Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 19 April 2024

APA YANG HARUS KITA IMANI DARI ALLAH SWT (PART 3 of 8)

 

C. IMANI BAHWA ALLAH BERKEHENDAK SESUKANYA DAN TIDAK PERNAH ANIAYA.

 

Hal selanjutnya yang harus kita imani dari Allah SWT adalah bahwa Allah SWT berkehendak sesukanya dan juga tidak pernah aniaya kepada makhlukNya. Hal ini harus kita jadikan pedoman karena Allah SWT di dalam berkehendak tidaklah sama dengan kehendak yang dilakukan oleh makhluk-Nya. Kehendak Allah SWT tidak terbatas sedangkan kehendak makhluk-Nya terbatas. Adanya kondisi ini berarti Allah SWT berkehendak sesukanya Allah SWT sebagaimana termaktub dalam firman-Nya berikut ini: “Sesungguhnya urusanNya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah” maka jadilah semua itu. (surat Yaa Sin (36) ayat 82).”

 

Namun demikian Allah SWT di dalam melakukan suatu kehendak, tidak serta merta bertindak semaunya saja, akan tetapi kehendak Allah SWT selalu di dalam koridor management system yang sempurna yang sesuai dengan kemahaan yang dimilikinya yang mencerminkan kebesaran Allah SWT itu sendiri. Sebagaimana dikemukakan dalam surar Huud (11) ayat 108 berikut ini: mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi[736], kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, Maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”

 

[736] Alam akhirat juga mempunyai langit dan bumi tersendiri.

 

Sebelum ada kesempurnaan yang tidak lain adalah cerminan dari Allah SWT itu sendiri maka Allah SWT tidak akan melaksanakan kehendak-Nya. Hal ini berbeda dengan kehendak manusia, manusia akan bertindak dan berbuat untuk mewujudkan kehendaknya walaupun kesempurnaan belum terjadi. Selanjutnya jika sampai Allah SWT bertindak dan berbuat sekehendaknya sendiri di luar dari cerminan kemahaan yang dimiliki-Nya yaitu Yang Maha Sempurna, maka kehendak Allah SWT tidak akan pernah direalisasikannya karena mencoreng kemahaan-Nya sendiri.

 

Sekarang Allah SWT sudah menciptakan manusia di muka bumi untuk dijadikan sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya, lalu apakah keberadaan manusia atau termasuk keberadaan diri kita merupakan sebuah kebetulan belaka, atau ada secara insidentil, atau sudah direncanakan dengan matang oleh Allah SWT? Keberadaan manusia atau keberadaan diri kita di bumi ini merupakan bagian dari kesempurnaan Allah SWT di dalam melaksanakan dan menjalankan kehendak dan kemampuan serta ilmu Allah SWT itu sendiri sehingga keberadaan manusia pasti sudah di dalam rencana Allah SWT yang sempurna atau sudah di rancang sedemikian sempurna sesuai dengan keadaan Allah SWT itu sendiri. Akhirnya kita bisa mengatakan bahwa manusia dan juga alam semesta ini tidak lain adalah cerminan langsung dari  Allah SWT itu sendiri sehingga kehendak, ilmu dan kemampuan yang dimiliki oleh Allah SWT dapat terlihat dan dapat tercermin di dalam diri manusia maupun di seluruh alam semesta ini tanpa terkecuali. Hal inilah yang disebut juga sebagai tanda-tanda kebesaran dan kemahaan Allah SWT.

 

Selain berkehendak sesukanya, Allah SWT juga berkehendak  tidak pernah aniaya kepada hamba-hambaNya yang juga khalifahNya sehingga Allah SWT tidak menghendaki berbuat kedzaliman. Sebagaimana firmanNya berikut ini: “(yakni) seperti Keadaan kaum Nuh, 'Aad, Tsamud dan orang-orang yang datang sesudah mereka. dan Allah tidak menghendaki berbuat kedzaliman terhadap hamba-hamba-Nya. (surat Al Mu'min (40) ayat 31).” Dan juga berdasarkan firmanNya dalam surat Qaaf (50) ayat 29 berikut ini: “keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah dan aku sekali-kali tidak Menganiaya hamba-hamba-Ku.”  Dan Jika ini kondisi dasar dari kehendak Allah SWT yang tidak pernah aniaya kepada hambaNya dan yang juga khalifahNya, sekarang bagaimana kondisi kehendak dari diri kita yang tidak bisa dipisahkan dengan kehendak  Allah SWT? Jika saat ini kita adalah orang tua, apakah kita mempunyai kehendak untuk menganiaya anak sendiri? Sebagai orang tua kita selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik serta maksimal kepada anak dengan harapan anak tersebut hidup sukses di kemudian hari atau anak melebihi apa yang pernah dicapai oleh orang tua. Kondisi yang kami kemukakan ini adalah cerminan dari diri kita yang tidak lain adalah adalah ciptaan Allah SWT, serta tanda-tanda kebesaran dan kemahaan Allah SWT. Kemudian lihat pula Harimau kepada anak-anaknya, ia buas terhadap buruannya namun tidak pernah aniaya kepada anak-anaknya.

 

Selanjutnya jika ciptaan Allah SWT saja sudah mempunyai persepsi dan perbuatan kepada anak-anaknya sudah seperti itu, kemudian bagaimana dengan Allah SWT selaku pencipta dari langit dan bumi termasuk juga pencipta manusia serta harimau? Allah SWT melalui firmanNya berikut ini: "Itulah ayat-ayat Allah. Kami bacakan ayat-ayat itu kepadamu dengan benar; dan Tiadalah Allah berkehendak untuk Menganiaya hamba-hamba-Nya. (surat Ali Imran (3) ayat 108).” Ayat ini menyatakan bahwa Allah SWT tidak pernah menghendaki atau Allah SWT tidak berkehendak untuk menganiaya, atau menzhalimi para hamba-Nya.

 

Sekarang jika sampai Allah SWT berbuat aniaya atau berbuat zhalim kepada hamba-Nya, maka Allah SWT telah melanggar konsep awal penciptaan manusia dan alam  semesta yaitu menciptakan dengan haq. Dan jika sekarang jika ada hambaNya yang juga khalifahNya yang dihukum atau diberikan ganjaran atas kesalahan yang diperbuatnya, ini menunjukkan bahwa Allah SWT Konsisten dengan kehendak-Nya yaitu dengan memberikan kasih sayang kepada hambanya sehingga dengan adanya kejadian ini diharapkan hambanya menjadi lebih baik atau tidak terjerumus ke lembah kenistaan atau memberikan contoh pelajaran kepada hambaNya yang juga khalifahNya yang lain agar jangan mencontoh dan meniru kesalahan yang terjadi yang kesemuanya mencerminkan bahwa Allah SWT sayang kepada umat manusia.

 

Selain daripada itu, kitapun harus bisa mengimani bahwa Allah SWT berkehendak untuk memudahkan segala urusan manusia, sepanjang manusia mau memenuhi apa-apa yang dikehendaki oleh Allah SWT, dalam hal ini beriman dan beramal shaleh. Ini berarti sebuah syarat dan ketentuan adalah sesuatu yang mutlak kita lakukan jika kita ingin memperoleh atau mendapatkan sesuatu. Tanpa kita mau memenuhi syarat dan ketentuan di maksud maka jangan pernah berharap kita mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebagaimana firmanNya berikut ini: Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami". (surat Al Kahfi (18) ayat 88)

 

Sebagai contoh, jika kita ingin mendapatkan atau ingin memperoleh kemudahan dari suatu system yang bersifat komputerisasi maka kita diwajibkan terlebih dahulu men-setting komputer atau meng-install komputer  kita dengan suatu program tertentu. Tanpa kita melakukan setting program atau meng-install program maka jangan pernah berharap mendapatkan manfaat dari komputerisasi. Komputer sebagai benda mati saja mengharuskan penggunanya untuk memenuhi syarat dan ketentuan dimaksud, selanjutnya bagaimana dengan Allah SWT dengan program kekhalifahan di muka bumi? Jika kita ingin memperoleh manfaat dari Program Kekhalifahan  di muka bumi maka kita Wajib dan Harus terlebih dahulu untuk Meng-Install Program Kekhalifahan  dimaksud di dalam diri kita maka barulah kita akan memperoleh segala kemudahan yang telah dijanjikan oleh Allah SWT.

 

Selanjutnya di dalam dunia komputer, ada istilah Ram dan Processor, semakin tinggi dan semakin baik Ram dan Processor maka semakin cepat proses untuk  memperoleh hasil komputerisasi dari pekerjaan yang kita lakukan. Allah SWT juga menerapkan hal yang sama dengan komputer jika kita ingin mendapatkan janji-janji Allah SWT dengan cepat dan akurat, untuk itu Ram dan Processor kita yang kita miliki harus pula tinggi dan baik (dalam hal ini adalah tingkat kefitrahan Hati Ruhani kita). Semakin tinggi dan semakin baik kondisi dan keadaan Hati Ruhani diri kita maka semakin cepat pula segala kemudahan dari Program Kekhalifahan di muka bumi dapat kita peroleh. Jika saat ini kita masih hidup di dunia, sudahkah kita meng-install Program Kekhalifahan di muka bumi (maksudnya Diinul Islam secara Kaffah) di dalam diri kita serta sudah canggihkah Ram dan Processor (maksudnya adalah sudah fitrahkah Hati Ruhani) yang kita miliki atau apakah kita tidak pernah sama sekali memperbaharui program diri kita yang sesuai dengan Kehendak Allah SWT?

 

Selain daripada itu, ada satu hal yang perlu kita ketahui bahwa kemudahan yang Allah SWT berikan kepada diri kita selalu disesuaikan dengan pemenuhan syarat dan ketentuan yang Allah SWT berlakukan. Contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari adalah jika kita hanya mempunyai saldo pulsa sebesar Rp.50,- (lima puluh rupiah) maka apa yang dapat kita lakukan? Yang pasti adalah dengan saldo pulsa sebesar itu kita hanya dapat melakukan hal-hal yang paling bawah atau yang paling terendah dari apa-apa yang disediakan oleh operator selular yaitu hanya bisa SMS satu kali, menunggu di telephone atau menunggu SMS, itupun dengan catatan battery handphone tetap oke serta masa aktif kartu belum habis.

 

Untuk itu jangan pernah berharap kita akan bisa memperoleh dan dapat melakukan Sambungan Langsung International; Sambungan Langsung Jarak Jauh, dengan pulsa hanya sebesar Rp.100,- (seratus rupiah). Untuk itu jika kita termasuk orang yang telah Tahu Diri, janganlah kita berbuat dan berkehendak seperti halnya handphone yang hanya mempunyai saldo pulsa sebesar Rp.100,- (seratus rupiah) ditambah masa aktifnya hampir habis yaitu mengharapkan kemudahan atau mengharapkan Syurga hanya dengan modal dan kemampuan memenuhi Syarat dan Ketentuan yang sangat minim.

 

Sekarang coba anda bandingkan antara handpone yang memiliki pulsa melebihi Syarat dan Ketentuan dengan handphone yang hanya memiliki saldo pulsa sebesar Rp.100,- (seratus rupiah) atau bandingkan pula dengan handphone yang tidak memiliki sama sekali pulsa dengan handphone yang baterainya soak yang tidak pernah di-charge? Jelas yang paling diperhatikan oleh Operator Selular adalah Handphone yang memenuhi syarat dan ketentuan sekaligus diatas rata-rata. Allah SWT juga memberlakukan hal yang sama kepada Khalifah-Nya di muka bumi, semakin tinggi Khalifah-Nya memenuhi syarat dan ketentuan yang dikehendaki Allah SWT akan semakin tinggi dan besar pula perhatian Allah SWT kepada abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya tersebut. Sekarang di posisi manakah diri kita?

 

Akhirnya kita harus mampu pula mengimani bahwa Allah SWT berkehendak untuk menjadikan manusia menjadi ahli syurga, sepanjang manusia mau memenuhi kehendak Allah SWT, atau sepanjang manusia mau memenuhi segala ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT. Sebagaimana dikemukakan dalam firmanNya berikut ini: “dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman dan beramal saleh ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dengan seizin Tuhan mereka. Ucapan penghormatan mereka dalam syurga itu ialah "salaam"[785]. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik[786] seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. (surat Ibrahim (14) ayat 23-24).”

 

[785] Artinya: sejahtera dari segala bencana.

[786] Termasuk dalam kalimat yang baik ialah kalimat tauhid, segala Ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran serta perbuatan yang baik. Kalimat tauhid seperti laa ilaa ha illallaah.

 

Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT begitu memihak kepada diri kita. Hal yang harus kita pahami adalah Allah SWT tidak akan rugi atau merasa rugi sedikitpun jika abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya tidak mau memenuhi segala ketentuan yang telah ditetapkan-Nya dan jika Allah SWT tidak rugi, maka yang akan rugi adalah diri kita sendiri. Lalu apakah kita tidak mau mengimani apa yang dikemukan oleh Allah SWT dalam firmanNya berikut ini: Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera.  Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang Terpuji. (surat Al Hajj (22) ayat 23-24)

 

D.    IMANI BAHWA HIDUP INI ADALAH SEBUAH PERMAINAN.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya dan juga sebagai khalifah-Nya di muka bumi ketahuilah dan imanilah bahwa hidup ini adalah sebuah permainan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT  dalam surat Al An’am (6) ayat 32 sebagaimana berikut ini: Dan kehidupan dunia tak lain adalah permainan dan senda gurau. Adanya perumpamaan hidup adalah sebuah permainan maka: (1) Di dalam setiap permainan harus ada awalnya dan harus pula ada akhirnya yang melahirkan lamanya kita bermain; (2) Di dalam setiap permaian maka harus ada tempat bertanding, atau ada arenanya.(3) Di dalam setiap permainan harus ada kawan dan harus pula ada lawan, atau musuh sehingga dengan adanya lawan, atau musuh maka akan menghasilkan suatu kemenangan, atau suatu kekalahan atau ada yang menang, atau ada yang kalah; (4) Di dalam setiap permainan harus ada aturan-aturan, atau ketentuan-ketentuan yang baku untuk membedakan peserta permainan atau juga untuk menentukan siapakah pemenang dari suatu permainan;(5) Di dalam setiap permainan harus ada wasit atau pengawas pertandingan dalam rangka menegakkan prinsip “Fairplay” dalam permainan.

 

Selanjutnya sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berarti saat ini kita dapat diibaratkan sebagai sebuah mainan yang diciptakan Allah SWT untuk melaksanakan konsep dwifungsi manusia baik sebagai abd’ (hamba)Nya dan juga sebagai khalifahNya. Jika ini kondisinya berarti mainan tidak akan mungkin menentukan sendiri aturan main dalam suatu permainan. Akan tetapi pemain hanyalah boneka-boneka (obyek obyek) yang harus bisa melaksanakan dan menjalankan aturan permainan yang telah ditentukan. Ini berarti jika diri kita adalah mainan bagi Allah SWT maka diri kita harus menjalankan dan melaksanakan aturan permainan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari penciptaan manusia di muka bumi. Adanya kondisi ini mengharuskan diri kita untuk mempelajari dan memahami aturan main yang diberlakukan oleh Allah SWT sehingga mampu menghantarkan diri kita menjadi pemenang.

 

Sekarang adakah prinsip-prinsip dalam sebuah permainan yang kami kemukakan di atas, ada pada hidup yang kita laksanakan hari ini? Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari konsep hidup adalah suatau permainan sudah pula memiliki semua ketentuan yang mengatur tentang permainan ini, yaitu:

 

1.  Allah SWT sudah pula menentukan lamanya permainan manusia, atau permainan diri kita saat menjadi abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya di muka bumi yaitu dimulai dari ditiupkannya ruh sewaktu masih di dalam rahim ibu sampai dengan saat berpisahnya jasmani dengan ruhani bagi individual, sedangkan sampai dengan hari kiamat bagi seluruh umat manusia. Hal yang harus kita pahami adalah lamanya permainan bukan kita yang menentukan dan juga dimana dan kapan permainan akan berakhir (dimana kita mati) juga tidak kita ketahui serta seperti apa kita akan mengalami kematian seperti apa juga tidak pernah kita ketahui (apakah suul khatimah ataukah husnul khatimah).

 

2.    Allah SWT  sudah  pula  menentukan arena, atau tempat bertandingnya diri kita di dalam melaksanakan kekhalifahan di muka bumi, dalam skala kecil tempatnya di dalam diri sendiri (dalam hal ini perang melawan ahwa (hawa nafsu) serta memerangi syaitan), sedangkan dalam skala besar tempatnya ada di muka bumi ini (di dunia ini)..

 

3.   Allah SWT menetapkan malaikat sebagai kawan bagi manusia saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi dan menetapkan ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan sebagai musuh dalam permainan yang kita lakukan. Allah SWT juga sudah menyediakan bagi manusia yang dapat mengalahkan musuhnya berupa syurga dan memberikan neraka bagi manusia yang gagal atau kalah.

4.   Allah SWT telah menurunkan dan menetapkan Diinul Islam sebagai satu-satunya aturan main, atau satu-satunya alat bantu untuk membedakan pemenang ataupun pecundang di dalam permainan hidup di muka bumi. 

 

5.   Allah SWT bertindak sebagai wasit, pengawas, pengarah, serta penilai hasil akhir dari permainan yang dilakukan oleh manusia di muka bumi sehingga prinsip “fairplay” dapat terjaga dan terpelihara.

 

Adanya 5(lima) ketentuan Allah SWT yang mengatur tentang  konsep hidup sebagai sebuah  permainan di muka bumi, terlihat dengan jelas bahwa Allah SWT telah mengatur dengan baik dan benar tentang kehidupan manusia secara sempurna sejak mulai dalam perencanaan sampai dengan manusia menempati syurga atau neraka kelak.

 

Sebagai pemain di dalam permainan, timbul pertanyaan yang paling mendasar bagi diri kita, yaitu mau menjadi pecundangkah atau mau menjadi pemenangkah diri kita? Rasanya tidak akan ada manusia yang ingin menjadi pecundang di dalam konsep hidup adalah permainan sebab hadiah dan penghargaan yang akan diterimanya adalah neraka jahannam. Dan semua manusia, termasuk diri kita, pasti ingin menjadi pemenang sebab akan memperoleh apa yang dinamakan dengan syurga sehingga kita dapat bertemu langsung dengan Allah SWT kelak.

 

Akan tetapi untuk menjadi pemenang bukanlah perkara mudah seperti membalik telapak tangan, sebab musuh (lawan) yang akan kita hadapi adalah musuh atau lawan yang sangat profesional kerjanya; musuh (lawan) yang tidak nampak oleh mata namun pengaruhnya sangat hebat; musuh atau lawan yang tidak pernah kenal lelah dalam rangka mengalahkan lawannya; musuh atau lawan yang dapat bergerak mengikuti diri kita dari depan, dari belakang, dari kiri dan dari kanan serta melalui aliran darah; musuh atau lawan yang sangat licin, licik, yang akan mempergunakan segala cara tanpa ada batasan, apakah halal ataupun haram yang penting lawannya kalah menjadi pecundang.

 

Lalu mampukah diri kita mengalahkan musuh (lawan) yang mempunyai kualifikasi seperti di atas, atau mampukah kita mengalahkan syaitan seorang diri yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah manusia karena adanya tambahan manusia yang telah berubah wujud menjadi syaitan? Rasanya jika kita hanya seorang diri tanpa bantuan Allah SWT, atau jika kita hanya mengandalkan kemampuan yang ada pada diri sendiri untuk menghadapi syaitan, sangat sulit mengalahkan syaitan.

 

Apalagi di saat kita berperang melawan syitan di dalam diri kita sendiri pun masih ada musuh yang tersembunyi, apakah itu? Musuh dalam selimut yang terdapat di dalam diri setiap manusia adalah ahwa (hawa nafsu). Untuk itu di saat kita berperang melawan syaitan, kita tidak boleh menganggap enteng dan remeh tentang ahwa  (hawa nafsu) yang ada di dalam diri kita, atau kita tidak boleh mengatakan ahwa (hawa nafsu) adalah lawan (musuh) yang mudah dikalahkan. Hal ini dikarenakan ahwa (hawa nafsu) merupakan kendaraan bagi syaitan, atau alat bantu bagi syaitan untuk mengalahkan manusia.

 

Jika ini adalah kondisi dasar dari permainan yang sedang kita laksanakan, apakah yang harus kita perbuat? Sebagai abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya di muka bumi, ada baiknya kita mengetahui dan memahami beberapa pedoman dasar yang berlaku di muka bumi ini sebelum diri kita berjibaku melawan ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan, yaitu:

 

1.       Setiap makhluk itu hanya tunduk kepada Allah SWT semata.

2.       Setiap makhluk juga dijadikan Allah SWT dengan kadar tertentu. 

3.    Setiap  makhluk  yang  diciptakan  Allah SWT  tunduk dengan sunnatullah sesuai dengan taqdirnya sehingga sesuai dengan taqdirnya maka makhluk itu menunduki sunnatullah secara terpaksa dan secara sukarela sehingga tidak ada hukum selain daripada sunnatullah.

4.    Manusia itu adalah makhluk yang terdiri dari unsur badaniyah (jasmani) dan unsur ruhaniyah (ruh), yang mana jasmani manusia bersifat fana sedangkan ruh bersifat kekal;

5. Eksisitensi Ruhaniyah manusia hanya dapat berkembang baik dalam kehidupan bermasyarakat secara ilahiah.

6.  Setiap usaha manusia yang menggunakan sistem pikir dan sistem akhlak mempunyai akibat ganda yaitu dunia dan akhirat. Dan akhirat itu lebih baik dan kekal.

7.   Tidak ada ikhtiar manusia yang dalam pelaksanaannya tidak diliputi hal-hal atau situasi dan kondisi yang ghaib baginya.

 

Apabila kita ingin memenangkan pertandingan (pertarungan) melawan syaitan dan menang melawan ahwa (hawa nafsu) atau apabila kita ingin selalu  menjadikan diri kita sendiri sebagai makhluk yang terhormat diantara makhluk ciptaan Allah SWT lainnya maka tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk menerima dan melaksanakan dengan sepenuh hati Diinul Islam sebagai satu-satunya konsep ilahiah bagi diri kita, tanpa dikurangi, tanpa ditambah, apalagi disesuaikan dengan kondisi apapun juga, atau kita harus bersama dengan Allah SWT maka barulah kita bisa mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan syaitan.

 

Selain daripada itu masih ada hal lainnya yang harus pula kita jadikan pedoman tentang Diinul Islam sebagai sebuah konsep yang berasal dari Allah SWT, yaitu kita harus bisa menempatkan dan meletakkan Diinul Islam sesuai dengan kebesaran dan kemahaan Allah SWT selaku pemilik konsep untuk kepentingan kekhalifahan di muka bumi.

 

Untuk itu jangan pernah salahkan Allah SWT jika kita hanya memperoleh, jika kita hanya bisa merasakan dan mendapatkan atas apa-apa yang telah kita persepsikan dan sangkakan kepada Allah SWT melalui Diinul Islam, sebagaimana dikemukakan dalam dua buah hadits berikut ini: Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: “Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku pada-Ku, maka terserah padanya akan menyangka apa saja kepada-Ku. (Hadits Qudsi Riwayat Muslim dan Alhakiem dari Watsilah dan Ibu Abud-Dunia, Alhakiem dari Abu Hurairah ra: 272: 67) dan juga berdasarkan hadits berikut ini: Watsilah bin Al-asqa' ra. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: “Aku selalu menurutkan sangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku, jika ia baik sangka kepada-Ku maka ia dapat dari padaku apa yang ia sangka. Dan bila ia jahat (jelek) sangka kepada-Ku, maka ia dapat apa yang ia sangka dari pada-Ku.  (Hadits Qudsi Riwayat Atthabarani dan Ibn Hibban; 272:71).

 

Berdasarkan ketentuan dua hadits di atas, kiranya dapat kita jadikan pedoman bagi diri kita untuk tidak bersikap memandang sempit Diinul Islam hanya sebatas ritual belaka seperti kita menganggap Diinul Islam hanya sebatas pahala dan dosa, atau sebatas syurga dan neraka, atau sebatas halal dan haram semata. Akan tetapi kita harus keluar dari pengertian itu semua, sebab jika kita terus berprinsip seperti itu maka yang akan kita peroleh dari Diinul Islampun hanya sebatas itu pula. Sedangkan telah kita ketahui bersama  bahwa Allah SWT lebih dari sekadar itu semua sebab Allah SWT adalah segala-galanya.

 

Ingat, Allah SWT memberikan kebebasan kepada diri kita untuk berprasangka kepada-Nya, apakah itu prasangka baik, ataupun prasangka buruk, atau apakah itu prasangka sempit ataupun prasangka yang mendalam. Adanya prasangka dan juga penilaian yang kita berikan kepada Diinul Islam, maka dari sinilah Allah SWT memulai penilaian kepada diri kita. Semakin baik dan semakin tinggi diri kita berprasangka kepada Allah SWT, atau semakin tinggi diri kita berprasangka kepada Diinul Islam yang diturunkan oleh Allah SWT, maka akan semakin tinggi dan semakin baik pula yang akan diberikan Allah SWT kepada diri kita.

 

Dan untuk menambah pengertian dan pemahaman yang telah kami kemukakan di atas, berikut ini akan kami kemukakan sebuah hadits sebagaimana berikut ini: Anas ra. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Wahai Anak Adam! Jika ingat kepada-Ku dalam dirimu, Akupun ingat kepadamu dalam diri-Ku dan bila engkau ingat kepada-Ku di dalam himpunan orang, akan Aku ingat kepadamu dalam himpunan yang lebih baik dari himpunanmu. Jika engkau mendekati-Ku sejengkal, Aku mendekatimu sedepa, bila engkau mendekati-Ku sedepa Aku dekati engkau sehasta. Dan bila engkau dating kepada-Ku berjalan , Aku akan datang kepadamu berlari.(Hadits Qudsi Riwayat Ahmad dan Abd. Bin Hamid; 272:185).” Hadits ini memperlihatkan kepada diri kita bagaimana Allah SWT bersikap kepada hamba-Nya yang selalu ingat kepada-Nya.

 

Allah SWT akan bersikap melebihi apa yang diperbuat oleh hamba-Nya jika hamba-Nya melakukan penilaian, ataupun berprasangka, atau mempunyai perbuatan yang bersifat positif point kepada Allah SWT. Akan tetapi Allah SWT tidak melakukan sesuatu yang melebihi jika hamba-Nya berbuat negatif, atau berseberangan dengan Allah SWT. Allah SWT hanya membalas sebatas penilaian, atau sebatas prasangka yang dikemukakan oleh hamba-Nya tersebut. Disinilah Allah SWT menunjukkan sikap demokratisNya serta kasih sayang-Nya kepada diri kita yang telah yang telah dijadikan-Nya sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi.

 

Sekarang jika yang terjadi Allah SWT hanya bersikap apa adanya kepada diri kita, atau bahkan Allah SWT tidak bersikap sama sekali kepada kita, atau bahkan Allah SWT justru mengacuhkan dan mendiamkan diri kita, apa yang sebenarnya terjadi? Jika kita mengacu kepada ketentuan hadits di atas, dapat dipastikan karena olah dan sikap sikap kita sendiri kepada Allah SWT. Ingat, Allah SWT berbuat dan bersikap sesuai dengan apa yang kita perbuat dan yang kita sikapi dan ini pulalah yang disebut dengan konsep keadilan.

 

Untuk itu jika kita ingin memperoleh sesuatu yang melebihi dari yang kita perbuat maka bersikaplah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT selaku pemilik, pencipta dari langit dan bumi termasuk di dalamnya Diinul Islam. Dan jika saat ini Allah SWT telah menurunkan Diinul Islam kepada diri kita dalam rangka mensukseskan tugas kita sebagai abd’ (hamba)-Nya dan yang juga khalifah-Nya di muka bumi maka terimalah, letakkan, tempatkan Diinul Islam itu sesuai dengan kebesaran dan kemahaan Allah SWT serta laksanakan Diinul Islam secara kaffah (menyeluruh) dan jangan pernah memberikan penilaian, persepsi, anggapan, seperti katak dalam tempurung untuk Diinul Islam sebab baik dan buruknya penilaian Allah SWT kepada diri kita dimulai dari apa yang kita lakukan kepada apa-apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar