Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 26 April 2024

PENGHANCUR KEIMANAN KEPADA ALLAH SWT (PART 4 of 5)

 

D.    MUNAFIQ.

 

Apakah itu Munafiq? Munafiq adalah tindakan menipu Allah SWT melalui tindakan yang seolah-olah untuk mencari dan mendapatkan keridhaan Allah SWT. Akan tetapi yang sebenarnya untuk mencari pujian atau popularitas di dalam masyarakat. Hal ini berdasarkan ketentuan surat An Nisaa' (4) ayat 142 berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka[364]. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya[365] (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali[366].

 

[364] Maksudnya: Alah membiarkan mereka dalam pengakuan beriman, sebab itu mereka dilayani sebagai melayani Para mukmin. dalam pada itu Allah telah menyediakan neraka buat mereka sebagai pembalasan tipuan mereka itu.

[365] Riya Ialah: melakukan sesuatu amal tidak untuk keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian atau popularitas di masyarakat.

[366] Maksudnya: mereka sembahyang hanyalah sekali-sekali saja, Yaitu bila mereka berada di hadapan orang.

 

Lalu apalagi yang disebut munafiq? Munafiq adalah suatu tindakan yang dibuat oleh manusia yang apabila manusia ditimpa kemudharatan, maka dia memohon pertolongan kepada Allah SWT dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Allah SWT memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah ia doakan kepada  Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Az Zumar (39) ayat 8 berikut ini: “dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, Dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah Dia akan kemudharatan yang pernah Dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan Dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: "Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu Sementara waktu; Sesungguhnya kamu Termasuk penghuni neraka.”

 

Selain dua hal yang kami kemukakan tentang munafiq ketahuilah bahwa dosa hati yang terbesar sekaligus penyakit jiwa yang terparah tidak lain adalah kemunafikan. Kemunafikan memisahkan manusia dari kemanusiannya tanpa ampun. Orang yang munafik dianggap bagian dari syaitan. Bahkan di dunia ini, ia dipandang Allah sebagai makhluk paling hina dan di akhirat nanti akan menempati neraka terbawah, sebagaimana firmanNya berikut ini: Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (surat An Nisaa’ (4) ayat 145)


Jadi, hukuman terhadap orang orang munafik akan lebih berat dibandingkan terhadap orang kafir. Karena sesungguhnya kemunafikan adalah jenis kekafiran yang paling buruk. Demi meraih keuntungan duniawi, orang munafik menabiri (menutupi) kekafirannya dengan tirai kesalehan. Dari luar, ucapan dan perbuatannya tampak shaleh. Padahal hatinya tidak demikian. Sebagai contoh, ketika mengucapkan dua kalimat syahadat, secara lisan mengakui AlQuran dan Hari Perhitungan. Namun tidak ada iman dalam hatinya, melainkan pengingkaran terhadap apa yang ia lisankan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut ini: “Allah SWT berfirman: orang-orang Baduwi yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: "Harta dan keluarga Kami telah merintangi Kami, Maka mohonkanlah ampunan untuk kami"; mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah : "Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. sebenarnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (surat Al Fath (48) ayat 11)

 

Orang orang semacam ini melakukan perbuatan baik dengan penuh semangat untuk mendapatkan kepopuleran di tengah tengah masyarakat. Mereka shalat, berhaji, bersedekah agar orang orang menganggap mereka baik, mulia dan memuji, serta percaya kepada mereka. Disamping kekafiran, orang orang munafik juga menderita penyakit suka berdusta, menipu, dan melecehkan keimanan. Mereka berdusta kepada Allah, Rasul dan orang orang beriman. Mereka merasa tenteram dengan menipu dan menjadikan kebenaran sebagai olok olok. Namun sebenarnya tak ada yang mereka dustai selain diri mereka sendiri. Mereka menipu diri sendiri dan menjadi diri mereka bahan olok olok.

 

Sekarang mari kita perhatikan dengan seksama firman Allah SWT sebagaimana termaktub dalam Al Munafiquun (63) ayat 1 sampai 11, sebagaimana berikut ini: “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai[1476], lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. yang demikian itu adalah karena bahwa Sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. dan jika mereka berkata kamu mendengarkan Perkataan mereka. mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar[1477]. mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. mereka Itulah musuh (yang sebenarnya) Maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)? dan apabila dikatakan kepada mereka: Marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu Lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri.sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. mereka orang-orang yang mengatakan (kepada orang-orang Anshar): "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)." Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami. mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah[1478], benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi. dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang saleh?" dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.”

 

[1476] Mereka bersumpah bahwa mereka beriman adalah untuk menjaga harta mereka supaya jangan dibunuh atau ditawan atau dirampas hartanya.

[1477] Mereka diumpamakan seperti kayu yang tersandar, Maksudnya untuk menyatakan sifat mereka yang buruk meskipun tubuh mereka bagus-bagus dan mereka pandai berbicara, akan tetapi sebenarnya otak mereka adalah kosong tak dapat memahami kebenaran.

[1478] Maksudnya: kembali dari peperangan Bani Musthalik.

 

Berdasarkan ketentuan surat Al Munafiquun (63) ayat 1 sampai 11 di atas, menunjukkan betapa hinanya orang orang munafik, betapa buruknya sifat sifat orang orang munafik dan tempat kembali bagi orang munafik adalah kampung kesengsaraan dan kebinasaan, yaitu neraka. Hal ini dikarenakan Kemunafikan adalah jalan syaitan, sedangkan kebenaran dan iman adalah jalan manusia. Manusia bisa menjalankan kehidupannya secara manusiawi. Ia juga bisa mencapai derajat sangat agung di akhirat dan akan selamanya bergembira dan berbahagia. Tetapi betapa besarnya kesalahan yang bisa dilakukan manusia apabila ia berdiri di persimpangan jalan, kemudian ia mengambil keputusan yang salah serta meninggalkan jalan yang indah.

 

Di lain pihak, ia menempuh jalan syaitan dan konsekuensinya harus menanggung berbagai kesulitan tak terperi yang menantinya di jalan itu. Bahkan kematian pun tak membuatnya terlepas dari rantai dan jeratan api, sementara malaikat yang murka mengancamnya. Apakah cacat yang dilihatnya dalam kehidupan yang sejati dan shaleh sehingga ia meninggalkannya? Lalu justru memilih jalan kemunafikan? Orang yang seperti inilah yang dikemukakan dalam surat Al Hajj (22) ayat 11 berikut ini: “dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi[980]; Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam Keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang[981]. rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.”  Yang akan merugi di kehidupan dunia dan juga di kehidupan akhirat.

 

[980] Maksudnya: tidak dengan penuh keyakinan.

[981] Maksudnya: kembali kafir lagi.

                             

Selanjutnya dalam rangka menambah pengertian tentang orang munafiq, berikut ini akan kami kemukakan beberapa  ciri-ciri atau sifat-sifat orang munafiq, yaitu : (a) tidak berpendirian tetap dan jelas; (b) tidak dapat dipercaya sama sekali; (c) ucapan-ucapannya bohong, dusta; (d) sumpah dan janjinya tidak ditepati; (e) amal ibadahnya riya' (mencari pujian); (f) suka bergaul dengan orang yang memusuhi Islam; (g) selalu curiga terhadap kegiatan Islam;  (h) suka berbuat kerusakan; (i) enggan berdakwah dan berjihad; (j) lebih takut kepada manusia daripada takut kepada Allah SWT; (k) tidak suka berhukum kepada AlQur'an; (l) mencari keuntungan pribadi saja.

 

Sebagai  abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya yang sedang melaksanakan tugas di muka bumi, jangan sampai diri kita menjadi orang munafiq baik ditinjau dari sisi hubungan kita kepada Allah SWT, ataupun kepada sesama manusia. Dan jika sampai perbuatan munafiq terjadi pada diri kita berarti: (a) ilmu, pemahaman, keyakinan kita tentang Allah SWT sudah tidak sesuai lagi dengan kehendak Allah SWT itu sendiri; (b) ilmu, pemahaman kita tentang Diinul Islam sudah tidak sesuai lagi dengan kehendak Allah SWT; (c) keimanan kita kepada Allah SWT baru sebatas ucapan belaka, atau baru sampai di bibir saja, sehingga keimanan yang kita lakukan belum dapat mengharntarkan diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan Allah SWT.

 

Dan jika ke tiga kondisi di atas ini terjadi pada diri kita, berarti di dalam diri kita telah terjadi gangguan atau ketidaknormalan di dalam menyikapi sesuatu, yaitu mampu untuk menempatkan dan meletakkan bahwa cabai itu pedas lebih tinggi dari pada kita mengimani dan meyakini tentang Allah SWT. Padahal jika kita termasuk orang yang telah tahu diri maka kedudukan  Allah SWT harus diletakkan dan ditempatkan di atas segala-galanya.

 

Dan jika sekarang Allah SWT memberikan penghargaan berupa berupa status “Permanent Residence” di neraka Jahannam kepada abd’ (hamba) yang juga khalifah yang berbuat dan berperilaku munafiq, apakah hal ini memang sebuah kepantasan dan kepatutan yang memang seharusnya berlaku demikian? Allah SWT memberikan penghargaan seperti ini memang sudah selayaknya dan memang sudah sepantasnya serta memang sudah sepatutnya diberikan kepada orang yang mempermainkan Allah SWT melalui sikap yang diperbuatnya. Allah SWT bukanlah sesuatu yang pantas dan patut untuk dipermainkan melalui sikap dan perbuatan manusia, akan tetapi Allah SWT harus di imani sesuai dengan kehendak dari Allah SWT itu sendiri.

 

E.      DURHAKA KEPADA ORANG TUA.

 

Sebagai abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah yang sedang menjalankan tugas di muka bumi yang diciptakan oleh Allah SWT, ada beberapa pertanyaan yang akan kami ajukan, yaitu: (a) Dapatkah kita menjalankan tugas sebagai abd’ (hamba) yang juga khalifah  di muka bumi jika kita tidak pernah dilahirkan ke muka bumi?; (b) Dapatkah kita merasakan enaknya menjadi seorang pengusaha, merasakan enaknya menjadi orang kaya, merasakan enaknya menjadi Eksekutif, Yudikatif, Legislatif, atau merasakan enaknya menimang cucu, atau menikmati kesenangan hidup, jika kita tidak pernah dilahirkan ke muka bumi?; (c) Dapatkah proses regenerasi kekhalifahan di muka bumi yang saat ini kita jalankan terjadi, sedangkan diri kita tidak pernah dilahirkan ke muka bumi? Jawaban dari pertanyaan di atas adalah tegas yaitu tanpa pernah dilahirkan ke muka bumi, maka diri kita tidak akan pernah bisa melaksanakan tugas baik sebagai hambaNya dan juga sebagai khalifahNya di muka bumi, atau kita juga tidak akan mungkin melaksanakan proses regenerasi kekhalifahan serta tidak akan pernah merasakan kesenangan yang ada di dunia ini.

 

Untuk dapat lahir ke dunia ini, tentu kita tidak bisa ada dengan sendirinya sehingga kita harus dilahirkan terlebih dahulu, lalu siapakah yang melahirkan diri kita? Berdasarkan surat Az Zumar (39) ayat 6 berikut ini: “Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan[1306]. yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang mempunyai kerajaan. tidak ada Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?

 

[1306] Tiga kegelapan itu ialah kegelapan dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan kegelapan dalam selaput yang menutup anak dalam rahim.

 

Berdasarkan ayat di atas, keberadaan diri kita bermula dari dalam rahim seorang ibu melalui tahap demi tahap, kejadian demi kejadian, yang kemudian lahirlah diri kita ke dunia dalam keadaan tidak mampu berbuat apapun juga kecuali dengan tangisan. Tangisan adalah senjata utama diri kita untuk segala maksud dan tujuan yang ingin kita peroleh, apakah itu lapar, apakah itu buang air, apakah itu sakit. Jika sekarang Allah SWT selaku inisiator yang sekaligus pencipta dan pemilik dari rencana besar kekhalifahan di muka bumi, memerintahkan kepada diri kita untuk berbakti kepada orang tua, apakah seruan, perintah Allah SWT ini berlebihan atau apakah memang sudah seharusnya ini kita lakukan dengan baik?

 

Jika kita termasuk orang yang telah tahu diri, yaitu tahu siapa diri kita yang sesungguhnya dan tahu siapa Allah SWT yang sesungguhnya, maka sudah sepatutnya dan memang sudah seharusnya kita memenuhi perintah Allah SWT untuk berbakti kepada orang tua dan juga mertua, atau berbuat baik kepada orang tua dan juga mertua sebab keberadaan diri kita, istri dan suami kita, di muka bumi ini tidak akan mungkin pernah terjadi jika tanpa ada ke dua orang tua dan kedua orang mertua, yang melahirkan kita ke muka bumi ini, yang kemudian mendidik dan membesarkan kita, sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al An’am (6) ayat 151 berikut ini: “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”

 

Dan juga berdasarkan firmanNya yang tertuan dalam surat Al Israa’ (17) ayat 23 sebagaimana berikut ini: dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia[850].

 

[850] Mengucapkan kata Ah kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.

Adanya keterkaitan yang begitu kental dan begitu hebat antara diri kita dengan orang tua kita, lihatlah hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Keridhaan Allah SWT tergantung kepada keridhaan kedua orang tua dan murka Allah SWT pun terletak pada murka kedua orang tua. (Hadits Riwayat Al Hakim). Allah SWT sampai-sampai meletakkan dan menempatkan baik ridha-Nya maupun murka-Nya di bawah keridhaan dan kemurkaan orang tua. Begitu tinggi, begitu mulia, begitu hebat, posisi orang tua diletakkan oleh Allah SWT dalam struktur keluarga, atau di dalam kerangka rencana besar kekhalifahan di muka bumi yang diciptakan oleh Allah SWT. Jika Allah SWT saja meletakkan dan menempatkan setiap orang tua pada posisi yang begitu tinggi dan mulia, apakah kita sebagai orang yang dilahirkan, diasuh, dididik, dibesarkan oleh orang tua, justru akan merendahkan orang tua dengan berbuat durhaka kepada mereka atau berkata kasar kepada mereka atau bahkan menelantarkan mereka? Jika sampai diri kita berani berbuat durhaka kepada  kepada orang tua, berarti kita telah menantang Allah SWT dan siap untuk  memperoleh hadiah dari Allah SWT berupa tiket masuk ke kampung kebinasaan dan kesengsaraan.

 

Sebagai bahan pembelajaran bagi kita semua, ada baiknya kita memperhatikan dengan seksama hadits berikut ini: Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Allah SWT telah mewahyukan kepada Nabi Musa: “Jika saja tidak karena mereka yang mengucapkan syahadat La illaha illa Allah niscaya telah Kutimpakan jahanam di atas dunia. Wahai Musa, jika saja tidak karena mereka yang beribadah kepadaKu niscaya tidaklah Aku lepaskan mereka yang berbuat maksiat sekejap mata pun. Wahai Musa, sesungguhnya orang orang yang beriman kepadaKu mereka itulah makhluk yang termulia dalam pandanganKu. Wahai Musa, sesungguhnya sepatah kata dari seorang yang durhaka (terhadap kedua orang tuanya) adalah sama beratnya dengan seluruh pasir bumi. Bertanya Nabi Musa: “Siapakah yang durhaka itu wahai TuhanKu?” “Yatu orang yang berkata kepada orang tuanya: Tidak…. Tidak” ketika dipanggil. (Hadits Riwayat Abu Nu’aim; 272:225). Lalu pernahkah kita membayangkan berapa banyak pasir yang ada di muka bumi ini dan sebanyak pasir itu pula akan ditimpakan kepada orang yang durhaka kepada orang tuanya oleh Allah SWT. Sanggupkah kita memikulnya?

 

F.      BURUK SANGKA KEPADA ALLAH SWT.

 

Allah SWT dengan segala kemahaan dan kebesaran yang dimiliki-Nya tidak wajib memiliki sifat dan juga perbuatan (af’al) yang termaktub dalam Nama NamaNya yang indah lagi baik (asmaul husna) karena Allah SWT sudah Maha dan akan Maha selamanya sehingga Allah SWT tidak membutuhkan sesuatu apapun juga dan dari siapun juga. Akan tetapi setelah Allah SWT menciptakan langit dan bumi beserta isinya termasuk menciptakan manusia dalam kerangka rencana besar untuk dijadikan abd’ (hamba)Nya dan yang juga khalifahNya di muka bumi, maka Allah SWT mewajibkan bagi diri-Nya untuk memiliki sifat dan perbuatan (af’al) yang termaktub dalam asmaul husna. Adanya sifat dan asmaul husna yang dimiliki Allah SWT dalam rangka Allah SWT menunjukkan bahwa Allah SWT itu ada, dimana keberadaan-Nya untuk mengatur, untuk mengawasi, untuk melindungi, untuk memelihara seluruh alam beserta isinya.

 

Timbul pertanyaan, untuk siapakah sifat dan asmaul husna yang dimiliki Allah SWT sedangkan Allah SWT tidak membutuhkan apapun juga dan dari siapapun juga? Sifat (dalam hal ini adalah sifat Ma’ani)  dan asmaul husna yang dimiliki Allah SWT adalah bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk seluruh ciptaan-Nya, termasuk di dalamnya untuk diri kita, untuk anak dan keturunan kita sendiri. Untuk itu jika kita merasa sebagai abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya yang sedang melaksanakan tugas di muka bumi, jadikanlah  hal ini sebagai ilmu yang melekat dengan diri kita sehingga akan memudahkan dan menjadikan diri kita sebagai abd’ (hamba)Nya dan juga khalifahNya yang sekaligus makhluk yang terhormat.

 

Selanjutnya, jika sifat ma’ani dan perbuatan (af’al) yang termaktub dalam asmaul husna  yang dimiliki Allah SWT ditujukan untuk diri kita, timbul pertanyaan bagaimanakah caranya  agar kita memperoleh hal tersebut? Untuk memperoleh sesuatu dari  Allah SWT yang Maha Besar, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Akan tetapi Allah telah memberikan pedoman kepada diri kita yang ingin memperoleh tambahan Sifat Ma’ani dan Asmaul Husna  Allah SWT sehingga apa yang sudah ada di dalam diri menjadi bertambah, maka kita diwajibkan untuk selalu berprasangka baik kepada Allah SWT terlebih dahulu dengan menempatkan dan meletakkan kemahaan dan kebesaran yang dimiliki oleh  Allah SWT sesuai dengan yang apa yang dikehendaki oleh Allah SWT itu sendiri. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Hujuraat (49) ayat 12 berikut ini:“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”  

 

Adanya prasangka baik kepada Allah SWT maka Allah SWT pun akan memberikan prasangka baik pula kepada yang mempersangkakannya. Demikian pula sebaliknya kepada orang yang berprasangka buruk maka Allah SWT akan memberikan prasangka buruk pula  kepada orang yang mempersangkakannya, sebagaimana hadits berikut ini: “Watsilah bin Al-Asqa' ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Aku selalu menurutkan sangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku, jika ia baik sangka kepada-Ku maka ia dapat dari padaku apa yang ia sangka. Dan bila ia jahat (jelek) sangka kepada-Ku, maka ia dapat apa yang ia sangka dari pada-Ku. (Hadits Qudsi  Riwayat At Thabarani dan Ibn Hibban, 272:71). Untuk itu berhati-hatilah dengan prasangka karena prasangka merupakan pisau yang bermata dua, ia dapat menghantarkan kita menuju kesuksesan hidup dan kehidupan dan juga merasakan nikmatnya bertuhankan Allah SWT serta melalui prasangka pula akan dapat menghantarkan kita menuju kegagalan hidup dan kehidupan, memperoleh jiwa fujur serta merasakan nikmatnya hidup bertetangga di neraka Jahannam bersama syaitan.

 

Setelah berprasangka baik kepada Allah SWT, maka langkah berikutnya  yang harus kita lakukan adalah  memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Apakah itu? Jika di dalam hukum alam berlaku ketentuan yang kecil selalu dikalahkan oleh yang besar. Akan tetapi dalam ilmu Allah SWT tentang prasangka baik yang dilakukan oleh hambanya, hal ini  tidak berlaku karena jika yang kecil bertemu dan  tersambung dengan Yang Maha Besar maka yang kecil akan terbantu, atau  akan tertolong, atau yang kecil akan memperoleh sinergi dari yang besar. Dan agar Allah SWT Yang Maha Besar dapat membantu dan dapat menolong yang kecil, dalam hal ini diri kita, keluarga dan anak keturunan kita, maka:   

 

1.  Kita yang kecil wajib menyelaraskan, menyerasikan, dan menyeimbangkan dengan kondisi dan keadaan Allah SWT Yang Maha Besar;

2.  Kita yang kecil harus berada di dalam ketentuan Allah SWT Yang Maha Besar;

3.   Kita yang kecil harus sesuai dengan syarat dan ketentuan yang dikehendaki oleh Allah SWT Yang Maha Besar;

4.      Kita yang kecil jangan sampai meninggalkan AllahSWT Yang Maha Besar;

5.     Kita yang kecil jangan pernah mencoba mengalahkan Allah SWT Yang Maha Besar;

6.      Kita yang kecil jangan pernah melecehkan Allah SWT Yang Maha Besar;

7.   Kita yang kecil harus selalu berada di dalam kesesuaian yang sama dengan Allah SWT Yang Maha Besar.

 

Untuk itu, jika kita merasa membutuhkan Allah SWT, jika kita merasa tidak mampu mengalahkan ahwa (hawa nafsu) seorang diri, jika kita tidak bisa mengalahkan syaitan yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah manusia seorang diri, jika kita membutuhkan tambahan Amanah 7 dan tambahan sibhgah dari asmaul husna Allah SWT, maka kita harus dapat setiap saat untuk selalu selaras, serasi dan seimbang dengan Allah SWT dengan cara memenuhi segala syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT serta selalu mendahulukan Allah SWT selangkah di depan. Yang menjadi persoalan saat ini adalah kita yang kecil berusaha untuk memperoleh tambahan sifat Ma’ani dan Asma Allah SWT, kita yang kecil ingin ditolong dan dibantu oleh Allah SWT. Akan tetapi jalan yang kita tempuh mempergunakan prasangka buruk kepada Allah SWT, melawan dan menentang Allah SWT Yang Maha Besar. Sekarang bagaimana mungkin Allah SWT akan menolong kita, akan membantu kita jika antara diri kita berseberangan dengan Allah SWT?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar