D. MUNAFIQ.
Apakah itu Munafiq? Munafiq adalah tindakan menipu Allah SWT melalui
tindakan yang seolah-olah untuk mencari dan mendapatkan keridhaan Allah SWT. Akan
tetapi yang sebenarnya untuk mencari pujian atau popularitas di dalam
masyarakat. Hal ini berdasarkan ketentuan surat An Nisaa' (4) ayat 142 berikut
ini: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu
Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka[364]. dan apabila mereka berdiri
untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya[365] (dengan
shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit
sekali[366].
[364] Maksudnya: Alah
membiarkan mereka dalam pengakuan beriman, sebab itu mereka dilayani sebagai
melayani Para mukmin. dalam pada itu Allah telah menyediakan neraka buat mereka
sebagai pembalasan tipuan mereka itu.
[365] Riya Ialah: melakukan
sesuatu amal tidak untuk keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian atau
popularitas di masyarakat.
[366] Maksudnya: mereka
sembahyang hanyalah sekali-sekali saja, Yaitu bila mereka berada di hadapan
orang.
Lalu apalagi yang disebut munafiq? Munafiq adalah suatu tindakan yang
dibuat oleh manusia yang apabila
manusia ditimpa kemudharatan, maka dia memohon pertolongan kepada Allah SWT
dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Allah SWT memberikan nikmat-Nya
kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah ia doakan kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan
dalam surat Az Zumar (39) ayat 8 berikut ini: “dan apabila manusia itu
ditimpa kemudharatan, Dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali
kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah Dia
akan kemudharatan yang pernah Dia berdoa (kepada Allah) untuk
(menghilangkannya) sebelum itu, dan Dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah
untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah:
"Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu Sementara waktu; Sesungguhnya
kamu Termasuk penghuni neraka.”
Selain
dua hal yang kami kemukakan tentang munafiq ketahuilah bahwa dosa hati yang
terbesar sekaligus penyakit jiwa yang terparah tidak lain adalah kemunafikan.
Kemunafikan memisahkan manusia dari kemanusiannya tanpa ampun. Orang yang
munafik dianggap bagian dari syaitan. Bahkan di dunia ini, ia dipandang Allah
sebagai makhluk paling hina dan di akhirat nanti akan menempati neraka
terbawah, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang munafik
itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu
sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (surat An
Nisaa’ (4) ayat 145)
Jadi,
hukuman terhadap orang orang munafik akan lebih berat dibandingkan terhadap
orang kafir. Karena sesungguhnya kemunafikan adalah jenis kekafiran yang paling
buruk. Demi meraih keuntungan duniawi, orang munafik menabiri (menutupi)
kekafirannya dengan tirai kesalehan. Dari luar, ucapan dan perbuatannya tampak
shaleh. Padahal hatinya tidak demikian. Sebagai contoh, ketika mengucapkan dua
kalimat syahadat, secara lisan mengakui AlQuran dan Hari Perhitungan. Namun
tidak ada iman dalam hatinya, melainkan pengingkaran terhadap apa yang ia
lisankan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut
ini: “Allah SWT berfirman: orang-orang Baduwi yang tertinggal (tidak turut ke
Hudaibiyah) akan mengatakan: "Harta dan keluarga Kami telah merintangi
Kami, Maka mohonkanlah ampunan untuk kami"; mereka mengucapkan dengan
lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah : "Maka siapakah
(gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki
kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. sebenarnya Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (surat Al Fath (48) ayat 11)
Orang
orang semacam ini melakukan perbuatan baik dengan penuh semangat untuk
mendapatkan kepopuleran di tengah tengah masyarakat. Mereka shalat, berhaji,
bersedekah agar orang orang menganggap mereka baik, mulia dan memuji, serta
percaya kepada mereka. Disamping kekafiran, orang orang munafik juga menderita
penyakit suka berdusta, menipu, dan melecehkan keimanan. Mereka berdusta kepada
Allah, Rasul dan orang orang beriman. Mereka merasa tenteram dengan menipu dan
menjadikan kebenaran sebagai olok olok. Namun sebenarnya tak ada yang mereka
dustai selain diri mereka sendiri. Mereka menipu diri sendiri dan menjadi diri
mereka bahan olok olok.
Sekarang
mari kita perhatikan dengan seksama firman Allah SWT sebagaimana termaktub
dalam Al Munafiquun (63) ayat 1 sampai 11, sebagaimana berikut ini: “Apabila
orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui, bahwa
Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". dan Allah mengetahui bahwa
Sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa
Sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. mereka itu
menjadikan sumpah mereka sebagai perisai[1476], lalu mereka menghalangi
(manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang telah mereka
kerjakan. yang demikian itu adalah karena bahwa Sesungguhnya mereka telah
beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena
itu mereka tidak dapat mengerti. dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh
mereka menjadikan kamu kagum. dan jika mereka berkata kamu mendengarkan
Perkataan mereka. mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar[1477]. mereka
mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. mereka
Itulah musuh (yang sebenarnya) Maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah
membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)? dan
apabila dikatakan kepada mereka: Marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan
ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu Lihat mereka berpaling
sedang mereka menyombongkan diri.sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan
atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang fasik. mereka orang-orang yang mengatakan
(kepada orang-orang Anshar): "Janganlah kamu memberikan perbelanjaan
kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada disisi Rasulullah supaya mereka bubar
(meninggalkan Rasulullah)." Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit
dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami. mereka berkata:
"Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah[1478], benar-benar orang
yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." Padahal
kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin,
tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. Hai orang-orang beriman,
janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.
Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi. dan
belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang
kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya
Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang
dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang
saleh?" dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang
apabila telah datang waktu kematiannya. dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu
kerjakan.”
[1476] Mereka
bersumpah bahwa mereka beriman adalah untuk menjaga harta mereka supaya jangan
dibunuh atau ditawan atau dirampas hartanya.
[1477] Mereka
diumpamakan seperti kayu yang tersandar, Maksudnya untuk menyatakan sifat
mereka yang buruk meskipun tubuh mereka bagus-bagus dan mereka pandai
berbicara, akan tetapi sebenarnya otak mereka adalah kosong tak dapat memahami
kebenaran.
[1478] Maksudnya:
kembali dari peperangan Bani Musthalik.
Berdasarkan
ketentuan surat Al Munafiquun (63) ayat 1 sampai 11 di atas, menunjukkan betapa
hinanya orang orang munafik, betapa buruknya sifat sifat orang orang munafik
dan tempat kembali bagi orang munafik adalah kampung kesengsaraan dan
kebinasaan, yaitu neraka. Hal ini dikarenakan Kemunafikan adalah jalan syaitan,
sedangkan kebenaran dan iman adalah jalan manusia. Manusia bisa menjalankan kehidupannya secara manusiawi. Ia juga bisa
mencapai derajat sangat agung di akhirat dan akan selamanya bergembira dan
berbahagia. Tetapi betapa besarnya kesalahan yang bisa dilakukan manusia
apabila ia berdiri di persimpangan jalan, kemudian ia mengambil keputusan yang
salah serta meninggalkan jalan yang indah.
Di
lain pihak, ia menempuh jalan syaitan dan konsekuensinya harus menanggung
berbagai kesulitan tak terperi yang menantinya di jalan itu. Bahkan kematian pun
tak membuatnya terlepas dari rantai dan jeratan api, sementara malaikat yang
murka mengancamnya. Apakah cacat yang dilihatnya dalam kehidupan yang sejati
dan shaleh sehingga ia meninggalkannya? Lalu justru memilih jalan kemunafikan?
Orang yang seperti inilah yang dikemukakan dalam surat Al Hajj (22) ayat 11 berikut
ini: “dan
di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi[980];
Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam Keadaan itu, dan jika ia
ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang[981]. rugilah ia di
dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” Yang akan merugi di kehidupan dunia
dan juga di kehidupan akhirat.
[980] Maksudnya:
tidak dengan penuh keyakinan.
[981] Maksudnya:
kembali kafir lagi.
Selanjutnya dalam
rangka menambah pengertian tentang orang munafiq, berikut ini akan kami
kemukakan beberapa ciri-ciri atau
sifat-sifat orang munafiq, yaitu : (a)
tidak berpendirian tetap dan jelas; (b)
tidak dapat dipercaya sama sekali; (c)
ucapan-ucapannya bohong, dusta; (d) sumpah
dan janjinya tidak ditepati; (e) amal
ibadahnya riya' (mencari pujian); (f)
suka bergaul dengan orang yang memusuhi Islam; (g) selalu curiga terhadap kegiatan Islam; (h) suka berbuat kerusakan; (i) enggan berdakwah dan berjihad; (j) lebih takut kepada manusia daripada takut
kepada Allah SWT; (k) tidak suka
berhukum kepada AlQur'an; (l) mencari
keuntungan pribadi saja.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya
yang sedang melaksanakan tugas di muka bumi, jangan sampai diri kita menjadi
orang munafiq baik ditinjau dari sisi hubungan kita kepada Allah SWT, ataupun
kepada sesama manusia. Dan jika sampai perbuatan munafiq terjadi pada diri kita
berarti: (a) ilmu, pemahaman, keyakinan
kita tentang Allah SWT sudah tidak sesuai lagi dengan kehendak Allah SWT itu
sendiri; (b) ilmu, pemahaman kita
tentang Diinul Islam sudah tidak sesuai lagi dengan kehendak Allah SWT; (c)
keimanan kita kepada Allah SWT baru
sebatas ucapan belaka, atau baru sampai di bibir saja, sehingga keimanan yang
kita lakukan belum dapat mengharntarkan diri kita merasakan nikmatnya
bertuhankan Allah SWT.
Dan jika ke tiga kondisi di
atas ini terjadi pada diri kita, berarti di dalam diri kita telah terjadi
gangguan atau ketidaknormalan di dalam menyikapi sesuatu, yaitu mampu untuk menempatkan
dan meletakkan bahwa cabai itu pedas lebih tinggi dari pada kita mengimani dan
meyakini tentang Allah SWT. Padahal jika kita termasuk orang yang telah tahu
diri maka kedudukan Allah SWT harus
diletakkan dan ditempatkan di atas segala-galanya.
Dan jika sekarang Allah SWT memberikan penghargaan berupa berupa status “Permanent Residence” di neraka Jahannam
kepada abd’ (hamba) yang juga khalifah yang berbuat dan berperilaku munafiq,
apakah hal ini memang sebuah kepantasan dan kepatutan yang memang seharusnya
berlaku demikian? Allah SWT memberikan
penghargaan seperti ini memang sudah selayaknya dan memang sudah sepantasnya
serta memang sudah sepatutnya diberikan kepada orang yang mempermainkan Allah
SWT melalui sikap yang diperbuatnya. Allah SWT bukanlah sesuatu yang pantas dan
patut untuk dipermainkan melalui sikap dan perbuatan manusia, akan tetapi Allah
SWT harus di imani sesuai dengan kehendak dari Allah SWT itu sendiri.
E. DURHAKA KEPADA ORANG
TUA.
Sebagai abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah
yang sedang menjalankan tugas di muka bumi yang diciptakan oleh Allah SWT, ada
beberapa pertanyaan yang akan kami ajukan, yaitu: (a) Dapatkah kita menjalankan tugas sebagai abd’ (hamba) yang juga
khalifah di muka bumi jika kita tidak
pernah dilahirkan ke muka bumi?; (b) Dapatkah
kita merasakan enaknya menjadi seorang pengusaha, merasakan enaknya menjadi
orang kaya, merasakan enaknya menjadi Eksekutif, Yudikatif, Legislatif, atau
merasakan enaknya menimang cucu, atau menikmati kesenangan hidup, jika kita
tidak pernah dilahirkan ke muka bumi?; (c) Dapatkah proses regenerasi kekhalifahan di muka bumi yang saat ini kita
jalankan terjadi, sedangkan diri kita tidak pernah dilahirkan ke muka bumi? Jawaban
dari pertanyaan di atas adalah tegas yaitu tanpa pernah dilahirkan ke muka
bumi, maka diri kita tidak akan pernah bisa melaksanakan tugas baik sebagai
hambaNya dan juga sebagai khalifahNya di muka bumi, atau kita juga tidak akan
mungkin melaksanakan proses regenerasi kekhalifahan serta tidak akan pernah
merasakan kesenangan yang ada di dunia ini.
Untuk dapat lahir ke dunia ini, tentu kita
tidak bisa ada dengan sendirinya sehingga kita harus dilahirkan terlebih
dahulu, lalu siapakah yang melahirkan diri kita? Berdasarkan surat Az Zumar
(39) ayat 6 berikut ini: “Dia
menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya
dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang
ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga
kegelapan[1306]. yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan
yang mempunyai kerajaan. tidak ada Tuhan selain dia; Maka bagaimana kamu dapat
dipalingkan?
[1306]
Tiga kegelapan itu ialah kegelapan dalam perut, kegelapan dalam rahim, dan
kegelapan dalam selaput yang menutup anak dalam rahim.
Berdasarkan ayat di atas, keberadaan diri kita
bermula dari dalam rahim seorang ibu melalui tahap demi tahap, kejadian demi
kejadian, yang kemudian lahirlah diri kita ke dunia dalam keadaan tidak mampu
berbuat apapun juga kecuali dengan tangisan. Tangisan adalah senjata utama diri
kita untuk segala maksud dan tujuan yang ingin kita peroleh, apakah itu lapar,
apakah itu buang air, apakah itu sakit. Jika
sekarang Allah SWT selaku inisiator yang sekaligus pencipta dan pemilik dari
rencana besar kekhalifahan di muka bumi, memerintahkan kepada diri kita untuk
berbakti kepada orang tua, apakah seruan, perintah Allah SWT ini berlebihan
atau apakah memang sudah seharusnya ini kita lakukan dengan baik?
Jika kita termasuk orang yang telah tahu diri, yaitu tahu siapa diri kita
yang sesungguhnya dan tahu siapa Allah SWT yang sesungguhnya, maka sudah
sepatutnya dan memang sudah seharusnya kita memenuhi perintah Allah SWT untuk
berbakti kepada orang tua dan juga mertua, atau berbuat baik kepada orang tua
dan juga mertua sebab keberadaan diri kita, istri dan suami kita, di muka bumi
ini tidak akan mungkin pernah terjadi jika tanpa ada ke dua orang tua dan kedua
orang mertua, yang melahirkan kita ke muka bumi ini, yang kemudian mendidik dan
membesarkan kita, sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al An’am
(6) ayat 151 berikut ini: “Katakanlah:
"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap
kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah
kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". demikian itu
yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”
Dan juga
berdasarkan firmanNya yang tertuan dalam surat Al Israa’ (17) ayat 23
sebagaimana berikut ini: “dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu
membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia[850].
[850] Mengucapkan kata Ah
kepada orang tua tidak dlbolehkan oleh agama apalagi mengucapkan kata-kata atau
memperlakukan mereka dengan lebih kasar daripada itu.
Adanya keterkaitan yang begitu kental dan begitu hebat antara diri kita
dengan orang tua kita, lihatlah hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Keridhaan Allah SWT tergantung kepada keridhaan kedua orang tua dan
murka Allah SWT pun terletak pada murka kedua orang tua. (Hadits Riwayat Al Hakim). Allah SWT sampai-sampai meletakkan dan menempatkan baik ridha-Nya maupun murka-Nya
di bawah keridhaan dan kemurkaan orang tua. Begitu tinggi, begitu mulia, begitu
hebat, posisi orang tua diletakkan oleh Allah SWT dalam struktur keluarga, atau
di dalam kerangka rencana besar kekhalifahan di muka bumi yang diciptakan oleh
Allah SWT. Jika Allah SWT saja meletakkan
dan menempatkan setiap orang tua pada posisi yang begitu tinggi dan mulia,
apakah kita sebagai orang yang dilahirkan, diasuh, dididik, dibesarkan oleh
orang tua, justru akan merendahkan orang tua dengan berbuat durhaka kepada
mereka atau berkata kasar kepada mereka atau bahkan menelantarkan mereka?
Jika sampai diri kita berani berbuat durhaka kepada kepada orang tua, berarti kita telah
menantang Allah SWT dan siap untuk
memperoleh hadiah dari Allah SWT berupa tiket masuk ke kampung kebinasaan
dan kesengsaraan.
Sebagai bahan pembelajaran bagi kita semua, ada baiknya kita
memperhatikan dengan seksama hadits berikut ini: “Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Allah SWT
telah mewahyukan kepada Nabi Musa: “Jika saja tidak karena mereka yang
mengucapkan syahadat La illaha illa Allah niscaya telah Kutimpakan jahanam di
atas dunia. Wahai Musa, jika saja tidak karena mereka yang beribadah kepadaKu
niscaya tidaklah Aku lepaskan mereka yang berbuat maksiat sekejap mata pun.
Wahai Musa, sesungguhnya orang orang yang beriman kepadaKu mereka itulah
makhluk yang termulia dalam pandanganKu. Wahai Musa, sesungguhnya sepatah
kata dari seorang yang durhaka (terhadap kedua orang tuanya) adalah sama
beratnya dengan seluruh pasir bumi. Bertanya Nabi Musa: “Siapakah yang
durhaka itu wahai TuhanKu?” “Yatu orang yang berkata kepada orang tuanya:
Tidak…. Tidak” ketika dipanggil. (Hadits Riwayat Abu Nu’aim; 272:225). Lalu
pernahkah kita membayangkan berapa banyak pasir yang ada di muka bumi ini dan
sebanyak pasir itu pula akan ditimpakan kepada orang yang durhaka kepada orang
tuanya oleh Allah SWT. Sanggupkah kita memikulnya?
F. BURUK SANGKA KEPADA
ALLAH SWT.
Allah SWT dengan segala kemahaan dan kebesaran yang dimiliki-Nya tidak
wajib memiliki sifat dan juga perbuatan (af’al) yang termaktub dalam Nama NamaNya
yang indah lagi baik (asmaul husna) karena Allah SWT sudah Maha dan akan Maha
selamanya sehingga Allah SWT tidak membutuhkan sesuatu apapun juga dan dari
siapun juga. Akan tetapi setelah Allah SWT menciptakan langit dan bumi beserta
isinya termasuk menciptakan manusia dalam kerangka rencana besar untuk
dijadikan abd’ (hamba)Nya dan yang juga khalifahNya di muka bumi, maka Allah
SWT mewajibkan bagi diri-Nya untuk memiliki sifat dan perbuatan (af’al) yang
termaktub dalam asmaul husna. Adanya sifat dan asmaul husna yang dimiliki Allah
SWT dalam rangka Allah SWT menunjukkan bahwa Allah SWT itu ada, dimana
keberadaan-Nya untuk mengatur, untuk mengawasi, untuk melindungi, untuk
memelihara seluruh alam beserta isinya.
Timbul pertanyaan, untuk siapakah sifat dan asmaul husna yang dimiliki Allah
SWT sedangkan Allah SWT tidak membutuhkan apapun juga dan dari siapapun juga?
Sifat (dalam hal ini adalah sifat
Ma’ani) dan asmaul husna yang
dimiliki Allah SWT adalah bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk seluruh ciptaan-Nya,
termasuk di dalamnya untuk diri kita, untuk anak dan keturunan kita sendiri.
Untuk itu jika kita merasa sebagai abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya yang
sedang melaksanakan tugas di muka bumi, jadikanlah hal ini sebagai ilmu yang melekat dengan diri
kita sehingga akan memudahkan dan menjadikan diri kita sebagai abd’ (hamba)Nya
dan juga khalifahNya yang sekaligus makhluk yang terhormat.
Selanjutnya, jika sifat ma’ani dan perbuatan (af’al) yang termaktub dalam
asmaul husna yang dimiliki Allah SWT
ditujukan untuk diri kita, timbul pertanyaan bagaimanakah caranya agar kita memperoleh hal tersebut? Untuk
memperoleh sesuatu dari Allah SWT yang
Maha Besar, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Akan tetapi Allah telah
memberikan pedoman kepada diri kita yang ingin memperoleh tambahan Sifat Ma’ani
dan Asmaul Husna Allah SWT sehingga apa
yang sudah ada di dalam diri menjadi bertambah, maka kita diwajibkan untuk
selalu berprasangka baik kepada Allah SWT terlebih dahulu dengan menempatkan
dan meletakkan kemahaan dan kebesaran yang dimiliki oleh Allah SWT sesuai dengan yang apa yang
dikehendaki oleh Allah SWT itu sendiri. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat
Al Hujuraat (49) ayat 12 berikut ini:“Hai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian
dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.”
Adanya prasangka baik kepada Allah SWT maka Allah SWT pun akan memberikan
prasangka baik pula kepada yang mempersangkakannya. Demikian pula sebaliknya
kepada orang yang berprasangka buruk maka Allah SWT akan memberikan prasangka
buruk pula kepada orang yang
mempersangkakannya, sebagaimana hadits berikut ini: “Watsilah bin Al-Asqa' ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala
berfirman: Aku selalu menurutkan sangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku, jika ia
baik sangka kepada-Ku maka ia dapat dari padaku apa yang ia sangka. Dan bila ia
jahat (jelek) sangka kepada-Ku, maka ia dapat apa yang ia sangka dari pada-Ku. (Hadits Qudsi Riwayat At Thabarani dan Ibn Hibban, 272:71). Untuk itu berhati-hatilah dengan prasangka karena prasangka merupakan
pisau yang bermata dua, ia dapat menghantarkan kita menuju kesuksesan hidup dan
kehidupan dan juga merasakan nikmatnya bertuhankan Allah SWT serta melalui
prasangka pula akan dapat menghantarkan kita menuju kegagalan hidup dan
kehidupan, memperoleh jiwa fujur serta merasakan nikmatnya hidup bertetangga di
neraka Jahannam bersama syaitan.
Setelah berprasangka baik kepada Allah SWT, maka langkah berikutnya yang harus kita lakukan adalah memenuhi syarat dan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT.
Apakah itu? Jika di dalam hukum alam berlaku ketentuan yang kecil selalu
dikalahkan oleh yang besar. Akan tetapi dalam ilmu Allah SWT tentang prasangka baik
yang dilakukan oleh hambanya, hal ini
tidak berlaku karena jika yang kecil bertemu dan tersambung dengan Yang Maha Besar maka yang kecil
akan terbantu, atau akan tertolong, atau
yang kecil akan memperoleh sinergi dari yang besar. Dan agar Allah SWT Yang
Maha Besar dapat membantu dan dapat menolong yang kecil, dalam hal ini diri
kita, keluarga dan anak keturunan kita, maka:
1. Kita yang kecil wajib
menyelaraskan, menyerasikan, dan menyeimbangkan dengan kondisi dan keadaan
Allah SWT Yang Maha Besar;
2. Kita yang kecil harus
berada di dalam ketentuan Allah SWT Yang Maha Besar;
3. Kita yang kecil harus
sesuai dengan syarat dan ketentuan yang dikehendaki oleh Allah SWT Yang Maha
Besar;
4. Kita yang kecil jangan
sampai meninggalkan AllahSWT Yang Maha Besar;
5. Kita yang kecil jangan
pernah mencoba mengalahkan Allah SWT Yang Maha Besar;
6. Kita yang kecil jangan
pernah melecehkan Allah SWT Yang Maha Besar;
7. Kita yang kecil harus
selalu berada di dalam kesesuaian yang sama dengan Allah SWT Yang Maha Besar.
Untuk itu, jika kita merasa membutuhkan Allah
SWT, jika kita merasa tidak mampu mengalahkan ahwa (hawa nafsu) seorang diri,
jika kita tidak bisa mengalahkan syaitan yang jumlahnya lebih banyak dari
jumlah manusia seorang diri, jika kita membutuhkan tambahan Amanah 7 dan
tambahan sibhgah dari asmaul husna Allah SWT, maka kita harus dapat setiap saat
untuk selalu selaras, serasi dan seimbang dengan Allah SWT dengan cara memenuhi
segala syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT serta selalu
mendahulukan Allah SWT selangkah di depan. Yang menjadi persoalan saat ini
adalah kita yang kecil berusaha untuk memperoleh tambahan sifat Ma’ani dan Asma
Allah SWT, kita yang kecil ingin ditolong dan dibantu oleh Allah SWT. Akan
tetapi jalan yang kita tempuh mempergunakan prasangka buruk kepada Allah SWT,
melawan dan menentang Allah SWT Yang Maha Besar. Sekarang bagaimana mungkin
Allah SWT akan menolong kita, akan membantu kita jika antara diri kita
berseberangan dengan Allah SWT?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar