, minum dan syahwat atau dengan kata lain menahan segala
alat pancaindera lahir dan bathin dalam kurun waktu tertentu dari segala
perbuatan sia sia dan terlarang. Puasa menurut pengertian syara’ diartikan
sebagai suatu bentuk ibadah dengan menahan diri dari makan, minum dan syahwat,
mulai fajar sampai maghrib, dengan niat yang ikhlas untuk mendapatkan ridha
Allah SWT dalam kerangka untuk mempersiapkan diri menjadi orang orang yang
muttaqin (taqwa).
Nabi
SAW bersabda: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah, Allah
SWT memerintahkan kamu berpuasa di dalam bulan itu.” (Hadits Riwayat Ahmad,
Nasai dan Baihaqi dari Abu Hurairah ra).
Bulan Ramadhan adalah tonggak utama dalam rangka dan kerangka
pembinaan dan peningkatan keimanan dan ketaqwaan. Ibadah puasa sebagai ibadah
ruhiyah yang diwajibkan kepada umatNya agar menjadi mukmin yang muttaqin. Untuk
menyambut kedatangan bulan Ramadhan maka kita harus berkemas diri dan bersiap
sepenuh iman guna memasuki 2 (dua) buah kemungkinan, yaitu: (1) memasuki
bulan pelatihan, atau (2) memasuki bulan pertandingan, guna menyimak
dan mencermati hakekat hidup, melakukan
ijtihad untuk memerangi ahwa (hawa nafsu). Sehingga timbul motivasi
bekerja dan beramal secara lebih mapan sebagai bekal untuk menghadap Allah SWT
Tuhan semesta alam.
Menurut
Imam Ghazali, puasa ada 3 (tiga)
tingkatan, yaitu “puasa umum,
puasa khusus dan puasa khususil khusus”. Puasa umum yang hanya sekedar
menahan haus, lapar dan syahwat semata. Puasa khusus, mencegah penglihatan,
pendengaran, lidah, mulut, serta anggota lainnya dari berbuat dosa. Puasa
khusus dari yang khusus (khususil khusus) adalah puasa hati dari segala
kehendak dan niat yang hina dan segala pikiran duniawi, semata mata hanya untuk
keridhaan Allah SWT. Untuk itu kita tinggal mengatur strategi untuk
melaksanakan-nya, yang semuanya tergantung keimanan dan niat kita masing
masing. Sesungguhnya segala perbuatan itu dimulai dan dinilai menurut niatnya.
Kondisi
ini sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT selaku pemberi perintah melaksanakan
puasa yaitu agar yang diperintahkan untuk berpuasa dapat memperoleh dan
merasakan langsung manfaat dan hikmah yang hakiki yang ada dibalik perintah
puasa sebagaimana termaktub dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183,184,185 yaitu “Taqwa; Fitrah; selalu Bersyukur dan Sehat”.
Dan jika setelah berpuasa atau setelah hari raya idhul fitri, kita tidak bisa
memperoleh dan merasakan 4 (empat) buah manfaat langsung manfaat dan hikmah
yang hakiki yang terdapat dibalik perintah puasa berarti perintah puasa yang telah diperintahkan oleh
Allah SWT tidak pernah salah (perintah puasanya tidak akan pernah salah), akan
tetapi yang diperintahkan untuk berpuasalah yang memiliki masalah.
Allah
SWT selaku pencipta dan pemilik dari ruhani dan jasmani diri kita maka dapat
dipastikan bahwa Allah SWT lah yang paling paham dan yang paling mengerti
tentang ruhani dan jasmani diri kita. Sebagai pemilik ruhani dan jasmani maka
dapat dipastikan pula bahwa Allah SWT lah yang paling berkuasa atas apa apa
yang diciptakannya. Jika ini kondisi dasar dari Allah SWT kepada ruhani dan
jasmani berarti segala apa apa yang akan terjadi, apa apa yang sedang terjadi,
serta bagaimana posisi yang seharusnya terjadi pada jasmani dan juga ruhani
pasti diketahui oleh Allah SWT. Dan agar segala sesuatu yang telah diciptakan
dan dimilikiNya sesuai dengan apa apa yang dikehendaki oleh Allah SWT itu
sendiri seperti fitrahnya ruhani, atau sehatnya jasmani maka Allah SWT juga
pasti memiliki cara dan tolak ukur untuk menunjukkan sesuatu itu masih dalam
kondisi fitrah bagi ruhani, atau masih dalam kondisi sehat bagi jasmani
termasuk di dalamnya bagaimana mengembalikan kefitrahan ruhani dan juga
mengembalikan kesehatan jasmani. Kita harus imani hal ini.
Sekarang
mari kita bahas salah satu tujuan lain dari perintah melaksanakan puasa wajib
di bulan Ramadhan yaitu kembali fitrah. Fitrah secara harfiah artinya suci,
murni, bersih, belum ternoda. Kembali kepada fitrah bukanlah berarti kembali
suci, murni, bersih, belum ternoda, tetapi apakah kondisi dan keadaan diri kita
masih sesuai dengan kondisi awal penciptaan manusia, atau apakah diri kita
masih sesuai dengan kondisi aslinya, atau apakah diri kita masih sesuai dengan
program Allah SWT saat menciptakan manusia, atau apakah diri kita masih sesuai
dengan konsep awal penciptaan manusia yang termaktub dalam surat Al Baqarah (2)
ayat 30 berikut ini: “Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.” (surat Al Baqarah (2) ayat 30)
Adanya
kondisi ini berarti jika kita dikatakan dalam kondisi fitrah atau kembali ke
fitrah maka keadaan diri kita harus masih sesuai dengan kodrat awal
penciptaannya seperti yang dikemukakan oleh Allah SWT di dalam surat Al Baqarah
(2) ayat 30 serta pada saat Allah SWT mempersilahkan iblis dan syaitan untuk
menggoda anak dan keturunan Nabi Adam a.s. Sekarang seperti apakah kodrat awal
manusia yang masih fitrah itu atau seperti apakah kembali kepada fitrah itu?
Berikut
ini akan kami kemukakan beberapa kondisi-kondisi awal dari manusia yang masih
fitrah atau masih sesuai dengan konsep aslinya, yaitu :
A. MANUSIA ADALAH MAKHLUK RUHANI.
Setiap
manusia, siapapun dia, termasuk di dalamnya diri kita dapat dipastikan terdiri
dari jasmani dan ruhani. Jasmani berdasarkan surat As Sajdah (32) ayat 7
berikut ini: Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah.” berasal dari sari pati tanah. Sedangkan
ruhani berdasarkan surat Asj Sajdah (32) ayat 9 berikut ini: Kemudian
Dia menyempurnakannya dan meniupkannya roh (ciptaan)Nya ke dalam (tubuh)nya dan
Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, (tetapi) sedikit
sekali kamu bersyukur.” berasal dari Allah SWT.
Adapun
hakekat dari manusia itu yang sesungguhnya bukanlah terletak pada sisi
jasmaninya melainkan adalah dari sisi ruhaninya, atau dengan kata lain hakekat
dari diri manusia yang seutuhnya adalah ruhani. Atas dasar apakah kita
mengatakan bahwa diri kita yang sesungguhnya adalah ruhani? Berikut ini akan kami
kemukakan dasar dari itu semua, yaitu:
1.
Berdasarkan ketentuan dalam surat Al A’raf
(7) ayat 172 berikut ini: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan
dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan,
“Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.” dan berdasarkan
surat Al Hadiid (57) ayat 8 berikut ini:
Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah, padahal Rasul mengajak
kamu beriman kepada Tuhanmu? Dan Dia telah mengambil janji (setia) mu, jika
kamu orang orang mukmin.” Setiap ruh telah memberikan janji setia untuk
bertuhankan kepada Allah SWT. Dan ini sudah terjadi setelah proses peniupan ruh
ke dalam janin saat berusia 120 hari di dalam rahim seorang ibu. Konsekuensi dari janji setia ini ialah setiap
manusia harus mentaati Allah SWT selaku Tuhannya dan jika kita telah mentaati
Allah SWT berarti kitapun wajib mempelajari, memahami, melaksanakan serta
mentaati segala aturan, segala ketentuan, segala hukum yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT yang termaktub dalam Diinul Islam.
2. Hidup
adalah saat bersatunya ruhani dengan jasmani dan jika ini yang terjadi ini
berarti kita semua masih berada di dunia. Dan pada saat di dunia inilah kita
dihadapkan bahwa hidup itu adalah pilihan. Pilihan untuk mementingkan kehidupan
jasmani (dunia) ataukah untuk mementingkan kehidupan ruhani (akhirat). Jika
kita mampu memilih sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad SAW
yang telah menyatakan, bahwa Allah hanya akan memperhatikan ruhani semata.
(Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim) berarti kita harus mementingkan/mendahulukna
kehidupan akhirat dibandingkan kehidupan dunia.
3. Setiap
manusia akan mengalami saat dipisahkannya jasmani dengan ruhani, atau saat
sakratul maut. Jasmani akan dikuburkan dan akan mengalami kehancuran, sedangkan
ruhaninya tetap ada dan akan mendapat rahmat atau siksa di dalam Barzah.
(Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus
khalifah-Nya di muka bumi, maka kita harus memiliki ilmu dan pengetahuan
tentang jasmani dan juga tentang ruhani, terutama bagaimana cara merawat,
memelihara dan menjaga keduanya, yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Untuk
merawat, memelihara dan menjaga kesehatan jasmani dan ruhani tidak bisa
disamakan cara dan pendekatannya serta tidak bisa mendahulukan salah satu
dengan mengabaikan yang lainnya. Baik jasmani maupun ruhani harus kita jaga dan
kita rawat kesehatannya.
Untuk menjaga dan merawat jasmani, maka Allah
SWT telah memberikan pedomannya yang terdapat di dalam surat Al Baqarah (2)
ayat 168 berikut ini: “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang
halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah
langkah syaitan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu. ditambah
dengan membaca basmallah dan doa sebelum mengkonsumsi segala sesuatu serta
melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan dan/atau melaksanakan puasa sunnah di
luar bulan Ramadhan.
Lalu bagaimana cara
merawat dan menjaga ruhani, terutama kefitrahannya? Ruhani yang tidak lain
adalah jati diri manusia yang sesungguhnya sehingga untuk mempertahankan
kefitrahannya maka Ruhani tidak bisa dipisahkan dengan keimanan dikarenakan
hanya keimananlah yang bisa mempertahankan kualitas atau kefitrahan Ruhani dari
waktu ke waktu. Agar ruhani selalu fitrah atau berkualitas selama hayat masih
di kandung badan maka Ruhani harus selalu memperoleh asupan energi keimanan
melalui pelaksanaan ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT melalui
pelaksanaan Diinul Islam secara kaffah dalam satu kesatuan, dengan catatan :
1. Ibadah yang kita laksanakan bukanlah untuk mencari
pahala atau membatalkan sebuah kewajiban, melainkan sebagai sebuah kebutuhan.
2. Ibadah adalah sarara untuk memberi asupan makanan
guna pertumbuhan keimanan atau untuk mempertahankan kualitas keimanan yang
dibutuhkan oleh Ruhani.
3.
Ibadah adalah alat
bantu untuk memantapkan iman dalam jiwa atau dalam ruhani sehingga jiwa kita
berada di dalam kelompok jiwa taqwa.
4.
Ibadah adalah
sarana untuk memperbaharui sumber kekuatan untuk memperoleh pertolongan Allah
SWT yang sangat diperlukan untuk mensukseskan tugas manusia sebagai khalifah di
muka bumi.
5.
Ibadah seharusnya
mampu untuk menggarap hati kita menjadi lebih peka terhadap lingkungan, lebih
teguh terhadap perintah dan larangan Allah SWT.
6.
Ibadah untuk
membina pribadi pribadi manusia dalam kerangka mempertahankan dan memelihara
serta mengembangkan dan meningkatkan apa apa yang telah diberikan Allah kepada
diri kita.
7.
Ibadah untuk mensukseskan tugas kita sebagai
khalifah di muka bumi serta untuk mencari keridhaan Allah.
Selain dari itu, masih ada ketentuan lain
yang harus kita pahami dengan baik dan benar yaitu tentang adanya ketentuan
dasar tentang ruhani dan juga tentang jasmani, yaitu:
1.
Ruhani memiliki ketentuan datang fitrah
kembali harus fitrah maka ruhani sangat membutuhkan pelaksanaan Diinul Islam
secara kaffah dari waktu ke waktu tanpa pernah putus.
2.
Kemampuan jasmani sangat berhubungan erat
dengan posisi usia seseorang. Semakin tua usia seseorang maka jasmani pasti
akan mengalami penurunan kemampuan dan fungsinya. Inilah sunnatullah yang pasti
berlaku kepada jasmani.
3.
Kemampuan ruhani tidak berhubungan langsung
dengan tua atau mudanya seseorang,
melainkan sejauh mana kita mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah.
Semakin kaffah (khusyu’) kita melaksanakan Diinul Islam maka semakin
berkualitas atau semakin fitrah ruhani seseorang.
4.
Untuk itu jangan pernah menjadikan ruhani
mengikuti sunnatullah yang berlaku bagi jasmani. Semakin tua semakin berkurang
kemampuannya. Cukup jasmani saja yang menjadi tua atau berkurang kemampuannya
namun ruhani haruslah tetap muda (maksudnya tetap berkualitas/tetap fitrah
sesuai dengan kehendak Allah SWT).
5.
Sebagai khalifah di muka bumi jangan sampai
tuanya jasmani diikuti dengan tuanya ruhani (maksudnya jangan sampai penurunan
kualitas jasmani diikuti dengan menurunnya kefitrahan ruhani) dan jika sampai
ini terjadi maka sesuailah diri kita dengan kehendak syaitan.
6.
Ruhani yang tetap dalam kondisi fitrah akan
sangat membantu kondisi dan keadaan jasmani yang sedang mengalami penurunan
kemampuan, sehingga kita tetap mampu hidup berkualitas dari waktu ke waktu
serta mampu bermanfaat bagi orang banyak.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya
di muka bumi, sadarilah hal ini agar jangan sampai kita salah menempatkan diri
kita dihadapan Allah SWT yang pada hasil akhirnya membawa diri kita pada
penyesalan yang tiada berujung sehingga menghantarkan kita menjadi penghuni
neraka.
B. RUHANI ADALAH JATI DIRI MANUSIA YANG
SESUNGGUHNYA
Seorang
dikatakan kembali fitrah atau telah difitrahkan kembali oleh Allah SWT melalui
ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan maka orang tersebut tahu dan mengerti
bahwa jati dirinya yang sesungguhnya adalah ruhani. Jika ruhani adalah jati
diri manusia yang sesungguhnya maka yang sesungguhnya menjadi khalifah di muka
bumi adalah ruhani serta yang dikhalifahi secara mikro adalah jasmani sedangkan
secara makro yang dikhalifahi adalah bumi.
Ruhani
asalnya dari Allah SWT sehingga hanya Allah SWT sajalah yang memiliki ilmu dan
yang paling paham tentang ruhani, hanya Allah SWT sajalah yang mampu
menciptakan ruhani serta Allah SWT sajalah yang mampu merawat ruhani. Apabila
kita sangat berkepentingan dengan ruhani yang menjadi diri kita yang
sesungguhnya dan yang menjadi khalifah maka hanya dengan memenuhi segala apa
yang telah diperintahkan oleh Allah SWT maka kefitrahan ruhani bisa kita jaga
sehingga ruhani datang fitrah kembalinya pun harus fitrah pula.
Sekarang jika manusia
kembali kepada fitrah berarti jati diri kita yang sesungguhnya adalah ruhani
dan jika ruhani adalah jati diri kita yang sesungguhnya, lalu sudahkah
perilaku, perbuatan ruhani yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan (Nass) yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT menjadi perilaku dan perbuatan diri kita saat
menjadi khalifah di muka bumi? Jika sikap dan perbuatan kita belum
mencerminkan sifat-sifat alamiah ruhani yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan
(nass) berarti diri kita belum kembali fitrah atau kita belum sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Untuk itu segera kembalikan kefitrahan diri melalui proses taubatan
nasuha yang diikuti dengan melaksanakan Diinul Islam secara kaffah saat ini
juga karena waktu tidak bisa diputar ulang dan juga karena kita tidak tahu
apakah masih memiliki kesempatan ke dua.
Lalu
jika kita telah kembali fitrah (maksudnya telah mampu menjadikan diri yang
sesungguhnya adalah ruhani) berarti kita telah mampu bertuhankan hanya kepada
Allah SWT sesuai dengan janji yang telah dikemukakan oleh ruhani sesaat setelah
ruhani dipersatukan dengan jasmani di dalam rahim seorang ibu. Ingat, orang
yang telah bertuhankan hanya kepada Allah SWT berarti orang itu tidak pernah
sekalipun memutuskan hubungan dengan Allah SWT saat hidup di muka bumi.
Allah SWT berfirman: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami
(Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (surat
Al A’raaf (7) ayat 172)
Sekarang jika manusia
kembali kepada fitrah berarti melaksanakan puasa di bulan Ramadhan harus dapat
mengembalikan jati diri manusia yang sesungguhnya adalah ruhani. Dan jika ruhani
adalah jati diri kita yang sesungguhnya berarti sifat-sifat alamiah ruhani
(Nass) yang mencerminkan Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) harus menjadi
perilaku dan perbuatan diri kita saat menjadi khalifah di muka bumi.
Jika sikap dan perbuatan diri kita setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan
belum mencerminkan sifat-sifat alamiah ruhani (Nass) yang mencerminkan
Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) berarti diri kita belum kembali fitrah,
sehingga masih sesuai dengan kehendak syaitan.
Contohnya:
jika sebelum melaksanakan ibadah puasa Ramadhan
kita pelit (bakhil), tidak mau berbagi, hanya mementingkan diri sendiri
maka setelah bulan Ramadhan kita menjadi lebih dermawan, peduli kepada sesama.
Lalu jika sebelum puasa Ramadhan kita selalu tergesa-gesa maka setelah bulan
Ramadhankita menjadi orang yang sabar. Jika sebelum puasa Ramadhan kita sering
berbuat korupsi, kolusi dan nepotisme, setelah bulan Ramadhan kita tidak mau
lagi melakukan hal-hal yang merugikan orang banyak. Jika sebelum puasa Ramadhan
kita tidak bisa menghargai orang lain, setelah bulan Ramadhan kita bisa toleran
kepada sesama. Jika sebelum bulan Ramadhan masih menjadi beban masyarakat,
setelah bulan Ramadhan kita harus bermanfaat bagi masyarakat.
Sebaliknya
jika kita masih pelit, masih mementingkan diri sendiri dan kelompok tertentu
saja, masih selalu tergesa-gesa, masih menyakiti orang lain melalui kata-kata
atau perbuatan, masih juga korupsi secara sendiri-sendiri atau berjamaah, masih
suka kolusi, masih suka nepotisme, masih suka menjadi teroris, masih tetap
menjadi pecandu narkoba, masih suka menipu, masih suka pamer aurat, masih
berjudi, yang kesemuanya pada sesuai dengan kehendak Syaitan sang lakanatullah,
maka berarti kita harus segera introspeksi diri karena kita masih memiliki
masalah dengan perintah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT, terkecuali jika mampu menahan panasnya api Neraka
yang panasnya 70 (tujuh puluh) kali api dunia.
Selanjutnya
jika konsep fitrah itu adalah manusia yang sesungguhnya adalah ruhani berarti
kita harus mendahulukan pendidikan ruhani, dibandingkan dengan pendidikan jasmani
(phisik). Kondisi ini sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh para pendiri
bangsa ini yang tertuang di dalam lagu kebangsaan Indonesia, yaitu Indonesia
Raya. “Bangunlah
jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya.” (Wage Rudolf Supratman) Alangkah
hebatnya bangsa Indonesia yang setiap tahun rakyatnya banyak yang melaksanakan
ibadah puasa Ramadhan lalu semuanya mampu meningkatkan ketaqwaan, kembali
fitrah selalu bersyukur yang ditunjang dengan jasmani yang sehat yang kemudian
menunjukkan hasil ibadah puasanya kepada
bangsa dan negara ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar