Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Sabtu, 13 April 2024

ROUTE TO 1.6.7.99 SEBUAH PENDEKATAN UNTUK MENGENAL DAN BERKENALAN DENGAN ALLAH SWT (PART 1 of 6)

  

Sekarang mari kita mengenal dan berkenalan dengan Allah SWT melalui sebuah pendekatan yang kami istilahkan dengan Route To 1.6.7.99. “Route to 1.6.7.99  secara mudah dapat diartikan sebagai “Rute menuju Allah SWT”. Timbul pertanyaan, kenapa kami harus memper-gunakan istilah Rute? Istilah Rute memiliki makna yang menunjukkan kepada diri kita akan sesuatu yang pasti menuju kepada sesuatu, atau adanya kepastian untuk menuju ke sesuatu tempat secara pasti, dalam hal ini dari Allah SWT akan kembali kepada Allah SWT.

 

Adanya pengertian dasar rute yang berarti dari Allah SWT akan kembali kepada Allah SWT bermakna adanya jalan untuk kembali pulang kepada Allah SWT yang tentunya harus sesuai dengan kehendak Allah dan juga adanya waktu untuk mempersiapkan diri untuk pulang kampung kepada Allah SWT yang pada akhirnya mengharuskan diri kita memiliki ilmu dan pemahaman tentang Allah SWT yang baik dan benar maka barulah kita bisa melaksanakan konsep dari Allah SWT kembali kepada Allah SWT.

 

Lalu bagaimana dengan Allah SWT yang kami istilahkan dengan istilah “Route to 1.6.7.99 ? Jika “Route to 1.6.7.99” langsung kami tulis sebagai Route to Allah SWT seperti apa adanya, hal ini tidak akan memiliki daya tarik tertentu karena orang sudah tahu artinya. Sehingga dengan adanya istilah “Route to 1.6.7.99”, akan menimbulkan rasa penasaran dari orang yang membaca tulisan tersebut sehingga ia akan bertanya apakah yang dimaksud dengan istilah itu dan juga menjadi dorongan bagi kami untuk menjelaskannya secara detail dan ilmiah tentang hal itu. Sekarang apa yang dimaksud dengan Route to 1.6.7.99 ? Adapun istilah dari “Route to 1.6.7.99” dapat kami artikan sebagai berikut :

 

1.  Angka 1(satu) melambangkan Allah SWT yang tidak lain adalah Dzat yang menamakan dirinya sendiri Allah SWT, dimana  Allah SWT adalah Dzat yang pertama kali ada dan akan ada sampai kapanpun juga sehingga yang lain ada karena adanya Allah SWT, atau dengan kata lain Allah SWT mustahil tidak ada jika yang lain ada. 

 

2.  Angka 6 (enam) melambangkan Sifat Salbiyah yang dimiliki Allah SWT yang terdiri dari:  (a) sifat Wujud; (b) sifat Qidam; (c) sifat Baqa; (d) sifat Mukhalafah Lil Hawadish; (e) sifat Qiyamuhu Binafsih; (f) sifat Wahdaniah.

 

3.     Angka 7 (tujuh) melambangkan Sifat Ma’ani dari Allah SWT yang terdiri dari: (a) sifat Qudrat; (b) sifat Iradat; (c) sifat Ilmu; (d) sifat Sami’; (e) sifat Bashir; (f) sifat Kalam, dan (g) sifat Hayat.

 

4.     Angka 99 (sembilan puluh sembilan) melambangkan nama nama yang indah lagi baik dari Allah SWT yang termaktub dalam Asmaul Husna. 

 

Berdasarkan uraian yang kami kemukakan di atas, maka “Route to 1.6.7.99” juga dapat bermakna syahadat sebagaimana berikut ini: Tidak ada Tuhan selain Allah SWT yang 1 (satu);  yang memiliki sifat Salbiyah, yang 6 (enam) yang terdiri dari “Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafah Lil Hawadish, Qiyamuhu Binafsih, Wahdaniah”; yang memiliki sifat Ma’ani yang 7(tujuh) yang terdiri dari “Qudrat, Iradat, Ilmu, Sami’, Bashir, Kalam, Hayat” dan yang memiliki nama nama yang indah lagi baik (Asmaul Husna) yang berjumlah 99 (sembilan puluh sembilan). Adanya hal ini, menunjukkan kepada diri kita bahwa jika ada Tuhan-Tuhan lain yang tidak memiliki hal yang kami kemukakan di atas, maka dapat dipastikan ia bukan Allah SWT. Hal ini dikarenakan hanya Allah SWT sajalah yang memiliki itu semua dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. “Route to 1.6.7.99” juga memiliki arti bahwa kita telah memberikan kesaksian tiada Tuhan selain Allah SWT yang mampu menciptakan langit dan bumi beserta isinya serta yang mampu menciptakan kekhalifahan yang ada di muka bumi ini.

 

Route to 1.6.7.99 juga merupakan ajakan kepada seluruh umat manusia untuk selalu ingat kepada Allah SWT kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi apapun bahwa Allah SWT adalah segala-galanya serta kita tidak bisa melepaskan diri dari kekuatan, kemahaan, kebesaran serta ilmu Allah SWT saat melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya di muka bumi serta Route to 1.67.99 juga memiliki arti perintah untuk melaksanakan Diinul Islam secara kaffah.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya yang sedang melaksanakan tugas di muka bumi, tentu kita sangat membutuhkan Allah SWT dengan sebaik mungkin. Timbul pertanyaan, bagaimana kita akan bisa mengenal dan tahu tentang Allah SWT (ma’rifatullah) dengan baik dan benar jika :

 

1.      Kita tidak memiliki Ilmu tentang Allah SWT dengan baik dan benar?

2.       Kita tidak tahu dimana keberadaan Allah SWT saat kita hidup di dunia?

3.   Kita tidak tahu bagaimana  caranya  melaksanakan  Diinul Islam yang sesuai dengan kehendak Allah SWT ?

4.    Kita tidak mengerti kenapa kita harus membutuhkan Allah SWT saat hidup di dunia?

5.       Kita tidak paham ada hubungan apakah antara diri kita dengan Allah SWT? 

 

Jika sampai apa yang kami kemukakan di atas ini menimpa diri kita, lalu apa yang harus kita lakukan? Jika sampai hal tersebut di atas terjadi pada diri kita, maka tidak ada jalan lain bagi diri kita mulai saat ini juga untuk belajar, atau mempelajari Ilmu tentang Allah SWT, atau belajar tentang Diinul Islam yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sekarang mana yang lebih banyak orang yang memiliki Ilmu tentang Allah SWT dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki Ilmu tentang Allah SWT? Menurut pendapat kami, lebih banyak orang yang tidak memiliki Ilmu tentang Allah SWT dibandingkan dengan orang yang memiliki Ilmu tentang Allah SWT.

 

Jangan sampai kita hanya tahu Agamanya saja namun tidak pernah tahu dan tidak paham tentang Allah SWT selaku pencipta, selaku pemilik, selaku Tuhan bagi alam semesta ini sedangkan kita menumpang di langit dan di muka bumi ini. Adanya keadaan ini, mendorong kami untuk menulis buku yang membahas tentang Allah (tahu dan mengetahui tentang Allah) melalui pendekatan Route to 1.6.7.99” dengan sebaik mungkin sehingga kita semua, termasuk anak dan keturunan kita sendiri, mampu menempatkan dan meletakkan kemahaan dan kebesaran Allah SWT sesuai dengan kehendak Allah SWT itu sendiri dan juga kita mampu melaksanakan syahadat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sebaik dan sesempurna mungkin.

 

Dan jangan sampai generasi yang datang sesudah diri kita, katakan generasi 30 (tiga puluh) tahun yang akan datang kemudian hanya mampu mengartikan, hanya mampu memahami bahwa “Route to 1.6.7.99”  adalah Rute tanggal 16 Juli 1999, padahal arti yang sesungguhnya bukanlah hal itu. Selanjutnya mari kita pelajari masing-masing pendekatan “Route to 1.6.7.99” dengan sebaik-baiknya dan semoga kita miliki ilmu tahu tentang Allah SWT dengan baik dan benar.   

 

A.   PENDEKATAN MELALUI DZAT.

 

Pendekatan melalui Dzat merupakan kunci jawaban dari angka 1 (satu) yang terdapat di dalam istilah Route to 1.6.7.99. Apa maksudnya? Angka 1 dalam istilah Route to 1.6.7.99  adalah perlambang dari Allah SWT itu sendiri. Selanjutnya jika angka 1 (satu) dalam Route to 1.6.7.99 kami artikan sebagai Allah SWT, sekarang apa itu Allah SWT, kenapa bernama Allah dan siapa yang memberi nama Allah SWT? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita perhatikan surat Thaahaa (20) ayat 14 yang kami kemukakan berikut ini: Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.” Berdasarkan surat  Thaaha (20) ayat 14 di atas, didapat keterangan bahwa Allah adalah Dzat yang menamakan diri-Nya sendiri Allah melalui pernyataan-Nya yang berbunyi “sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku”. Jika sekarang Allah SWT sendiri yang menyatakan dirinya sendiri adalah Allah SWT, sekarang timbul pertanyaan kapan keberadaan Allah SWT itu ada?

 

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari berikut ini: Dari Imran  bin Hushain ra, katanya: Saya masuk ke tempat Nabi SAW dan saya tambatkan unta saya di pintu. Kemudian datang rombongan dari Bani Tamim menghadap beliau. Beliau lalu bersabda: “Terimalah kabar gembira, hai Bani Tamim!” Mereka berkata: “Tuan telah memberi kabar gembira pada kami, maka berilah kami harta dua kali lipat!” Sesudah itu masuk masuk ke tempat beliau rombongan dari Yaman. Beliau lalu bersabda: “Terimalah kabar gembira, yang tidak diterima oleh Bani Tamim, hai penduduk Yaman!”  Mereka itu berkata: “Kami terima, hai Rasulullah!” Mereka berkata lagi: “Kami datang kepada tuan hendak menanyakan hal ini (alam)”. Beliau bersabda: “Tuhan telah ada, dan belum ada sesuatu selain-Nya dan Arsy-Nya di atas air. Tuhan menuliskan segala sesuatu selain-Nya di dalam peringatan dan diciptakan-Nya langit dan bumi”. Ada seseorang yang berteriak: “Unta engkau telah  pergi, hai Ibnu Hushain!” Lalu saya berjalan, kebetulah unta itu telah melampaui fatamorgana (telah jauh). Demi Allah! Saya ingin kalau unta itu saya biarkan saja pergi!  (Hadits Riwayat Bukhari No.1419).

 

Berdasarkan hadits ini, tidak ada apapun sebelum Allah SWT ada, sehingga yang ada hanya Allah SWT, atau Allah SWT adalah yang pertama kali ada sebelum yang lain ada sehingga Allah SWT adalah Yang Maha Awal. Lalu sampai kapan adanya Allah SWT? Allah SWT akan tetap ada sampai kapanpun juga, atau Allah SWT akan tetap kekal selamanya setelah semuanya punah dan binasa sehingga Allah SWT adalah Yang Maha Kekal sehingga mustahil di akal Allah SWT tidak ada.

 

Selanjutnya seperti apakah Dzat Allah SWT itu? Bagaimanakah struktur Dzat Allah SWT itu? Seperti apakah Allah SWT itu? Terbuat dari apakah Dzat Allah SWT? Dzat Allah SWT adalah Dzat yang tidak dapat ditelusuri, Dzat yang tidak dapat dianalisa, Dzat yang tidak dapat diukur, Dzat yang tidak dapat dianalogikan dengan apapun juga serta dengan mempergunakan cara apapun juga. Sehingga Dzat yang menamakan dirinya sendiri Allah SWT adalah Dzat yang Maha, Dzat yang tidak mungkin dapat diukur, Dzat yang tidak mungkin dapat dianalisa, Dzat yang tidak mungkin dapat dianalogikan dengan sesuatu.

 

Hal ini dikarenakan jika sampai Dzat  Allah SWT dapat dianalisa, jika sampai Dzat Allah SWT dapat diukur, jika sampai Dzat Allah SWT dapat dianalogikan dengan sesuatu, jika sampai Dzat Allah SWT dapat ditelusuri, maka kebesaran dan kemahaan yang dimiliki oleh Dzat Allah SWT telah tercoreng dikarenakan lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan orang yang dapat menganalisa, lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan orang yang dapat mengukur dan menganalogikan Dzat Allah SWT dan kondisi ini tidak akan mungkin pernah terjadi sampai kapanpun juga.

 

Lalu seperti apakah kondisi dasar dari Dzat Allah SWT itu? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa kondisi dasar dari Dzat Allah SWT yang terdapat dalam AlQuran dan Hadits, yang harus kita jadikan pedoman saat melaksanakan Diinul Islam secara kaffah, yaitu:

 

1.  Dzat Allah SWT Tidak Bisa Dilihat Mata. Dzat Allah SWT Tidak Bisa Dilihat dengan mata dikarenakan kemahaan dari cahaya yang dimiliki oleh Allah SWT sangat luar biasa. Hal ini berdasarkan surat Al An’am (6) ayat 103 yang kami kemukakan berikut ini: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.”  Apa maksudnya? Untuk memudahkan pengertian coba kita lihat salah satu ciptaan Allah SWT yaitu matahari. Sekarang dapatkah kita melihat matahari secara langsung? Kita tidak bisa melihat matahari secara langsung karena kuatnya cahaya matahari yang memancarkan sinarnya. Akan tetapi yang bisa kita lihat adalah cahaya matahari. Sekarang bagaimana dengan Allah SWT yang sangat-sangat bercahaya? Hal yang samapun terjadi pada Allah SWT, yaitu kita tidak akan bisa melihat langsung Dzat Allah SWT secara langsung karena sangat bercahaya, namun jika kita memiliki hati ruhani yang bersih (memiliki hati mukmin) maka kita hanya bisa merasakan adanya cahaya Allah SWT.

 

2.  Gunung Hancur Karena Kekuatan dan Kehebatan Allah SWT. Gunung hancur terpecah belah karena tidak mampu menghadapi, tidak mampu menahan Kekuatan, Kehebatan dan Kemahaan dari Dzat Allah SWT yang maha lagi hebat.Hal ini berdasarkan surat Al Hasyr (59) ayat 21 yang kami kemukakan berikut ini: “kalau Sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” Sekarang jika gunung saja bisa hancur terpecah belah, lalu bagaimana dengan diri kita yang tidak ada apa-apanya dibandingkan gunung?

 

3.   Manusia Tidak Akan Mungkin Dapat Berbicara Langsung Dengan Allah SWT. Manusia termasuk diri kita, tidak akan mungkin dapat berbicara langsung dengan Allah SWT, terkecuali Nabi Musa as, saat di bukit Tursina yang ingin melihat langsung Allah SWT serta Nabi Muhammad SAW saat menerima perintah mendirikan shalat dari Allah SWT di Arsy saat melakukan perjalanan Mi’raj. Hal ini berdasarkan surat Asy Syuura (42) ayat 51 yang kami kemukakan berikut ini: “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” Jika ini kondisinya, mustahil di akal jika ada orang yang mengaku-ngaku bisa berbicara langsung dengan Allah SWT saat hidup di muka bumi. 

 

[1347] Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi Dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada Nabi Musa a.s.

 

4.   Binasa, Hancur, Mati, Alam Dengan Segala Isinya Karena Melihat Allah SWT. Akan binasa, akan mati, akan kering, akan bercerai berai, seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi jika sampai melihat Dzat Allah SWT secara langsung, terkecuali ahli syurga yang akan bisa melihat langsung Allah SWT saat sudah berada di syurga.  Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al Hakim yang kami kemukakan berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda:Allah ta'ala berfirman: "Wahai Musa. Engkau tidak dapat melihat-Ku. Sesungguhnya tidaklah melihat-Ku suatu makhluk hidup melainkan ia mati dan suatu makhluk yang kering melainkan ia tergelincir dan makhluk yang basah melainkan ia bercerai-berai. Sesungguhnya hanyalah ahli syurga yang tidak kehilangan pandangan dan tidak rusak/hancur jasadnya dapat melihat-Ku' (Hadits Qudsi Riwayat Al Hakim, 272:202).

 

5.  Nabi Musa as, Pingsan Karena Tidak Mampu Melihat Kebesaran Allah SWT. Nabi Musa as. pingsan tidak sadarkan karena tidak mampu dan tidak sanggup melihat kebesaran dan kemahaan Allah SWT yang ditunjukkan kepada bukit Tursina. Hal ini berdasarkan surat Al A'raaf (7) ayat 143 yang kami kemukakan berikut ini: “dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau".Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.”

 

[565] Para mufassirin ada yang mengartikan yang nampak oleh gunung itu ialah kebesaran dan kekuasaan Allah, dan ada pula yang menafsirkan bahwa yang nampak itu hanyalah cahaya Allah. Bagaimanapun juga nampaknya Tuhan itu bukanlah nampak makhluk, hanyalah nampak yang sesuai sifat-sifat Tuhan yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, mampukah diri kita meneliti, mampukah diri kita menganalisa, mampukah diri kita menelaah Dzat Allah SWT dengan segala teknologi yang ada pada saat ini sedangkan bahan, ataupun dzat yang akan dianalisa dan diteliti serta ditelaah tidak pernah kita miliki? Jawaban dari pertanyaan ini adalah mustahil di akal kita mampu melakukan itu semua. Allah SWT melarang diri kita untuk mempelajari Dzat-Nya, bukan karena Allah SWT takut kehilangan kemahaan dan kebesaran-Nya, atau takut ketahuan Dzatnya atau takut rahasia Allah SWT terbongkar. Akan tetapi upaya yang akan kita lakukan akan sia-sia belaka, buang-buang waktu dan energi saja, padahal tugas utama kita di muka bumi ini bukanlah untuk itu melainkan menjadi khalifahNya, beribadah hanya kepadaNya serta menjadi pemakmur bagi alam semesta ini.

 

Dan jika sampai Dzat Allah SWT dapat dipelajari, jika sampai Dzat Allah SWT dapat diteliti maka kedudukan Allah SWT akan lebih rendah dibandingkan dengan orang yang mampu mempelajarinya, atau orang yang mampu menelitinya. Dan Jika sampai ini terjadi berarti gugurlah Kemahaan dan Kebesaran yang dimiliki Allah SWT. Hal ini tidak akan mungkin terjadi pada Allah SWT. Untuk itu jadikan Urusan Dzat Allah SWT adalah sebuah ketetapan yang wajib kita terima dan kita akui dalam keimanan yang kuat tanpa perlu disanggah lagi. Serta jadikan pula kondisi ini menjadi ilmu yang melekat di dalam diri kita tentang Allah SWT seperti melekatnya ilmu tentang cabai yang pedas rasanya, atau ilmu tentang garam yang asin rasanya.

 

Selain daripada itu, ketahuilah bahwa angka 1(satu) yang merupakan perlambang dari Allah SWT masih memiliki makna lain yang tidak kalah hebat, yaitu:

 

1.    Angka 1 (satu) juga memiliki makna hakiki sebagai angka permulaan sehingga jika tidak ada angka 1 (satu) maka tidak akan pernah ada angka 2(dua), angka 3(tiga), angka 4(empat), angka 5(lima) dan seterusnya sampai dengan tidak terhingga. Apa maksudnya? Sebagai sesuatu yang bersifat permulaan berarti Allah SWT ada sebelum yang lain ada dan mustahil Allah SWT ada setelah ciptaannya ada.

2.    Angka 1(satu) juga memiliki makna hakiki sebagai sesuatu yang ada pertama kali ada, sehingga yang ada selanjutnya setelah yang pertama kali ada. Apa maksudnya?  Allah SWT adalah Pencipta, maka tidak akan pernah ada ciptaan jika tidak ada yang menciptakan.   

 

Allah SWT mustahil tidak ada sehingga Allah SWT ada selamanya sampai dengan kapanpun juga, sehingga dengan adanya Allah SWT maka segala ciptaan ada, diri kita ada, anak keturunan kita ada, syaitan ada, malaikat ada, Diinul Islam ada, syurga ada, neraka ada. Lalu apakah dengan adanya Allah SWT tidak cukup menjadikan diri kita beriman kepada Allah SWT!

 

Dan untuk mempertegas tentang istilah nomor “1” yang terdapat di dalam istilah “Route to 1.6.7.99”, perkenankan kami mengemukakan khotbah “Ali bin Abi Thalib ra”, yang terdapat di dalam kitab “Naj Al Balaghah” sebagaimana berikut ini: “Barangsiapa menetapkan kondisi kondisi atau menyebutkan dengan pasti kondisi kondisiNya, berarti dia tidak mengimani Keesaan-Nya; Barangsiapa menyamakan Dia dengan apapun, berarti dia tidak mengerti realitas tentang-Nya. Barangsiapa memberikan contoh tentang Dia, berarti dia tidak menghormati dan tidak memualiakan-Nya demikian pula, orang yang menyerupakan Dia tidak memegang hakikat-Nya. Orang yang mengindikasikan atau menunjukkan posisi atau arah Dia, dan membayangkan Dia, berarti dia tidak mengetahui makna Ketuhanan-Nya”.

 

“Adapun yang diketahui adalah ciptaan, dan segala sesuatu yang eksis berkat yang lain, maka adalah efek dari yang lain itu (dari suatu sebab). Dia berbuat tanpa membutuhkan bantuan alat. Dia menetapkan ukuran tetapi tidak dengan bantuan berpikir. Ia kaya tetapi bukan dengan memperoleh. Dia tidak bersama Waktu. Dia tidak mencari bantuan dari sarana apa dan manapun. Eksistensi-Nya mendahului waktu. Eksistensi-Nya mendahului non eksistensi. Keabadian-Nya mendahului permulaan atau awal. Dengan menciptakan pancaindera, maka diketahui, bahwa Dia tidak memiliki apa yang diciptakan-Nya itu. Dengan membuat perbandingan di antara antitesis (kotras, kutub), maka diketahui, bahwa Dia tidak memiliki antitesis. Dia membuat persamaan di antara benda, maka diketahui bahwa tidak ada yang menyamai-Nya”. 

 

“Dia telah menjadikan terang sebagai lawan dari gelap, cerah sebagai lawan dari suram, kering sebagai lawan dari basah, dan panas sebagai lawan dari dingin/lembab. Dia menjadikan selaras di antara kutub kutub. Dia memadukan berbagai hal dan Dia juga satukan beragam benda. Di dekatkan apa yang jauh, dan pisahkan apa yang menyatu. Dia menimbulkan kasih sayang di antara hal-hal yang bermusuhan. Dia tidak terkena batas, juga tidak dihitung dengan angka angka. Terjadi proses tarik menarik di antara materi”. “Bagian merupakan bukti bahwa ada yang sama dengan bagian itu.

 

Kata “sejak” membuktikan bahwa materi tidak abadi, dan kata “mungkin” membuktikan bahwa materi tidak kontiniu atau tidak abadi, sementara sarana sarana tertentu selalu membuatnya tidak dapat mencapai kesempurnaan. Melalui materi materi itu Sang Pencipta memperlihatkan Diri-Nya kepada orang yang berakal, dan melalui materi materi itu pula Dia jadi tertabiri, tidak dapat dilihat. Diam dan gerak tidak berlaku bagi-Nya. Mana mungkin sesuatu yang Dia wujudkan mempengaruhi-Nya. Mana mungkin sesuatu yang diciptakan-Nya berbalik mempengaruhi-Nya. Kalau saja demikian, berarti Dia bisa berubah ubah, Wujud-Nya bisa terbagi (menjadi bagian bagian), dan realitasNya bisa tidak abadi.”

 

“Kalau Dia ada depannya, berarti Dia ada belakangnya. Dia butuh kesempurnaan seandainya saja Dia memiliki kekurangan. Kalau demikian halnya, berarti karakteristik makhluk-Nya juga ada pada Dia, berarti Dia itu tanda (yang memberikan petunjuk atau indikasi tentang obyek obyek lain) bukannya tanda yang mengindikasikan tentan Dia. Karena Dia memiliki kekuatan pengaruh atau kekuatan untuk mewujudkan apa yang diinginkan, maka Dia mustahil dipengaruhi (atau mustahil makhluk dapat membentuk kondisinya).”

 

“Perubahan atau kesirnaan tidak berlaku bagi-Nya. Kalau Dia melahirkan, berarti Dia juga dilahirkan. Kalau Dia melahirkan berarti Dia terbatas. Dia terlalu sempurna untuk memiliki putra putri, terlalu suci untuk beristri. Imajinasi tidak mungkin dapat menjangkau-Nya, sehingga Dia tidak dapat ditelaah untuk dapat menilai-Nya. Kemampuan untuk menangkap atau memahami makna tidak mungkin dapat menjaukau-Nya dan tidak mungkin dapat membayangkan bentuk-Nya. Indera tidak mungkin dapat menangkap-Nya sehingga mustahil mengeksplorasi-Nya. Tangan tidak mungkin dapat menyentuh-Nya, sehingga tidak mungkin dapat memahami-Nya dengan menggunakan sentuhan.  Dia tidak berubah menjadi kondisi apa pun. Beranjak dari satu tahap ke tahap lain tidak berlaku bagi-Nya. Siang dan malam tidak membuat-Nya jadi lain atau jadi berubah karena berjalannya waktu. Terang dan gelap tidak membuat-Nya mengalami perubahan. Tak dapat dikatakan, bahwa Dia memiliki anggota badan, kaki dan tangan”.

 

“Dia tidak mungkin berakhir. Tidak ada yang dapat mengendalikanNya untuk naik atau turun. Tidak ada yang menopang-Nya. Dia tidak di dalam dan tidak di luar segala sesuatu. Dia menyampaikan kabar namun bukan dengan lidah atau suara, Dia mendengarkan, namun bukan dengan telinga atau organ pendengaran. Dia berfirman, namun bukan dengan mengucapkan kata kata. Dia ingat, namun bukan dengan menghapal. Dia menetapkan, namun bukan dengan pikiran-Nya. Dia mencintai dan menyetujui, namun bukan perasaan. Dia membenci dan murka, namun tidak dengan sungguh sungguh. Bila menghendaki untuk menciptakan sesuatu, maka Dia katakan kepada sesuatu itu “Jadilah” maka jadilah sesuatu itu, namun bukan dengan suara yang dapat didengar (oleh telinga)”.

 

“Firman-Nya merupakan perwujudan dari apa yang diciptakan-Nya. Tidak pernah ada bandingan-Nya. Juga Dia tidak dapat dianggap tua. Kalau tidak, berarti ada tuhan kedua. Tidak mungkin dikatakan bahwa Dia ada setelah sebelumnya tidak ada, karena kalau demikian berarti pada Diri-Nya ada refleksi efek efek ciptaan, sehingga tidak ada bedanya antara ciptaan dan Dia. Kalu demikian, maka Pencipta dan makhluk sama saja, dan penyebab serta yang disebabkan jadi sama tingkatannya”.

 

“Dia menciptakan makhluk dengan tidak menggunakan model yang dibuat oleh sesuatu yang lain, dan Dia tidak mendapat bantuan dari makhluk-Nya dalam menciptakan.  Dia menciptakan bumi dan mengendalikannya tanpa dengan memegangnya, menjaganya tanpa dengan memberinya topangan, menjadikannya tegak tanpa kutub, meninggikannya tanpa pilar, menjaganya agar tidak hancur atau agar tidak menjadi berkeping keping. Dia tegakkan gunung di atasnya seperti pasak, menjadikan keras bebatuannya, membuat sungai sungainya mengalir airnya, dan membentangkan lembah lembahnya. Apapun yang diciptakan tidak ada cacatnya. Apapun yang diperkuatNya, maka tidak mungkin lemah”. “Dia menunjukkan Diri-Nya di muka bumi ini melalui kekuatan dan kebesaran-Nya. Dia mengetahui segala yang ada di dalamnya melalui pengetahuan dan pemahaman-Nya. Dia mahakuasa atas segalanya di muka bumi ini karena Dia agung lagi bermartabat”.

 

“Segala yang ada di bumi ini tidak ada yang menentang-Nya bila Dia minta, juga tidak menentang-Nya untuk mengalahkan-Nya. Dia tidak membutuhkan apa dan siapapun. Segalanya hormat dan tunduk di hadapan kebesaran-Nya. Segala tidak mungkin lari dari otoritas kekuasaan-Nya kepada sesuatu untuk melepaskan diri dari-Nya. Dia tidak ada bandingan-Nya, tidak ada yang seperti-Nya. Dia akan menghancurkan bumi setelah bumi itu ada, sampai segala yang ada di bumi itu jadi tiada.Namun lenyapnya dunia setelah dunia itu diciptakan tidak lebih sulit dimengerti dibandingkan dengan penciptaannya untuk pertama kali.

 

Sekalipun semua makhluk di bumi, entah itu burung ataupun binatang buas, binatang ternak, atau binatang gembalaan, entah asal usul dan spesiesnya beda, entah itu bangsa bangsa yang pintar ataupunn yang tidak pintar, semua bersatu padu berupaya bersama menciptakan satu ekor nyamuk pun, maka mereka tidak akan mampu menciptakannya dan juga tidak tahu sarana untuk menciptakannya. Akal dan kecerdasan mereka akan kebingungan dan takjub, dan mereka pun akan berjalan tanpa arah. Mereka jadi tidak berdaya, kemudian mengalami kekecewaan dan letih. Lalu mereka pun menyadari kekalahan mereka, dan mengakui ketidakmampuan menciptakan seekor nyamuk. Mereka juga akan menyadari bahwa diri mereka terlalu lemah (meskipun itu) untuk menghancurkannya”.

 

“Sesungguhnya setelah kesirnaan dunia, Allah Ta’ala akan tetap eksis tanpa ada apapun di samping-Nya. Dia akan tetap eksis, setelah kesirnaan alam, sebagaimana sebelum-Nya : tanpa waktu atau ruang, moment atau periode. Kemudian jaman dan waktu tidak akan ada, tahun dan jam pun sirna. Tidak ada lagi apa apa kecuali Allah Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa. Segala perkara kembali kepada-Nya. Terciptanya segala sesuatu berada di luar daya segala sesuatu itu. Seandainya segala sesuatu itu mampu mencegah kesirnaan mereka, tentu mereka akan eksis untuk selamanya. Ketika Dia menciptakan bagian apa pun dari dunia ini, Dia sama sekali tidak akan mengalami kesulitan, dan ketika menciptakan dan membentuk Dia sama sekali tidak mengalami kelelahan (kecapaean)”. 

 

“Dia menciptakan segala sesuatu bukan untuk memperbesar kekuasaan-Nya, juga bukan karena takut,  juga bukan untuk menghadapi lawan, juga bukan untuk mendapatkan bantuan untuk menghadapi lawan atau musuh, juga bukan untuk memperluas wewenang atau wilayah kekuasaan-Nya, juga bukan untuk membanggakan di hadapan sekutunya, juga bukan karena kesepian dan juga bukan karena menginginkan teman. Kemudian, setelah penciptaannya, Dia akan menghancurkan bukan karena cepas menjaga dan mengaturnya, juga bukan karena akan menyenangkanNya, juga bukan karena sudah tidak praktis lagi. Kalau eksistensinya segala sesuatu diperpanjang, itu tidak akan membuatnya lelah dan kepayahan sehingga mendorong-Nya untuk segera menghancurkannya. Namun Allah Yang Maha Suci lagi Maha Agung menjaganya dengan kemurahan hati-Nya, dengan kekuasaan-Nya. Dia menyempurnakan-Nya dengan kekuatan-Nya. Kemudian, setelah segala sesuala tu itu hancur binasa, Dia wujudkan kembali bukan karena Dia membutuhkannya, juga bukan karena untuk mendapatkan bantuannya, juga bukan untuk mendapatkan teman, juga bukan karena tadinya tidak tahu lalu jadi tahu, tadinya butuh lalu jadi mandiri dan memiliki segalanya, tadinya hina lalu menjadi mulia”.  

 

Dan dalam khotbah yang lain “Ali bin Abi Thalib ra”, juga membahas awal penciptaan langit dan bumi sebagaimana berikut ini: “Segala puji bagi Allah Yang arti penting-Nya tidak dapat diuraikan oleh orator, Yang rahmat dan karunia-Nya tidak dapat dihitung oleh ahli hitung, yang ketaatan kepada-Nya tidak dapat dipenuhi oleh mereka yang berupaya keras untuk itu, Yang tidak dapat diapresiasi dan tidak dapat dipahami oleh puncak upaya intelektual, Yang tidak dapat dijangkau oleh kedalaman pemahaman, Yang tidak dapat dijelaskan dan digambarkan oleh penjelasan dan penggambaran, tidak ada pujian yang memadai, tidak ada waktu yang mencukupi, dan tidak ada durasi.

 

Dia mewujudkan makhluk dengan kekuatan-Nya, meniupkan angin sebagai rahmat-Nya, dan Dia kukuhkan bumi dengan gunung gunung. Kewajiban beragama yang terpenting dan paling utama adalah mengakui-Nya. Pengakuan yang sempurna adalah mendapatkan keridhaan-Nya. Kesempurnaan mendapatkan keridhaan-Nya adalah mengimani Keesaan-Nya. Kesempurnaan mengimana Keesaan-Nya adalah memandang-Nya suci. Dan kesempurnaan  memandang-Nya suci adalah tidak memberi-Nya sifat sifat, karena setiap sifat mengindikasikan bahwa sifat itu bukan yang diberi sebaik baik nama, dan segala yang diberi sebaik baik nama maka dia bukan Sebaik baik Nama itu sendiri”.

 

“Jadi, barangsiapa menyifati Allah, maka dia mengakui adanya sesuatu yang seperti-Nya, dan barangsiapa mengakui demikian, berarti dia menganggap adanya dua tuhan. Dan barangsiapa menganggap-Nya sebagai Satu dari dua tuhan itu, berarti dia menyekutukan-Nya, barangsiapa yang menyekutukanNya, maka dia telah salah dalam memandang-Nya dan telah berbuat zalim terhadap-Nya. Barangsiapa salah dalam memandang-Nya, berarti dia telah telah mengakui bahwa Allah terbatas, dan barangsiapa mengakui demikian, berarti dia telah menganggap-Nya berbilang.

Barangsiapa yang berpikir dimana Dia berada, maka dia telah menganggap-Nya memiliki tempat, barangsiapa berpikir bahwa Dia berada di atas sesuatu maka dia telah menganggap Dia tidak diatas sesuatu yang lain. Dia Ada, namun Eksistensinya bukan melalui fenomena menjadi ada, Dia ada, namun bukan karena tadinya tidak ada. Dia bersama segalanya, namun bukan dalam kebersamaan fisik. Dia bukan atau beda dengan segala sesuatu, namun bukan dalam pengertian fisik. Dia berbuat, namun bukan dalam pengertian melakukan gerakan atau menggunakan sarana. Dia melihat, namun tidak ada makhluk-Nya yang dapat melihat-Nya. Dia Esa karena itu tidak ada sesuatu yang bersama-Nya atau tidak ada sesuatu yang kalau tidak ada maka Dia merasa kehilangan”.

 

Berdasarkan dua uraian di atas yang berasal dari kitab Naj Al Balaghah” semoga mampu menghantarkan diri kita beriman kepada Allah SWT dengan baik dan benar selama hayat masih di kandung badan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar