Sekarang mari kita mengenal dan berkenalan
dengan Allah SWT melalui sebuah pendekatan yang kami istilahkan dengan Route To
1.6.7.99. “Route to 1.6.7.99” secara mudah dapat diartikan sebagai “Rute
menuju Allah SWT”. Timbul pertanyaan, kenapa kami harus memper-gunakan istilah
Rute? Istilah Rute memiliki makna yang menunjukkan kepada diri kita akan
sesuatu yang pasti menuju kepada sesuatu, atau adanya kepastian untuk menuju ke
sesuatu tempat secara pasti, dalam hal ini dari Allah SWT akan kembali kepada
Allah SWT.
Adanya pengertian dasar rute yang berarti
dari Allah SWT akan kembali kepada Allah SWT bermakna adanya jalan untuk
kembali pulang kepada Allah SWT yang tentunya harus sesuai dengan kehendak
Allah dan juga adanya waktu untuk mempersiapkan diri untuk pulang kampung kepada
Allah SWT yang pada akhirnya mengharuskan diri kita memiliki ilmu dan pemahaman
tentang Allah SWT yang baik dan benar maka barulah kita bisa melaksanakan
konsep dari Allah SWT kembali kepada Allah SWT.
Lalu bagaimana dengan Allah SWT yang kami
istilahkan dengan istilah “Route to
1.6.7.99 ? Jika “Route to 1.6.7.99” langsung kami
tulis sebagai Route to Allah SWT seperti apa adanya, hal ini tidak akan
memiliki daya tarik tertentu karena orang sudah tahu artinya. Sehingga dengan
adanya istilah “Route to 1.6.7.99”,
akan menimbulkan rasa penasaran dari orang yang membaca tulisan tersebut
sehingga ia akan bertanya apakah yang dimaksud dengan istilah itu dan juga
menjadi dorongan bagi kami untuk menjelaskannya secara detail dan ilmiah
tentang hal itu. Sekarang apa yang dimaksud dengan Route to 1.6.7.99 ? Adapun istilah dari “Route to 1.6.7.99” dapat kami artikan sebagai berikut :
1. Angka 1(satu) melambangkan Allah SWT yang
tidak lain adalah Dzat yang menamakan dirinya sendiri Allah SWT, dimana Allah SWT adalah Dzat yang pertama kali ada
dan akan ada sampai kapanpun juga sehingga yang lain ada karena adanya Allah
SWT, atau dengan kata lain Allah SWT mustahil tidak ada jika yang lain
ada.
2. Angka 6 (enam) melambangkan Sifat Salbiyah
yang dimiliki Allah SWT yang terdiri dari:
(a) sifat Wujud; (b) sifat
Qidam; (c) sifat Baqa; (d) sifat Mukhalafah Lil Hawadish; (e) sifat Qiyamuhu
Binafsih; (f) sifat Wahdaniah.
3. Angka 7 (tujuh) melambangkan Sifat Ma’ani
dari Allah SWT yang terdiri dari: (a)
sifat Qudrat; (b) sifat Iradat; (c) sifat Ilmu; (d) sifat Sami’; (e) sifat
Bashir; (f) sifat Kalam, dan (g) sifat Hayat.
4. Angka 99 (sembilan puluh sembilan)
melambangkan nama nama yang indah lagi baik dari Allah SWT yang termaktub dalam
Asmaul Husna.
Berdasarkan uraian yang kami kemukakan di
atas, maka “Route to 1.6.7.99”
juga dapat bermakna syahadat sebagaimana berikut ini: Tidak ada Tuhan selain
Allah SWT yang 1 (satu); yang memiliki
sifat Salbiyah, yang 6 (enam) yang terdiri dari “Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafah Lil Hawadish, Qiyamuhu Binafsih,
Wahdaniah”; yang memiliki sifat Ma’ani yang 7(tujuh) yang terdiri dari “Qudrat, Iradat, Ilmu, Sami’, Bashir,
Kalam, Hayat” dan yang memiliki nama nama yang indah lagi baik (Asmaul
Husna) yang berjumlah 99 (sembilan puluh sembilan). Adanya hal ini, menunjukkan
kepada diri kita bahwa jika ada Tuhan-Tuhan lain yang tidak memiliki hal yang
kami kemukakan di atas, maka dapat dipastikan ia bukan Allah SWT. Hal ini
dikarenakan hanya Allah SWT sajalah yang memiliki itu semua dalam satu kesatuan
yang tidak terpisahkan. “Route to
1.6.7.99” juga memiliki arti bahwa kita telah memberikan kesaksian tiada
Tuhan selain Allah SWT yang mampu menciptakan langit dan bumi beserta isinya
serta yang mampu menciptakan kekhalifahan yang ada di muka bumi ini.
Route to 1.6.7.99
juga merupakan ajakan
kepada seluruh umat manusia untuk selalu ingat kepada Allah SWT kapanpun,
dimanapun dan dalam kondisi apapun bahwa Allah SWT adalah segala-galanya serta
kita tidak bisa melepaskan diri dari kekuatan, kemahaan, kebesaran serta ilmu
Allah SWT saat melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya
di muka bumi serta Route to 1.67.99
juga memiliki arti perintah untuk melaksanakan Diinul Islam secara kaffah.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya
yang sedang melaksanakan tugas di muka bumi, tentu kita sangat membutuhkan
Allah SWT dengan sebaik mungkin. Timbul pertanyaan, bagaimana kita akan bisa mengenal
dan tahu tentang Allah SWT (ma’rifatullah) dengan baik dan benar jika :
1. Kita tidak memiliki
Ilmu tentang Allah SWT dengan baik dan benar?
2.
Kita tidak tahu dimana
keberadaan Allah SWT saat kita hidup di dunia?
3. Kita tidak tahu
bagaimana caranya melaksanakan Diinul Islam yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT ?
4. Kita tidak mengerti
kenapa kita harus membutuhkan Allah SWT saat hidup di dunia?
5.
Kita tidak paham ada
hubungan apakah antara diri kita dengan Allah SWT?
Jika sampai apa yang kami kemukakan di atas
ini menimpa diri kita, lalu apa yang harus kita lakukan? Jika sampai hal
tersebut di atas terjadi pada diri kita, maka tidak ada jalan lain bagi diri
kita mulai saat ini juga untuk belajar, atau mempelajari Ilmu tentang Allah
SWT, atau belajar tentang Diinul Islam yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Sekarang mana yang lebih banyak orang yang memiliki Ilmu tentang Allah SWT
dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki Ilmu tentang Allah SWT? Menurut
pendapat kami, lebih banyak orang yang tidak memiliki Ilmu tentang Allah SWT
dibandingkan dengan orang yang memiliki Ilmu tentang Allah SWT.
Jangan sampai kita hanya tahu Agamanya saja namun tidak pernah tahu dan
tidak paham tentang Allah SWT selaku pencipta, selaku pemilik, selaku Tuhan
bagi alam semesta ini sedangkan kita menumpang di langit dan di muka bumi ini. Adanya keadaan ini, mendorong kami untuk menulis buku yang membahas
tentang Allah (tahu dan mengetahui tentang Allah) melalui pendekatan “Route to 1.6.7.99” dengan
sebaik mungkin sehingga kita semua, termasuk anak dan keturunan kita sendiri,
mampu menempatkan dan meletakkan kemahaan dan kebesaran Allah SWT sesuai dengan
kehendak Allah SWT itu sendiri dan juga kita mampu melaksanakan syahadat yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT sebaik dan sesempurna mungkin.
Dan jangan sampai generasi yang datang
sesudah diri kita, katakan generasi 30 (tiga puluh) tahun yang akan datang
kemudian hanya mampu mengartikan, hanya mampu memahami bahwa “Route to 1.6.7.99” adalah Rute tanggal 16 Juli 1999, padahal
arti yang sesungguhnya bukanlah hal itu. Selanjutnya mari kita pelajari masing-masing pendekatan “Route
to 1.6.7.99” dengan sebaik-baiknya dan semoga kita miliki ilmu tahu
tentang Allah SWT dengan baik dan benar.
A. PENDEKATAN MELALUI
DZAT.
Pendekatan melalui Dzat merupakan kunci jawaban dari
angka 1 (satu) yang terdapat di dalam istilah Route to 1.6.7.99. Apa maksudnya?
Angka 1 dalam istilah Route to 1.6.7.99
adalah perlambang dari Allah SWT itu sendiri. Selanjutnya jika angka 1
(satu) dalam Route to 1.6.7.99 kami artikan sebagai Allah SWT, sekarang apa itu
Allah SWT, kenapa bernama Allah dan siapa yang memberi nama Allah SWT? Untuk
menjawab pertanyaan ini mari kita perhatikan surat Thaahaa (20) ayat 14 yang
kami kemukakan berikut ini: “Sesungguhnya aku
ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat aku.” Berdasarkan
surat Thaaha (20) ayat 14 di atas,
didapat keterangan bahwa Allah adalah Dzat yang menamakan diri-Nya sendiri
Allah melalui pernyataan-Nya yang berbunyi “sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku”.
Jika sekarang Allah SWT sendiri yang menyatakan dirinya sendiri adalah Allah
SWT, sekarang timbul pertanyaan kapan keberadaan Allah SWT itu ada?
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
berikut ini: “Dari Imran bin Hushain ra,
katanya: Saya masuk ke tempat Nabi SAW dan saya tambatkan unta saya di pintu.
Kemudian datang rombongan dari Bani Tamim menghadap beliau. Beliau lalu
bersabda: “Terimalah kabar gembira, hai Bani Tamim!” Mereka berkata: “Tuan
telah memberi kabar gembira pada kami, maka berilah kami harta dua kali lipat!”
Sesudah itu masuk masuk ke tempat beliau rombongan dari Yaman. Beliau lalu
bersabda: “Terimalah kabar gembira, yang tidak diterima oleh Bani Tamim, hai
penduduk Yaman!” Mereka itu berkata:
“Kami terima, hai Rasulullah!” Mereka berkata lagi: “Kami datang kepada tuan
hendak menanyakan hal ini (alam)”. Beliau bersabda: “Tuhan telah ada, dan belum
ada sesuatu selain-Nya dan Arsy-Nya di atas air. Tuhan menuliskan segala
sesuatu selain-Nya di dalam peringatan dan diciptakan-Nya langit dan bumi”. Ada
seseorang yang berteriak: “Unta engkau telah
pergi, hai Ibnu Hushain!” Lalu saya berjalan, kebetulah unta itu telah
melampaui fatamorgana (telah jauh). Demi Allah! Saya ingin kalau unta itu saya
biarkan saja pergi! (Hadits Riwayat
Bukhari No.1419).
Berdasarkan hadits ini, tidak ada apapun sebelum Allah SWT ada, sehingga yang ada hanya Allah
SWT, atau Allah SWT adalah yang pertama kali ada sebelum yang lain ada sehingga
Allah SWT adalah Yang Maha Awal. Lalu sampai kapan adanya Allah SWT? Allah SWT
akan tetap ada sampai kapanpun juga, atau Allah SWT akan tetap kekal selamanya
setelah semuanya punah dan binasa sehingga Allah SWT adalah Yang Maha Kekal
sehingga mustahil di akal Allah SWT tidak ada.
Selanjutnya seperti apakah Dzat Allah SWT itu?
Bagaimanakah struktur Dzat Allah SWT itu? Seperti apakah Allah SWT itu? Terbuat
dari apakah Dzat Allah SWT? Dzat Allah
SWT adalah Dzat yang tidak dapat ditelusuri, Dzat yang tidak dapat dianalisa,
Dzat yang tidak dapat diukur, Dzat yang tidak dapat dianalogikan dengan apapun
juga serta dengan mempergunakan cara apapun juga. Sehingga Dzat yang menamakan
dirinya sendiri Allah SWT adalah Dzat yang Maha, Dzat yang tidak mungkin dapat
diukur, Dzat yang tidak mungkin dapat dianalisa, Dzat yang tidak mungkin dapat
dianalogikan dengan sesuatu.
Hal ini dikarenakan jika sampai Dzat Allah SWT dapat dianalisa, jika sampai Dzat
Allah SWT dapat diukur, jika sampai Dzat Allah SWT dapat dianalogikan dengan
sesuatu, jika sampai Dzat Allah SWT dapat ditelusuri, maka kebesaran dan
kemahaan yang dimiliki oleh Dzat Allah SWT telah tercoreng dikarenakan lebih
rendah kedudukannya dibandingkan dengan orang yang dapat menganalisa, lebih
rendah kedudukannya dibandingkan dengan orang yang dapat mengukur dan
menganalogikan Dzat Allah SWT dan kondisi ini tidak akan mungkin pernah terjadi
sampai kapanpun juga.
Lalu seperti apakah kondisi dasar dari Dzat Allah
SWT itu? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa kondisi dasar dari Dzat Allah
SWT yang terdapat dalam AlQuran dan Hadits, yang harus kita jadikan pedoman saat
melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, yaitu:
1. Dzat
Allah SWT Tidak Bisa Dilihat Mata. Dzat Allah SWT
Tidak Bisa Dilihat dengan mata dikarenakan kemahaan dari cahaya yang dimiliki
oleh Allah SWT sangat luar biasa. Hal ini berdasarkan surat Al An’am (6) ayat 103 yang kami
kemukakan berikut ini: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat
segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.” Apa maksudnya? Untuk memudahkan
pengertian coba kita lihat salah satu ciptaan Allah SWT yaitu matahari.
Sekarang dapatkah kita melihat matahari secara langsung? Kita tidak bisa
melihat matahari secara langsung karena kuatnya cahaya matahari yang
memancarkan sinarnya. Akan tetapi yang bisa kita lihat adalah cahaya matahari.
Sekarang bagaimana dengan Allah SWT yang sangat-sangat bercahaya? Hal yang
samapun terjadi pada Allah SWT, yaitu kita tidak akan bisa melihat langsung
Dzat Allah SWT secara langsung karena sangat bercahaya, namun jika kita
memiliki hati ruhani yang bersih (memiliki hati mukmin) maka kita hanya bisa
merasakan adanya cahaya Allah SWT.
2. Gunung Hancur Karena
Kekuatan dan Kehebatan Allah SWT. Gunung hancur
terpecah belah karena tidak mampu menghadapi, tidak mampu menahan Kekuatan,
Kehebatan dan Kemahaan dari Dzat Allah SWT yang maha lagi hebat.Hal ini
berdasarkan surat Al Hasyr (59) ayat 21 yang kami kemukakan berikut ini: “kalau Sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti
kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada
Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka
berfikir.” Sekarang jika gunung saja bisa hancur terpecah
belah, lalu bagaimana dengan diri kita yang tidak ada apa-apanya dibandingkan
gunung?
3. Manusia Tidak Akan
Mungkin Dapat Berbicara Langsung Dengan Allah SWT. Manusia termasuk diri kita, tidak akan mungkin dapat berbicara langsung
dengan Allah SWT, terkecuali Nabi Musa as, saat di bukit Tursina yang ingin
melihat langsung Allah SWT serta Nabi Muhammad SAW saat menerima perintah
mendirikan shalat dari Allah SWT di Arsy saat melakukan perjalanan Mi’raj. Hal
ini berdasarkan surat Asy Syuura (42) ayat 51 yang kami kemukakan berikut ini: “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau
dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana.” Jika ini kondisinya, mustahil di akal jika ada orang
yang mengaku-ngaku bisa berbicara langsung dengan Allah SWT saat hidup di muka
bumi.
[1347] Di belakang tabir
artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi Dia tidak dapat
melihat-Nya seperti yang terjadi kepada Nabi Musa a.s.
4. Binasa, Hancur, Mati,
Alam Dengan Segala Isinya Karena Melihat Allah SWT. Akan binasa, akan mati, akan kering, akan bercerai berai, seluruh
makhluk hidup yang ada di muka bumi jika sampai melihat Dzat Allah SWT secara
langsung, terkecuali ahli syurga yang akan bisa melihat langsung Allah SWT saat
sudah berada di syurga. Hal ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Hakim yang kami kemukakan berikut
ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda:Allah
ta'ala berfirman: "Wahai Musa. Engkau tidak dapat melihat-Ku. Sesungguhnya
tidaklah melihat-Ku suatu makhluk hidup melainkan ia mati dan suatu makhluk
yang kering melainkan ia tergelincir dan makhluk yang basah melainkan ia
bercerai-berai. Sesungguhnya hanyalah ahli syurga yang tidak kehilangan
pandangan dan tidak rusak/hancur jasadnya dapat melihat-Ku' (Hadits Qudsi Riwayat Al
Hakim, 272:202).
5. Nabi Musa as, Pingsan Karena Tidak Mampu Melihat
Kebesaran Allah SWT. Nabi Musa as. pingsan
tidak sadarkan karena tidak mampu dan tidak sanggup melihat kebesaran dan
kemahaan Allah SWT yang ditunjukkan kepada bukit Tursina. Hal ini berdasarkan surat Al
A'raaf (7) ayat 143 yang kami kemukakan berikut ini: “dan tatkala Musa
datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan
Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku,
nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada
Engkau".Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku,
tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala)
niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada
gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh
pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau,
aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.”
[565] Para mufassirin ada
yang mengartikan yang nampak oleh gunung itu ialah kebesaran dan kekuasaan
Allah, dan ada pula yang menafsirkan bahwa yang nampak itu hanyalah cahaya
Allah. Bagaimanapun juga nampaknya Tuhan itu bukanlah nampak makhluk, hanyalah
nampak yang sesuai sifat-sifat Tuhan yang tidak dapat diukur dengan ukuran
manusia.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi,
mampukah diri kita meneliti, mampukah diri kita menganalisa, mampukah diri kita
menelaah Dzat Allah SWT dengan segala teknologi yang ada pada saat ini
sedangkan bahan, ataupun dzat yang akan dianalisa dan diteliti serta ditelaah
tidak pernah kita miliki? Jawaban dari pertanyaan ini adalah mustahil di akal
kita mampu melakukan itu semua. Allah SWT
melarang diri kita untuk mempelajari Dzat-Nya, bukan karena Allah SWT takut
kehilangan kemahaan dan kebesaran-Nya, atau takut ketahuan Dzatnya atau takut
rahasia Allah SWT terbongkar. Akan tetapi upaya yang akan kita lakukan akan
sia-sia belaka, buang-buang waktu dan energi saja, padahal tugas utama kita di
muka bumi ini bukanlah untuk itu melainkan menjadi khalifahNya, beribadah hanya
kepadaNya serta menjadi pemakmur bagi alam semesta ini.
Dan jika sampai Dzat Allah SWT dapat dipelajari, jika sampai Dzat Allah
SWT dapat diteliti maka kedudukan Allah SWT akan lebih rendah dibandingkan
dengan orang yang mampu mempelajarinya, atau orang yang mampu menelitinya. Dan
Jika sampai ini terjadi berarti gugurlah Kemahaan dan Kebesaran yang dimiliki
Allah SWT. Hal ini tidak akan mungkin terjadi pada Allah SWT. Untuk itu jadikan Urusan Dzat Allah SWT
adalah sebuah ketetapan yang wajib kita terima dan kita akui dalam keimanan
yang kuat tanpa perlu disanggah lagi. Serta jadikan pula kondisi ini menjadi
ilmu yang melekat di dalam diri kita tentang Allah SWT seperti melekatnya ilmu
tentang cabai yang pedas rasanya, atau ilmu tentang garam yang asin rasanya.
Selain daripada itu, ketahuilah bahwa angka 1(satu) yang merupakan
perlambang dari Allah SWT masih memiliki makna lain yang tidak kalah hebat,
yaitu:
1. Angka 1 (satu) juga memiliki makna hakiki sebagai angka permulaan
sehingga jika tidak ada angka 1 (satu) maka tidak akan pernah ada angka 2(dua),
angka 3(tiga), angka 4(empat), angka 5(lima) dan seterusnya sampai dengan tidak
terhingga. Apa maksudnya? Sebagai sesuatu yang bersifat permulaan berarti Allah
SWT ada sebelum yang lain ada dan mustahil Allah SWT ada setelah ciptaannya
ada.
2. Angka 1(satu) juga memiliki makna hakiki sebagai sesuatu yang ada pertama
kali ada, sehingga yang ada selanjutnya setelah yang pertama kali ada. Apa
maksudnya? Allah SWT adalah Pencipta,
maka tidak akan pernah ada ciptaan jika tidak ada yang menciptakan.
Allah SWT mustahil tidak ada sehingga Allah SWT ada selamanya sampai
dengan kapanpun juga, sehingga dengan adanya Allah SWT maka segala ciptaan ada,
diri kita ada, anak keturunan kita ada, syaitan ada, malaikat ada, Diinul Islam
ada, syurga ada, neraka ada. Lalu apakah dengan adanya Allah SWT tidak cukup
menjadikan diri kita beriman kepada Allah SWT!
Dan untuk
mempertegas tentang istilah nomor “1” yang terdapat di dalam istilah “Route to
1.6.7.99”, perkenankan kami mengemukakan khotbah “Ali bin Abi Thalib ra”,
yang terdapat di dalam kitab “Naj Al Balaghah” sebagaimana berikut
ini: “Barangsiapa menetapkan kondisi kondisi atau menyebutkan dengan pasti
kondisi kondisiNya, berarti dia tidak mengimani Keesaan-Nya; Barangsiapa
menyamakan Dia dengan apapun, berarti dia tidak mengerti realitas tentang-Nya.
Barangsiapa memberikan contoh tentang Dia, berarti dia tidak menghormati dan
tidak memualiakan-Nya demikian pula, orang yang menyerupakan Dia tidak memegang
hakikat-Nya. Orang yang mengindikasikan atau menunjukkan posisi atau arah Dia,
dan membayangkan Dia, berarti dia tidak mengetahui makna Ketuhanan-Nya”.
“Adapun yang diketahui
adalah ciptaan, dan segala sesuatu yang eksis berkat yang lain, maka adalah
efek dari yang lain itu (dari suatu sebab). Dia berbuat tanpa membutuhkan
bantuan alat. Dia menetapkan ukuran tetapi tidak dengan bantuan berpikir. Ia
kaya tetapi bukan dengan memperoleh. Dia tidak bersama Waktu. Dia tidak mencari
bantuan dari sarana apa dan manapun. Eksistensi-Nya mendahului waktu.
Eksistensi-Nya mendahului non eksistensi. Keabadian-Nya mendahului permulaan
atau awal. Dengan menciptakan pancaindera, maka diketahui, bahwa Dia tidak
memiliki apa yang diciptakan-Nya itu. Dengan membuat perbandingan di antara
antitesis (kotras, kutub), maka diketahui, bahwa Dia tidak memiliki antitesis.
Dia membuat persamaan di antara benda, maka diketahui bahwa tidak ada yang
menyamai-Nya”.
“Dia telah menjadikan
terang sebagai lawan dari gelap, cerah sebagai lawan dari suram, kering sebagai
lawan dari basah, dan panas sebagai lawan dari dingin/lembab. Dia menjadikan
selaras di antara kutub kutub. Dia memadukan berbagai hal dan Dia juga satukan
beragam benda. Di dekatkan apa yang jauh, dan pisahkan apa yang menyatu. Dia
menimbulkan kasih sayang di antara hal-hal yang bermusuhan. Dia tidak terkena
batas, juga tidak dihitung dengan angka angka. Terjadi proses tarik menarik di
antara materi”. “Bagian merupakan bukti bahwa ada yang sama dengan bagian itu.
Kata “sejak”
membuktikan bahwa materi tidak abadi, dan kata “mungkin” membuktikan bahwa
materi tidak kontiniu atau tidak abadi, sementara sarana sarana tertentu selalu
membuatnya tidak dapat mencapai kesempurnaan. Melalui materi materi itu Sang
Pencipta memperlihatkan Diri-Nya kepada orang yang berakal, dan melalui materi
materi itu pula Dia jadi tertabiri, tidak dapat dilihat. Diam dan gerak tidak
berlaku bagi-Nya. Mana mungkin sesuatu yang Dia wujudkan mempengaruhi-Nya. Mana
mungkin sesuatu yang diciptakan-Nya berbalik mempengaruhi-Nya. Kalau saja
demikian, berarti Dia bisa berubah ubah, Wujud-Nya bisa terbagi (menjadi bagian
bagian), dan realitasNya bisa tidak abadi.”
“Kalau Dia ada
depannya, berarti Dia ada belakangnya. Dia butuh kesempurnaan seandainya saja
Dia memiliki kekurangan. Kalau demikian halnya, berarti karakteristik makhluk-Nya
juga ada pada Dia, berarti Dia itu tanda (yang memberikan petunjuk atau
indikasi tentang obyek obyek lain) bukannya tanda yang mengindikasikan tentan
Dia. Karena Dia memiliki kekuatan pengaruh atau kekuatan untuk mewujudkan apa
yang diinginkan, maka Dia mustahil dipengaruhi (atau mustahil makhluk dapat
membentuk kondisinya).”
“Perubahan atau kesirnaan
tidak berlaku bagi-Nya. Kalau Dia melahirkan, berarti Dia juga dilahirkan.
Kalau Dia melahirkan berarti Dia terbatas. Dia terlalu sempurna untuk memiliki
putra putri, terlalu suci untuk beristri. Imajinasi tidak mungkin dapat
menjangkau-Nya, sehingga Dia tidak dapat ditelaah untuk dapat menilai-Nya.
Kemampuan untuk menangkap atau memahami makna tidak mungkin dapat menjaukau-Nya
dan tidak mungkin dapat membayangkan bentuk-Nya. Indera tidak mungkin dapat
menangkap-Nya sehingga mustahil mengeksplorasi-Nya. Tangan tidak mungkin dapat
menyentuh-Nya, sehingga tidak mungkin dapat memahami-Nya dengan menggunakan
sentuhan. Dia tidak berubah menjadi
kondisi apa pun. Beranjak dari satu tahap ke tahap lain tidak berlaku bagi-Nya.
Siang dan malam tidak membuat-Nya jadi lain atau jadi berubah karena
berjalannya waktu. Terang dan gelap tidak membuat-Nya mengalami perubahan. Tak
dapat dikatakan, bahwa Dia memiliki anggota badan, kaki dan tangan”.
“Dia tidak mungkin
berakhir. Tidak ada yang dapat mengendalikanNya untuk naik atau turun. Tidak
ada yang menopang-Nya. Dia tidak di dalam dan tidak di luar segala sesuatu. Dia
menyampaikan kabar namun bukan dengan lidah atau suara, Dia mendengarkan, namun
bukan dengan telinga atau organ pendengaran. Dia berfirman, namun bukan dengan
mengucapkan kata kata. Dia ingat, namun bukan dengan menghapal. Dia menetapkan,
namun bukan dengan pikiran-Nya. Dia mencintai dan menyetujui, namun bukan
perasaan. Dia membenci dan murka, namun tidak dengan sungguh sungguh. Bila
menghendaki untuk menciptakan sesuatu, maka Dia katakan kepada sesuatu itu
“Jadilah” maka jadilah sesuatu itu, namun bukan dengan suara yang dapat
didengar (oleh telinga)”.
“Firman-Nya merupakan
perwujudan dari apa yang diciptakan-Nya. Tidak pernah ada bandingan-Nya. Juga Dia
tidak dapat dianggap tua. Kalau tidak, berarti ada tuhan kedua. Tidak mungkin
dikatakan bahwa Dia ada setelah sebelumnya tidak ada, karena kalau demikian
berarti pada Diri-Nya ada refleksi efek efek ciptaan, sehingga tidak ada
bedanya antara ciptaan dan Dia. Kalu demikian, maka Pencipta dan makhluk sama
saja, dan penyebab serta yang disebabkan jadi sama tingkatannya”.
“Dia menciptakan
makhluk dengan tidak menggunakan model yang dibuat oleh sesuatu yang lain, dan
Dia tidak mendapat bantuan dari makhluk-Nya dalam menciptakan. Dia menciptakan bumi dan mengendalikannya
tanpa dengan memegangnya, menjaganya tanpa dengan memberinya topangan,
menjadikannya tegak tanpa kutub, meninggikannya tanpa pilar, menjaganya agar tidak
hancur atau agar tidak menjadi berkeping keping. Dia tegakkan gunung di atasnya
seperti pasak, menjadikan keras bebatuannya, membuat sungai sungainya mengalir
airnya, dan membentangkan lembah lembahnya. Apapun yang diciptakan tidak ada
cacatnya. Apapun yang diperkuatNya, maka tidak mungkin lemah”. “Dia menunjukkan
Diri-Nya di muka bumi ini melalui kekuatan dan kebesaran-Nya. Dia mengetahui
segala yang ada di dalamnya melalui pengetahuan dan pemahaman-Nya. Dia
mahakuasa atas segalanya di muka bumi ini karena Dia agung lagi bermartabat”.
“Segala yang ada di
bumi ini tidak ada yang menentang-Nya bila Dia minta, juga tidak menentang-Nya
untuk mengalahkan-Nya. Dia tidak membutuhkan apa dan siapapun. Segalanya hormat
dan tunduk di hadapan kebesaran-Nya. Segala tidak mungkin lari dari otoritas kekuasaan-Nya
kepada sesuatu untuk melepaskan diri dari-Nya. Dia tidak ada bandingan-Nya,
tidak ada yang seperti-Nya. Dia akan menghancurkan bumi setelah bumi itu ada,
sampai segala yang ada di bumi itu jadi tiada.Namun lenyapnya dunia setelah
dunia itu diciptakan tidak lebih sulit dimengerti dibandingkan dengan
penciptaannya untuk pertama kali.
Sekalipun semua
makhluk di bumi, entah itu burung ataupun binatang buas, binatang ternak, atau
binatang gembalaan, entah asal usul dan spesiesnya beda, entah itu bangsa
bangsa yang pintar ataupunn yang tidak pintar, semua bersatu padu berupaya
bersama menciptakan satu ekor nyamuk pun, maka mereka tidak akan mampu
menciptakannya dan juga tidak tahu sarana untuk menciptakannya. Akal dan
kecerdasan mereka akan kebingungan dan takjub, dan mereka pun akan berjalan
tanpa arah. Mereka jadi tidak berdaya, kemudian mengalami kekecewaan dan letih.
Lalu mereka pun menyadari kekalahan mereka, dan mengakui ketidakmampuan
menciptakan seekor nyamuk. Mereka juga akan menyadari bahwa diri mereka terlalu
lemah (meskipun itu) untuk menghancurkannya”.
“Sesungguhnya setelah
kesirnaan dunia, Allah Ta’ala akan tetap eksis tanpa ada apapun di samping-Nya.
Dia akan tetap eksis, setelah kesirnaan alam, sebagaimana sebelum-Nya : tanpa
waktu atau ruang, moment atau periode. Kemudian jaman dan waktu tidak akan ada,
tahun dan jam pun sirna. Tidak ada lagi apa apa kecuali Allah Yang Maha Esa
lagi Maha Kuasa. Segala perkara kembali kepada-Nya. Terciptanya segala sesuatu
berada di luar daya segala sesuatu itu. Seandainya segala sesuatu itu mampu
mencegah kesirnaan mereka, tentu mereka akan eksis untuk selamanya. Ketika Dia
menciptakan bagian apa pun dari dunia ini, Dia sama sekali tidak akan mengalami
kesulitan, dan ketika menciptakan dan membentuk Dia sama sekali tidak mengalami
kelelahan (kecapaean)”.
“Dia menciptakan
segala sesuatu bukan untuk memperbesar kekuasaan-Nya, juga bukan karena takut, juga bukan untuk menghadapi lawan, juga bukan
untuk mendapatkan bantuan untuk menghadapi lawan atau musuh, juga bukan untuk
memperluas wewenang atau wilayah kekuasaan-Nya, juga bukan untuk membanggakan
di hadapan sekutunya, juga bukan karena kesepian dan juga bukan karena
menginginkan teman. Kemudian, setelah penciptaannya, Dia akan menghancurkan
bukan karena cepas menjaga dan mengaturnya, juga bukan karena akan
menyenangkanNya, juga bukan karena sudah tidak praktis lagi. Kalau
eksistensinya segala sesuatu diperpanjang, itu tidak akan membuatnya lelah dan
kepayahan sehingga mendorong-Nya untuk segera menghancurkannya. Namun Allah
Yang Maha Suci lagi Maha Agung menjaganya dengan kemurahan hati-Nya, dengan
kekuasaan-Nya. Dia menyempurnakan-Nya dengan kekuatan-Nya. Kemudian, setelah
segala sesuala tu itu hancur binasa, Dia wujudkan kembali bukan karena Dia
membutuhkannya, juga bukan karena untuk mendapatkan bantuannya, juga bukan
untuk mendapatkan teman, juga bukan karena tadinya tidak tahu lalu jadi tahu,
tadinya butuh lalu jadi mandiri dan memiliki segalanya, tadinya hina lalu
menjadi mulia”.
Dan dalam khotbah
yang lain “Ali bin Abi Thalib ra”, juga membahas awal penciptaan langit dan
bumi sebagaimana berikut ini: “Segala puji bagi Allah Yang arti penting-Nya
tidak dapat diuraikan oleh orator, Yang rahmat dan karunia-Nya tidak dapat
dihitung oleh ahli hitung, yang ketaatan kepada-Nya tidak dapat dipenuhi oleh
mereka yang berupaya keras untuk itu, Yang tidak dapat diapresiasi dan tidak
dapat dipahami oleh puncak upaya intelektual, Yang tidak dapat dijangkau oleh
kedalaman pemahaman, Yang tidak dapat dijelaskan dan digambarkan oleh
penjelasan dan penggambaran, tidak ada pujian yang memadai, tidak ada waktu
yang mencukupi, dan tidak ada durasi.
Dia mewujudkan
makhluk dengan kekuatan-Nya, meniupkan angin sebagai rahmat-Nya, dan Dia
kukuhkan bumi dengan gunung gunung. Kewajiban beragama yang terpenting dan
paling utama adalah mengakui-Nya. Pengakuan yang sempurna adalah mendapatkan
keridhaan-Nya. Kesempurnaan mendapatkan keridhaan-Nya adalah mengimani Keesaan-Nya.
Kesempurnaan mengimana Keesaan-Nya adalah memandang-Nya suci. Dan kesempurnaan memandang-Nya suci adalah tidak memberi-Nya
sifat sifat, karena setiap sifat mengindikasikan bahwa sifat itu bukan yang
diberi sebaik baik nama, dan segala yang diberi sebaik baik nama maka dia bukan
Sebaik baik Nama itu sendiri”.
“Jadi, barangsiapa
menyifati Allah, maka dia mengakui adanya sesuatu yang seperti-Nya, dan
barangsiapa mengakui demikian, berarti dia menganggap adanya dua tuhan. Dan
barangsiapa menganggap-Nya sebagai Satu dari dua tuhan itu, berarti dia
menyekutukan-Nya, barangsiapa yang menyekutukanNya, maka dia telah salah dalam
memandang-Nya dan telah berbuat zalim terhadap-Nya. Barangsiapa salah dalam
memandang-Nya, berarti dia telah telah mengakui bahwa Allah terbatas, dan
barangsiapa mengakui demikian, berarti dia telah menganggap-Nya berbilang.
Barangsiapa yang
berpikir dimana Dia berada, maka dia telah menganggap-Nya memiliki tempat,
barangsiapa berpikir bahwa Dia berada di atas sesuatu maka dia telah menganggap
Dia tidak diatas sesuatu yang lain. Dia Ada, namun Eksistensinya bukan melalui
fenomena menjadi ada, Dia ada, namun bukan karena tadinya tidak ada. Dia
bersama segalanya, namun bukan dalam kebersamaan fisik. Dia bukan atau beda
dengan segala sesuatu, namun bukan dalam pengertian fisik. Dia berbuat, namun
bukan dalam pengertian melakukan gerakan atau menggunakan sarana. Dia melihat,
namun tidak ada makhluk-Nya yang dapat melihat-Nya. Dia Esa karena itu tidak
ada sesuatu yang bersama-Nya atau tidak ada sesuatu yang kalau tidak ada maka
Dia merasa kehilangan”.
Berdasarkan dua uraian di atas yang berasal dari kitab “Naj Al Balaghah” semoga mampu menghantarkan diri kita beriman
kepada Allah SWT dengan baik dan benar selama hayat masih di kandung badan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar