D. HUBUNGAN ANTARA
PENDEKATAN DZAT, PENDEKATAN SIFAT DAN
PENDEKATAN NAMA NAMA ALLAH SWT YANG INDAH LAGI BAIK.
Sekarang kita telah mengetahui tiga buah pendekatan dalam rangka untuk
mengenal Allah SWT secara lebih dekat sehingga kita tahu Allah SWT seperti apa.
Lalu apa yang harus kita lakukan dengan ketiga pendekatan tersebut? Jika kita berbicara, jika kita mengucapkan,
jika kita mengemukakan, jika kita menyatakan, serta jika kita mengimani dan
meyakini tentang Allah SWT, maka kita harus menyatakannya dalam satu kesatuan
yang tidak terpisahkan antara Dzat Allah SWT, Sifat Allah SWT serta Asma Allah
SWT dalam satu kesatuan. Adanya kondisi ini berarti Hubungan Dzat, Sifat dan
Asma yang dimiliki oleh Allah SWT adalah tidak bisa dipisahkan pengertiannya,
tidak bisa dipisahkan pemahamannya sehingga harus diimani secara utuh. Ini
berarti ketentuan tentang Dzat Allah SWT, ketentuan tentang Sifat Allah SWT dan
serta ketentuan tentang Asma Allah SWT tidak boleh dipisah-pisahkan, tidak
boleh dikotak-kotakkan.
Misalnya ketentuan tentang Dzat Allah SWT berdiri sendiri, ketentuan
tentang Sifat Allah SWT berdiri sendiri, serta ketentuan tentang Asma Allah SWT
berdiri sendiri. Untuk memudahkan pemahaman tentang apa yang kami kemukakan di
atas, akan kami berikan contoh sebagai berikut: jika Allah SWT mempunyai nama
Ar Rakhman maka Ar Rakhman yang dimiliki oleh Allah SWT pasti bersifat Baqa,
bersifat Mukhalafah Lil Hawadish, bersifat Qiyamuhu Binafsih, bersifat
Wahdaniyah dan seterusnya sesuai dengan sifat Salbiyah yang dimiliki-Nya yang
kesemuanya saling berhubungan antara Sifat dan Asmaul Husna yang lainnya.
Demikian pula dengan sifat Baqa, jika Allah SWT memiliki sifat Baqa, maka Baqa
pula, sifat Ma’ani Allah SWT dan Baqa pula Asmaul Husna Allah SWT dan Baqa pula
sifat Salbiyah Allah SWT yang lainnya.
Selanjutnya akan kami kemukakan lagi beberapa hal yang sangat penting
yang wajib pula kita jadikan keyakinan sewaktu menjalankan tugas sebagai abd’
(hamba)Nya yang juga khalifahNya di muka bumi, dan juga pada saat diri kita
menyebut, mengucapkan dan juga menyatakan bahwa kita telah beriman kepad Allah
SWT, yaitu:
1. Sampai dengan kapanpun juga Allah SWT hanya satu sebab tidak ada
tuhan-tuhan lain selain Allah SWT yang
ada di alam semesta ini.
2. Jauh dekatnya Allah SWT dengan diri kita sangat tergantung dengan persangkaan kita kepada
Allah SWT, atau sejauh mana kita
menyambungkan diri kepada Allah SWT, atau sejauh mana kita menghubungkan diri
kepada Allah SWT. Hal ini dimungkinkan sebab yang jauh dari Allah SWT hanyalah
Dzat-Nya karena berada di Arsy, sedangkan Sifat Ma’ani dan Asmaul Husna Allah
SWT itu sangat dekat sehingga tidak terpisahkan dengan diri kita.
3. Kita diperkenankan oleh Allah SWT untuk berdoa dengan mempergunakan
nama-Nya yang indah lagi baik (Asmaul Husna), akan tetapi tidak dengan
ukuran-ukuran tertentu, atau tidak dengan jumlah yang akan diucapkan atau yang
dibaca sebab kita bukan sesuatu yang dapat memerintahkan Allah SWT untuk
menolong, membantu diri kita melalui bacaan yang kita baca.
4. Ke-esaan Allah SWT, Kemahaan Allah SWT, Kebesaran Allah SWT yang
termaktub di dalam Asmaul Husna tidak ada hubungannya baik langsung maupun
tidak langsung dengan Jumlah dan bilangan tertentu yang kita baca.
5. Ke-esaan Allah SWT, Kemahaan Allah SWT, Kebesaran Allah SWT yang
termaktub di dalam Asmaul Husna harus ditempatkan, harus diletakkan, harus
didudukkan sesuai dengan Keesaan, Kemahaan dan Kebesaran Allah SWT itu sendiri.
6. Tidak ada guna dan manfaatnya jika Allah SWT yang kita seru, Allah SWT
yang kita panggil dan Allah SWT yang kita sebut dengan mempergunakan nama-Nya
yang indah lagi baik (Asmaul Husna) jika yang dipanggil, yang diseru, yang
disebut hanya diam saja, tidak mau menengok, tidak mau mendengar, atau bahkan
Allah SWT menganggap angin lalu saja seluruh seruan dan seluruh panggilan yang
kita lakukan. Agar seruan, panggilan,
yang kita lakukan kepada Allah SWT
melalui Asmaul Husna didengar dan dijawab, kita harus terlebih dahulu
menyamakan gelombang, menyamakan saluran, menyamakan persepsi, menyamakan
kondisi dasar dan juga menyamakan kriteria antara penyeru atau pemanggil dengan
yang diseru atau yang dipanggil. Tanpa adanya pemenuhan syarat dan
ketentuan yang kita penuhi terlebih dahulu maka usaha kita untuk memanggil,
menyeru, menyebut tidak akan pernah berhasil.
Sebagai abd’ (hamba)Nya yang sekaligus khalifahNya yang sedang menumpang
di langit di bumi yang tidak pernah kita ciptakan, kita harus sadar dengan
sesadar-sadarnya bahwa antara diri kita dengan Allah SWT tidak akan mungkin
sejajar kedudukannya. Untuk itu jika kita
merasa telah tahu diri, tahu siapa diri kita dan tahu siapa Allah SWT, maka
sudah sepantasnya dan sepatutnya kita menjadi makhluk yang tahu diri sehingga
mampu menempatkan Allah SWT sesuai dengan kemahaan dan kebesaran yang
dimiliki-Nya serta mampu menempatkan diri kita sendiri sesuai dengan kepatutan
sebagai makhluk yang menumpang di muka bumi yang diciptakan dan dimiliki oleh
Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar