Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, ada satu
hal lainnya yang harus kita perhatikan yaitu ingat kepada Allah SWT bukanlah
sekedar ingat. Akan tetapi ingat kepada Allah SWT haruslah ingat yang harus
disertai dengan perbuatan yang sesuai dengan yang kita ingat. Katakan jika kita
ingat Allah SWT adalah Maha Kaya, maka jika kita memiliki kekayaan yang berasal
dari Allah SWT sudahkah kekayaan yang kita miliki kita pergunakan di dalam
kehendak Allah SWT, atau sudahkah sebahagian kekayaan yang kita miliki kita
keluarkan hak Allah SWT kepada orang yang memerlukan, atau sudahkah kekayaan
yang kita miliki kita pergunakan untuk membeli tiket masuk syurga atau jangan
sampai kekayaan yang kita miliki justru membawa diri kita ke Neraka Jahannam.
Allah SWT selaku Dzat
Yang Maha Besar tidak butuh dengan dzikir yang kita lakukan, melainkan kitalah
yang sangat membutuhkan dzikir kepada Allah SWT. Jika kita mampu berdzikir yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT, akan mampu menghantarkan diri kita mengenal
siapa diri kita dan siapa Allah SWT yang sesungguhnya lalu mampu menghantarkan
diri kita hanyalah sebagai hamba semata (abd) sedangkan Allah SWT adalah Tuhan
bagi seluruh alam semesta (Rabb).
Dan agar diri kita
mampu berdzikir yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, berikut ini akan kami
kemukakan beberapa pengertian, atau pemaknaan dari berdzikir sebagaimana
dikemukakan oleh “Asfa Davy Bya” dalam bukunya “sebening mata hati: oase penyejuk
jiwa dan pikiran” berikut ini:
a. Dzikir itu adalah Warisan Rasulullah SAW. Seorang sufi bernama Sulaiman Ad Darani berkata, “Di
syurga ada lembah lembah tempat para malaikat menanam pohon pohon ketika
seseorang mulai berdzikir kepada Allah SWT. Terkadang salah satu malaikat itu
berhenti bekerja dan teman temannya bertanya kepadanya, “Mengapa engkau berhenti? Malaikat itu menjawab, “sahabatku telah
malas/kendur dzikirnya.” Sebagai orang yang beriman tentu kita tidak akan
menjadikan kata kata di atas ini sebagai hiasan dalam buku harian atau
menjadikannya kata kata mutiara untuk disampaikan atau dihadiahkan kepada teman.
Akan tetapi kita harus bisa menjadikan kisah di atas untuk meyakini bahwa
dengan berdzikir, diri kita akan mendapatkan manisnya keimanan yang akan
membawa kita pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dzikir merupakan
warisan yang dibagi bagikan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya, dalam sebuah
riwayat, Abu Hurairah ra, berkata bahwa ketika masuk pasar, dia berkata, “Aku
melihat kalian disini sementara warisan Rasulullah di bagian dalam masjid.”
Orang orang lalu pergi ke masjid dan meninggalkan pasar. Setibanya di masjid
mereka tak melihat warisan itu, lalu mereka berkata, “Wahai Abu Hurairah, kami
tidak melihat warisan dibagikan di dalam masjid. Abu Hurairah balik bertanya,
“Apa yang kalian lihat? “ Mereka menjawab, “Kami melihat sekelompok orang
sedang berdzikir kepada Allah SWT dan membaca AlQur’an!” Abu Hurairah berkata,
“ Itulah warisan Rasulullah SAW!”. Sebagai umat yang telah diberikan
warisan oleh Nabi Muhammad SAW tentunya kita harus bisa memanfaatkan warisan
ini dengan sebaik baiknya, apalagi warisan ini adalah warisan yang tidak akan
habis habisnya dimakan oleh waktu. Sepanjang kita mau menerima warisan ini maka
sepanjang itu pula warisan akan diberikan. Untuk itu jadikan warisan ini
sebagai modal dasar bagi kita untuk merasakan nikmatnya bertuhankan Allah SWT
atau meraih kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Amiin.
b. Dzikir itu adalah makanan bagi orang orang yang mencari
Tuhan. Dzikir dapat
dikatakan sebagai makanan bagi orang yang mencari Tuhan, hal ini dikarenakan
pedzikir itu sadar bahwa penyesalan akan tiba jika mereka lalai sedetikpun jika
tidak berdzikir. Air mata tumpah di kesendirian tatkala tahajud merupakan saksi
akan munajatnya pedzikir kepada Sang Khaliq. Muadz bin Jabal ra, pernah
berkata: “Tidak ada yang disesali
penghuni syurga selain ketika sesaat saja mereka tidak berdzikir kepada Allah
SWT”. Menyesal adalah sebuah perasaan kecewa yang timbul dari hubungan
sebab akibat. Rasa sesal pasti dimiliki oleh setiap anak manusia karena rasa
sesal termasuk salah satu sifat dari jasmani manusia. Hal yang berbeda adalah
bagaimana setiap manusia mengekspresikan bentuk penyesalannya. Adanya kondisi
ini maka dapat dipastikan antara orang mukmin dibandingkan dengan orang kafir
tentu akan berbeda cara melampiaskan penyesalannya.
Bagi orang kafir atau
yang tidak beriman selalu mengkaitkan penyesalannya dengan sesuatu yang
berhubungan dengan kebutuhan dan kepentingan duniawi. Misalnya, dia menyesal
karena telah salah dalam membuat perhitungan sehingga dia mengalami kerugian.
Penyesalan itu biasanya dibarengi dengan berbagai tindakan yang menyesatkan
seperti, pergi ke bar untuk menghilangkan pikiran dengan meminum alkohol atau
mengkonsumsi narkoba, bahkan ada yang terjun bebas dari bangunan tinggi untuk
menghabisi dirinya. Menyesali diri atas setiap perbuatan dosa yang telah dilakukan di dunia
merupakan anugerah dari Allah SWT karena kita sesungguhnya masih diberi
kesempatan olehNya untuk memperbaiki diri. Untuk itu, kehidupan dunia
harus lah dipandang sebagai ladang akhirat, makin banyak kita menanam amal di
dunia, insya Allah kita akan menuai hasilnya di akhirat kelak. Dan
penyesalan yang amat dahsyat sesungguhnya terjadi ketika kita belum sempurna
bertaubat saat malaikat maut datang menjemput. Tidak ada penyesalan
yang melebihi dari semua penyesalan yang ada di dunia ini ketika kita wafat
dalam keadaan suul khatimah.
c. Dzikir itu adalah sarana bagi kita untuk mendapatkan
syurga. Agar dzikir yang
dilakukan oleh pedzikir mampu menjadi sarana untuk mendapatkan syurga,
renungkanlah dengan hati yang bersih lagi fitrah, hal yang kami kemukakan ini.
Ketahuilah bahwa sementara kita berdzikir di muka bumi, pada saat yang
bersamaan dengan itu para malaikat menanam pohon untuk para pedzikir pedzikir di
syurga untuk kepentingan para pedzikir. Para
pedzikir pedzikir sesungguhnya juga tengah menikmati indahnya taman taman
syurga melalui majelis majelis dzikir saat mereka di dunia minimal ia
memperoleh ketenangan dan ketenteraman bathin (sesuatu yang sangat mahal
hari ini) sehingga ia mampu hidup sesuai dengan kehendak Allah . Di samping
itu, dzikir akan menjaga diri kita dari setiap ancaman dan menjadi pedang untuk
membantai setiap musuh yang akan menggoda diri kita di dunia.
Imam Al Qusyairy
berkata: “Apabila dzikir kepadaNya telah
menguasai hati manusia, maka ketika syaitan datang mendekat, ia akan menggeliat
geliat di tanah seperti halnya manusia menggeliat geliat manakala syaitan
syaitan datang mendekatinya. Apabila ini terjadi, maka semua setan akan berkumpul
dan mendatanginya seraya bertanya, ‘Apa yang terjadi padanya? Setan yang lain
berkata, ‘Seorang manusia telah
menghantam (dengan dzikir)nya!”. Dan ketika Rasulullah SAW dimikrajkan oleh
Allah SWT, Nabi Ibrahim as, berpesan kepadanya, “Sampaikan salam untuk umatmu, beritahukanlah kepada mereka bahwa
syurga tanahnya subur dan airnya sangat jernih, tetapi tanahnya kosong.
Tanamannya ialah dengan membaca ‘Subhanallah
walhamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar’ karena dengan demikian
dia telah menanam pohon di syurga.” Dan pada kesempatan yang lain, ketika
Rasulullah SAW sedang berjalan, beliau melihat Abu Hurairah ra, sedang menanam
pohon. Ketika ditanya, dia menjawab: “Saya sedang menanam pohon.” Kemudian
Rasulullah SAW bersabda, “Aku beritahukan kepadamu sebaik baik pohon,
yaitu bacaan ‘La haula wala Quwwata illa billah’ karena akan menyebabkan
tumbuhnya pohon di syurga. Jika ini kondisinya, ayo sekarang kita
berlomba lomba menanam sebanyak banyaknya pohon di syurga mulai saat ini juga.
Jangan biarkan pohon itu layu dan tidak berkembang karena ulah perbuatan dosa
dan maksiat yang kita lakukan. Lalu sudah berapa banyak pohon yang telah kita
investasikan di syurga kelak?
d. Dzikir itu adalah salah satu terapi bagi kalbu karena
dzikir akan menyehatkan ruhani. Orang yang dzikirnya
sedikit pertanda bahwa hatinya sedang sakit, dan orang yang tidak pernah
berdzikir hatinya telah mati. Dzikir adalah milik jiwa, yang menjai sulit
diraih apabila kita berpaling kepada ego. Mengingat Allah bukanlah milik ego
atau pikiran. Ego tidak memiliki keabadian. Sedangkan pikiran tidak dapat
meraih dimensi cahaya di atas cahaya. Jadi,
dzikir itu sesungguhnya adalah obat ruhani yang sekaligus inti jalan ruhani.
Dzikir sebagai jalan ruhani atau jalan spiritual sebenarnya adalah jalan yang
sangat sederhana. Intinya adalah, “Kalbu mencari Allah dan Allah mencari kalbu
yang diperkuat dengan menjadikan diri kita sebagai hamba Allah SWT semata dan
Allah SWT adalah satu satunya Rabb bagi diri kita. Ironisnya, mengapa masih
banyak orang yang berdzikir, menangis, bertaubat dalam dzikir dan doanya,
tetapi perilaku maksiatnya tak kunjung reda? Air mata dzikir dan air mata
taubat pun menjadi sia sia. Air mata itu akhirnya menjadi bahan gunjingan bagi
orang orang yang melihatnya.
Hal yang harus kita
jadikan pedoman saat berdzikir adalah: Air
mata bukanlah ukuran pertobatan dan lisan bukanlah jaminan pengakuan. Banyak
orang yang berdzikir dengan lisannya, tetapi belum dengan hatinya.Untaian
tasbih di tangan bukanlah jaminan bahwa hatinya juga bertasbih. Surban dan
jubah putih ataupun gamis panjang yang
membungkus tubuh tidak menunjukkan bening dan putihnya hati si pemakai. Dzikir
yang belum disertai dengan kehadiran hati telah membuka peluang pada pikiran,
ego, dan hawa nafsu untuk melalaikan hati kita. Kita melupakan misi dari
dzikir kita, tugas dan kewajiban personal kita. Kita tidak menghargai apa yang
telah dikaruniakan kepada kita dan kita tidak mengenal nilai sejatinya. Dzikir
kita kepada Allah SWT seharusnya tidak bergantung kepada kondisi internal atau
eksternal diri kita. Dunia ini akan selalu berupaya mencampakkan diri kita ke
dalam jurang kealpaan. Dalam jurang ini kita diuji. Mereka yang ingat akan
diingatkanNya, dan mereka yang lalai akan dilalaikanNya. Saat ini masih banyak manusia yang menjalani kehidupannya dalam
kealpaan dan kelalaian. Mereka berdzikir tetapi tidak mampu mengenali sifat
sifat ilahiah mereka secara sadar. Tak heran jika kalbunya sudah terjaga
dan dalam dirinya telah tertanam benih dzikir, mereka sering berpaling dari
jalan ruhani dan melupakanNya. Karenanya, tidak setiap pejalan ruhani dapat
menemukan jalan pulang, begitu banyak pedzikir yang berpaling dari untaian
dzikirnya.
Untuk itu jangan
pernah belenggu hati kita dengan kealpaan dan kelalaian yang berkepanjangan. Berdzikirlah dengan lisan dan hati sehingga
akal kita akan menterjemahkan nya ke dalam perilaku yang berdzikir atau pribadi
yang berdzikir. Berdzikir yang demikian akan membentuk ketaqwaan kita kepadaNya
sehingga tidak ada lagi celah bagi syaitan untuk menghembushembuskan bisikannya
di hati kita. Mengingat Allah
adalah satu satunya senjata kita untuk melawan kekuatan setan. Kita tahu bahwa
setan tidak pernah tidur, mereka kuat, tetapi Allah SWT jauh lebih kuat. Dan dengan diri kita terus menerus mengingat
Allah, hati kita akan terus terjaga sepanjang waktu. Dengan demikian tak ada
ruang bagi setan untuk mencelakakan kita. Untuk itu jangan biarkan lidah
dan hati ini lelah apalagi berhenti berdzikir. Jangan biarkan tangan ini malas
bersedekah setiap pagi karena sedekah merupakan penolak bala. Jangan biarkan
mata ini malas bangun malam untuk shalat tahajjud, jangan biarkan anak istri
kita memakan makanan yang syubhat dan haram. Jangan biarkan setan menerobos
pintu pintu hati yang telah bercahaya dengan dzikir.
e. Dzikir adalah pembentuk akhlak yang mulia. Bukankah kehidupan Nabi Muhammad SAW adalah dzikir?
Bukankah kehidupan para sahabat, tabiin, tabiutabiin juga adalah dzikir? Tidak
ada waktu yang tersisa dalam kehidupan mereka tanpa mengingat Allah SWT. Mulai
dari bangun malam, berdiri mendirikan shalat, bermunajat di keheningan malam,
mencari nafkah, hidup bermasyarakat, berkeluarga, mendidik anak, belajar,
sampai dengan hal hal yang berhubungan dengan tata cara atau adab keseharian,
semuanya penuh dan dimulai dengan kalimat kalimat dzikir. Ingat, tak ada satupun ajaran agama di dunia ini yang mengatur secara
paripurna kehidupan manusia mulai dari lahirnya jabang bayi sampai wafat dengan
dzikir dan doa, kecuali Islam. Tak ada satupun agama di dunia ini yang
mengajarkan akhlak yang begitu sempurna, kecuali hanya agama Islam. Bukankah
Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak. Sungguh banyak orang yang keliru. Mereka mengira bahwa hal terpenting
dalam agama adalah mempelajari fiqih, menghafal AlQuran, wirid tiada henti, dan
seterusnya. Mereka lupa bahwa tujuan utama dari semua ibadah (shalat, puasa,
doa, dzikir, zakat, haji dan seterusnya) adalah untuk membenahi akhlak manusia.
Kalau tidak, ibadah yang dilakukannya akan menjadi semacam latihan olah raga
atau kebisaan semata atau penghapus kewajiban.
Rasulullah SAW
bersabda: “Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan manusia pada hari Kiamat
daripada akhlak yang baik.” (hadits riwayat Abu Dawud dan Ath Thirmidzi)
Rasulullah SAW
bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya,” (hadits riwayat Abu Dawud dan Imam Ahmad).
Benar Rasulullah SAW
berkata bahwa air mata adalah wujud kasih sayang yang Allah tanamkan di hati
para hambaNya. Tetapi tangisan dari Rasulullah tidak diikuti dengan perilaku
buruk! Beliau adalah seorang yang lembut hatinya, baik saat beribadah maupun di
luar beribadah karena hidupnya adalah ibadah. Sedangkan tangisan kita baru sampai tahap menyadari dosa dosa yang kita
lakukan, atau baru sampai tahap mensyukuri nikmat yang Allah berikan, atau ada
yang menangis karena jamaah kanan dan kirinya menangis, akhirnya ia ikut
menangis. Agar ibadah dzikir
mampu sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT, maka ibadah dzikir yang kita lakukan setiap saat,
haruslah dipahami sebagai salah satu sarana untuk mencapai akhlak yang mulia
atau mampu menjadikan diri kita menampilkan penampilan Allah SWT saat hidup di
muka bumi ini (dalam hal ini Asmaul Husna).
f. Dzikir itu adalah kunci pembuka pintu hati. Dzikir adalah kunci pembuka pintu hati. Apabila pintu hati terbuka maka muncullah di
dalamnya pemikiran yang brilian dan juga kata kata hikmah untuk membuka mata
hati. Bila mana mata hati telah terbuka maka tampaklah sifat sifat Allah serta
kemahaan dan kebesaran Allah SWT di hadapan mata hati kita. Dzikir yang
seperti ini sesungguhnya adalah dzikir kepada Allah berarti mengingat dan
mengikatkan diri kepada sifat sifat Allah dan juga dengan kemahaan dan
kebesaran Allah WT sebagai Tuhan yang berhak disembah dengan sebaik baiknya.
Dan sekarang katakanlah, Allah SWT adalah Dzat Pemberi Rezeki dan jika Allah
SWT kita ingat sebagai Dzat Yang Memberi Rezeki berarti kita juga harus
mengikatkan diri kepada sifat pemberi ini. Sehingga kita wajib meminta rezeki
hanya kepadaNya dan setelah memperoleh rezeki maka kita wajib pula membantu
sesama melalui infaq dan sedekah. Jika
kita mampu melakukan berarti kita telah mampu membuka hati kita melalui dzikir,
terutama melalui nilai kebaikan dari memiliki rezeki bukanlah pada saat saldo
keuangan bertambah banyak melainkan saat mau berbagi rezeki kepada orang orang
yang membutuhkan dari rezeki yang telah kita terima dari Allah SWT.
Adanya kondisi yang
kami kemukakan di atas, dzikir (mengingat Allah SWT) juga dapat kita katakan
sebagai cara yang paling efektif untuk berdialog langsung dengan Allah sehingga
membuat pedzikir atau hamba hambaNya mampu secara aktif berpartisipasi dalam
komunikasi langsung dengan Allah SWT. Apalagi
pedzikir yang sudah mampu menampilkan penampilan Allah SWT setelah mereka
berdzikir berarti ia mampu membuat Allah SWT tersenyum bangga kepadanya.
Adanya kondisi dzikir yang seperti ini tentu saja tidak bisa serta merta
terlaksana karena kondisi spiritual dari pikiran atau hati dari setiap orang
yang berbeda beda dalam menerimanya. Kesemuanya sangat tergantung dari
ketinggian atau kefitrahan spiritual yang dialami pedzikir pada saat berdzikir.
1. Bentuk dan Cara
Berdzikir (mengingat Allah SWT). Allah SWT telah menyatakan apabila seorang
hamba mengingat (berdzikir kepada) Allah SWT dengan segala tingkatannya maka
Allah SWT pun akan mengingat diri kita lebih baik dari tingkatan dzikir yang
dilakukannya. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 152
berikut ini: “Maka ingatlah kepadaKu, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah
kepadaKu, dan janganlah kamu ingkar kepadaKu. (surat Al Baqarah (2) ayat
152).” Dan juga berdasarkan
hadits qudsi riwayat Ath Thabrani berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW
bersabda: Allah ta’ala berfirman: Apabila hambaKu berdzikir (ingat) kepadaKu
sendiri, maka Aku dzikir padanya sendirian. Dan apabila ia ingat (berdzikir)
padaKu di tengah khalayak ramai, niscaya Aku dzikir padanya di tengah kumpulan
yang jauh lebih baik dari kumpulan yang ia berdzikir kepadaKu itu. (hadits qudsi riwayat Ath
Thabrani).”
Dzikir kepada Allah
SWT atau mengingat Allah SWT dapat pula dikatakan sebuah kehendak dari diri
kita untuk menemui Allah SWT sebagaimana dikemukakan di dalam hadits berikut
ini: “Abu
Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Apabila
hambaku ingin menemuiKu, Aku pun ingin menemuinya. Tetapi bila ia enggan
menemuiKu, Aku pun enggan menemuinya. (hadits qudsi riwayat Bukhari, Malik dan
An Nasa’i).” Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk terus menerus
berdzikir, mulai dari hendak tidur, bangun tidur, masuk dan keluar kamar mandi,
memakai baju, naik kendaraan, di perjalanan, melihat petir ataupun kejadian di
jalan, mau makan dan minum, selesai makan dan minum, dan di segala aktifitas
lainnya.
Kenapa hampir tidak
ada sedikitpun kegiatan kita yang luput dari berdzikir kepadaNya? Hal itu tak
lain karena sesungguhnya rumah rumah, rawa rawa, gunung gunung, dan bumi ini
akan menjadi saksi bagi orang orang yang berdzikir, pada hari kiamat kelak,
sebagaimana firmanNya berikut ini: “Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya,
karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) padanya.
(surat Az Zalzalah (99) ayat 4,5). Dan kegiatan mengingat Allah SWT
(berdzikir) itu dapat dilakukan dengan tiga cara, dengan catatan ketiganya
tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya, namun harus dalam
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh“Asfa
Davy Bya” dalam bukunya “sebening mata hati: oase penyejuk jiwa dan
pikiran” yang terdiri dari:
a. Dzikir dengan Lisan atau Ucapan. Dzikir dengan lisan (ucapan), yaitu dengan cara
mengucapkan lafazh-lafazh dzikir tertentu, baik dengan suara keras maupun
dengan suara yang hanya dapat didengar oleh orang yang berdzikir itu sendiri.
Lafaz dzikir yang baku itu harus dari Al Qur’an dan Al Hadits di antaranya
adalah tasbih, tahlil, tahmid, asamaul husna, membaca AlQuran, istighfar, doa,
dan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman: “(Zakaria)
berkata,, “Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda.” Allah berfirman, “Tanda bagimu
adalah bahwa engkau tidak berbicara dengan manusia selama tiga hari, kecuali
dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu banyak banyak, dan bertasbihlah
(memujiNya) pada waktu petang dan pagi hari.” (surat Ali Imran (3) ayat 41)
Dzikir lisan adalah
salah satu upaya untuk melindungi mulut dari berkata kata yang tidak baik dan
tidak bermanfaat. Dengan berdzikir (mengingat Allah) diharapkan lisan dan hati
kita selalu terjaga, sebagaimana Rasulullah SAW telah mengingatkan kita, “Yang
paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, yaitu mulut
dan farji (kemaluan).” (hadits riwayat Ath Thirmidzi).” Dzikir melalui
lisan bisa kita laksanakan di manapun dan dalam kondisi apapun. Dzikir dengan lisan dapat kita gunakan untuk mengisi
waktu luang di tengah kemacetan atau di tengah antrian panjang sehingga dengan
dzikir lisan ini mampu menghilangkan kesempatan untuk mengucapkan sumpah
serapah. Akhirnya di tengah kemacetan dan antrian panjang kita bisa menikmati
apa yang dinamakan dengan ketenangan bathin. Dzikir dengan lisan ini juga dapat
menjadi alat bantu bagi kita untuk menghindarkan diri dari membicarakan aib
orang lain (ghibah), untuk tidak menyebarkan berita bohong dan lain
sebagainya.
Ingat, setiap lisan yang keluar dari mulut merupakan parameter
akhlak bagi si pengguna lisan itu. Misalnya, lisan yang keluar dari mulut orang
yang banyak omong dan sedikit berdzikir, maka dzikirnya pun dapat berubah
menjadi omongan. Sedangkan lisan yang keluar dari pribadi yang berdzikir dan
sedikit bicara maka bicaranya adalah dzikir. Seorang pedzikir tentu tidak pernah
menganggap remeh rendah peran mulut sebagai sarana dzikirnya. Itu sebabnya
ketika akan berdzikir, dia membersihkan mulutnya melalui proses wudhu. Dia
sucikan mulutnya secara lahiriah, sebelum menyucikan secara bathiniah. Penyakit
masuk melalui mulut, malapetaka keluar dari mulut. (the best of Chinese
Sayings)
Disamping menjaga
lisannya, dia pun akan menjaga mulutnya dari mengkonsumsi makanan yang haram,
jika ditinjau dari sisi dzatnya dan juga berhati hati dalam mengkonsumsi barang
barang yang termasuk dalam kondisi syubhat. Dia juga menjaga agar makanan yang
dikonsumsinya diperoleh dengan cara cara yang halal.Sebagai pezikir jangan
sampai kita terjebak ke dalam kancah perhitungan pahala. Sehingga kita selalu
menghitung hitung pahala dzikinya,
shalatnya, puasanya, sedekah dan zakatnya, umroh dan hajinya. Pezikir yang
seperti ini masih terjebak ke dalam parameter fikih. Dzikir yang dilakukannya
untuk mengejar pahala, bukan untuk menjadi sebuah kebutuhan bagi dirinya dalam
kerangka mencari rahmat dan ridhaNya.
b. Dzikir dengan Hati (Kalbu). Dzikir dengan hati adalah dzikir yang memiliki keutamaan
yang paling tinggi karena si pelaku dzikir terus menerus berpikir tentang
keangungan Allah, kegagahanNya, keindahan ciptaanNya, dan ayat ayatNya di
langit dan di bumi. Praktik dzikir ini tanpa suara dan tanpa kata kata. Allah
SWT berfirman: “Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut,
dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah
kamu termasuk orang orang yang lengah. (surat Al A’raf (7) ayat 205).” Melalui
dzikir hati atau kalbu ini mereka ingin memenuhi kalbu mereka dengan kesadaran
yang sangat dekat dengan Allah SWT, seirama dengan detak jantung serta
mengikuti keluar masuknya napas. Mereka meyakini bahwa keluar masuknya napas
yang dibarengi dengan kesadaran akan kehadiran Allah merupakan pertanda bahwa
kalbu ini hidup dan berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
c. Dzikir Perilaku (perbuatan) atau Amal
Shaleh. Dzikir
perilaku adalah patuh dan taat kepada Allah SWT dalam segala tindakan dan
ucapan. Inilah yang disebut dengan taqwa. Dzikir yang seperti ini merupakan
dzikir yang paling agung. Hal ini disebabkan seorang Muslim harus sudah berada
dalam posisi melaksanakan apa apa yang diperintahkan oleh Allah serta menjauhi
segala yang haram dan syubhat. Pedzikir ini telah mencapai puncaknya dzikir
yakni ketaqawaan, yang dibuktikan dengan amal shalehnya, sebagaimana firmanNya
berikut ini: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah yang paling bertwaqwa di antara kamu. (surat Al Hujuraat (49) ayat 13).” Untuk
itu dapat kami ilustrasikan sebagai berikut: Katakan kita ingat bahwa Allah SWT
adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Jika ini yang kita ingat tentang Allah
maka perilaku kita harus sesuai dengan apa apa yang kita ingat dari Allah SWT
sehingga kitapun berperilaku kasih dan sayang kepada sesama manusia. Demikian
pula jika kita mengingat Allah SWT adalah Yang Maha Pemberi Rezeki maka
perilaku kitapun setelah memperoleh rezeki harus siap membahagiakan orang lain
melalui rezeki yang kita terima dengan menunaikan infaq ataupun sedekah yang
tidak lain adalah perbuatan amal shaleh. Demikian seterusnya.
Sekarang mari kita
bandingkan antara pedzikir sejati dengan pedzikir munafik. Dzikirnya pedzikir sejati akan sangat berbeda dengan perilaku pedzikir
orang orang munafik. Orang munafik berdzikir mengingat Allah dengan lisannya
hanya karena ingin memamerkan aktivitas dzikirnya pada orang lain. Padahal, di
hati mereka tidak ada aktivitas dzikir itu, sebagaimana firman Allah SWT
berikut ini: “Sesungguhnya orang orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan
membalas tipuan mereka. Dan apabila berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan
malas. Mereka bermaksud ria (dengan shalatnya itu) di hadapan orang lain dan
tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. (surat An Nisa’ (4) ayat
142).” Usai berdzikir, mereka gunakan anggota tubuh mereka untuk melakukan
hal hal yang tidak diridha Allah. Dengan mulut yang sama, usai berdzikir mereka
gunakan pula untuk berbohong, menipu, membicarakan aib orang lain, mengeluarkan
kata kata yang tidak bermanfaat. Bahkan mereka tidak sungkan sungkan menerima
sesuatu yang bukan haknya, pikiran mereka berkata itu perbuatan dosa, tetapi
hati mereka tak sanggup menolaknya. Nabi
SAW bersabda: “Celaka, celaka, celaka, orang yang banyak berdzikir dengan lidahnya,
tetapi bermaksiat terhadap Allah dengan perbuatannya. (Hadits Riwayat Adh
Dailami)
Orang orang yang
beriman berdzikir dengan hatinya. Lisannya hanya menjadi jalan untuk dzikirnya.
Lisannya ikhlas berdzikir karena Allah,
tak ada maksud tersembunyi, sehingga hasil dari dzikirnya akan sampai pada
hatinya. Saat itulah sesungguhnya, aktifitas dzikirnya menjadi sangat banyak,
karena hatinya mampu menterjemahkan dzikir lisannya menjadi dzikir perilaku
dalam bentuk amal shaleh. Akhirnya mereka menjadi orang orang yang ringan
tangan dalam membantu saudara saudaranya atau tetangga tetangganya yang susah.
Air matanya mudah menetes melihat penderitaan dan kedzaliman yang berlangsung
di sekitarnya. Hidupnya didedikasikan untuk umat, dia ingin berbuat sesuatu
yang bermanfaat bagi orang banyak melalui aktifitas wakaf waktu atau mewakafkan
sebahagian waktunya untuk kemaslahatan umat. Selalu merasa berdosa atas sikap
dan perkataan yang dikeluarkannya, dia selalu melakukan kebaikan dan perbaikan
dalam hidupnya.
Secara umum jika kita
mampu berdzikir (baik lisan, hati dan perilaku) yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT akan melahirkan sifat Al
Muraqabah (perasaan selalu diawasi oleh Allah) sehingga akan memasukkan
pelakunya ke pintu Al Ikhsan. Orang orang yang lalai tentu tidak akan sampai ke
derajat Al Ikhsan. Dzikir juga akan
melahirkan sifat Al Inabah (dorongan
jiwa ingin selalu kembali kepada Allah) sehingga Allahlah yang ditakuti dan
tempat kembali serta tempat untuk berlindung. Seorang pedzikir sejati tak pernah mengaku cinta kepadaNya jika tak
pernah merasa rindu denganNya. Dia tak akan pernah mengaku rindu kalau tak
pernah mengingatNya. Dan dia tak pernah merasa berdzikir apabila belum
meneteskan air matanya. Air mata rahmat, air mata yang menjaga dan melindungi
dirinya pada Hari Kiamat kelak. Insya Allah!.
Matinya hati adalah
sebuah tragedi bagi seorang manusia. Benar secara lahiriah dia hidup, fisiknya
sehat dan bugar, serta fikirannya cerdas. Tetapi di sisi lain, syahwatnya
menggebu gebu, nafsu berkuasanya tinggi, takabur dan ria dalam beramal, dan
sepak terjang bisnisnya menghalalkan segala cara. Inilah manusia yang hatinya
telah mati. Karena itu, pepatah Barat yang mengatakan, “Di dalam tubuh yang
sehat terdapat jiwa yang sehat”, tidak cocok diberlakukan bagi orang yang
beriman. Paradigma yang begitu merasuk selama beberapa dekade di negeri ini
memang sangat tidak cocok bagi orang orang mukmin. Untuk apa kita memiliki tubuh
yang sehat jika hatinya sakit atau hatinya telah mati. Hidup yang kita jalani
ternyata dapat membuat kita menjadi mati. Maka sebelum mati itu datang
menjemput. Jangan sia siakan manis dan lezatnya kehidupan ini.
Ayo berdzikir dan
berpikir akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Tak ada yang lebih indah di
dunia ini melainkan menjadi orang yang cerdas menurut kriteria sang Pencipta
berikut ini: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam
dan siang terdapat tanda tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.
(yaitu) orang orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam
keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia
sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (surat Ali Imran (3)
ayat 190, 191).” Celakalah orang yang hidup tetapi hatinya sakit sebab
di hidup di arena kemaksiatan. Dan sia sialah orang yang hidup tetapi memiliki
hati yang mati sebag orang yang demikian hidup dalam kekufuran. Hatinya dikunci
mati oleh Allah, sama saja bagi mereka diberi petunjuk atau tidak. Inilah hati orang
kafir. Dan jangan biarkan hidup ini diwarnai dengan semerbak wangi bunga
kematian dan jangan biarkan hati kita menjadi taman bagi sekuntum bunga
kematian.
2. Dzikir Wajib dan
Dzikir Sunnah. Dzikir
(ingat) kepada Allah ada dua macam, yaitu dzikir wajib dan dzikir sunnah. Kita
wajib berdzikir (mengingat Allah) dalam tiga situasi. Yang pertama, kita
melihat adanya makhluk maka kita harus mengingat khalikNya. Yang
kedua, apabila kita melihat
ciptaan, maka kita harus bisa menyadari kekuatan dan kebijaksanaan Tuhan yang
tidak terbatas karena telah memperlihatkan karya nyata berupa alam semesta ini.
Yang
ketiga, kita harus memandang Allah sebagai sumber anugerah dan seharusnyalah
kita tidak menyianyiakan cintaNya yang ditanamkan ke dalam hati kita. Dan sebagai
tingkatan pertama mengenal Allah, dzikir seperti ini adalah sebuah kewajiban
bagi setiap manusia. Apabila manusia telah mengenal Allah pada tingkat wajib
dan mulai mencintaiNya dan mengabdi kepadaNya maka dzikir yang terus
dilakukannya menjadi sunnah baginya. Artinya, disunahkan kepadanya agar setiap
kali melihat makhluk, ia selayaknya mengingat penciptanya. Setiap kali ia
melihat suatu karunia, haruslah ia menganggapnya sebagai hadiah dari Allah. Dan
dengan begitu, ia tak akan melupakan Allah SWT selama hayat masih di kandung
badan. Dzikir semacam ini tergolong ibadah yang paling baik.
Selain dzikir wajib
dan dzikir sunnah yang telah kami kemukakan di atas, masih ada pilihan
berdzikir kepada Allah SWT dalam bentuk yang lainnya, yaitu: (a) Dzikir yang dikaitkan dengan Ingat
kepada hasil ciptaanNya, kebesaranNya, kemahaanNya. Jika dzikir ini yang kita
lakukan terdapat pemisah antara diri kita selaku hamba (Abd) dengan Allah SWT
selaku Rabb; (b) Dzikir yang dikaitkan dengan ingat langsung kepada Allah SWT.
Jika ini yang kita lakukan tidak ada lagi tirai, perantaraan, hijab atau
penghalang antara diri kita selalu hamba (Abd) dengan Allah selaku Rabb. Selanjutnya
agar kita mampu berdzikir seperti yang kami kemukakan diatas ini, berikut ini
akan kami berikan sebuah ilustrasinya, yaitu: Sewaktu kita mengingat presiden
pertama dan kedua Indonesia, yaitu Ir Soekarno dan Jenderal Soeharto, secara
utuh. Tentu kita tidak bisa hanya mengingat sosok dan penampilan dari
penampilan phisik mereka belaka. Jika ini yang kita lakukan kepada mereka
berdua, tidak cukup bagi kita untuk mengingat secara baik dan benar. Kita juga
wajib mengetahui sejarah perjuangan keduanya, kita juga wajib mengetahui dan
memahami hasil dan karya nyata yang telah ditorehkannya baik yang tampil ke
permukaan (told story) maupun yang tidak tampil ke permukaan (untold story).
Barulah kita bisa mengenang mereka sebagai seorang yang berjiwa besar dan
pahlawan bagi bangsa Indonesia.
Kita tidak akan bisa
mengucapkan rasa kagum dan menaruh hormat kepada Ir Soekarno dan Jenderal
Soeharto selaku presiden Republik Indonesia, jika hanya mengandalkan lisan
semata. Kita harus mempergunakan segala elemen yang ada di dalam diri seperti
mempergunakan mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, ilmu untuk berpikir,
hati untuk merasakan karya nyata mereka berdua, yang dipergunakan secara utuh
satu kesatuan, maka barulah kita bisa mengingat kedua presiden Indonesia ini
dengan baik dan benar. Jika kepada
manusia saja kita harus seperti itu, lalu bagaimana kita bisa mengingat Nabi
Muhammad SAW dan juga Allah SWT sesuai dengan kehendak Allah SWT jika hanya
melalui lisan semata? Agar kita mampu melakukan mengingat (dzikir) wajib
kepada Allah SWT seperti yang kami kemukakan di atas, maka kita tidak bisa
melakukannya hanya sebatas lisan semata. Namun kita harus mempergunakan ilmu
dan pengetahuan yang diiringi dengan mata dan penglihatan, telinga dan
pendengaran, hati dan perasaan kita untuk merasakan langsung tentang Allah SWT.
Akhirnya dzikir
(ingat Allah SWT) harus kita maknai
bukanlah sebagai titik, melainkan sebagai koma. Sehingga tidak boleh berhenti
sampai disitu.
Jika dzikir dipahami sebagai titik, kita akan terjebak ke dalam ritual ibadah.
Tak ubahnya seperti orang orang Nasrani, Yahudi atau Majusi dalam melakukan
ritual. Mereka mengingat dan menangis saat beribadah, mereka pun merasa berada
di titik nol, mereka pun merasa berdosa dan memohon kepada tuhan mereka. Kalau kita dapat memahami hal itu, maka
orang orang yang berdzikir sejatinya adalah orang orang yang dapat melahirkan
kesalehan individu yang tercermin dalam kesalehan sosial dalam dirinya.
Inilah salah satu tujuan paling mulia yang dimaksud dari pelaksanaan ibadah
dzikir kepada Allah, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Apabila kamu telah menyelesaikan
ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu
menyebut nyebut (membangga banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan)
berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka diantara manusia ada yang berdoa: “Ya
Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia”, dan Tiadalah baginya bahagian
(yang menyenangkan) di akhirat. (surat Al Baqarah (2) ayat 200).” Seseorang yang senantiasa berdzikir
(mengingat Allah) pasti tidak akan menyianyiakan atas apa apa yang telah
diberikan Allah SWT sehingga hidupnya tidak akan digunakan untuk mendatangkan
dosa dan bencana bagi dirinya, bagi keluarga, bagi masyarakat, bagi bangsa dan
negaranya.
Pribadi yang
berdzikir tentu memiliki mata, telinga, hidung, perasaan, mulut, tangan, kaki
yang juga berdzikir. Hal ini karena semuanya selalu terjaga dan dijaga oleh
Allah SWT dan hasil dzikirnya tercermin dalam sikap dan dalam perbuatan. Untuk
itu kita bisa berkaca dengan apa yang dikemukakan oleh “Abu Darda ra, berikut
ini: “Setiap
sesuatu itu mempunyai kilapan dan kilapan hati itu adalah dengan berdzikir
kepada Allah SWT.” Dan Ibnu Taimiyah juga pernah berkata,
“Sesungguhnya kelezatan, kebahagiaan, dan keindahan yang tak bisa diungkapkan
dengan kata kata, hanya terdapat pada saat mengenal Allah SWT, mengesakanNya,
dan beriman kepadaNya, serta saat mengambil manfaat lewat hakikat keimanan dan
pengetahuan AlQuran.” Selain itu
“Ibnu Al Qayyim Al Jauziyah yang juga
berkata, “Sesungguhnya hati itu bisa berkarat seperti halnya tembaga dan perak.
Maka untuk membersihkan karat tersebut adalah dengan berdzikir, sebab ia akan
membuantnya mengkilap seperti cermin putih. Apabila hari dibiarkan, maka ia
akan berkarat dan apabila dibawa berdzikir, maka ia akan cemerlang. Hati
berkarat itu disebabkan oleh dua hal, kelaiaan dan dosa. Sedangkan cara
membuatnya mengkilap adalah dengan istighfar dan dzikir.” Sehingga
tetesan air matanya mudah jatuh dan hatinya mudah tergetar ketika telinga,
mata, perasaannya menangkap lantunan ayat suci AlQuran atau ketika melihat ada
orang yang didekatnya mengalami kesusahan atau mudah mendoakan orang lain tanpa
diketahui oleh orang yang bersangkutan. Hatinya selalu berbisik kepada
matanya, kepada telinganya, kepada tangan dan kakinya agar ia selalu mampu
menampilkan penampilan Allah SWT dalam hidupnya selama hayat masih di kandung
badan. Sungguh Allah Maha Besar, lalu nikmat mana lagi yang kita dustakan!
Selanjutnya untuk lebih mempertegas lagi tentang pendekatan nama nama
Allah yang indah lagi baik (Asmaul Husna) yang telah kami kemukakan di atas.
Untuk itu ketahuilah bahwa Allah SWT juga memiliki kombinasi nama namaNya indah
lagi baik sebagaimana kami kemukakan di bawah ini:
A
S M A U L H U S N A
(Nama
Nama Allah SWT Yang Indah lagi Baik)
|
1 |
Ar Rahman Ar Rahiem |
Maha
Pengasih/Pemurah lagi Maha Penyayang. |
|
|
2 |
At Taubah Ar Rahiem |
Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang. |
|
|
3 |
At Tawwab Ar Rahiem |
Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang. |
|
|
4 |
Ar Ra’uuf Ar Rahiem |
Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. |
|
|
5 |
Al Ghofuur Ar
Rahiem |
Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. |
|
|
6 |
Al Azis Al Rahiem |
Maha Perkasa lagi
Maha Penyayang. |
|
|
7 |
Ar Rahiem Al
Ghofuur |
Maha Penyayang lagi
Maha Pengampun. |
|
|
8 |
Ar Rahiem Al Waduud |
Maha Penyayang lagi
Maha Mencintai. |
|
|
9 |
Al Aliem Al Hakim |
Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana. |
|
|
10 |
Al Azis Al Hakim |
Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. |
|
|
11 |
Al Waasi Al Hakim |
Maha Luas lagi Maha
Bijaksana. |
|
|
12 |
Al Hakam Al Hakim |
Maha Menetapkan
Hukum lagi Maha Bijaksana. |
|
|
13 |
At Tawwaab Al Hakim
|
Maha Penerima
Taubat lagi Maha Bijaksana. |
|
|
14 |
Al Aliyy Al Hakim |
Maha Tinggi/Maha
Luhur lagi Maha Bijaksana. |
|
|
15 |
Al Hakim Al Khaabir |
Maha Pemaaf lagi
Maha Waspada/Teliti. |
|
|
16 |
Al Hakim Al Aliem |
Maha Pemaaf lagi
Maha Mengetahui. |
|
|
17 |
Al Hakim Al Hamid |
Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji. |
|
|
18 |
Al Latief Al Aliem |
Maha Halus lagi
Maha Mengetahui. |
|
|
19 |
Al Waasi Al Aliem |
Maha Luas lagi Maha
Mengetahui. |
|
|
20 |
Al Sami’ Al Aliem |
Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. |
|
|
21 |
Al Azis Al Aliem |
Maha Perkasa lagi
Maha Mengetahui. |
|
|
22 |
Al Khaliq Al Aliem |
Maha Pencipta lagi
Maha Mengetahui. |
|
|
23 |
Al Aliem Al Khaabir |
Maha Mengetahui
lagi Maha Teliti/Mengenal. |
|
|
24 |
Al Aliem Al Qaadir |
Maha Mengetahui
lagi Maha Kuasa. |
|
|
25 |
Al Aliem Al Halim |
Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun. |
|
|
26 |
Al Ghoniyy Al Halim |
Maha Kaya lagi Maha
Penyantun. |
|
|
27 |
Al Ghoniyy Al Hamid |
Maha Kaya lagi Maha
Terpuji. |
|
|
28 |
Al Ghoniyy Al
Kariem |
Maha Kaya lagi Maha
Mulia. |
|
|
29 |
Al Waaly Al Hamid |
Maha
Menguasai/Pengendali Urusan lagi Maha Terpuji. |
|
|
30 |
Al Azis Al Hamid |
Maha Perkasa lagi
Maha Terpuji. |
|
|
31 |
Al Hamid Al Majid |
Maha Terpuji lagi
Maha Mulia/Maha Agung. |
|
|
32 |
Al Azies Al Ghofuur |
Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun. |
|
|
33 |
Al Halim Al Ghofuur |
Maha Penyantun lagi
Maha Pengampun. |
|
|
34 |
Al Afuww Al Ghofuur |
Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun. |
|
|
35 |
Al Ghofuur Asy
Syakuur |
Maha Pengampun lagi
Maha Pembalas. |
|
|
36 |
Al Ghofuur Al
Waduud |
Maha Pengampun lagi
Maha Mencintai. |
|
|
37 |
Al Sami’ Al Bashir |
Maha Mendengar lagi
Maha Melihat. |
|
|
38 |
Al Khoobir Al Bashir |
Maha Waspada lagi
Maha Melihat. |
|
|
39 |
Al Ghofuur Al Halim |
Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun/Maha Penyabar. |
|
|
40 |
As Syakuur Al Halim |
Maha Pembalas lagi
Maha Penyantun. |
|
|
41 |
Al Aliyy Al Azhiem |
Maha Tinggi lagi
Maha Agung. |
|
|
42 |
Al Aliyy Al Kabiir |
Maha Tinggi lagi
Maha Besar. |
|
|
43 |
Al Aziz Al Ghaffar |
Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun. |
|
|
44 |
Al Qawiyy Al Aziz |
Maha Kuat lagi Maha
Perkasa. |
|
|
45 |
Al Wahid Al Qahhar |
Maha Esa lagi Maha
Pemaksa/Maha Perkasa. |
|
|
46 |
Al Kabiir Al
Muta’aaly |
Maha Besar lagi
Maha Suci/Maha Tinggi. |
|
|
47 |
Al Afuww Al Khodir |
Maha Pemaaf lagi
Maha Kuasa. |
|
|
48 |
Al Latief Al
Khoobir |
Maha Halus lagi
Maha Waspada. |
|
|
49 |
Al Malik Al Quddus Al Azis Al Hakim |
Maha Raja lagi Maha
Suci lagi Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. |
|
|
50 |
Al Malik
Al Quddus As Salam Al
Mu’min Al Muhaimin Al Aziz Al Jabbar Al
Mutakkabbir |
Maha Raja lagi Maha
Suci lagi Maha Sejahtera lagi Maha Menjaga Keamanan lagi Maha Pemelihara
Keamanan lagi Maha Perkasa lagi Maha Kuasa lagi Maha Memiliki Keagungan. |
|
|
51 |
Al Baari Al Musawwir |
Maha Mengadakan lagi Maha Membentuk Rupa. |
Untuk apa Allah SWT
menunjukkan, memperlihatkan dan mempertontonkan kepada diri kita dan juga
kepada seluruh umat manusia tentang kombinasi nama namaNya di atas ini? Adanya kombinasi nama nama Allah SWT di atas
karena Allah SWT sangat berkehendak untuk lebih mempertegas, atau lebih
menunjukkan ketegasan Allah SWT tentang perbuatanNya (af’alNya) dan juga untuk
dijadikan pedoman bagi profesi tertentu di dalam melakukan suatu pekerjaan,
atau untuk dijadikan sarana dan alat bantu (tolak ukur) di dalam sebuah
perilaku dan perbuatan umat manusia pada umumnya.
Berikut ini akan kami
kemukakan kombinasi nama nama Allah yang indah lagi baik (asmaul husna) yang
kami hubungkan dengan perintah menunaikan zakat, infaq, sedekah dan wakaf
sebagaimana berikut ini:
1. Maha Kaya lagi Maha
Penyantun. Allah
SWT telah menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT memiliki dua buah af’al
(perbuatan) yang bergandengan yaitu: Al Ghoniyy dan Al Halim yang artinya Yang Maha Kaya lagi Yang Maha
Penyantun secara berbarengan, sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Baqarah
(2) ayat 263 yang kami kemukakan berikut ini: “Perkataan yang baik dan
pemberian maaf[167] lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang
menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.”
[167] Perkataan yang baik Maksudnya menolak dengan cara
yang baik, dan maksud pemberian ma’af ialah mema’afkan tingkah laku yang kurang
sopan dari si penerima.
Apa
maksudnya? Allah SWT memiliki af’al atau perbuatan Al Ghoniyy yang artinya
tidak membutuhkan orang lain. Allah SWT tidak membutuhkan sesuatu apapun karena
Dia yang menciptakan, mengatur dan memberi rezeki. Dia yang memutuskan dan
melestarikan. Dia yang mempunyai apa yang ada di langit dan yang ada di bumi.
Semua makhluk membutuhkan Allah SWT. Disinilah letak Allah SWT Dzat Yang Maha
Kaya. Allah SWT juga memiliki af’al (perbuatan) Al Halim yang artinya santun,
peduli, punya perhatian, dan punya perasaan. Hilm Allah SWT adalah Dia menunda
menghukum orang orang yang patut dihukum, sehingga Dia menangguhkan penghukuman
untuk mereka atau memaafkan kesalahan mereka. Dan jika seseorang memiliki sifat
santun dan murah hati, maka dia akan sering memaafkan kesalahan dan menutupi
kekurangan orang lain. Allah SWT memaafkan setelah menutupi dosa hambaNya.
Allah SWT selalu welas asih, tepat janjiNya, memaafkan orang yang melanggar
hukumNya, tidak terprovokasi oleh kedurhakaan orang orang yang durhaka dan oleh
penindasan orang orang yang menindas.
Sebagai abd’
(hamba)Nya yang juga khalifahNya di muka bumi maka apa yang telah dikemukakan
oleh Allah SWT berupa Maha Kaya lagi Maha Penyantun harus kita jadikan pedoman
saat diri kita melaksanakan tugas di muka bumi. Apa maksudnya? Adanya
pernyataan Allah SWT Maha Kaya lagi Maha Penyantun mengajarkan kepada kita
yaitu jika sampai diri kita memiliki kekayaan (penghasilan) maka kekayaan atau
pengasilan yang mencukupi tidak hanya menjadikan diri kita sebatas memiliki
harta kekayaan atau penghasilan semata. Namun harus bisa harus dapat
menghantarkan diri kita menjadi orang yang penyantun, orang yang peduli, orang
yang memiliki perhatian dan memiliki perasaan yang lembut melalui harta yang
kita miliki.
Sekarang diri kita
telah memiliki harta kekayaan atau penghasilan lalu tidak menjadikan diri kita
orang yang penyantun berarti kita hanya mampu mengumpulkan kekayaan atau
penghasilan untuk kepentingan diri sendiri tanpa pernah berusaha untuk berbuat
kebaikan bagi orang yang tidak mampu. Sehingga penampilan diri kita menjadi
orang yang pelit yang tidak mau berbagi, yang hilang kepeduliannya kepada orang
lain. Jika sudah seperti ini akan terjadilah jurang yang semakin lebar antara
yang kaya dengan yang miskin yang pada akhirnya tumbuhlah bibit bibit
kecemburuan sosial di dalam masyarakat.
Akhirnya hilanglah
keseimbangan antara kesalehan diri dengan kesalehan sosial. Jika sampai diri kita tidak mau menunaikan
zakat, atau jika kita tidak mau menunaikan infaq dan sedekah berarti kita kita telah
keluar dari konsep kombinasi Asmaul Husna yaitu tidak menjadikan diri kita
penyantun melalui harta kekayaan/penghasilan yang kita miliki. Alangkah
buruknya keadaan diri kita yang memiliki harta kekayaan/penghasilan tanpa
diiringi dengan rasa santun, tanpa rasa peduli, tanpa rasa perhatian dan juga
tanpa memiliki perasaan. Padahal Allah SWT tidak pernah berkehendak seperti
itu kepada khalifahnya. Semoga diri kita dan anak keturunan kita tidak seperti
ini saat hidup di dunia ini. Amiin.
2. Maha Kaya lagi Maha
Terpuji. Allah
SWT telah menyatakan bahwa diriNya memiliki af’al (perbuatan) Maha Kaya lagi
Maha Terpuji secara bergandengan. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al
Baqarah (2) ayat 267 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari
apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” dan juga berdasarkan surat Surat Ibrahim (14)
ayat 8 yang kami kemukakan berikut ini: “dan Musa berkata: “Jika kamu dan
orang-orang yang ada di muka bumi semuanya mengingkari (nikmat Allah) Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya[782] lagi Maha Terpuji”.(surat Ibrahim (14) ayat
8)
[782] Maksudnya:
Allah tidak memerlukan syukur hamba-hamba-Nya.
Apa maksudnya. Al
Hamid kata dasarnya adalah hamd artinya pujian, sesuatu yang lebih umum
dibanding dengan bersyukur. Al Hamid adalah juga al Mahmud, Yang Terpuji. Allah
SWT adalah Al Hamid karena memuji DiriNya sendiri sejak dahulu kala dan juga
karena hambaNya memujinya. Al Hamid menganugerahi diri kita kesuksesan dan
memuji diri kita karena kesuksesan itu. Allah SWT menghapus dosa dosa kita dan
tidak mempermalukan kita dengan membeberkan dosa dosa kita. Allah SWT terpuji
karena kualitasNya dan juga karena
memang patut dipuji.
Saat ini Allah SWT
sudah menunjukkan kepada diri kita tentang af’alNya (perbuatanNya) yang
menunjukkan Maha Kaya lagi Maha Terpuji, maka kita pun harus bisa menjadikan
konsep Asmaul Husna ini menjadi pedoman saat hidup di muka bumi ini. Jika
sekarang Allah SWT sudah menyatakan Maha Kaya lagi Maha Terpuji maka secara
otomatis kita yang memiliki harta kekayaan atau telah memiliki penghasilan
harus pula tercermin dalam tindakan kita yang sangat terpuji baik dihadapan
Allah SWT maupun dihadapan manusia. Apalah
artinya kita memiliki harta kekayaan atau penghasilan yang banyak jika perilaku
atau perbuatan diri kita tidak terpuji seperti memberi dengan kata kata kasar,
memberi tapi diungkit ungkit kembali atau memberi tetapi pamrih untuk
kepentingan sesaat, dan lain sebagainya. Disinilah letak dari kita memahami
Allah SWT Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji, dan jika kita telah mengaku sebagai
khalifahNya di muka bumi berarti kitapun harus bisa menjadi orang yang terpuji
yang tercermin dalam perilaku kita sendiri. Alangkah ruginya diri kita, jika
sampai miskin saat hidup di dunia lalu miskin pula perilaku kita dengan
bersikap tidak terpuji. Semoga kita dan anak keturunan kita mampu menjadi orang
orang yang terpuji perilakunya namun juga memiliki harta kekayaan atau
penghasilan yang banyak serta berkah bagi diri, keluarga dan masyarakat.
3. Maha Kaya lagi Maha
Mulia. Allah
SWT juga menyatakan bahwa af’al (perbuatan)Nya adalah Dzat Yang Maha Kaya lagi
Maha Mulia. Zumhur ulama mengatakan bahwa apa saja yang dipandang baik,
berharga, mulia, penting, maka itulah karim. Sedangkan menurut ilmu bahasa,
orang yang bersikap ramah, pemurah, dermawan juga disebut karim. Sesuatu yang
dijunjung tinggi atau dihargai maka disebut juga karim. Sebagaimana dikemukakan dalam surat An Naml (27)
ayat 40 yang kami kemukakan berikut ini: “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari
AlKitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”.
Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun
berkata: “Ini Termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku Apakah aku bersyukur
atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan Barangsiapa yang bersyukur Maka
Sesungguhnya Dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa
yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. Allah SWT mendapat sebutan Al Karim, sebuah
sifat yang melukiskan perbuatan baik, kebajikan dan kemurahan hati. Allah SWT
selalu pemurah. Dia akan senantiasa Pemurah. Dia Maha Mulia, sehingga mustahil
Dia bersifat atau bersikap rendah atau hina. Berlimpah ruah yang Dia berikan,
dan kebaikan yang Dia berikan. Allah SWT Al Karim, sekalipun Dia kuasa
menjatuhkan hukuman sangat pedih, tetapi memberikan ampunan. Dia menepati
janjiNya. Dia memberikan lebih kepada hamba yang meminta kepadaNya. Dia tidak
keberatan sedikit pun untuk memberikan sebanyak apa pun dan kepada siapapun.
Dia tidak menghendaki hambaNya yang berlindung kepadaNya untuk menderita
kesusahan. Dia tidak membutuhkan sarana untuk melakukan sesuatu. Yang dalam
DiriNya berpadu semua kualitas ini, maka Dialah Al Karim Mutlak dan hanya Allah
SWT sajalah yang seperti ini.
Allah SWT selaku
pengutus diri kita di muka bumi sudah menunjukkan bahwa Dia adalah Dzat Yang
Maha Kaya lagi Maha Mulia. Bayangkan Kaya dan Mulia lalu sudahkah kita yang
saat ini menjadi khalifahNya di muka bumi yang memiliki harta kekayaan atau
penghasilan juga menjadi orang yang berperilaku mulia seperti ramah, pemurah
dan dermawan. Sehingga keberadaan diri kita di tengah masyarakat bukanlah
menjadi benalu melainkan berguna bagi
masyarakat. Jika sampai diri kita memiliki harta kekayaan atau
penghasilan yang tinggi namun masyarakat tidak terbantu atau tertolong oleh
diri kita berarti kita sudah tidak pantas lagi menyandang titel khalifahNya di
muka bumi dan telah keluar pula dari konsep Asmaul Husna.
Bayangkan kita
memiliki harta kekayaan dan penghasilan yang tinggi namun hanya diri kita
sendiri saja yang menikmati, lalu dimana letak hati nurani (perasaan) kita
padahal kebahagiaan berpunya adalah saat berbagi kepada sesama? Lalu apalah artinya harta kekayaan
(penghasilan) yang tinggi lagi besar justru menghantarkan diri kita mulia
dihadapan setan? Lalu apa yang bisa kita banggakan dari kekayaan dan
penghasilan yang kita miliki tetapi kita tidak bisa menjadi orang yang mulia
dihadapan Allah SWT. Jika orang yang memiliki harta kekayaan atau
penghasilan sudah tidak mulia dihadapan Allah SWT lalu apa yang bisa diharapkan
dari mereka untuk kepentingan masyarakat atau mustahik? Jangan pernah salahkan
Allah SWT jika kita pulang kampung ke Neraka Jahannam karena ulah diri kita
sendiri yang tidak mau menunaikan zakat saat hidup di dunia ini. Allah SWT
melalui konsep Asmaul Husna yang kami kemukakan di atas, sudah menunjukkan
kepada diri kita bahwa harta kekayaan atau penghasilan harus menjadikan diri
kita menjadi orang yang penyantun, harus menjadikan diri kita terpuji baik
dihadapan Allah SWT maupun dihadapan manusia
serta harus menjadikan diri kita mulia dihadapan Allah SWT dan juga
dihadapan manusia. Jika tidak berarti kita telah keluar dari konsep Asmaul Husna
yang berarti juga kita telah sesuai dengan konsep syaitan sang
laknatullah.Alangkah indahnya konsep zakat yang telah dibuat oleh Allah SWT
yang menjadikan diri kita mulia dan juga penerimanya (mustahiknya) juga mulia
dihadapan Allah SWT.
Lalu apakah hanya itu
saja kombinasi dari nama nama Allah yang indah lagi baik sebagaimana telah kami
kemukakan di atas? Berikut ini akan kami kemukakan kombinasi dari nama nama
Allah yang indah lagi baik yang kami hubungkan dengan profesi atau pekerjaan tertentu
dalam hal ini profesi hakim, sebagaimana berikut ini:
A
S M A U L H U S N A
|
1 |
Al Aliem Al Hakim |
Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana |
|
2 |
Al Azis Al Hakim |
Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana |
|
3 |
Al Waasi Al Hakim |
Maha Luas lagi Maha
Bijaksana |
|
4 |
Al Hakam Al Hakim |
Maha Menetapkan
Hukum lagi Maha Bijaksana |
|
5 |
At Tawwaab Al Hakim
|
Maha Penerima
Taubat lagi Maha Bijaksana |
|
6 |
Al Aliyy Al Hakim |
Maha Tinggi/Maha
Luhur lagi Maha Bijaksana |
|
7 |
Al Hakim Al Khoobir |
Maha Pemaaf lagi
Maha Waspada |
|
8 |
Al Hakim Al Aliem |
Maha Pemaaf lagi
Maha Mengetahui |
|
9 |
Al Hakim Al Hamid |
Maha Bijaksana lagi
Maha Terpuji |
Untuk
menjadi orang yang adil dan bijaksana maka kita wajib memiliki ilmu pengetahuan
yang luas, berpandangan luas serta memiliki wawasan yang luas.Untuk itu
perhatikanlah Asma Allah SWT yang menyatakan Al Aliem Al Hakim (Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana). Adanya Asma Allah SWT ini menunjukkan kepada diri kita
untuk menjadi orang yang adil dan bijaksana harus diimbangi dengan ilmu dan
pengetahuan yang luas, tanpa itu maka kita tidak bisa menampilkan hal tersebut
sebagai penampilan diri kita.
Seseorang
yang mampu adil dan bijaksana akan menjadikan orang tersebut menjadi orang yang
terpuji, seperti Asma Allah SWT yang berbunyi Al Hakim Al Hamid. Seorang yang menjadi terpuji jika ia mampu
berbuat adil dan bijaksana. Sekarang sudahkah kondisi ini menjadi perilaku kita
saat menjadi abd’ (hamba)Nya dan juga saat menjadi khalifahNya di muka bumi
ataukah kita hanya ingin dipuji saja tanpa menjadi orang yang bijaksana?
Pilihan ada di tangan diri kita sendiri, bukan pada orang lain. Ingat, Allah
SWT tidak akan rugi atau berkurang kebesaran dan kemahaanNya jika kita tidak
mau berbuat kebaikan. Akan tetapi kitalah yang sangat membutuhkan kebaikan dan
dari kebaikan inilah akan tercermin seberapa baik kualitas diri kita. Selain daripada itu, konsep kombinasi asmaul
husna di atas juga mengajarkan kepada diri kita untuk tidak memisahkan konsep
berpasang pasangan. Contohnya adalah konsep Yang Maha Melihat dan Yang Maha
Mendengar. Konsep ini harus kita laksanakan
dalam satu kesatuan.
Maksudnya adalah kita tidak bisa hanya mengandalkan fungsi penglihatan
semata dengan mengabaikan fungsi pendengaran, atau sebaliknya kita tidak bisa
hanya mengandalkan fungsi pendengaran saja dengan mengabaikan fungsi
penglihatan. Kita harus bisa memanfaatkan dan mendayagunakan fungsi penglihatan
dan juga fungsi pendengaran secara berbarengan atau bersamaan. Bayangkan jika
kita hanya mengadalkan fungsi pendengaran semata lalu kita mempercayai
informasi yang kita dengar tanpa pernah melihat secara langsung kebenaran
informasi tersebut. Semuanya bisa kacau dan tidak bisa dipertanggungjawabkan
yang pada akhirnya kita mempercayai isu isu dan menyebarkan berita bohong. Adanya penggunaan fungsi pendengaran dan fungsi penglihatan merupakan
salah satu cara yang terbaik untuk melakukan cek dan ricek terhadap informasi
yang kita terima, apalagi di jaman teknologi internet ini yang begitu masif
sosial medianya.
Sebagai abd’ (hamba)Nya yang sekaligus khalifahNya yang sedang menumpang
di muka bumi, yang sudah berada di dalam kebesaran dan kemahaan Allah SWT. Jangan pernah menjadikan diri kita sendiri
hanya sebatas penonton dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT tanpa bisa berbuat
untuk dapat merasakan nikmatnya bertuhankan Allah SWT, atau jangan pernah kita
hanya mampu menjadi pengagum, jangan penah kita hanya mampu menjadi penggemar,
atas kebesaran dan kemahaan Allah SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita
tanpa kita bisa meraihnya, atau jangan pernah menjadikan diri kita hanya mampu
menjadi komentator dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT, yang hanya mengatakan
nikmatnya bertuhankan Allah SWT, tanpa bisa merasakan secara langsung nikmatnya
bertuhankan Allah SWT. Untuk itu kita harus bisa merasakan nikmatnya
bertuhankan kepada Allah SWT saat hidup di muka bumi dengan melaksanakan segala
apa yang telah diperintahkan-Nya, atau mampu melaksanakan Diinul Islam secara
Kaffah selama hayat masih di kandung badan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar