E. UNTUK MENJADI RAHMAT DAN KEBAIKAN DARI
ALLAH SWT KEPADA MANUSIA.
Buku
Manual yang dibuat oleh pabrikan berfungsi sebagai sarana bagi pabrikan untuk
mengemukakan hal-hal yang berhubungan dengan produk yang dihasilkannya. Hal ini
dikarenakan hanya pabrikanlah satu satunya pihak yang paling mengerti dan yang
paling mengetahui secara detail dari produk yang dihasilkannya. Buku manual juga
merupakan wujud tanggung jawab pabrikan kepada konsumen atas suatu produk yang
telah diproduksinya. Hal ini terlihat dari bagaimana produsen sangat berharap
kepada konsumen, jika ingin produk yang dibelinya awet dan tahan lama maka
lakukanlah hal-hal yang telah dikemukakan dalam buku manual. Adanya kondisi ini
berarti keberadaan buku manual (manual handbook) merupakan bagian yang tidak
terpisahkan antara produsen dengan konsumen melalui keberadaan produk yang
dihasilkannya.
Selanjutnya
jika produsen saja memberlakukan hal itu kepada konsumennya melalui produk yang
dihasilkanya. Sekarang bagaimana dengan Allah SWT kepada umat manusia yang
telah diangkatnya menjadi hamba yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi? Allah
SWT menurunkan AlQuran kepada umat manusia bukan hanya sekedar sarana untuk
memperkenalkan Nama-Nya, akan tetapi lebih dari itu semua. Allah SWT menurunkan
AlQuran kepada umat manusia merupakan wujud tanggung jawab Allah SWT selaku pencipta
yang sekaligus pemilik dari langit dan bumi serta pemilik dan pencipta rencana
besar kekhalifahan yang ada di muka bumi. AlQuran juga merupakan wujud kasih sayang Allah SWT kepada umat
manusia yang telah diangkat oleh Allah SWT menjadi abd’ (hamba)-Nya yang
sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “dan kamu tidak pernah mengharap agar AlQuran
diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari
Tuhanmu [1143], sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi
orang-orang kafir. (surat Al Qashash (28) ayat 86)
[1143]
Maksudnya: AlQuranul karim itu diturunkan bukanlah karena Nabi Muhammad s.a.w.
mengharap agar diturunkan, melainkan karena rahmat daripada Allah.
Jika
ini adalah asumsi dasar dari diturunkannya AlQuran oleh Allah SWT ke muka bumi,
berarti AlQuran diturunkan Allah SWT bukanlah sesuatu yang sia-sia belaka, atau
AlQuran bukanlah sesuatu kemudharatan
yang diturunkan oleh Allah SWT ke muka bumi. AlQuran diturunkan kepada manusia,
termasuk kepada diri kita merupakan rahmat dari Allah SWT untuk kemaslahatan
umat manusia. Selain daripada itu, AlQuran juga diturunkan oleh Allah SWT
merupakan bagian yang tidak terpisahkan antara Allah SWT dengan rencana besar
penghambaan dan kekhalifahan yang ada di muka bumi ini.
Sekarang
bagaimana jadinya jika sampai Allah SWT tidak pernah menurunkan AlQuran kepada
umat manusia? Yang jelas umat manusia tidak akan tahu dan tidak akan mengerti
hal-hal sebagai berikut: (a) tentang
Allah SWT; (b) tentang kekhalifahan di muka bumi; (c) tentang siapa diri kita yang sesungguhnya;
(d) tentang hak dan kewajiban diri kita
kepada Allah SWT; (e) tentang apa itu
Diinul Islam yang terdiri Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan; (f) tentang musuh diri kita, dan lain
sebagainya. Sudahkah kita bersyukur kepada Allah SWT atas diturunkannya
AlQuran ke muka bumi ini?
Syukur
kepada Allah SWT tidak cukup dengan mengatakan terima kasih atau dengan
mengucapkan “Alhamdulillah”.
Syukur kepada Allah SWT atas diturunkannya AlQuran tidak cukup AlQuran hanya
sekedar dibaca saja atau menjadikan AlQuran sebagai buku bacaan wajib yang
harus dibaca setiap hari atau dihafalkan.
Bersyukur kepada Allah SWT atas diturunkannya AlQuran maka kita harus dapat
meletakkan dan juga menempatkan AlQuran sesuai dengan apa-apa yang
dikehendaki Allah SWT selaku pemilik
dari kumpulan wahyu lalu berusaha untuk mengimaninya, mempelajarinya,
memahaminya, mengamalkan apa apa yang telah dipahaminya, lalu menyebarluas-kannya
dengan cara mengajarkan kepada orang lain (mendakwahkan) dan yang terakhir
berusaha untuk menjadikan AlQuran menjadi akhlak bagi diri kita. Dan semoga
kita mampu mengemban dan melaksanakan itu semua melalui contoh dan suri teladan
Nabi Muhammad SAW saat menjadi hambaNya dan yang juga khalifahNya di muka bumi
ini serta mampu pula mengajarkan itu semua kepada anak keturunan kita sendiri
serta masyarakat luas sebagai salah satu bukti syukur diri kita atas
diturunkannya AlQuran. Sudahkah kita mencoba untuk melaksanakannya!
F.
UNTUK DIJADIKAN SAHABAT BAGI MANUSIA.
AlQuran
adalah sahabat. AlQuran sebagai sahabat tidak bisa berdiri sendiri karena
persahabatan tidak mengenal satu pihak saja melainkan harus ada pihak lainnya,
dalam hal ini adalah diri kita, keluarga dan anak keturunan kita. AlQuran
sebagai sahabat tentu akan memberikan sesuatu yang sangat luar biasa kepada
sahabatnya, sepanjang sahabatnya mau melaksanakan apa yang disebut inti dari
sebuah persahabatan, yaitu adanya pengorbanan untuk sebuah persahabatan; adanya
perhatian khusus untuk sebuah persahabatan; adanya karya nyata sebagai bukti
adanya sebuah persahabatan.
AlQuran
adalah nikmat terbesar bagi umat manusia harus yang diikuti dengan langkah
nyata yang menunjukkan bahwa memang AlQuran adalah kebutuhan dalam kehidupan
umat manusia. Kesadaran akan pentingnya AlQuran tanpa diikuti dengan langkah
nyata, akan mengakibatkan kehidupan kita kehilangan segalanya dan hilang pula
persahabatan. Sebagaimana dikemukakan dalam hadits berikut ini: Nabi
SAW bersabda: “Berbahagialah orang yang menjadikan AlQuran sebagai sebaik-baik
sahabat. Tiap hari ia akrab dengan Kalam Rabb-nya. Membacanya, mengamalkannya,
menghafalnya, mempelajarinya, bahkan mendakwahkannya. Ia menjadi sebaik-baik
manusia sebagaimana sabda Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“sebaik-baik dari kalian adalah yang mempelajari AlQuran dan mengajarkannya.”
(Hadits Riwayat Bukhari).
Dan
agar persahabatan antara diri kita dengan AlQuran bisa terbina dan terpelihara
dari waktu ke waktu, ada sebuah metode untuk menjadikan AlQuran sebagai sahabat
bagi diri kita yaitu “Metode Akrab dengan AlQuran”,
sebagaimana dikemukakan dalam laman “madaninews.id”
berikut ini:maka hal hal berikut harus bisa kita lakukan, yaitu:
1. AlQuran
dijadikan sebagai buku pelajaran harian, karena mempelajari AlQuran adalah langkah
awal dalam berinteraksi dengannya serta pintu masuk untuk menjalin persahabatan
dengannya. AlQuran hendaknya dijadikan pelajaran utama kita setiap hari. Ada
target belajar harian yang disesuaikan
dengan kemampuan kita.
2. Mendengarkan
bacaan AlQuran, sebagaimana Rasulullah SAW sering meminta sahabat untuk
membacakan AlQur’an untuknya. Saat ini selain bisa mendengarkan bacaan qari
secara langsung, banyak alat atau fasilitas elektronik dimana kita bisa
mendengarkan bacaan AlQur’an. Jika mendengar musik atau hal-hal lain yang hanya
mengeraskan hati maka mendengarkan bacaan AlQuran justru akan menentramkan
hati.
3. Meluangkan
waktu secara terjadwal untuk mentadabburinya (memahami dan mengkajinya).
Ayat-ayat AlQuran akan semakin menyentuh hati kita saat kita mengetahui
maknanya. Selain bisa mengetahui makna AlQuran dari buku-buku tafsir, kitapun
bisa mengikuti halaqah-halaqah kajian AlQuran.
4. Mengamalkannya,
yakni mengejawantahkan ajaran-ajaran AlQuran dalam kehidupan sehari-hari.
Menjadikannya rujukan disamping hadits dari Rasulullah SAW baik dalam amalan
ibadah maupun dalam hal muamalah dan lainnya.
5. Berusaha
untuk menghafalkan AlQuran. Mulai dari ayat atau surah-surah yang mudah untuk
kita hafal. Kesibukan ataupun faktor umur tidak menjadi penghalang asalkan kita
mempunyai kemauan kuat untuk “menyimpan” AlQuran di dalam dada-dada kita.
Banyak perangkat dan metode yang akhir-akhir ini berkembang yang bisa menjadi
sarana buat kita untuk menghafal AlQuran.
6. Mendakwahkannya,
yaitu menjadikan sebagai bahasan dan referensi utama dalam berdakwah.
7. Memperjuangkan
agar isinya menjadi rujukan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Inilah 7 (tujuh) langkah mudah agar diri kita
menjadi sahabat AlQuran. Lalu apa yang akan kita peroleh dari persahabatan ini?
Banyak hal yang akan diberikan AlQuran kepada sahabatnya yang mana kualitasnya
sangat tergantung kepada nilai persahabatan yang telah kita lakukan kepada
AlQuran dan jangan berharap banyak memperoleh sesuatu dari persahabatan kita
dengan AlQuran jika kita sendiri malas malasan, tidak bersemangat, tidak mau
berbagi kepada sesama setelah memperoleh pelajaran dari AlQuran.
Dan inilah yang akan kita peroleh dari
persahabatan diri kita dengan AlQuran, yaitu: sebaik-baik sahabat karib adalah AlQuran
yang dengannya akan membuat hati kita menjadi tenteram, bahagia dan lebih dari
itu AlQuran akan menjadi pembela kita di hari kiamat kelak. “Pelajarilah
AlQuran, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat menjadi pemberi syafa’at
bagi orang-orang yang bersahabat dengannya”. (Hadits Riwayat Muslim).
AlQuran juga akan menentramkan hati bagi
orang-orang beriman yang sering berinteraksi dengannya melalui aktifitas
mengimaninya, mempelajarinya, menghayatinya, memahaminya, serta
melaksanakannya, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Orang-orang yang beriman dan
hati mereka bisa merasa tentram dengan mengingat Allah, ketahuilah bahwa hanya
dengan mengingat Allah maka hati akan merasa tentram.” (surat Ar-Ra’d (13) ayat
28). Di lain sisi, Ibnul Qayyim Al Jauziyah juga telah menyebutkan
bahwa pendapat terpilih mengenai makna ‘mengingat Allah’ di sini adalah
mengingat (merenungkan) AlQuran. Hal itu disebabkan hati manusia tidak akan
bisa merasakan ketentraman kecuali dengan iman dan keyakinan yang tertanam di
dalam hatinya. Sementara iman dan keyakinan tidak bisa diperoleh kecuali dengan
menyerap bimbingan AlQuran yang kita pelajari dan pahami secara konsisten dari
waktu ke waktu.
G.
UNTUK DIJADIKAN SARANA DAN ALAT BANTU
BERKOMUNIKASI DAN BERINTERAKSI DENGAN ALLAH SWT SAAT MENDIRIKAN SHALAT.
AlQuran adalah kumpulan dari kata kata Allah SWT
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.
AlQuran sebagai kumpulan dari kata kata Allah SWT dapat dikatakan sebagai salah
satu cara Allah SWT untuk berinteraksi, untuk berkomunikasi, untuk berbicara
kepada umat manusia dengan cara mengatakan kembali kata kata Allah SWT tersebut
kepada Allah SWT. Kondisi ini akan dapat tercapai atau dapat kita rasakan jika
diri kita mampu menjadikan AlQuran sebagai salah satu media bagi diri kita
untuk berinteraksi, berkomunikasi dan berbicara kepada Allah SWT selaku pemilik
kumpulan kata kata dengan cara mempelajarinya (dengan memulainya melalui proses
membaca AlQuran).
Adanya proses membaca sebagai bagian dari
mempelajari AlQuran maka terjadilah proses interaksi dalam bentuk melakukan
pembicaraan kepada Allah SWT melalui mengatakan kembali kata kata Allah SWT
yang telah dikatakan yang ada di dalam AlQuran kepada Allah SWT selaku pemilik
kata kata maka terjadilah komunikasi antara diri kita dengan Allah SWT. Dan hal
yang harus kita perhatikan dengan benar saat berkomunikasi dengan Allah SWT
adalah kedudukan diri kita tidak sejajar dengan Allah SWT sehingga kita yang
kecil harus bisa menempatkan diri dihadapan Dzat Yang Maha Besar dengan
merendahkan posisi diri kita saat berinteraksi dan berkomunikasi dengan Allah
SWT. Adanya kondisi ini mengharuskan diri kita untuk menyesuaikan diri kita
dengan apa apa yang dikehendaki oleh Allah SWT karena kitalah yang membutuhkan
berkomunikasi dengan Allah SWT.
Apabila hal ini mampu kita lakukan dengan baik dan
benar disinilah salah satu letak dari terjadinya interaksi dan juga adanya
pembicaraan antara diri kita dengan Allah SWT melalui AlQuran yang sedang
kita baca sebagai bagian dari
mempelajari AlQuran. Selain daripada itu, ketahuilah bahwa jika kita mampu
menghargai AlQuran sebagai kata kata yang bersifat original hanya dari Allah
SWT semata yang telah dikatakan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW berarti
kita telah menghargai kebesaran, kemahaan dan kedudukan Allah SWT selaku Tuhan seluruh alam. Adanya
bentuk penghargaan diri kita kepada AlQuran maka terbukalah jalan untuk
mengimani Allah SWT sebagai satu satunya narasumber AlQuran. Sudahkah kita
mampu melakukannya dengan baik dan benar!
Di lain sisi, diri kita diperintahkan oleh Allah SWT
untuk mendirikan shalat wajib minimal 5 (lima) kali dalam sehari. Saat diri
kita mendirikan shalat maka kita diwajibkan untuk membaca bacaan shalat yang
mana bacaan shalat itu tidak bisa dilepaskan dengan kata kata Allah SWT yang telah dikatakanNya
yang kini ada di dalam AlQuran.Contohnya, kita wajib membaca Alfatehah di
setiap shalat yang kita dirikan, jika tidak maka shalat yang kita dirikan
menjadi tidak sah serta setelah diri kita menyelesaikan membaca Alfatehah maka
juga membaca minimal satu ayat yang ada di dalam AlQuran. Lalu dimana letaknya
kita bisa merasakan rasa berkomunikasi, berdialog, berinteraksi dan berbicara
kepada Allah SWT itu? Ibadah shalat merupakan salah satu ibadah wajib yang
menjadi kebutuhan diri kita sehari hari, dimana di dalam ibadah shalat inilah
terdapat bacaan shalat yang di dalamnya ada ayat ayat AlQuran.
Saat diri kita mendirikan shalat maka pada saat itu
pula terjadilah apa yang dikatakan dengan terjadinya proses interaksi,
komunikasi dan berbicara dengan Allah SWT melalui bacaan shalat yang berasal
dari AlQuran yang kita katakan kembali kepada Allah SWT. Saat diri kita membaca
Alfatehah dalam shalat, maka terjadilah apa yang dikemukakan dalam dua buah
hadits berikut ini: “Ubay bin Ka’ab ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah
ta’ala berfirman: “Wahai anak Adam,
Aku telah menurunkan tujuh ayat; tiga diantaranya untukKu, dan tiga untukmu
serta satu antara Aku dengan engkau. Adapun yang untukKu, yaitu: “Alhadulillahi
Rabbil Alamin, Ar rahmanirrahim, Maliki yaumiddin” (segala puja dan puji bagi
Allah, Tuhan yang memelihara alam semesta, Maha Pemurah lagi Pengasih, yang memiliki
hari pembasalan). Adapun yang antara Aku dan engkau, yaitu:
“Iyyaka na’budu wa Iyyakan nasta’in” (hanya kepadaMu lah aku menyembah, dan
hanya kepadaMu lah aku minta tolong. Dari engkau manusia beribadah dan Aku yang
menolong)”. Adapun yang untukmu, yaitu: “Ihdinasshiratal mustaqim,
Shiratalladzina an’amta alaihim ghairil magh dhubi alaihim waladh dhaaliin
(bimbinglah kami ke jalan yang lurus,
yaitu jalan orang orang yang Engkau anugerahi nikmat kepada mereka, bukan jalan
mereka yang dimurka dan bukan pula jalan mereka yang sesat). (Hadits Riwayat
Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Ayshath; 272:01)
Dan
juga dikemukakan dalam hadits berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata:
“Bacalah Al-fatihah untuk diri kalian sendiri karena aku mendengar Rasulullah
SAW, “Allah Ta’ala berfirman: Aku membagi shalat (maksudnya: Al-fatihah)
menjadi dua bagian, yaitu antara diri-Ku dan hamba-Ku dua bagian dan bagi
hamba-Ku apa yang ia minta. Jika hamba mengucapkan ’alhamdulillahi robbil
‘alamin (segala puji hanya milik Allah)’, Allah ta’ala berfirman: Hamba-Ku
telah memuji-Ku. Ketika hamba tersebut mengucapkan ‘ar rahmanir rahiim (Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)’, Allah ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah
menyanjung-Ku. Ketika hamba tersebut mengucapkan ‘maaliki yaumiddiin (Yang
Menguasai hari pembalasan)’, Allah ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah
mengagungkan-Ku. Beliau berkata sesekali: Hamba-Ku telah memberi kuasa penuh
pada-Ku. Jika ia mengucapkan ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya
kepada-Mu kami menyebah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan)’, Allah
ta’ala berfirman: Ini antara-Ku dan hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta.
Jika ia mengucapkan ‘ihdiinash shiroothol mustaqiim, shirootolladzina an’amta
‘alaihim, ghoiril magdhuubi ‘alaihim wa laaddhoollin’ (tunjukkanlah pada kami
jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan
orang yang dimurkai dan bukan jalan orang yang sesat), Allah ta’ala berfirman:
Ini untuk hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” (Hadits Riwayat Muslim
no. 395).
Berdasarkan dua buah hadits
di atas ini, saat diri kita membaca surat Alfatehah ketika mendirikan shalat,
terjadilah tiga hal, yaitu:
1. Adanya
pernyataan sikap kita yang khusus kita tujukan kepada Allah SWT;
2. Adanya
permohonan yang kita ajukan kepada Allah SWT yang sebelumnya didahului dengan
adanya pernyataan, “hanya kepadamu aku menyembah, dan hanya kepadaMu aku minta tolong”;
3. Adanya
interaksi, komunikasi dan dialog antara diri kita dengan Allah SWT secara
langsung tanpa perantara siapapun melalui bacaan AlFatehah yang kita katakan
kembali kepada Allah SWT.
Dan agar dialog, interakasi,
komunikasi yang kita lakukan dengan Allah SWT memberikan dampak yang luar biasa
bagi diri kita maka kita harus melakukannya secara dua arah. Dimana diri
kitalah yang harus aktif memulai terlebih dahulu untuk berdialog, berinteraksi,
berkomunikasi maka barulah Allah SWT beraksi sesuai dengan kualitas apa yang
kita lakukan. Sehingga berlakulah hukum aksi dan reaksi sebagaimana hadits
berikut ini: Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah Ta’ala
berfirman: “Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku, Aku pun ingin menemuinya. Tetapi
bila ia enggan menemui-Ku, Aku pun enggan menemuinya. (Hadits Riwayat Bukhari,
Malik, dan An Nasa’i; 272:17)
Disinilah letak pentingnya
kita memiliki adab dan sopan santun saat berdialog, saat berinteraksi, dan saat
berkomunikasi dengan Allah SWT. Jangan sampai apa yang telah dikemukakan dalam
hadits diatas tidak berlaku kepada diri kita karena ulah diri kita sendiri yang
melakukan interaksi, dialog dan komunikasi secara satu arah, secara tergesa
gesa, serta malas malasan, padahal yang membutuhkan hasil dari interaksi,
dialog dan komunikasi dengan Allah SWT adalah diri kita.
Ingat, posisi dan kedudukan diri kita tidak sejajar dengan Allah SWT sehingga diri kitalah yang harus menyesuaikan diri dengan Allah SWT karena kitalah yang membutuhkan Allah SWT sedangkan Allah SWT tidak membutuhkan diri kita. Katakan, jika Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Suci (Al Quddus) kitapun harus mensucikan diri terlebih dahulu dengan melaksanakan proses thaharah sebelum mendirikan shalat, sebelum berdoa dan memohon kepada-Nya serta sebelum mempelajari AlQuran. Jika tidak, maka terjadilah ketidaksesuaian posisi sehingga antara diri kita dengan keadaan Allah SWT berseberangan, dimana Allah SWT Yang Maha Suci tidak akan mungkin bisa kita ajak beriteraksi, berdialog dan berkumunikasi jika kita sendiri masih kotor, baik hadast kecil ataupun besar. Sudahkah kita memahami hal ini dan mengetahui pentingnya melakukan proses thaharah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar