C. IMANI BAHWA ALLAH
BERKEHENDAK SESUKANYA DAN TIDAK PERNAH ANIAYA.
Hal selanjutnya yang
harus kita imani dari Allah SWT adalah
bahwa Allah SWT berkehendak sesukanya dan juga tidak pernah aniaya kepada
makhlukNya. Hal ini harus kita jadikan pedoman karena Allah SWT di dalam
berkehendak tidaklah sama dengan kehendak yang dilakukan oleh makhluk-Nya.
Kehendak Allah SWT tidak terbatas sedangkan kehendak makhluk-Nya terbatas.
Adanya kondisi ini berarti Allah SWT berkehendak sesukanya Allah SWT
sebagaimana termaktub dalam firman-Nya berikut ini: “Sesungguhnya urusanNya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya
berkata kepadanya, “Jadilah” maka jadilah semua itu. (surat Yaa Sin (36) ayat
82).”
Namun demikian Allah SWT di dalam melakukan suatu kehendak, tidak serta
merta bertindak semaunya saja, akan tetapi kehendak Allah SWT selalu di dalam
koridor management system yang sempurna yang sesuai dengan kemahaan yang
dimilikinya yang mencerminkan kebesaran Allah SWT itu sendiri. Sebagaimana
dikemukakan dalam surar Huud (11) ayat 108 berikut ini: “mereka kekal di
dalamnya selama ada langit dan bumi[736], kecuali jika Tuhanmu menghendaki
(yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia
kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, Maka tempatnya di dalam syurga,
mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu
menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”
[736] Alam akhirat juga mempunyai langit dan bumi tersendiri.
Sebelum ada kesempurnaan yang tidak lain adalah cerminan dari Allah SWT
itu sendiri maka Allah SWT tidak akan melaksanakan kehendak-Nya. Hal ini
berbeda dengan kehendak manusia, manusia akan bertindak dan berbuat untuk
mewujudkan kehendaknya walaupun kesempurnaan belum terjadi. Selanjutnya jika
sampai Allah SWT bertindak dan berbuat sekehendaknya sendiri di luar dari
cerminan kemahaan yang dimiliki-Nya yaitu Yang Maha Sempurna, maka kehendak
Allah SWT tidak akan pernah direalisasikannya karena mencoreng kemahaan-Nya
sendiri.
Sekarang Allah SWT sudah menciptakan manusia di muka bumi untuk
dijadikan sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya, lalu apakah
keberadaan manusia atau termasuk keberadaan diri kita merupakan sebuah kebetulan
belaka, atau ada secara insidentil, atau sudah direncanakan dengan matang oleh
Allah SWT? Keberadaan manusia atau keberadaan diri kita di
bumi ini merupakan bagian dari kesempurnaan Allah SWT di dalam melaksanakan dan
menjalankan kehendak dan kemampuan serta ilmu Allah SWT itu sendiri sehingga
keberadaan manusia pasti sudah di dalam rencana Allah SWT yang sempurna atau
sudah di rancang sedemikian sempurna sesuai dengan keadaan Allah SWT itu
sendiri. Akhirnya kita bisa mengatakan bahwa manusia dan
juga alam semesta ini tidak lain adalah cerminan langsung dari Allah SWT itu sendiri sehingga kehendak, ilmu
dan kemampuan yang dimiliki oleh Allah SWT dapat terlihat dan dapat tercermin
di dalam diri manusia maupun di seluruh alam semesta ini tanpa terkecuali. Hal
inilah yang disebut juga sebagai tanda-tanda kebesaran dan kemahaan Allah SWT.
Selain berkehendak
sesukanya, Allah SWT juga berkehendak
tidak pernah aniaya kepada hamba-hambaNya yang juga khalifahNya sehingga
Allah SWT tidak menghendaki berbuat kedzaliman. Sebagaimana firmanNya berikut
ini: “(yakni)
seperti Keadaan kaum Nuh, 'Aad, Tsamud dan orang-orang yang datang sesudah
mereka. dan Allah tidak menghendaki berbuat kedzaliman terhadap
hamba-hamba-Nya. (surat Al Mu'min (40) ayat
31).” Dan juga berdasarkan firmanNya dalam surat Qaaf
(50) ayat 29 berikut ini: “keputusan
di sisi-Ku tidak dapat diubah dan aku sekali-kali tidak Menganiaya
hamba-hamba-Ku.” Dan Jika ini kondisi dasar dari kehendak
Allah SWT yang tidak pernah aniaya kepada hambaNya dan yang juga khalifahNya,
sekarang bagaimana kondisi kehendak dari diri kita yang tidak bisa dipisahkan
dengan kehendak Allah SWT? Jika saat ini kita adalah orang tua, apakah
kita mempunyai kehendak untuk menganiaya anak sendiri? Sebagai orang tua kita
selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik serta maksimal kepada anak dengan
harapan anak tersebut hidup sukses di kemudian hari atau anak melebihi apa yang
pernah dicapai oleh orang tua. Kondisi yang kami kemukakan ini adalah cerminan
dari diri kita yang tidak lain adalah adalah ciptaan Allah SWT, serta
tanda-tanda kebesaran dan kemahaan Allah SWT. Kemudian lihat pula Harimau
kepada anak-anaknya, ia buas terhadap buruannya namun tidak pernah aniaya
kepada anak-anaknya.
Selanjutnya jika ciptaan Allah SWT saja sudah mempunyai
persepsi dan perbuatan kepada anak-anaknya sudah seperti itu, kemudian
bagaimana dengan Allah SWT selaku pencipta dari langit dan bumi termasuk juga
pencipta manusia serta harimau? Allah SWT melalui
firmanNya berikut ini: "Itulah ayat-ayat Allah. Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan
benar; dan Tiadalah Allah berkehendak untuk Menganiaya hamba-hamba-Nya. (surat Ali Imran (3) ayat 108).” Ayat ini menyatakan
bahwa Allah SWT tidak pernah menghendaki atau Allah SWT tidak berkehendak untuk
menganiaya, atau menzhalimi para hamba-Nya.
Sekarang jika sampai Allah SWT berbuat aniaya atau
berbuat zhalim kepada hamba-Nya, maka Allah SWT telah melanggar konsep awal
penciptaan manusia dan alam semesta yaitu
menciptakan dengan haq. Dan jika sekarang jika ada hambaNya
yang juga khalifahNya yang dihukum atau diberikan ganjaran atas kesalahan yang
diperbuatnya, ini menunjukkan bahwa Allah SWT Konsisten dengan kehendak-Nya
yaitu dengan memberikan kasih sayang kepada hambanya sehingga dengan adanya
kejadian ini diharapkan hambanya menjadi lebih baik atau tidak terjerumus ke
lembah kenistaan atau memberikan contoh pelajaran kepada hambaNya yang juga
khalifahNya yang lain agar jangan mencontoh dan meniru kesalahan yang terjadi yang
kesemuanya mencerminkan bahwa Allah SWT sayang kepada umat manusia.
Selain daripada itu,
kitapun harus bisa mengimani bahwa Allah SWT berkehendak untuk memudahkan
segala urusan manusia, sepanjang manusia mau memenuhi apa-apa yang dikehendaki
oleh Allah SWT, dalam hal ini beriman dan beramal shaleh. Ini berarti sebuah syarat dan ketentuan
adalah sesuatu yang mutlak kita lakukan jika kita ingin memperoleh atau
mendapatkan sesuatu. Tanpa kita mau memenuhi syarat dan ketentuan di maksud
maka jangan pernah berharap kita mendapatkan atau memperoleh sesuatu.
Sebagaimana firmanNya berikut ini: “Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh,
maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan
kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami". (surat Al Kahfi (18) ayat 88)
Sebagai contoh, jika kita ingin mendapatkan atau ingin memperoleh
kemudahan dari suatu system yang bersifat komputerisasi maka kita diwajibkan
terlebih dahulu men-setting komputer atau meng-install komputer kita dengan suatu program tertentu. Tanpa
kita melakukan setting program atau meng-install program maka jangan pernah
berharap mendapatkan manfaat dari komputerisasi. Komputer sebagai benda mati
saja mengharuskan penggunanya untuk memenuhi syarat dan ketentuan dimaksud,
selanjutnya bagaimana dengan Allah SWT dengan program kekhalifahan di muka
bumi? Jika kita ingin memperoleh manfaat dari Program
Kekhalifahan di muka bumi maka kita
Wajib dan Harus terlebih dahulu untuk Meng-Install Program Kekhalifahan dimaksud di dalam diri kita maka barulah kita
akan memperoleh segala kemudahan yang telah dijanjikan oleh Allah SWT.
Selanjutnya di dalam dunia komputer, ada istilah Ram dan Processor,
semakin tinggi dan semakin baik Ram dan Processor maka semakin cepat proses
untuk memperoleh hasil komputerisasi
dari pekerjaan yang kita lakukan. Allah SWT juga menerapkan hal yang sama
dengan komputer jika kita ingin mendapatkan janji-janji Allah SWT dengan cepat
dan akurat, untuk itu Ram dan Processor kita yang kita miliki harus pula tinggi
dan baik (dalam hal ini adalah tingkat kefitrahan Hati Ruhani kita). Semakin tinggi dan semakin baik kondisi dan keadaan Hati Ruhani diri
kita maka semakin cepat pula segala kemudahan dari Program Kekhalifahan di muka
bumi dapat kita peroleh. Jika saat ini kita
masih hidup di dunia, sudahkah kita meng-install Program Kekhalifahan di muka
bumi (maksudnya Diinul Islam secara Kaffah) di dalam diri kita serta sudah
canggihkah Ram dan Processor (maksudnya adalah sudah fitrahkah Hati Ruhani)
yang kita miliki atau apakah kita tidak pernah sama sekali memperbaharui program
diri kita yang sesuai dengan Kehendak Allah SWT?
Selain daripada itu, ada satu hal yang perlu kita ketahui bahwa kemudahan
yang Allah SWT berikan kepada diri kita selalu disesuaikan dengan pemenuhan
syarat dan ketentuan yang Allah SWT berlakukan. Contoh
nyata dalam kehidupan sehari-hari adalah jika kita hanya mempunyai saldo pulsa
sebesar Rp.50,- (lima puluh rupiah) maka apa yang dapat kita lakukan? Yang pasti adalah dengan saldo pulsa sebesar itu kita hanya dapat
melakukan hal-hal yang paling bawah atau yang paling terendah dari apa-apa yang
disediakan oleh operator selular yaitu hanya bisa SMS satu kali, menunggu di
telephone atau menunggu SMS, itupun dengan catatan battery handphone tetap oke
serta masa aktif kartu belum habis.
Untuk itu jangan pernah berharap kita akan bisa memperoleh dan dapat
melakukan Sambungan Langsung International; Sambungan Langsung Jarak Jauh,
dengan pulsa hanya sebesar Rp.100,- (seratus rupiah). Untuk itu jika kita termasuk orang yang telah Tahu Diri, janganlah kita
berbuat dan berkehendak seperti halnya handphone yang hanya mempunyai saldo
pulsa sebesar Rp.100,- (seratus rupiah) ditambah masa aktifnya hampir habis
yaitu mengharapkan kemudahan atau mengharapkan Syurga hanya dengan modal dan
kemampuan memenuhi Syarat dan Ketentuan yang sangat minim.
Sekarang coba anda bandingkan antara handpone yang memiliki pulsa
melebihi Syarat dan Ketentuan dengan handphone yang hanya memiliki saldo pulsa
sebesar Rp.100,- (seratus rupiah) atau bandingkan pula dengan handphone yang
tidak memiliki sama sekali pulsa dengan handphone yang baterainya soak yang
tidak pernah di-charge? Jelas yang paling diperhatikan oleh Operator Selular
adalah Handphone yang memenuhi syarat dan ketentuan sekaligus diatas rata-rata.
Allah SWT juga memberlakukan hal yang sama kepada
Khalifah-Nya di muka bumi, semakin tinggi Khalifah-Nya memenuhi syarat dan ketentuan
yang dikehendaki Allah SWT akan semakin tinggi dan besar pula perhatian Allah
SWT kepada abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya tersebut. Sekarang di posisi manakah diri kita?
Akhirnya kita harus mampu pula mengimani bahwa Allah SWT berkehendak
untuk menjadikan manusia menjadi ahli syurga, sepanjang manusia mau memenuhi
kehendak Allah SWT, atau sepanjang manusia mau memenuhi segala ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT. Sebagaimana
dikemukakan dalam firmanNya berikut ini: “dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman dan
beramal saleh ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka
kekal di dalamnya dengan seizin Tuhan mereka. Ucapan penghormatan mereka dalam
syurga itu ialah "salaam"[785]. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana
Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik[786] seperti pohon yang baik,
akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. (surat Ibrahim (14) ayat 23-24).”
[785]
Artinya: sejahtera dari segala bencana.
[786]
Termasuk dalam kalimat yang baik ialah kalimat tauhid, segala Ucapan yang
menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran serta perbuatan yang
baik. Kalimat tauhid seperti laa ilaa ha illallaah.
Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT begitu
memihak kepada diri kita. Hal yang harus kita pahami adalah Allah SWT tidak
akan rugi atau merasa rugi sedikitpun jika abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya
tidak mau memenuhi segala ketentuan yang telah ditetapkan-Nya dan jika Allah
SWT tidak rugi, maka yang akan rugi adalah diri kita sendiri. Lalu apakah kita
tidak mau mengimani apa yang dikemukan oleh Allah SWT dalam firmanNya berikut
ini: “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di
surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara,
dan pakaian mereka adalah sutera. Dan
mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula)
kepada jalan (Allah) yang Terpuji. (surat Al Hajj
(22) ayat 23-24)
D. IMANI BAHWA HIDUP INI
ADALAH SEBUAH PERMAINAN.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya dan juga sebagai
khalifah-Nya di muka bumi ketahuilah dan imanilah bahwa hidup ini adalah sebuah
permainan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al An’am (6) ayat 32 sebagaimana
berikut ini: “Dan kehidupan dunia tak
lain adalah permainan dan senda gurau.” Adanya perumpamaan hidup adalah
sebuah permainan maka: (1) Di dalam setiap permainan harus ada awalnya dan
harus pula ada akhirnya yang melahirkan lamanya kita bermain; (2) Di dalam
setiap permaian maka harus ada tempat bertanding, atau ada arenanya.(3) Di
dalam setiap permainan harus ada kawan dan harus pula ada lawan, atau musuh
sehingga dengan adanya lawan, atau musuh maka akan menghasilkan suatu
kemenangan, atau suatu kekalahan atau ada yang menang, atau ada yang kalah; (4)
Di dalam setiap permainan harus ada aturan-aturan, atau ketentuan-ketentuan
yang baku untuk membedakan peserta permainan atau juga untuk menentukan
siapakah pemenang dari suatu permainan;(5) Di dalam setiap permainan harus ada
wasit atau pengawas pertandingan dalam rangka menegakkan prinsip “Fairplay”
dalam permainan.
Selanjutnya sebagai makhluk yang diciptakan
oleh Allah SWT berarti saat ini kita dapat diibaratkan sebagai sebuah mainan
yang diciptakan Allah SWT untuk melaksanakan konsep dwifungsi manusia baik
sebagai abd’ (hamba)Nya dan juga sebagai khalifahNya. Jika ini kondisinya
berarti mainan tidak akan mungkin menentukan sendiri aturan main dalam suatu
permainan. Akan tetapi pemain hanyalah boneka-boneka (obyek obyek) yang harus bisa
melaksanakan dan menjalankan aturan permainan yang telah ditentukan. Ini
berarti jika diri kita adalah mainan bagi Allah SWT maka diri kita harus
menjalankan dan melaksanakan aturan permainan yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT selaku pencipta dan pemilik dari penciptaan manusia di muka bumi. Adanya
kondisi ini mengharuskan diri kita untuk mempelajari dan memahami aturan main
yang diberlakukan oleh Allah SWT sehingga mampu menghantarkan diri kita menjadi
pemenang.
Sekarang adakah prinsip-prinsip dalam sebuah
permainan yang kami kemukakan di atas, ada pada hidup yang kita laksanakan hari
ini? Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari konsep hidup adalah suatau
permainan sudah pula memiliki semua ketentuan yang mengatur tentang permainan ini,
yaitu:
1. Allah SWT sudah pula
menentukan lamanya permainan manusia, atau permainan diri kita saat menjadi abd’
(hamba)Nya yang juga khalifahNya di muka bumi yaitu dimulai dari ditiupkannya
ruh sewaktu masih di dalam rahim ibu sampai dengan saat berpisahnya jasmani
dengan ruhani bagi individual, sedangkan sampai dengan hari kiamat bagi seluruh
umat manusia. Hal yang harus kita pahami adalah lamanya permainan bukan kita
yang menentukan dan juga dimana dan kapan permainan akan berakhir (dimana kita
mati) juga tidak kita ketahui serta seperti apa kita akan mengalami kematian seperti
apa juga tidak pernah kita ketahui (apakah suul khatimah ataukah husnul
khatimah).
2. Allah SWT sudah pula menentukan arena, atau tempat bertandingnya diri kita di dalam melaksanakan
kekhalifahan di muka bumi, dalam skala kecil tempatnya di dalam diri sendiri
(dalam hal ini perang melawan ahwa (hawa nafsu) serta memerangi syaitan),
sedangkan dalam skala besar tempatnya ada di muka bumi ini (di dunia ini)..
3. Allah SWT menetapkan
malaikat sebagai kawan bagi manusia saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya
di muka bumi dan menetapkan ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan sebagai musuh
dalam permainan yang kita lakukan. Allah SWT juga sudah menyediakan bagi
manusia yang dapat mengalahkan musuhnya berupa syurga dan memberikan neraka
bagi manusia yang gagal atau kalah.
4. Allah SWT telah
menurunkan dan menetapkan Diinul Islam sebagai satu-satunya aturan main, atau
satu-satunya alat bantu untuk membedakan pemenang ataupun pecundang di dalam
permainan hidup di muka bumi.
5. Allah SWT bertindak
sebagai wasit, pengawas, pengarah, serta penilai hasil akhir dari permainan
yang dilakukan oleh manusia di muka bumi sehingga prinsip “fairplay” dapat
terjaga dan terpelihara.
Adanya 5(lima) ketentuan Allah SWT yang
mengatur tentang konsep hidup sebagai
sebuah permainan di muka bumi, terlihat
dengan jelas bahwa Allah SWT telah mengatur dengan baik dan benar tentang
kehidupan manusia secara sempurna sejak mulai dalam perencanaan sampai dengan
manusia menempati syurga atau neraka kelak.
Sebagai pemain di dalam permainan, timbul pertanyaan yang paling
mendasar bagi diri kita, yaitu mau menjadi pecundangkah atau mau menjadi
pemenangkah diri kita?
Rasanya tidak akan ada manusia yang ingin menjadi pecundang di dalam konsep
hidup adalah permainan sebab hadiah dan penghargaan yang akan diterimanya
adalah neraka jahannam. Dan semua manusia, termasuk diri kita, pasti ingin
menjadi pemenang sebab akan memperoleh apa yang dinamakan dengan syurga
sehingga kita dapat bertemu langsung dengan Allah SWT kelak.
Akan tetapi untuk menjadi pemenang bukanlah perkara mudah seperti
membalik telapak tangan, sebab musuh (lawan) yang akan kita hadapi adalah musuh
atau lawan yang sangat profesional kerjanya; musuh (lawan) yang tidak nampak
oleh mata namun pengaruhnya sangat hebat; musuh atau lawan yang tidak pernah
kenal lelah dalam rangka mengalahkan lawannya; musuh atau lawan yang dapat
bergerak mengikuti diri kita dari depan, dari belakang, dari kiri dan dari
kanan serta melalui aliran darah; musuh atau lawan yang sangat licin, licik,
yang akan mempergunakan segala cara tanpa ada batasan, apakah halal ataupun
haram yang penting lawannya kalah menjadi pecundang.
Lalu mampukah diri kita mengalahkan musuh
(lawan) yang mempunyai kualifikasi seperti di atas, atau mampukah kita
mengalahkan syaitan seorang diri yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah
manusia karena adanya tambahan manusia yang telah berubah wujud menjadi syaitan?
Rasanya jika kita hanya seorang diri tanpa bantuan Allah SWT, atau jika kita
hanya mengandalkan kemampuan yang ada pada diri sendiri untuk menghadapi syaitan,
sangat sulit mengalahkan syaitan.
Apalagi di saat kita berperang melawan syitan
di dalam diri kita sendiri pun masih ada musuh yang tersembunyi, apakah itu?
Musuh dalam selimut yang terdapat di dalam diri setiap manusia adalah ahwa
(hawa nafsu). Untuk itu di saat kita berperang melawan syaitan, kita tidak
boleh menganggap enteng dan remeh tentang ahwa
(hawa nafsu) yang ada di dalam diri kita, atau kita tidak boleh
mengatakan ahwa (hawa nafsu) adalah lawan (musuh) yang mudah dikalahkan.
Hal ini dikarenakan ahwa (hawa nafsu) merupakan kendaraan bagi syaitan, atau
alat bantu bagi syaitan untuk mengalahkan manusia.
Jika ini adalah kondisi dasar dari permainan
yang sedang kita laksanakan, apakah yang harus kita perbuat? Sebagai abd’
(hamba)Nya yang juga khalifahNya di muka bumi, ada baiknya kita mengetahui dan
memahami beberapa pedoman dasar yang berlaku di muka bumi ini sebelum diri kita
berjibaku melawan ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan, yaitu:
1. Setiap makhluk itu
hanya tunduk kepada Allah SWT semata.
2. Setiap makhluk juga
dijadikan Allah SWT dengan kadar tertentu.
3. Setiap makhluk yang diciptakan Allah SWT tunduk dengan sunnatullah sesuai dengan taqdirnya sehingga
sesuai dengan taqdirnya maka makhluk itu menunduki sunnatullah secara terpaksa
dan secara sukarela sehingga tidak ada hukum selain daripada sunnatullah.
4. Manusia itu adalah
makhluk yang terdiri dari unsur badaniyah (jasmani) dan unsur ruhaniyah (ruh),
yang mana jasmani manusia bersifat fana sedangkan ruh bersifat kekal;
5. Eksisitensi Ruhaniyah
manusia hanya dapat berkembang baik dalam kehidupan bermasyarakat secara
ilahiah.
6. Setiap usaha manusia
yang menggunakan sistem pikir dan sistem akhlak mempunyai akibat ganda yaitu
dunia dan akhirat. Dan akhirat itu lebih baik dan kekal.
7. Tidak ada ikhtiar
manusia yang dalam pelaksanaannya tidak diliputi hal-hal atau situasi dan
kondisi yang ghaib baginya.
Apabila kita ingin memenangkan pertandingan
(pertarungan) melawan syaitan dan menang melawan ahwa (hawa nafsu) atau apabila
kita ingin selalu menjadikan diri kita
sendiri sebagai makhluk yang terhormat
diantara makhluk ciptaan Allah SWT lainnya maka tidak ada jalan lain bagi diri
kita untuk menerima dan melaksanakan dengan sepenuh hati Diinul Islam sebagai
satu-satunya konsep ilahiah bagi diri kita, tanpa dikurangi, tanpa ditambah,
apalagi disesuaikan dengan kondisi apapun juga, atau kita harus bersama dengan
Allah SWT maka barulah kita bisa mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan syaitan.
Selain daripada itu masih ada hal lainnya yang harus
pula kita jadikan pedoman tentang Diinul Islam sebagai sebuah konsep yang
berasal dari Allah SWT, yaitu kita harus bisa menempatkan dan meletakkan Diinul
Islam sesuai dengan kebesaran dan kemahaan Allah SWT selaku pemilik konsep
untuk kepentingan kekhalifahan di muka bumi.
Untuk itu jangan
pernah salahkan Allah SWT jika kita hanya memperoleh, jika kita hanya bisa
merasakan dan mendapatkan atas apa-apa yang telah kita persepsikan dan
sangkakan kepada Allah SWT melalui Diinul Islam, sebagaimana dikemukakan dalam dua
buah hadits berikut ini: Abu Hurairah ra,
berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: “Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku pada-Ku, maka terserah
padanya akan menyangka apa saja kepada-Ku. (Hadits Qudsi
Riwayat Muslim dan Alhakiem dari Watsilah dan Ibu Abud-Dunia, Alhakiem dari Abu
Hurairah ra: 272: 67) dan juga berdasarkan hadits
berikut ini: “Watsilah bin Al-asqa'
ra. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: “Aku selalu menurutkan sangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku, jika ia
baik sangka kepada-Ku maka ia dapat dari padaku apa yang ia sangka. Dan bila ia
jahat (jelek) sangka kepada-Ku, maka ia dapat apa yang ia sangka dari
pada-Ku. (Hadits
Qudsi Riwayat Atthabarani dan Ibn Hibban; 272:71).
Berdasarkan ketentuan
dua hadits di atas, kiranya dapat kita jadikan pedoman bagi diri kita untuk
tidak bersikap memandang sempit Diinul Islam hanya sebatas ritual belaka
seperti kita menganggap Diinul Islam hanya sebatas pahala dan dosa, atau
sebatas syurga dan neraka, atau sebatas halal dan haram semata. Akan tetapi
kita harus keluar dari pengertian itu semua, sebab jika kita terus berprinsip
seperti itu maka yang akan kita peroleh dari Diinul Islampun hanya sebatas itu
pula. Sedangkan telah kita ketahui bersama
bahwa Allah SWT lebih dari sekadar itu semua sebab Allah SWT adalah
segala-galanya.
Ingat, Allah SWT
memberikan kebebasan kepada diri kita untuk berprasangka kepada-Nya, apakah itu
prasangka baik, ataupun prasangka buruk, atau apakah itu prasangka sempit
ataupun prasangka yang mendalam. Adanya prasangka dan juga penilaian yang kita
berikan kepada Diinul Islam, maka dari sinilah Allah SWT memulai penilaian
kepada diri kita. Semakin baik dan semakin tinggi diri kita berprasangka kepada
Allah SWT, atau semakin tinggi diri kita berprasangka kepada Diinul Islam yang
diturunkan oleh Allah SWT, maka akan semakin tinggi dan semakin baik pula yang
akan diberikan Allah SWT kepada diri kita.
Dan untuk menambah
pengertian dan pemahaman yang telah kami kemukakan di atas, berikut ini akan
kami kemukakan sebuah hadits sebagaimana berikut ini: “Anas ra. berkata:
Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Wahai Anak Adam! Jika ingat
kepada-Ku dalam dirimu, Akupun ingat kepadamu dalam diri-Ku dan bila engkau
ingat kepada-Ku di dalam himpunan orang, akan Aku ingat kepadamu dalam himpunan
yang lebih baik dari himpunanmu. Jika engkau mendekati-Ku sejengkal, Aku
mendekatimu sedepa, bila engkau mendekati-Ku sedepa Aku dekati engkau sehasta.
Dan bila engkau dating kepada-Ku berjalan , Aku akan datang kepadamu berlari.(Hadits Qudsi Riwayat Ahmad dan Abd. Bin Hamid; 272:185).” Hadits ini memperlihatkan
kepada diri kita bagaimana Allah SWT bersikap kepada hamba-Nya yang selalu
ingat kepada-Nya.
Allah SWT akan
bersikap melebihi apa yang diperbuat oleh hamba-Nya jika hamba-Nya melakukan
penilaian, ataupun berprasangka, atau mempunyai perbuatan yang bersifat positif
point kepada Allah SWT. Akan tetapi Allah SWT tidak melakukan sesuatu yang
melebihi jika hamba-Nya berbuat negatif, atau berseberangan dengan Allah SWT.
Allah SWT hanya membalas sebatas penilaian, atau sebatas prasangka yang
dikemukakan oleh hamba-Nya tersebut. Disinilah Allah SWT menunjukkan sikap
demokratisNya serta kasih sayang-Nya kepada diri kita yang telah yang telah
dijadikan-Nya sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi.
Sekarang jika yang
terjadi Allah SWT hanya bersikap apa adanya kepada diri kita, atau bahkan Allah
SWT tidak bersikap sama sekali kepada kita, atau bahkan Allah SWT justru
mengacuhkan dan mendiamkan diri kita, apa yang sebenarnya terjadi? Jika kita
mengacu kepada ketentuan hadits di atas, dapat dipastikan karena olah dan sikap
sikap kita sendiri kepada Allah SWT. Ingat, Allah SWT berbuat dan bersikap
sesuai dengan apa yang kita perbuat dan yang kita sikapi dan ini pulalah yang
disebut dengan konsep keadilan.
Untuk itu jika kita
ingin memperoleh sesuatu yang melebihi dari yang kita perbuat maka bersikaplah
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT selaku pemilik, pencipta dari
langit dan bumi termasuk di dalamnya Diinul Islam. Dan jika saat ini Allah SWT
telah menurunkan Diinul Islam kepada diri kita dalam rangka mensukseskan tugas
kita sebagai abd’ (hamba)-Nya dan yang juga khalifah-Nya di muka bumi maka
terimalah, letakkan, tempatkan Diinul Islam itu sesuai dengan kebesaran dan
kemahaan Allah SWT serta laksanakan Diinul Islam secara kaffah (menyeluruh) dan
jangan pernah memberikan penilaian, persepsi, anggapan, seperti katak dalam
tempurung untuk Diinul Islam sebab baik dan buruknya penilaian Allah SWT kepada
diri kita dimulai dari apa yang kita lakukan kepada apa-apa yang dikehendaki
oleh Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar