Tulisan yang kami sampaikan kepada jamaah dan pembaca sekalian, kami tulis berdasarkan pengajian ketauhidan yang kami dapatkan dari 2 (dua) orang guru, yang pertama adalah “H. Nurdin Hakami”, beliau adalah anak dari Hasyim L Husaini, yang akrab di Sumatra Barat disapa dengan panggilan “Hasyim Tiku”. Dan yang kedua, kajian ketauhidan ini kami dapatkan dari “H. Bachtiar Ma’ani” yang mana beliau adalah guru yang sekaligus orang tua kandung dari kami sendiri. Dan semoga keduanya selalu di dalam limpahan rahmat Allah SWT. Amiin.
Buku ini
merupakan sebuah karya nyata ilmiah dalam kerangka untuk memulai setahap demi
setahap untuk menjadikan buku sebagai jembatan untuk menyeimbangkan “Budaya
Tutur” yang sudah melanda sebahagian masyarakat dengan “Budaya Tulis” yang
telah mulai hilang. “Budaya Tutur” akan hilang setelah Penuturnya
tiada. Akan tetapi jika “Budaya Tulis” yang terjadi, walaupun penulisnya telah
tiada, tulisannya akan tetap ada sepanjang jaman, sehingga dapat dipelajari
oleh generasi yang datang dikemudian hari. Sekarang
apa jadinya jika sampai Bukhari dan Muslim atau perawi hadits lainya, tidak
pernah menulis hadits-hadits yang dikumpulkannya menjadi sebuah buku?
Tentu kita
tidak akan pernah tahu apa yang dinamakan dengan hadits yang perawinya Bukhari
dan Muslim atau perawi hadits lainnya dan bahkan tidak pernah terbayangkan oleh
para perawi haditsnya sendiri bahwa perjuangannya dalam mengumpulkan dan
menuliskan hadits, akan dipakai oleh umat Islam sampai dengan hari kiamat. Adanya kondisi seperti ini, berarti umur dari Bukhari dan Muslim dan
perawit hadits lainnya akan tetap ada sampai dengan hari kiamat, walaupun usia
beliau sudah tidak ada lagi. Yang menjadi persoalan
sekarang adalah maukah kita berumur panjang seperti umur Bukhari dan Muslim? Jika kita bercita cita untuk berumur panjang
seperti halnya Bukhari dan Muslim, menulislah atau lakukanlah perbuatan baik
dengan melakukan suatu karya nyata yang besar yang dapat dinikmati masyarakat
luas dan bisa dinikmati oleh generasi yang datang di kemudian hari atau
amalkanlah ilmu yang bermanfaat melalui tulisan atau jadikan “Budaya Tulis”
menjadi kebiasaan di tengah masyarakat. Dan semoga buku
yang kami tulis ini juga mampu menjadi buku rujukan bagi umat yang bukan
beragama Islam (non Muslim) yang berniat untuk mempelajari Diinul Islam yang tidak lain adalah konsep Ilahiah bagi kepentingan rencana besar
penghambaaan dan kekhalifahan yang ada di muka bumi secara baik dan benar.
Semoga hal ini menjadi kenyataan.
Buku ini kami tulis tidak terlepas dari pernyataan dalam bentuk puisi yang
berasal dari seorang tokoh nasional yaitu: “KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus)” yang berjudul “Ketika Agama Kehilangan Tuhannya”
Dan inilah isi lengkap dari puisi
dimaksud, yaitu:
1. Dulu agama menghancurkan berhala. Kini agama jadi
berhala, Tak kenal Tuhannya, yang penting agamanya.
2. Dulu orang berhenti membunuh karena agama. Sekarang orang
saling membunuh karena agama.
3. Dulu orang saling mengasihi karena beragama. Kini orang
saling membenci karena beragama.
4. Agama tak pernah berubah ajarannya dari dulu. Tuhan pun
tak pernah berubah dari dulu. Lalu yang berubah apanya? Manusianya?
5. Dulu pemimpin agama dipilih berdasarkan kepintarannya,
yang paling cerdas di antara orang-orang lainnya. Sekarang orang yang paling
dungu yang tidak bisa bersaing dengan orang-orang lainnya, dikirim untuk
belajar jadi pemimpin agama.
6. Dulu orang belajar agama sebagai modal, untuk mempelajari
ilmu lainnya. Sekarang orang malas belajar ilmu lainnya, maunya belajar agama
saja.
7. Dulu para siswa diajarkan untuk harus belajar giat dan
berdoa untuk bisa menempuh ujian. Sekarang siswa malas belajar, tapi sesaat
sebelum ujian berdoa paling kencang, karena diajarkan pemimpin agamanya untuk
berdoa supaya lulus.
8. Dulu agama mempererat hubungan manusia dengan Tuhan.
Sekarang manusia jauh dari Tuhan karena terlalu sibuk dengan urusan-urusan
agamanya.
9. Dulu agama ditempuh untuk mencari Wajah Tuhan. Sekarang
agama ditempuh untuk cari muka dihadapan Tuhan.
10. Esensi beragama telah dilupakan.Agama kini hanya
komoditi yang menguntung-kan pelaku bisnis berbasis agama, karena semua yang
berbau agama telah didewa-dewakan, takkan pernah dianggap salah, tak pernah
ditolak, dan jadi keperluan pokok melebihi sandang, pangan, papan. Agama jadi
hobi, tren, dan bahkan pelarian karena tak tahu lagi mesti mengerjakan apa.
11.
Agama kini diper-Tuhan-kan, sedang Tuhan itu sendiri
dikesampingkan. Agama dulu memuja Tuhan, Agama kini menghujat Tuhan.
12.
Nama Tuhan dijual dan diperdagangkan, dijaminkan,
dijadikan murahan, oleh orang-orang yang merusak, membunuh, sambil meneriakkan
nama Tuhan. Tuhan mana yang mengajarkan ‘tuk membunuh?! Tuhan mana yang
mengajarkan tuk membenci?! Tapi manusia membunuh, membenci, merusak,
mengintimidasi, sambil dengan bangga meneriak-kan nama Tuhan, berpikir bahwa
Tuhan sedang disenangkan ketika ia menumpahkan darah manusia lainnya.
13.
Agama dijadikan senjata tuk menghabisi manusia lainnya.
Dan tanpa disadari manusia sedang merusak reputasi Tuhan, dan sedang mengubur
Tuhan dalam-dalam di balik gundukan ayat-ayat dan aturan agama.
Dari 13 (tiga belas) pernyataan dalam bentuk
puisi yang dikemukakan ole “Gus Mus” di atas, kesemuanya
bukanlah sesuatu pernyataan yang biasa-biasa saja, atau sesuatu yang bersifat
gurauan (candaan) dari beliau. Namun apa yang dikemukakan oleh beliau tidak
bisa dianggap remeh (apalagi diabaikan). Namun kondisinya harus bisa kita
perbaiki sehingga dari “sesuatu yang
sesuai dengan kehendak syaitan sang laknatullah” harus menjadi “sesuatu yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT” selaku Tuhan bagi seluruh alam. Disinilah letak betapa pentingnya kita
berbuat kebaikan untuk kemaslahatan diri, keluarga, umat, bangsa dan juga
negara dengan berperan serta mengambil peran yang sesuatu dengan kemmpuan,
minat dan bakat yang kita miliki. Ayo wakafkan waktu dengan belajar yang
diiringi dengan mengajar walaupun hanya satu ayat dan kalau bukan saat ini
kapan lagi kita berbuat.
Di lain sisi, Allah SWT selaku narasumber
tunggal AlQuran telah memperingatkan kepada umat manusia, melalui surat Al Alaq
(96) ayat 1 sebagaimana berikut ini: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan” Adanya ketentuan ayat ini maka berlakulah hal-hal berikut
ini:
1. Apabila kita ingin mempelajari AlQuran melalui
proses membaca harus dimulai dengan atas nama Allah SWT yang menciptakan;
2. Perintah melaksanakan membaca AlQuran atas nama
Tuhanmu yang mencip-takan bukanlah sekedar membaca untuk menghafalkan tanpa
makna.
3. Membaca AlQuran
haruslah diiringi dengan mampu mengimani, mampu mempelajari, mampu memahami,
mampu melaksanakan, mampu mendakwahkan serta mampu menye-barluaskannya serta
menjadikan AlQuran sebagai akhlak bagi diri kita.
Semoga kita mampu melaksanakan ketiga hal di atas ini dengan baik dan
benar, terutama di sisa usia yang kita miliki.
Selanjutnya,
perlu kami kemukakan bahwa di dalam pembahasan buku ini dan juga buku buku
lainnya yang kami tulis, kami mengambil hujjah, atau berhujjah, atau mengambil
asumsi dasar sebagai berikut:
1.
Setiap manusia adalah
makhluk dwifungsi. Untuk
dapat menggambarkan peran dan maksud dan tujuan dari diciptakannya manusia,
mari kita pelajari 3 (tiga) buah firman Allah SWT berikut ini: Pertama,
Allah SWT berfirman: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari
mereka dan aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya
Allah Dialah Maha pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.
(surat Adz-Dzaariyaat (51) ayat 56-57-58). Berdasarkan
ketentuan ayat ini setiap manusia siapapun orangnya adalah seorang abd’ (hamba)
yang harus mengabdi kepada Allah SWT selaku Rabb bagi setiap umat manusia.
Adanya peran sebagai seorang abd’ (hamba) menunjukkan bahwa seorang abd’
(hamba) terikat dengan ketentuan penghambaan seorang hamba kepada Allah SWT
selaku Tuhan bagi dirinya. Kedua, setiap manusia selain terikat
sebagai seorang abd’ (hamba), ia juga terikat dengan ketentuan sebagai seorang
khalifah Allah SWT di muka bumi, yang bermakna perpanjangan tangan Allah SWT di
muka bumi sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:” Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:” Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (surat Al Baqarah (2) ayat 30).”
Adanya
kekhalifahan di muka bumi maka diharapkan terciptalah apa yang dinamakan dengan
ketenteraman,
ketertiban, serta terpeliharanya apa apa yang diciptakan oleh Allah SWT di muka
bumi sehingga terciptalah kehidupan “toto tenterem, gemah ripah loh jinawi”
oleh sebab keberadaan diri kita. Ketiga,
berdasarkan firman-Nya berikut ini: “Dan (juga) pada
dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada memperhatikan. (surat Adz-Dzariyaat (51) ayat 21). Allah SWT berkehendak kepada setiap manusia,
termasuk kepada diri kita, baik sebagai abd’ (hamba) yang juga khalifah untuk
berpikir lalu memperhatikan dengan seksama tentang keberadaan diri ini melalui
pernyataan-Nya yang berbunyi “apakah kamu tiada memper-hatikan” akan
dirimu sendiri!. Ketahuilah bahwa Kamu adalah hamba-Ku dan kamu juga adalah
khalifah-Ku. Adanya konsep abd’ (hamba) dan juga adanya konsep khalifah yang
melekat pada diri setiap manusia, menunjukkan diri kita adalah makhluk yang
memiliki peran “dwifungsi.” Lalu
sudahkah kita tahu dan memahami konsep dasar ini saat hidup di muka bumi
ini!
2. Setiap manusia adalah
makhluk dwidimensi. Setiap
manusia dikatakan sebagai makhluk dwidimensi dikarenakan setiap manusia
siapapun orangnya pasti terdiri dari unsur jasmani dan unsur ruh. Jasmani
berasal dari saripati tanah sedangkan ruh berasal dan diciptakan oleh Allah SWT dan mulai dipersatukan ke duanya saat masih di dalam rahim seorang
ibu. Sebagaimana dikemukakan dalam surat As Sajdah (32) ayat 7-8-9 berikut ini:
Yang
memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan
manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani).
Kemudian Dia menyempurna kannya dan meniupkan ruh (ciptaan)Nya ke dalam
(tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu,
(tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” Adanya konsep dwidimensi maka
kita harus bisa merawat dan menjaga kesehatan jasmani dan juga kefitrahan ruh
dengan sebaik-baiknya. Jasmani dirawat dengan ilmu kesehatan dan ilmu gizi
serta olah raga, sedangkan ruh dirawat dengan melaksanakan Diinul Islam secara
kaffah.
3. Jasmani asalnya dari
sari pati tanah yang berasal makanan dan minuman yang dikonsumsi dari seorang
bapak dan seorang ibu. Yang mana setiap makanan dan minuman yang akan dikonsumsi
terikat dengan ketentuan yaitu: halal lagi baik (thayyib), membaca Basmallah
dan doa sebelum makan dan minum sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Baqarah
(2) ayat 168 berikut ini: ‘Wahai orang orang yang beriman! Makanlah
dari (makanan) yang halal lagi baik terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah langkah syaitan. Sungguh, syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.” Selain daripada itu,
jasmani memiliki sifat-sifat yang mencerminkan nilai nilai keburukan (insan) dan yang juga memiliki perbuatan
(ahwa) yang berasal dari alam yang paling dikehendaki oleh syaitan. Sedangkan kemampuan fungsi- fungsi jasmani sangat
berhubungan erat dengan posisi usia seseorang. Semakin tua usia seseorang maka
kemampuan fungsi-fungsi jasmani pasti akan mengalami penurunan kemampuan.
Inilah sunnatullah yang pasti berlaku kepada jasmani manusia.
4. Ruh diciptakan oleh
Allah SWT. Ruh
asalnya dari Allah SWT dan dipersatukan dengan jasmani melalui proses peniupan.
Ruh memiliki sifat yang mencerminkan nilai nilai kebaikan (nass) dan juga
memiliki perbuatan (nafs/anfuss) yang mencerminkan nama nama Allah yang indah
lagi baik (Asmaul Husna) melalui proses sibghah. Ruh juga terikat dengan
ketentuan “datang fitrah, kembali harus fitrah untuk dapat bertemu dengan Allah
SWT di tempat yang fitrah (syurga)” yang mengharuskan diri kita mampu
menjalankan konsep “Tahu Diri, Tahu Aturan Main dan Tahu Tujuan Akhir.”. Kemampuan ruh tidak berhubungan langsung dengan
tua atau mudanya seseorang, melainkan sejauh mana diri kita mampu melaksanakan
Diinul Islam secara kaffah. Semakin
kaffah (khusyu’) kita melaksanakan Diinul Islam maka semakin berkualitas atau
semakin fitrah kualitas ruh seseorang.
Untuk itu jangan pernah menjadikan kualitas
(kefitrahan) ruh mengikuti sunnatullah yang berlaku bagi jasmani, yaitu semakin
tua jasmani semakin berkurang kefitrahan ruh. Cukup jasmani saja yang menjadi tua atau berkurang kemampuannya namun
ruh haruslah tetap muda (maksudnya tetap berkualitas, harus tetap fitrah sesuai
dengan kehendak Allah SWT). Ruh yang tetap dalam kondisi fitrah akan sangat
membantu kondisi dan keadaan jasmani yang sedang mengalami penurunan kemampuan,
sehingga kita tetap mampu hidup berkualitas dari waktu ke waktu serta mampu
bermanfaat bagi orang banyak walaupun usia sudah tidak muda lagi bahkan sudah
berada di persimpangan jalan, yaitu dari waktu maghrib menjelang waktu isya.
5. Hidup adalah saat
mulai dipersatukannya ruh dengan jasmani sampai dengan saat dipisahkannya
kembali keduanya.
Lalu jasmani akan dikembalikan ke tanah sedangkan ruh untuk sementara waktu
ditempatkan di alam barzah. Saat ruh dan jasmani dipersatukan (saat hidup) maka
terjadilah tarik menarik antara sifat sifat alamiah jasmani yang mencerminkan
nilai nilai keburukan dengan sifat sifat alamiah ruh yang mencerminkan nilai
bilai kebaikan. Jika sifat-sifat alamiah
jasmani mampu mengalahkan sifat-sifat alamiah ruh maka jiwa kita dikelompokkan
menjadi jiwa fujur (jiwa hewani; jiwa amarah; jiwa musawwilah) sehingga yang
tampil sebagai cerminan diri kita adalah nilai-nilai keburukan yang dikehendaki
oleh syaitan. Sedangkan jika sifat-sifat ruh mampu mengalahkan sifat-sifat
jasmani maka jiwa kita dikelompokkan menjadi jiwa taqwa (jiwa lawwamah; jiwa
muthamainah) sehingga yang tampil sebagai cerminan diri kita adalah nilai-nilai
kebaikan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Untuk itu jangan sampai kita salah menempatkan
diri kita dihadapan Allah SWT yang pada akhirnya membawa diri kita pada
penyesalan yang tiada berujung sehingga menghantarkan kita menjadi penghuni
neraka. Untuk itu sadarilah delapan hal yang kami kemukakan di atas dengan
sebaik baiknya.
Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus juga khalifah-Nya di muka bumi ketahuilah bahwa
setelah dipisahkannya ruhani dengan jasmani, yang ada dan yang tertinggal dari
diri kita di muka bumi ini adalah 2(dua) hal yaitu: jejak-jejak kebaikan
ataukah jejak-jejak keburukan. Adanya jejak-jejak kebaikan ataukah jejak-jejak
keburukan yang tertinggal di muka bumi merupakan tanda mata bahwa kita pernah
ada dan pernah hidup di muka bumi ini. Dan
melalui jejak-jejak kehidupan yang tertinggal inilah maka akan diketahui secara
nyata kualitas diri kita yang sesungguhnya.
Jika
jejak-jejak kebaikan yang kita tinggalkan dan jejak tersebut mampu dinikmati
oleh generasi yang datang dikemudian hari berarti kita telah berumur panjang
dan juga kita telah mampu menjadi kebanggaan bagi anak keturunan kita yang
datang di kemudian hari, yang akhirnya doa akan terus dipanjatkan untuk kita
oleh sebab karya nyata berupa kebaikan yang kita tinggalkan. Namun, jika yang terjadi adalah jejak jejak
keburukan yang kita tinggalkan setelah diri kita tiada berarti berumur
pendeklah diri kita serta hilanglah rasa bangga kepada diri kita yang berasal
dari anak keturunan kita sendiri yang pada akhirnya menjadikan diri kita
menjadi orang yang terlupakan, atau jika disebut nama kita yang diingat oleh
kebanyakan orang adalah keburukan. Semoga kita semua tidak seperti ini.
Dan
untuk itu ketahuilah
bahwa semua
ini (baik kebaikan atau keburukan) hanya bisa terjadi di sisa usia kita yang
kita miliki. Dimana di sisa usia inipun kita masih dibatasi dengan adanya
ketentuan yang lainnya, yaitu: “waktu tidak bisa diputar ulang; kesempatan
hanya datang satu kali; serta menyesal adanya dibelakang hari.” Untuk
itu jangan pernah menunda-nunda jika kita sudah berniat untuk berbuat kebaikan
dalam bentuk karya nyata. Lakukan saat ini juga karena kita tidak pernah
dibatasi oleh Allah SWT untuk melakukan perbuatan baik. Semoga Allah SWT
memudahkan diri kita untuk berbuat kebaikan dalam bentuk karya nyata di sisa
usia yang kita miliki. Amiin.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga sekaligus khalifah-Nya
di muka bumi, sudahkah kita mengenal Allah SWT? Sudahkah kita mengenal diri
sendiri? Dua buah pertanyaan yang mudah, namun jawaban dari pertanyaan ini
sangatlah sukar. Kita tidak bisa sembarangan untuk bisa memiliki ilmunya. Jika
salah maka salah pula pengertian dan pemahamannya. Memiliki ilmu tentang Allah
SWT dan juga ilmu tentang diri sangat penting bagi kepentingan diri baik untuk
kepentingan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.
Untuk
dapat mengenal Allah, kita harus mengenal diri.
Mengenal
Allah itu tidak sulit, yang sulit itu adalah mengenal diri.
Jangan sampai di usia kita yang telah berada
di persimpangan jalan, kita masih sibuk mencari dan menemukan Allah dan jati
diri kita yang sesungguhnya, lalu kapan lagi kita akan menikmati kenikmatan
bertuhankan kepada Allah SWT! Apakah mungkin di sisa usia ini kita masih
memiliki kesempatan untuk itu? Usia
dipersimpangan jalan adalah sesuatu yang pasti sehingga segala sesuatunya harus
dipersiapkan dengan matang. Jika ini kondisinya berarti baik dan buruknya
keadaan di persimpangan jalan sangat ditentukan oleh perjuangan saat masih muda
atau saat usia produktif.
Ingat, terjadinya penyesalan terhadap tidak
memiliki ilmu tentang tahu Allah dan tahu diri di usia persimpangan jalan
bukanlah sesuatu yang harus dikeluhkan. Melainkan buah dari perjalanan hidup
yang abai terhadap hal ini di saat usia muda.
Dan “Ali
bin Thalib ra”, salah seorang sahabat Nabi
SAW pernah mengemukakan tentang betapa pentingnya kita mengenal diri
sebagaimana kami kemukakan berikut ini:
a.
Mengenal diri adalah ilmu yang
paling berguna:
b. Aku heran dengan orang yang mencari barangnya
yang hilang padahal (di saat yang sama) ia kehilangan dirinya namun ia tidak
(berupaya) mencarinya; Dan aku heran dengan orang yang tidak mengenali dirinya
bagaimana ia akan dapat mengenal Tuhannya.;
c.
Puncak makrifat adalah
pengenalan seseorang atas dirinya;
d. Prestasi terbesar (bagi seseorang) adalah
manakala ia berjaya dalam mengenal dirinya;
e. Setiap kali bertambah pengetahuan seseorang, maka akan bertambah pula perhatiannya kepada dirinya dan
ia akan mengerahkan segenap upayanya untuk mengasah dan memperbaikinya.
Dan
agar diri kita termotivasi untuk segera belajar dan memiliki ilmu terutama
tentang mengenal Allah SWT dan mengenal diri sendiri yang dilanjutkan dengan
mengetahui akan menjadi seperti apa diri ini kelak. Apakah yang berjiwa taqwa
ataukah yang berjiwa fujur. Apakah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT
ataukah yang sesuai dengan kehendak Syaitan. Adapun konsekuensi dari kita tidak mengenal Allah SWT dan tidak
mengenal diri akan sangat mempengaruhi proses kematian yang akan kita hadapi
kelak. Bagi orang yang berjiwa taqwa akan menghantarkan dirinya ke husnul
khatimah, sedangkan bagi orang yang berjiwa fujur (berjiwa sesat) akan
menghantarkan dirinya ke suul khatimah. Sedangkan kita tahu bahwa kematian
itu adalah sesuatu yang pasti sehingga segala sesuatunya harus dipersiapkan
dengan matang jauh sebelum kematian itu tiba.
Alangkah
indahnya hidup dan kehidupan ini, apalagi saat berada di persimpangan jalan,
jika kita sudah mengetahui, sudah memahami, sudah menghayati dan sudah pula
mengenal Allah SWT dan mengenal diri yang paling hakiki (memiliki jiwa
muthmainnah) lalu tinggal meraih dan merasakan nikmatnya bertuhankan kepada
Allah SWT yang tercermin dalam perilaku kehidupan yang bermanfaat bagi diri,
keluarga dan masyarakat luas, atau menampilkan kesalehan diri yang tercermin
dalam kesalehan sosial.
Apa
pentingnya kita mempelajari dan memahami serta memiliki ilmu tentang Allah dan juga
tentang tahu diri sendiri sebagaimana telah kami kemukakan di atas? Banyak
manfaat yang melekat jika kita mampu memiliki ilmu tentang Allah (ma’rifatullah)
dan tahu diri sendiri. Sekali lagi kami tegaskan bahwa jati diri kita yang
sesungguhnya bukanlah jasmani melainkan ruh yang asalnya dari Nur Allah SWT.
Untuk
itu mari kita pelajari apa yang dikemukakan oleh “Mirza Mahdi Isfahani” dalam bukunya “Wilayah dan Shalat: Perantara ke Pendekatan
Ilahi”, yang telah mengemukakan
betapa pentingnya mengenal diri (tahu diri), sebagaimana berikut ini:
a. Seorang
yang cerdas adalah yang mengenal dirinya dan melakukan segala sesuatu dengan
ketulusan (ikhlas).
b.
Mengenal
diri itu lebih bermanfaat daripada dua bentuk pengetahuan.
c. Orang
yang banyak tahu (arif) adalah dia yang mengenal dirinya, dan membebaskan dan
menghindarkan dari apapun yang akan menjauhkannya dari Allah SWT.
d. Kebodohan terbesar adalah orang yang tidak mengenal dirinya, sedangkan kearifan terbesar adalah
orang yang mengenal dirinya.
e. Orang
orang yang paling kenal diri mereka, lebih memiliki rasa takut terhadap Tuhan
mereka.
f. Intelektualitas
terbaik adalah pengenalan seseoang terhadap dirinya sendiri. Jadi, siapapun
yang mengenal dirinya maka ia adalah orang yang paling berilmu, sedangkan orang
yang tidak mengenal dirinya, akan jatuh tersesat.
g. Aku
heran kepada orang yang bisa kehilangan sesuatu (miliknya) maka ia (langsung)
mencarinya, sementara kehilangn dirinya, ia tidak mencarinya.
h. Aku heran kepada orang yang tidak mengenal dirinya, bagaimana bisa ia mengenal Tuhannya.
i.
Tujuan
dari pengetahuan bagi seseorang (berilmu) ialah untuk mengenal dirinya.
j. Bagaimana
orang yang tidak mengenal orang lain itu bisa mengenal dirinya sendiri.
k. Cukuplah
dikatakan berilmu seseorang ketika mengenal dirinya. Dan cukuplah dikatakan
bodoh seseorang ketika tidak mengenal dirinya.
l.
Orang
yang mengenal dirinya tidak akan menjadi materialistis.
m. Orang yang mengenal
dirinya akan berjuang dengannya. Dan orang yang tidak mengenal dirinya akan
melalaikannya.
n. Orang yang mengenal
dirinya niscaya mengenal Tuhannya. Dan orang yang mengenal dirinya akan mulia
kedudukannya.
o. Orang yang tidak
mengenal dirinya akan lebih tidak mengenal orang lain. Dan orang yang mengenal
dirinya akan lebih mengenal orang lain.
p. Orang yang mengenal
dirinya berarti telah mencapai tujuan tertinggi dari setiap ilmu dan
pengetahuan.
q. Orang
yang tidak mengenal dirinya niscaya akan menjauh dari jalan keselamatan dan ia
akan jatuh ke dalam penyimpangan dan kebodohan.
r. Pengenalan
diri merupakan bentuk pengenalan yang bermanfaat. Dan orang orang yang meraih
pengenalan diri, akan meraih kemenangan terbesar.
s. Jangan
sampai tidak mengenal dirimu, karena orang yang tidak mengenal dirinya, ia
tidak akan mengenali segala sesuatu.
Secara keseluruhan, pengenalan diri yang kami
kemukakan diatas adalah jalan terbaik dan yang terdekat menuju kesempurnaan,
dan ini tidak perlu diragukan lagi. Bagaimanapun, inilah metode dalam menapaki
jalan keselamatan dan kesempurnaan. Dan sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya
di muka bumi, apa yang anda pikirkan setelah membaca, lalu merenungi tentang
pentingnya mengenal diri. Lalu sudah sampai di posisi manakah kita mengenal
diri sendiri? Apakah hanya sebatas jasmani dan ruhani semata?
Jika
kita hanya tahu sebatas itu, maka sebatas itu pula kita tahu diri sendiri.
Padahal ilmu tentang jasmani dan ruhani sangatlah luas cakupannya dikarenakan
banyak hal yang menyertai keduanya. Ingat,
adanya jasmani dan ruh pada
diri kita, baru menghantarkan diri kita sebagai manusia biasa. Akan tetapi untuk menjadikan
diri kita sukses menjadi abd’ (hamba)-Nya dan yang juga khalifah-Nya di muka
bumi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sehingga mampu pulang kampung ke
syurga, tidak cukup hanya mengandalkan serta bermodalkan jasmani dan ruh semata
namun kita membutuhkan keduanya dalam sebuah keseimbangan, sebagaimana firman-Nya
berikut ini: “Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu.” (surat
Ar Rahmaan (55) ayat 8).”
Dan agar keseimbangan terjadi dalam diri ini maka kita tidak bisa hanya
tahu diri tanpa tahu tentang Allah SWT karena manfaat memiliki ilmu tentang
keduaya sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan ini dan sebaiknya kita harus tahu
diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir dalam satu kesatuan.
Dan untuk menghindari ketimpangan yang
melanda masyarakat modern saat ini, ketika agama telah kehilangan tuhannya sebagaimana
yang dikemukakan oleh “Gus Mus” di atas, maka kesadaran yang seimbang, hidup
dalam keseimbangan antara nalar dan bathin; rasio dan wahyu; fujur dan taqwa;
pahala dan dosa; iman dan syirik; tahu diri dan tahu Allah; kecerdasan dan
kearifan adalah satu kesadaran yang dapat mengintegrasikan kehidupan manusia
agar tidak terjadi ketimpangan itu. Hal
ini dimaksudkan agar manusia mendapatkan kesadaran yang hakiki (kulural) yang
selama ini sering terlupakan. Dan akhirnya untuk menghadapi hidup dan kehidupan
yang penuh dengan tantangan ini menjadi tidaklah mudah. Gaya hidup konsumtif
konsumeris yang dipengaruh oleh peradaban global tidak jarang menuntut umat
Islam bersikap hati hati agar tidak terjebak dalam rayuan dan buaian materi
yang bersifat duniawi.
Disinilah letak betapa pentingnya kita
memiliki ilmu dan pemahaman tentang tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan
akhir, dalam satu kesatuan dalam kerangka menjadikan diri ini menjadi seorang
abd’ (hamba)-Nya yang juga sekaligus khalifah-Nya di muka bumi ini yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT. Lalu bagaimana kita bisa sesuai dengan kehendak
Allah SWT jika kita sendiri tidak pernah memiliki tentang Allah SWT?
Untuk itu ketahuilah bahwa Ilmu tentang Allah
SWT (ilmu ma’rifatullah) adalah asas (dasar) dari segala ilmu pengetahuan. Hal
ini dikarenakan hanya Allah SWT adalah pencipta yang sekaligus pemilik dari
alam semesta ini sehingga Allah SWT sajalah yang paling tahu dan paling
mengerti dan yang paling berkuasa atas segala apa apa yang ada di alam semesta
ini baik yang nyata maupun yang ghaib.
Akhirnya keberadaan segala sesuatu tidak akan
mungkin bisa dipisahkan dengan keberadaan-Nya sehingga seluruh jenis ilmu tanpa
terkecuali akan mengikuti ilmu tentang-Nya dan teramat sangat membutuhkan-Nya.
Sehingga keberadaan segala sesuatu sangat tergantung kepada-Nya, sebagaimana
keberadaan sebuah benda yang tergantung pada pembuatnya dan juga kepada
pemiliknya.
Siapa yang tidak mampu mengenal Tuhannya, maka bagaimana dia akan
tahu tentang ciptaan-Nya termasuk kenal tentang dirinya sendiri. Sebagaimana
firman-Nya berikut ini: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang
lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka
sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik,” (surat Al-Hasyr (59) ayat 19). Ayat ini mengemukakan suatu makna
yang sangat indah, yaitu barangsiapa yang melupakan Tuhannya niscaya Tuhan pun
akan membuat ia lupa kepada dirinya sendiri. Sehingga dia tidak mengenal
hakikat dirinya dan kemaslahatannya sendiri. Bahkan diapun lupa dengan apa saja
yang akan membawanya kepada kebaikan dunia dan akhirat. Dengan demikian, dia
pun akan rusak dan diabaikan seperti binatang. Bahkan, binatang lebih
mengetahui kemaslahatan dirinya karena mengikuti petunjuk (ilham) Sang Pencipta
yang diberikan kepadanya. Sedangkan orang tersebut keluar dari fitrah
penciptaanya, sehingga dia lupa akan Tuhannya terlebih dirinya sendiri.
Di lain sisi, mari kita perhatikan hadits
yang diriwayatkan oleh Masruq ra, ketika ia menemui Abdullah bin Mas’ud, ia
berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Manusia! barangsiapa mengetahui
sesuatu hendaklah ia mengatakan apa yang diketahuinya. Barang siapa yang tidak
mengetahuinya, maka hendaklah ia mengatakan Allah-lah yang Maha Mengetahui.
Karena termasuk ilmu jika ia mengatakan bahwa Allah Maha Tahu,” (Hadits Riwayat
Bukhari).”
Berdasarkan hadits ini maka dapat kita
simpulkan bahwa mengenal Allah (ma’rifatullah) adalah asal dan puncak dari
segala ilmu. Ia adalah asas ilmu hamba tentang kebahagiaan, kesempurnaan dan
kemaslahatan dunia dan juga kemaslatan akhirat. Tidak adanya pengetahuan
tentang Allah mengakibatkan ketidaktahuan tentng dirinya sendiri dan
kemaslahatannya serta apa yang membersihkan dan mendatangkan kebahagiaan bagi
dirinya di dunia dan di akhirat kelak.
Dan Oleh
karenanya, pemahaman tentang Allah yang baik dan benar adalah pangkal kebahagiaan
seorang abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Sedangkan
ketidaktahuan seseorang tentang Allah merupakan pangkal penderitaan hidup yang
berkepanjangan.
Adanya kondisi dan keadaan yang seperti ini mendorong kami untuk terus berkarya
nyata melalui tulisan-tulisan tentang aqidah Islam (buku ketauhidan) dan kami
berharap dengan adanya buku yang berjudul “Route To 1.6.7.99: Jalan Menuju
Ma’rifatullah” mampu menjadikan diri kita, keluarga dan anak keturunan
kita memiliki ilmu tentang Allah SWT yang pada akhirnya mampu menghantarkan
diri kita menuju m’arifatullah serta mampu merasakan betapa nikmatnya
bertuhankan kepada Allah SWT saat hidup di muka bumi ini. Dan semoga hal ini
menjadi kenyataan. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar