B. TERLENA AKAN
KEHIDUPAN DUNIA.
Hidup adalah saat bersatunya ruh dengan jasmani, dan pada saat hidup
inilah terjadi apa yang dinamakan dengan proses saling pengaruh mempengaruhi
antara jasmani yang membawa nilai nilai keburukan dengan ruh yang membawa nilai
nilai kebaikan atas hidup seorang manusia. Apabila jasmani mampu mengalahkan ruhani
(maksudnya nilai nilai keburukan mampu mengalahkan nilai nilai kebaikan), maka
kita akan memiliki kecenderungan sifat-sifat alam yang dibawa oleh jasmani,
dalam hal ini kita akan lebih mementingkan dan memuaskan serta lebih banyak
memperhatikan kehidupan dunia. Sehingga kebutuhan jasmani lebih didahulukan dengan
mengabaikan kebutuhan ruh. Jika ini
adalah pilihan hidup manusia maka jalan yang ditempuh manusia mengandung nilai-nilai
keburukan sehingga menjadikan jiwa kita menjadi jiwa Fujur. Apa maksudnya?
Untuk itu lihatlah dan perhatikanlah sifat-sifat jasmani yang berasal
dari alam seperti kikir, bakhil, mementingkan diri sendiri, selalu buruk
sangka, lemah, selalu tergesa-gesa, yang tidak akan pernah berkesesuaian dengan
sifat-sifat ruh atau tidak pernah berkesesuaian dengan kehendak Allah SWT atau
tidak pernah berkesesuaian dengan nilai-nilai kebaikan yang berasal dari nilai
nilai Ilahiah. Dan yang pasti adalah sifat kikir, bakhil, egois, selalu
mementingkan diri sendiri, buruk sangka, lemah, tergesa-gesa adalah sifat yang
paling disukai oleh syaitan. Sehingga dengan tumbuh suburnya sifat-sifat jasmani
dalam diri berarti kita telah memberikan kesempatan bagi syaitan beserta bala
tentaranya untuk melaksanakan aksinya merayu dan menggoda diri kita.
Apakah hanya sekedar itu saja dampak dari mementingkan kehidupan dunia
atau mementingkan kebutuhan Jasmani? Jika kita mengacu kepada isi surat Al
A'raaf (7) ayat 179 berikut ini: “dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan
dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai
telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah).
mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka
Itulah orang-orang yang lalai.”
Banyak hal yang akan terjadi pada diri kita jika kita hanya mementingkan
kehidupan dunia semata, yaitu: (1)
Dikunci mati hatinya oleh Allah SWT sehingga tidak mampu memahami ayat-ayat
Allah SWT dan dibutakan mata hatinya sehingga tidak mampu lagi melihat
tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah SWT saat hidup di dunia; (2)
Ditulikan telinganya sehingga tidak mampu lagi mendengar ayat-ayat Allah SWT
dan nasehat yang baik-baik; (3) Statusnya disamakan dengan binatang ternak
serta tempat kembalinya ke Neraka Jahannam. Jika sudah demikian keadaannya,
apakah mungkin kondisi keimanan dan keyakinan kepada Allah SWT akan tetap utuh
kualitasnya?
Lalu bagaimana jika ruh mampu mengalahkan jasmani? Apabila ruh (nilai
nilai kebaikan) mampu mengalahkan jasmani (nilai nilai keburukan) maka diri
manusia mempunyai kecenderungan kepada nilai-nilai kebaikan yang berasal dari sifat-sifat
Ilahiah yang telah menjadi sifat ruh. sehingga diri kita lebih cenderung
memperhatikan dan menjadikan kehidupan akhirat sebagai tujuan akhir hidupnya
dengan tidak menelantarkan atau menghilangkan sama sekali kehidupan dunia.
Adanya kondisi ini maka kondisi diri kita
selalu berada di dalam keseimbangan antara kehidupan dunia dengan
kehidupan akhirat, seperti yang di nasehatkan oleh Khalifah Utsman bin Affan
ra, berikut ini: “Barangsiapa hidupnya dalam keseimbangan
dunia dan akhirat, dia disenangi Allah SWT. Barangsiapa meninggalkan perbuatan
Dosa, dia dicintai para Malaikat. Barangsiapa meninggalkan keserakahan terhadap
hak kaum muslimin, dia dicintai mereka".
Sebagai abd’ (hamba)Nya yang sekaligus khalifahNya yang saat ini sedang
menjalankan tugas di muka bumi, yang manakah keadaan diri kita, apakah yang
mementingkan kehidupan dunia ataukah yang menjadikan kehidupan Akhirat menjadi
tujuan hidupnya? Kami berharap pembaca buku ini adalah abd’ (hamba)Nya yang
juga khalifahNya yang selalu berada di dalam keseimbangan antara kehidupan
dunia dengan kehidupan akhirat seperti yang dinasehatkan oleh Khalifah Utsman
bin Affan ra, di atas.
Untuk itu, jika kita ingin
kehidupan yang sedang kita jalani berada di dalam keseimbangan antara kehidupan
dunia dengan kehidupan akhirat, jadikan kehidupan dunia sebagai modal dasar
untuk menjalani kehidupan akhirat. Jika sampai diri kita hanya mampu
mementingkan kehidupan dunia yang
diarahkan oleh jasmani, atau kehidupan dunia yang kita laksanakan tidak dapat
menjadi modal dasar bagi kehidupan akhirat maka diri kita sendirilah yang telah
menjadikan kehidupan yang sedang dijalankannya menjadi kehidupan yang paling
disukai, yang paling diminati, yang paling diinginkan oleh syaitan sanglaknatullah.
Dimana kondisi ini sejalan dengan hadits berikut ini: “Ibnu Mas'ud ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah
ta'ala berfirman: Wahai Dunia! Berkhidmatlah kepada orang yang telah berkhidmat
kepada-Ku dan perbudaklah orang yang berkhidmat kepadamu. (Hadits Qudsi Riwayat Al
Qudha'ie, 272:194)
Selain daripada itu, masih ada resiko lain apabila kita lebih
mementingkan kehidupan dunia, yaitu diri kita akan diperbudak oleh alam atau
menjadi budak bagi kehidupan dunia sehingga kedudukan diri kita sebagai abd’
(hamba) yang juga khalifah di muka bumi telah tergantikan posisinya oleh alam,
sehingga diri kita telah turun pangkat dari subyek menjadi obyek dari rencana
besar kekhalifahan di muka bumi. Selanjutnya apa yang terjadi jika kehidupan
akhirat yang menjadi pilihan kita, atau jalan yang kita tempuh berada di dalam
keseimbangan hidup antara dunia dengan akhirat?
Jika kehidupan akhirat yang diarahkan oleh ruh menjadi
pilihan kita maka pilihan ini adalah pilihan sangat dibenci oleh syaitan, akan
tetapi sesuai dengan kehendak Allah SWT. Jika kita termasuk orang yang telah
tahu diri yaitu tahu siapa diri kita sebenarnya dan tahu siapa Allah SWT
sebenarnya, maka jalan hidup yang kita tempuh adalah jalan menuju kehidupan
akhirat, atau jalan menuju kampung kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat
sehingga kita selalu berada di dalam kesesuaian dengan Kehendak Allah SWT.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang sedang menumpang di
bumi yang dimiliki dan diciptakan oleh Allah SWT, ada hal lainnya yang harus
kita perhatikan saat kita hidup di dunia adalah kita tidak bisa melepaskan diri
dari tugas dan tanggung jawab sebagai makhluk sosial, seperti bekerja,
berkarya, bermuamalah, melaksanakan profesi, menikah dan saling tolong
menolong, sewaktu hidup di dunia. Jika sampai tugas dan pekerjaan dunia kita
hilangkan, atau kita tidak mau bekerja dan berkarya lalu hanya mengejar
kehidupan akhirat, berarti diri kita telah meninggalkan tanggung jawab untuk
menafkahi keluarga, anak dan keturunan, sedangkan hal itu adalah ibadah dan
tugas mulia yang di amanatkan oleh Allah SWT dalam rangka mensukseskan
regenerasi penghambaan dan juga regenerasi kekhalifahan di muka bumi.
Untuk itu jangan pernah sia-siakan kehidupan dunia yang saat ini kita
jalankan karena kehidupan akhirat yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT tidak akan dapat kita raih jika kita tidak
mempersiapkannya dengan baik dan benar sewaktu hidup di dunia ini. Sebagai pelaksana
dari hidup ini maka kita harus bisa mengetahui dan memahami dengan baik dan
benar tentang makna (arti) dari kehidupan dunia yang kita laksanakan saat ini.
Hal ini menjadi penting karena makna (arti) dari kehidupan di dunia tidak hanya
satu pengertian saja. Akan tetapi ada 6 (enam) maknanya (artinya) sebagaimana
yang dikemukakan oleh Allah SWT di dalam AlQuran dan juga berdasarkan ketentuan
hadits berikut ini:
1. Dunia adalah Tempat Kesenanangan Sementara. Dunia adalah la’ib (main main) dan laghwu
(senda gurau). Dunia hanyalah tempat sandiwara kehidupan dipentaskan. Bukankah
hidup ini sebenarnya adalah sangat sederhana? Kita bagaikan aktor ataupun artis
yang sedang memegang peran masing masing. Sedangkan sutradaranya adalah Allah
SWT. Di sandiwara kehidupan ini, ada skenario Tuhan yang wajib diperankan
dengan sebaik baiknya dan juga semaksimal mungkin diperankan oleh diri kita,
sebagaimana termaktub dalam surat Al An'am (6) ayat 32 berikut ini: “dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda
gurau belaka[468]. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang
yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”.
[468] Maksudnya:
kesenangan-kesenangan duniawi itu hanya sebentar dan tidak kekal. janganlah
orang terperdaya dengan kesenangan-kesenangan dunia, serta lalai dari
memperhatikan urusan akhirat.
Jika kehidupan dunia
sudah dikatakan oleh Allah SWT sebagai tempat kesenangan sementara berarti ada
tempat kesenangan yang tetap yang akan disediakan Allah SWT. Timbul pertanyaan
dimanakah letak kesenangan tetap tersebut? Letak kesenangan tetap ada pada kehidupan
akhirat dan sebagai seorang Abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah yang sedang
melaksanakan tugas di muka bumi ini kita diminta oleh Allah SWT untuk memahani
hal ini dengan baik dan benar. Lalu untuk siapakah kesenangan tetap yang ada di
negeri akhirat itu, apakah untuk Allah SWT ataukah untuk diri kita? Allah SWT
tidak membutuhkan itu semua, dan jika Allah SWT tidak membutuhkan, lalu
siapakah yang membutuhkan?
Jika kita merasa sangat membutuhkan kesenangan
tetap yang ada di negeri akhirat, maka kita harus memiliki bekal untuk menuju
kesana atau kita harus berusaha memiliki tiket masuk menuju kesenangan tetap
yang ada di negeri akhirat. Hal yang harus kita perhatikan adalah kita
tidak akan mungkin memperoleh tempat kembali berupa syurga jika tiket yang kita
miliki adalah tiket masuk ke neraka atau bekal yang sesuai dengan kehendak setan.
2. Dunia adalah Tempat
Ujian. Kehidupan
dunia adalah tempat ujian, hal ini berdasarkan surat Thaahaa (20) ayat
131-132 berikut ini: “dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami
berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia
untuk Kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan
lebih kekal.dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan
bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu,
kamilah yang memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi
orang yang bertakwa.” Jika kehidupan dunia sudah dikatakan oleh Allah SWT
sebagai tempat ujian berarti saat ini diri kita sedang melaksanakan test atau
sedang diuji oleh Allah SWT untuk menghadapi musuh abadi manusia, dalam hal ini
ahwa (hawa nafsu) dan juga setan.
Adanya test atau
ujian yang dilakukan oleh Allah SWT maka akan menghasilkan apa yang dinamakan
dengan nilai seseorang, kelulusan seseorang, kemenangan seseorang atau
kekalahan seseorang. Jika kita lulus ujian melawan ahwa (hawa nafsu) dan juga
setan berarti diri kita adalah pemenang dan setan adalah pecundang. Pemenang
akan memperoleh syurga sedangkan pecundang akan memperoleh neraka.Selanjutnya
sudahkah diri kita mempersiapkan diri untuk menjadi pemenang atau lulus dari
ujian Allah SWT?
3. Dunia adalah Laksana
Air Hujan. Allah
SWT melalui surat Al Kahfi (18) ayat 45-46
berikut ini mengemukakan: “dan berilah
perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang
Kami turunkan dari langit, Maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka
bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin.
dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah
lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” Allah SWT melalui ayat ini telah mengingatkan
kepada diri kita agar jangan sampai diri kita tertipu dengan kehidupan dunia
lalu lupa dengan kehidupan akhirat yang menjadi tujuan akhir diri kita.
Dan Allah SWT juga
telah memberikan peringatan dini kepada diri kita seperti ini karena setan
dengan segala kemampuan yang dimilikinya mampu memanipulasi sesuatu yang tidak
baik menjadi baik atau mampu menjadikan sesuatu yang baik menjadi sesuatu yang
tidak baik. Jika sampai diri kita mampu dipengaruhi setan maka kita tidak akan
mampu menjadi seorang pemenang, atau yang akan disambut dengan karpet merah
saat pulang kampung. Untuk itu
berhati-hatilah dengan setan saat diri kita melaksanakan tugas di muka bumi
dengan tetap menjadikan setan sebagai musuh yang nyata bagi diri kita.
4. Dunia adalah Mataa’ (kesenangan yang menipu). Berdasarkan ketentuan surat Ali Imran (3) ayat
14 berikut ini: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa apa yang
diingini, yaitu: wanita wanita, anak anak, harta yang banyak dari jenis emas,
perak, kuda pilihan, binatang binatang ternak dan sawah lading. Itulah
kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik
(syurga). (surat Ali Imran (3) ayat 14)”. Dunia adalah mataa’
(kesenangan yang menipu). Ketertipuan terhadap dunia terjadi ketika kita
menjadikan dunia sebagai tujuan akhir. Padahal dunia ini hanyalah perantara
atau media untuk menggapai kebahagiaan hidup di alam abadi. Dunia adalah media
untuk mencari bekal hidup agar kelak kita meraih syurga.
5. Dunia adalah Qalil (kecil). Berdasarkan ketentuan surat An Nisaa (4) ayat
77 berikut ini: “Kesenangan di dunia ini hanya kecil (sebentar) dan akhirat itu lebih
baik untuk orang orang yang bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.
(surat An Nisaa (4) ayat 77)”. Dunia adalah qalil (kecil). Dalam ayat
ini Allah SWT membandingkan dunia dengan akhirat. Segala yang ada dunia ini
kecil. Manusia itu kecil. Harta itu kecil. Nikmat di dunia itu kecil.
Kesengsaraan di dunia itu kecil. Kelak di akhiratlah segala yang besar besar
itu berada.
Kenikmatan di syurga, kata Rasul SAW, belum
pernah terdengar telinga, belum pernah terlihat mata, bahkan belum pernah
terjamah oleh pikiran manusia. Begitu pula dengan kesengsaraan dan kebinasaan
di neraka, yang belum pernah terjamah dan dirasakan oleh manusia. Untuk itu bersabarlah di dunia yang singkat
dan kecil ini. Jangan terlena dengan kenikmatan dunia yang kecil ini. Jangan
menyerah dengan cobaan dan kesengsaraan hidup di dunia yang juga kecil ini.
Asalkan kita berada di titian iman dan taqwa hingga ajal tiba, Allah SWT akan
menjanjikan kenikmatan yang jauh lebih indah, kekal dan abadi.
6. Dunia adalah Penjara. Dunia adalah penjara. Ada yang mengungkapkan
bahwa yang dimaksud dengan penjara adalah beragam aturan aturan yang membatasi
diri seorang muslim. Hal ini tertuang dalam hadits berikut ini: “Dari Abu Hurairah ra,
Rasulullah SAW bersabda, “Dunia itu penjara bagi orang mukmin dan syurga bagi
orang kafir.” (Hadits Riwayat Ahmad)”. Sebagaimana
kita ketahui bahwa di dunia ini seorang muslim diikat oleh aturan yang bernama
syariat. Ada perintah dan ada larangan. Ada perintah untuk mengontrol dan
mengalahkan hawa nafsu. Ada kewajiban, sunnah, mubah, makruh, serta haram. Ada
perintah shalat, puasa, zakat, serta berhaji bagi yang mampu. Ada larangan
judi, zinah, korupsi, minum minuman keras, meninggalkan shalat dan lain lain.
Sebagian ulama berpendapat bahwa semua itulah
yang dimaksud dengan belenggu. Kematian adalah saat dimana belenggu belenggu
itu terlepas. Kematian adalah masa terbebasnya diri seorang muslim dari segala
belenggu belenggu yang selama di dunia telah mengikatnya. Allah SWT berfirman: “Kehidupan dunia
dijadikan terasa indah dalam pandangan orang-orang yang kafir, dan mereka
menghina orang-orang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu berada di
atas mereka pada hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang yang Dia
kehendaki tanpa perhitungan. (surat Al-Baqarah (2) ayat 212)”.
Kematian adalah masa
kebahagiaan bagi seorang muslim karena ia akan segera disambut dengan
kenikmatan kenikmatan akhirat sebagai hadiah atas kesabarannya meniti jalan
yang telah diatur oleh Allah SWT saat hidup di dunia.
Itulah 6 (enam) makna dari kehidupan dunia, yang kesemuanya harus dapat
kita maknai sesuai dengan kehendak Allah SWT. Selain makna (arti) kehidupan dunia
yang telah kami kemukakan di atas, masih ada makna (arti) kehidupan dunia yang
lainnya, sebagaimana hadits berikut ini: “Sahabat yang mulia, Jabir bin Abdullah ra,
mengabarkan bahwa Rasulullah pernah melewati sebuah pasar hingga kemudian
banyak orang yang mengelilinginya. Sesaat kemudian beliau melihat bangkai anak
kambing yang cacat telinganya. Beliau mengambil dan memegang telinga kambing
itu seraya bersabda, ''Siapa di antara kalian yang mau memiliki anak kambing
ini dengan harga satu dirham.'' Para sahabat menjawab, ''Kami tidak mau anak
kambing itu menjadi milik kami walau dengan harga murah, lagi pula apa yang
dapat kami perbuat dengan bangkai ini?'' Kemudian Rasulullah berkata lagi,
''Apakah kalian suka anak kambing ini menjadi milik kalian?'' Mereka menjawab,
''Demi Allah, seandainya anak kambing ini hidup, maka ia cacat telinganya.
Apalagi dalam keadaan mati.'' Mendengar pernyataan mereka, Nabi bersabda,
''Demi Allah, sungguh dunia ini lebih rendah dan hina bagi Allah daripada
bangkai anak kambing ini untuk kalian.'' (Hadits Riwayat Muslim). Berdasarkan
hadits ini kehidupan dunia lebih rendah dan hina di mata Allah SWT dibandingkan
dengan bangkai anak kambing.
Dalam riwayat lain
disebutkan: “Pada suatu waktu, Rasulullah memegang pundak Abdullah bin Umar Beliau
berpesan, ''Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau orang yang
sekadar melewati jalan (musafir).'' Abdullah menyimak dengan khidmat pesan itu
dan memberikan nasihat kepada sahabatnya yang lain: ''Apabila engkau berada di
sore hari, maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya, bila
engkau berada di pagi hari, janganlah engkau menanti datangnya sore. Ambillah
(manfaatkanlah) waktu sehatmu sebelum engkau terbaring sakit, dan gunakanlah
masa hidupmu untuk beramal sebelum datangnya kematianmu.'' (Hadits Riwayat
Bukhari). Sedang berdasarkan hadits ini kita telah diiingatkan oleh
Nabi Muhammad SAW agar menjadikan kehidupan dunia ini sekedar melewati jalan
atau menjadikan diri kita sebagai musafir semata sehingga bukan untuk menetap
selamanya di dunia.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya
yang sekaligus khalifah-Nya yang sedang menumpang di muka bumi; yang sedang
merantau ke muka bumi; yang sedang menjadi tamu di muka bumi. Dan sebagai tamu yang
tahu diri maka kita harus memiliki apa yang dinamakan dengan adab, sopan
santun, tata krama sehingga dapat menyenangkan hati tuan rumah; sebagai
perantau yang baik maka kita wajib mempersiapkan bekal (maksudnya amal shaleh) sebanyak
mungkin yang harus kita persiapkan saat hidup di muka bumi untuk persiapan
pulang kampung ke negeri akhirat. Sekarang
setelah menjadi tamu yang baik dapatkah kita sewenang-wenang memperlakukan
langit dan bumi seolah-olah kita yang memiliki? Dapatkah kita merusak langit
dan bumi atas nama pemilik? Dapatkah kita menghambur-hamburkankan segala jerih
payah di muka bumi tanpa memikirkan bekal untuk pulang ke negeri akhirat?
Jika kita termasuk tamu yang baik yang menyenangkan hati tuan rumah maka kita
harus menjaga, merawat, memelihara langit dan bumi sesuai dengan kehendak dari
pencipta dan pemiliknya. Sedangkan jika kita termasuk perantau yang baik maka
kita harus mencari, membekali diri dengan bekal yang cukup untuk pulang kampung
ke negeri akhirat.
Sekarang mari kita
lakukan perbandingan antara kehidupan dunia dari sudut pandang orang mukmin
yang dikehendaki Allah SWT dibandingkan
dengan kehidupan dunia dari sudut pandang orang kafir yang dikehendaki oleh
Syaitan sang laknatullah. Timbul pertanyaan, apakah sama kondisinya ataukah
berbeda kondisinya? Berikut ini akan kami kemukakaan beberapa ketentuan tentang
kehidupan dunia dari sudut pandang orang mukmin, yaitu:
1. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat untuk
memperoleh rahmat Allah SWT, atau saat untuk merasakan nikmatnya bertuhankan
kepada Allah SWT, atau saat untuk mendapatkan kebajikan bagi kehidupan dunia dan
juga bagi kehidupan akhirat kelak. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al
A'raaf (7) ayat 156 berikut ini: “dan tetapkanlah
untuk Kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; Sesungguhnya Kami kembali
(bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan
kepada siapa yang aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka
akan aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan
zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami". Sebagai abd’ (hamba)
yang juga adalah khalifah di muka bumi sudahkah kita memanfaatkan sebaik
mungkin kesempatan yang telah diberikan oleh Allah SWT ini?
2. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat untuk
mengumpulkan pahala untuk kebaikan hidup di dunia dan pahala untuk kebaikan
hidup di akhirat kelak. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Ali Imran (3) ayat
148 berikut ini: “karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia[236] dan
pahala yang baik di akhirat. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebaikan.” Sebagai
abd’ (hamba) yang juga adalah khalifah di muka bumi yang tahu diri sudahkah
kita memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan yang telah diberikan oleh Allah SWT
ini?
[236] Pahala dunia dapat
berupa kemenangan-kemenangan, memperoleh harta rampasan, pujian-pujian dan
lain-lain.
3. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat untuk
memperoleh atau mendapatkan kebaikan dari Allah SWT sebagai balasan atas
perbuatan baik yang kita lakukan saat menjadi khalifah di muka bumi. Hal ini
berdasarkan ketetuan surat An Nahl (16) ayat 30 berikut ini: “dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang
telah diturunkan oleh Tuhanmu?" mereka menjawab: "(Allah telah
menurunkan) kebaikan". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat
(pembalasan) yang baik. dan Sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan
Itulah Sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.”
4. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah kesempatan untuk
memperoleh, untuk mendayagunakan, untuk merasakan, segala perhiasan yang telah
dihalalkan oleh Allah SWT untuk kepentingan dunia dan kepentingan akhirat kita
serta untuk aktualisasi diri dan juga untuk memperoleh tiket masuk ke syurga.
Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al A'raaf (7) ayat 31-32-33 berikut ini: “Hai anak
Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid[534], Makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah: "Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya
dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah:
"Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan
dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat[536]." Demikianlah Kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. Katakanlah:
"Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun
yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa
yang tidak kamu ketahui.”
[534] Maksudnya: tiap-tiap
akan mengerjakan sembahyang atau thawaf keliling ka'bah atau ibadat-ibadat yang
lain.
[535] Maksudnya: janganlah melampaui
batas yang dibutuhkan oleh tubuh dan jangan pula melampaui batas-batas makanan
yang dihalalkan.
[536] Maksudnya:
perhiasan-perhiasan dari Allah dan makanan yang baik itu dapat dinikmati di
dunia ini oleh orang-orang yang beriman dan orang-orang yang tidak beriman,
sedang di akhirat nanti adalah semata-mata untuk orang-orang yang beriman saja.
5. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat merasakan
atau menerima berita gembira atau merasakan janji-janji Allah SWT baik untuk
kehidupan dunia maupun untuk kehidupan akhirat. Hal ini berdasarkan ketentuan
surat Yunus (10) ayat 62-63-64 berikut ini: “Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang
beriman dan mereka selalu bertakwa. bagi mereka berita gembira di dalam
kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada perobahan bagi
kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah kemenangan yang
besar.”
6. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat diberikannya kesenangan yang berasal dari
Allah SWT serta saat dihilangkannya azab yang menghinakan yang kita alami saat
hidup di dunia. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Yunus (10) ayat 98 berikut
ini: “dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang
beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? tatkala
mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang
menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka
sampai kepada waktu yang tertentu.”
7. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah kesempatan untuk
memperoleh perlindungan saat diri kita
hidup di dunia yang berasal langsung dari Allah SWT untuk kepentingan
akhirat. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Fushshilat (41) ayat 30-31 berikut
ini: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:
"Tuhan Kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,
Maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu
takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang
telah dijanjikan Allah kepadamu". kamilah pelindung-pelindungmu dalam
kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan
dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.”
8. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat diri kita
diberikan kesempatan untuk menjadi penguasa atau saat diri kita melaksanakan
misi sebagai abd’ (hamba) yang juga khalifah di muka bumi. Hal ini berdasarkan
ketentuan surat Yusuf (12) ayat 101 berikut ini: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku
sebahagian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebahagian ta'bir mimpi. (ya
Tuhan) Pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat,
wafatkanlah aku dalam Keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang
yang saleh.”
9. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat diri kita
dicintai oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam hadits berikut
ini: “Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda:
Allah ta'ala berfirman: Hamba-Ku yang mukmin Aku cintai lebih dari sementara
Malaikat-Ku. (Hadits Qudsi Riwayat Aththabarani; 272:113).”
10. Kehidupan dunia bagi orang mukmin adalah saat dosa-dosa
manusia di ampuni oleh Allah SWT. Hal ini berdasarkan ketentuan hadits berikut
ini: “Abu Dardaa ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah
ta'ala berfirman: Andaikan hamba-Ku menghadap Aku dengan dosa-dosa sepenuh
wadah-wadah yang ada di bumi, namun tidak bersyirik menyekutukan sesuatu
pada-Ku, akan kuhadapinya dengan pengampunan sepenuh wadah-wadah itu. (Hadits Qudsi Riwayat
Aththabarani; 272:127).”
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi sudahkah kita memanfaatkan sepuluh kesempatan yang telah Allah SWT sediakan dalam rangka menghantarkan diri kita pulang kampung ke syurga, atau dalam rangka merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT saat diri kita hidup di muka bumi ini? Apabila diri kita hanya diam saja atau kita tidak bereaksi untuk menyambut 10 (sepuluh) fasilitas yang telah dipersiapkan oleh Allah SWT berarti ada sesuatu yang salah di dalam diri kita, dikarenakan kita sudah merasa hebat karena sudah tidak membutuhkan Allah SWT lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar