Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 12 April 2024

MUKADDIMAH : ROUTE TO 1.6.7.99 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH


Tulisan yang kami sampaikan kepada jamaah dan pembaca sekalian, kami tulis berdasarkan pengajian ketauhidan yang kami dapatkan dari 2 (dua) orang guru, yang pertama adalah “H. Nurdin Hakami”, beliau adalah anak dari Hasyim L Husaini, yang akrab di Sumatra Barat disapa dengan panggilan “Hasyim Tiku”. Dan yang kedua,  kajian ketauhidan ini kami dapatkan dari “H. Bachtiar Ma’ani yang mana beliau adalah guru yang sekaligus orang tua kandung dari kami sendiri. Dan semoga keduanya selalu di dalam limpahan rahmat Allah SWT. Amiin.

 

Buku ini merupakan sebuah karya nyata ilmiah dalam kerangka untuk memulai setahap demi setahap untuk menjadikan buku sebagai jembatan untuk menyeimbangkan “Budaya Tutur” yang sudah melanda sebahagian masyarakat dengan “Budaya Tulis” yang telah mulai hilang. “Budaya Tutur” akan hilang setelah Penuturnya tiada. Akan tetapi jika “Budaya Tulis” yang terjadi, walaupun penulisnya telah tiada, tulisannya akan tetap ada sepanjang jaman, sehingga dapat dipelajari oleh generasi yang datang dikemudian hari. Sekarang apa jadinya jika sampai Bukhari dan Muslim atau perawi hadits lainya, tidak pernah menulis hadits-hadits yang dikumpulkannya menjadi sebuah buku?

 

Tentu kita tidak akan pernah tahu apa yang dinamakan dengan hadits yang perawinya Bukhari dan Muslim atau perawi hadits lainnya dan bahkan tidak pernah terbayangkan oleh para perawi haditsnya sendiri bahwa perjuangannya dalam mengumpulkan dan menuliskan hadits, akan dipakai oleh umat Islam sampai dengan hari kiamat. Adanya kondisi seperti ini, berarti umur dari Bukhari dan Muslim dan perawit hadits lainnya akan tetap ada sampai dengan hari kiamat, walaupun usia beliau sudah tidak ada lagi. Yang menjadi persoalan sekarang adalah maukah kita berumur panjang seperti umur Bukhari dan Muslim? Jika kita bercita cita untuk berumur panjang seperti halnya Bukhari dan Muslim, menulislah atau lakukanlah perbuatan baik dengan melakukan suatu karya nyata yang besar yang dapat dinikmati masyarakat luas dan bisa dinikmati oleh generasi yang datang di kemudian hari atau amalkanlah ilmu yang bermanfaat melalui tulisan atau jadikan “Budaya Tulis” menjadi kebiasaan di tengah masyarakat. Dan semoga buku yang kami tulis ini juga mampu menjadi buku rujukan bagi umat yang bukan beragama Islam (non Muslim) yang berniat untuk mempelajari Diinul Islam yang tidak lain adalah konsep Ilahiah bagi kepentingan rencana besar penghambaaan dan kekhalifahan yang ada di muka bumi secara baik dan benar. Semoga hal ini menjadi kenyataan.

 

Buku ini kami tulis tidak terlepas dari pernyataan dalam bentuk puisi yang berasal dari seorang tokoh nasional yaitu: “KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus)” yang berjudul “Ketika Agama Kehilangan TuhannyaDan inilah isi lengkap dari puisi dimaksud, yaitu:

 

1.  Dulu agama menghancurkan berhala. Kini agama jadi berhala, Tak kenal Tuhannya, yang penting agamanya.

2.    Dulu orang berhenti membunuh karena agama. Sekarang orang saling membunuh karena agama.

3.  Dulu orang saling mengasihi karena beragama. Kini orang saling membenci karena beragama.

4.    Agama tak pernah berubah ajarannya dari dulu. Tuhan pun tak pernah berubah dari dulu. Lalu yang berubah apanya? Manusianya?

5.    Dulu pemimpin agama dipilih berdasarkan kepintarannya, yang paling cerdas di antara orang-orang lainnya. Sekarang orang yang paling dungu yang tidak bisa bersaing dengan orang-orang lainnya, dikirim untuk belajar jadi pemimpin agama.

6.  Dulu orang belajar  agama sebagai modal, untuk mempelajari ilmu lainnya. Sekarang orang malas belajar ilmu lainnya, maunya belajar agama saja.

7.  Dulu para siswa  diajarkan untuk harus belajar giat dan berdoa untuk bisa menempuh ujian. Sekarang siswa malas belajar, tapi sesaat sebelum ujian berdoa paling kencang, karena diajarkan pemimpin agamanya untuk berdoa supaya lulus.

8.    Dulu  agama mempererat hubungan manusia dengan Tuhan. Sekarang manusia jauh dari Tuhan karena terlalu sibuk dengan urusan-urusan agamanya.

9.   Dulu agama ditempuh untuk mencari Wajah Tuhan. Sekarang agama ditempuh untuk cari muka dihadapan Tuhan.

10. Esensi beragama telah dilupakan.Agama  kini hanya komoditi yang menguntung-kan pelaku bisnis berbasis agama, karena semua yang berbau agama telah didewa-dewakan, takkan pernah dianggap salah, tak pernah ditolak, dan jadi keperluan pokok melebihi sandang, pangan, papan. Agama jadi hobi, tren, dan bahkan pelarian karena tak tahu lagi mesti mengerjakan apa.

11.  Agama kini diper-Tuhan-kan, sedang Tuhan itu sendiri dikesampingkan. Agama dulu memuja Tuhan, Agama kini menghujat Tuhan.

12.  Nama Tuhan dijual dan diperdagangkan, dijaminkan, dijadikan murahan, oleh orang-orang yang merusak, membunuh, sambil meneriakkan nama Tuhan. Tuhan mana yang mengajarkan ‘tuk membunuh?! Tuhan mana yang mengajarkan tuk membenci?! Tapi manusia membunuh, membenci, merusak, mengintimidasi, sambil dengan bangga meneriak-kan nama Tuhan, berpikir bahwa Tuhan sedang disenangkan ketika ia menumpahkan darah manusia lainnya.

13.  Agama dijadikan senjata tuk menghabisi manusia lainnya. Dan tanpa disadari manusia sedang merusak reputasi Tuhan, dan sedang mengubur Tuhan dalam-dalam di balik gundukan ayat-ayat dan aturan agama.

 

Dari 13 (tiga belas) pernyataan dalam bentuk puisi yang dikemukakan ole “Gus Mus” di atas, kesemuanya bukanlah sesuatu pernyataan yang biasa-biasa saja, atau sesuatu yang bersifat gurauan (candaan) dari beliau. Namun apa yang dikemukakan oleh beliau tidak bisa dianggap remeh (apalagi diabaikan). Namun kondisinya harus bisa kita perbaiki sehingga dari “sesuatu yang sesuai dengan kehendak syaitan sang laknatullah” harus menjadi “sesuatu yang sesuai dengan kehendak Allah SWT” selaku Tuhan bagi seluruh alam. Disinilah letak betapa pentingnya kita berbuat kebaikan untuk kemaslahatan diri, keluarga, umat, bangsa dan juga negara dengan berperan serta mengambil peran yang sesuatu dengan kemmpuan, minat dan bakat yang kita miliki. Ayo wakafkan waktu dengan belajar yang diiringi dengan mengajar walaupun hanya satu ayat dan kalau bukan saat ini kapan lagi kita berbuat.

 

Di lain sisi, Allah SWT selaku narasumber tunggal AlQuran telah memperingatkan kepada umat manusia, melalui surat Al Alaq (96) ayat 1 sebagaimana berikut ini: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan” Adanya ketentuan ayat ini maka berlakulah hal-hal berikut ini:

 

1.    Apabila kita ingin mempelajari AlQuran melalui proses membaca harus dimulai dengan atas nama Allah SWT yang menciptakan;

2.   Perintah  melaksanakan membaca AlQuran atas nama Tuhanmu yang mencip-takan bukanlah sekedar membaca untuk menghafalkan tanpa makna.

3. Membaca AlQuran haruslah diiringi dengan mampu mengimani, mampu mempelajari, mampu memahami, mampu melaksanakan, mampu mendakwahkan serta mampu menye-barluaskannya serta menjadikan AlQuran sebagai akhlak bagi diri kita.

 

Semoga kita mampu melaksanakan ketiga hal di atas ini dengan baik dan benar, terutama di sisa usia yang kita miliki.

 

Selanjutnya, perlu kami kemukakan bahwa di dalam pembahasan buku ini dan juga buku buku lainnya yang kami tulis, kami mengambil hujjah, atau berhujjah, atau mengambil asumsi dasar sebagai berikut:

 

1.       Setiap manusia adalah makhluk dwifungsi. Untuk dapat menggambarkan peran dan maksud dan tujuan dari diciptakannya manusia, mari kita pelajari 3 (tiga) buah firman Allah SWT berikut ini: Pertama, Allah SWT berfirman: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. (surat Adz-Dzaariyaat (51) ayat 56-57-58). Berdasarkan ketentuan ayat ini setiap manusia siapapun orangnya adalah seorang abd’ (hamba) yang harus mengabdi kepada Allah SWT selaku Rabb bagi setiap umat manusia. Adanya peran sebagai seorang abd’ (hamba) menunjukkan bahwa seorang abd’ (hamba) terikat dengan ketentuan penghambaan seorang hamba kepada Allah SWT selaku Tuhan bagi dirinya. Kedua, setiap manusia selain terikat sebagai seorang abd’ (hamba), ia juga terikat dengan ketentuan sebagai seorang khalifah Allah SWT di muka bumi, yang bermakna perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:” Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata:” Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (surat Al Baqarah (2) ayat 30).”

 

Adanya kekhalifahan di muka bumi maka diharapkan terciptalah apa yang dinamakan dengan ketenteraman, ketertiban, serta terpeliharanya apa apa yang diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi sehingga terciptalah kehidupan “toto tenterem, gemah ripah loh jinawi” oleh sebab keberadaan diri kita. Ketiga, berdasarkan firman-Nya berikut ini: “Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada memperhatikan. (surat Adz-Dzariyaat (51) ayat 21). Allah SWT berkehendak kepada setiap manusia, termasuk kepada diri kita, baik sebagai abd’ (hamba) yang juga khalifah untuk berpikir lalu memperhatikan dengan seksama tentang keberadaan diri ini melalui pernyataan-Nya yang berbunyi “apakah kamu tiada memper-hatikan” akan dirimu sendiri!. Ketahuilah bahwa Kamu adalah hamba-Ku dan kamu juga adalah khalifah-Ku. Adanya konsep abd’ (hamba) dan juga adanya konsep khalifah yang melekat pada diri setiap manusia, menunjukkan diri kita adalah makhluk yang memiliki peran “dwifungsi.” Lalu sudahkah kita tahu dan memahami konsep dasar ini saat hidup di muka bumi ini! 

 

2.   Setiap manusia adalah makhluk dwidimensi. Setiap manusia dikatakan sebagai makhluk dwidimensi dikarenakan setiap manusia siapapun orangnya pasti terdiri dari unsur jasmani dan unsur ruh. Jasmani berasal dari saripati tanah sedangkan ruh berasal dan diciptakan oleh Allah SWT dan mulai dipersatukan ke duanya saat masih di dalam rahim seorang ibu. Sebagaimana dikemukakan dalam surat As Sajdah (32) ayat 7-8-9 berikut ini: Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya  dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurna kannya dan meniupkan ruh (ciptaan)Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” Adanya konsep dwidimensi maka kita harus bisa merawat dan menjaga kesehatan jasmani dan juga kefitrahan ruh dengan sebaik-baiknya. Jasmani dirawat dengan ilmu kesehatan dan ilmu gizi serta olah raga, sedangkan ruh dirawat dengan melaksanakan Diinul Islam secara kaffah.

 

3.    Jasmani asalnya dari sari pati tanah yang berasal makanan dan minuman yang dikonsumsi dari seorang bapak dan seorang ibu. Yang mana setiap makanan dan minuman yang akan dikonsumsi terikat dengan ketentuan yaitu: halal lagi baik (thayyib), membaca Basmallah dan doa sebelum makan dan minum sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 168 berikut ini: ‘Wahai orang orang yang beriman! Makanlah dari (makanan) yang halal lagi baik terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah langkah syaitan. Sungguh, syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”  Selain daripada itu, jasmani memiliki sifat-sifat yang mencerminkan nilai nilai keburukan (insan) dan yang juga memiliki perbuatan (ahwa) yang berasal dari alam yang paling dikehendaki oleh syaitan. Sedangkan kemampuan fungsi- fungsi jasmani sangat berhubungan erat dengan posisi usia seseorang. Semakin tua usia seseorang maka kemampuan fungsi-fungsi jasmani pasti akan mengalami penurunan kemampuan. Inilah sunnatullah yang pasti berlaku kepada jasmani manusia. 

 

4.     Ruh diciptakan oleh Allah SWT. Ruh asalnya dari Allah SWT dan dipersatukan dengan jasmani melalui proses peniupan. Ruh memiliki sifat yang mencerminkan nilai nilai kebaikan (nass) dan juga memiliki perbuatan (nafs/anfuss) yang mencerminkan nama nama Allah yang indah lagi baik (Asmaul Husna) melalui proses sibghah. Ruh juga terikat dengan ketentuan “datang fitrah, kembali harus fitrah untuk dapat bertemu dengan Allah SWT di tempat yang fitrah (syurga)” yang mengharuskan diri kita mampu menjalankan konsep “Tahu Diri, Tahu Aturan Main dan Tahu Tujuan Akhir.”. Kemampuan ruh tidak berhubungan langsung dengan tua atau mudanya seseorang, melainkan sejauh mana diri kita mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah. Semakin kaffah (khusyu’) kita melaksanakan Diinul Islam maka semakin berkualitas atau semakin fitrah kualitas ruh seseorang.

 

Untuk itu jangan pernah menjadikan kualitas (kefitrahan) ruh mengikuti sunnatullah yang berlaku bagi jasmani, yaitu semakin tua jasmani semakin berkurang kefitrahan ruh. Cukup jasmani saja yang menjadi tua atau berkurang kemampuannya namun ruh haruslah tetap muda (maksudnya tetap berkualitas, harus tetap fitrah sesuai dengan kehendak Allah SWT). Ruh yang tetap dalam kondisi fitrah akan sangat membantu kondisi dan keadaan jasmani yang sedang mengalami penurunan kemampuan, sehingga kita tetap mampu hidup berkualitas dari waktu ke waktu serta mampu bermanfaat bagi orang banyak walaupun usia sudah tidak muda lagi bahkan sudah berada di persimpangan jalan, yaitu dari waktu maghrib menjelang waktu isya.

 

5.   Hidup adalah saat mulai dipersatukannya ruh dengan jasmani sampai dengan saat dipisahkannya kembali keduanya. Lalu jasmani akan dikembalikan ke tanah sedangkan ruh untuk sementara waktu ditempatkan di alam barzah. Saat ruh dan jasmani dipersatukan (saat hidup) maka terjadilah tarik menarik antara sifat sifat alamiah jasmani yang mencerminkan nilai nilai keburukan dengan sifat sifat alamiah ruh yang mencerminkan nilai bilai kebaikan. Jika sifat-sifat alamiah jasmani mampu mengalahkan sifat-sifat alamiah ruh maka jiwa kita dikelompokkan menjadi jiwa fujur (jiwa hewani; jiwa amarah; jiwa musawwilah) sehingga yang tampil sebagai cerminan diri kita adalah nilai-nilai keburukan yang dikehendaki oleh syaitan. Sedangkan jika sifat-sifat ruh mampu mengalahkan sifat-sifat jasmani maka jiwa kita dikelompokkan menjadi jiwa taqwa (jiwa lawwamah; jiwa muthamainah) sehingga yang tampil sebagai cerminan diri kita adalah nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Untuk itu jangan sampai kita salah menempatkan diri kita dihadapan Allah SWT yang pada akhirnya membawa diri kita pada penyesalan yang tiada berujung sehingga menghantarkan kita menjadi penghuni neraka. Untuk itu sadarilah delapan hal yang kami kemukakan di atas dengan sebaik baiknya.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus juga khalifah-Nya di muka bumi ketahuilah bahwa setelah dipisahkannya ruhani dengan jasmani, yang ada dan yang tertinggal dari diri kita di muka bumi ini adalah 2(dua) hal yaitu: jejak-jejak kebaikan ataukah jejak-jejak keburukan. Adanya jejak-jejak kebaikan ataukah jejak-jejak keburukan yang tertinggal di muka bumi merupakan tanda mata bahwa kita pernah ada dan pernah hidup di muka bumi ini. Dan melalui jejak-jejak kehidupan yang tertinggal inilah maka akan diketahui secara nyata kualitas diri kita yang sesungguhnya.

 

Jika jejak-jejak kebaikan yang kita tinggalkan dan jejak tersebut mampu dinikmati oleh generasi yang datang dikemudian hari berarti kita telah berumur panjang dan juga kita telah mampu menjadi kebanggaan bagi anak keturunan kita yang datang di kemudian hari, yang akhirnya doa akan terus dipanjatkan untuk kita oleh sebab karya nyata berupa kebaikan yang kita tinggalkan. Namun, jika yang terjadi adalah jejak jejak keburukan yang kita tinggalkan setelah diri kita tiada berarti berumur pendeklah diri kita serta hilanglah rasa bangga kepada diri kita yang berasal dari anak keturunan kita sendiri yang pada akhirnya menjadikan diri kita menjadi orang yang terlupakan, atau jika disebut nama kita yang diingat oleh kebanyakan orang adalah keburukan. Semoga kita semua tidak seperti ini.

 

Dan untuk itu ketahuilah bahwa semua ini (baik kebaikan atau keburukan) hanya bisa terjadi di sisa usia kita yang kita miliki. Dimana di sisa usia inipun kita masih dibatasi dengan adanya ketentuan yang lainnya, yaitu: “waktu tidak bisa diputar ulang; kesempatan hanya datang satu kali; serta menyesal adanya dibelakang hari.” Untuk itu jangan pernah menunda-nunda jika kita sudah berniat untuk berbuat kebaikan dalam bentuk karya nyata. Lakukan saat ini juga karena kita tidak pernah dibatasi oleh Allah SWT untuk melakukan perbuatan baik. Semoga Allah SWT memudahkan diri kita untuk berbuat kebaikan dalam bentuk karya nyata di sisa usia yang kita miliki. Amiin. 

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, sudahkah kita mengenal Allah SWT? Sudahkah kita mengenal diri sendiri? Dua buah pertanyaan yang mudah, namun jawaban dari pertanyaan ini sangatlah sukar. Kita tidak bisa sembarangan untuk bisa memiliki ilmunya. Jika salah maka salah pula pengertian dan pemahamannya. Memiliki ilmu tentang Allah SWT dan juga ilmu tentang diri sangat penting bagi kepentingan diri baik untuk kepentingan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.     

 

Untuk dapat mengenal Allah, kita harus mengenal diri.

Mengenal Allah itu tidak sulit, yang sulit itu adalah mengenal diri.

 

Jangan sampai di usia kita yang telah berada di persimpangan jalan, kita masih sibuk mencari dan menemukan Allah dan jati diri kita yang sesungguhnya, lalu kapan lagi kita akan menikmati kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT! Apakah mungkin di sisa usia ini kita masih memiliki kesempatan untuk itu? Usia dipersimpangan jalan adalah sesuatu yang pasti sehingga segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan matang. Jika ini kondisinya berarti baik dan buruknya keadaan di persimpangan jalan sangat ditentukan oleh perjuangan saat masih muda atau saat usia produktif.

 

Ingat, terjadinya penyesalan terhadap tidak memiliki ilmu tentang tahu Allah dan tahu diri di usia persimpangan jalan bukanlah sesuatu yang harus dikeluhkan. Melainkan buah dari perjalanan hidup yang abai terhadap hal ini di saat usia muda.

 

Dan “Ali bin Thalib ra”, salah seorang sahabat Nabi SAW pernah mengemukakan tentang betapa pentingnya kita mengenal diri sebagaimana kami kemukakan berikut ini:

 

a.        Mengenal diri adalah ilmu yang paling berguna:

b.    Aku heran dengan orang yang mencari barangnya yang hilang padahal (di saat yang sama) ia kehilangan dirinya namun ia tidak (berupaya) mencarinya; Dan aku heran dengan orang yang tidak mengenali dirinya bagaimana ia akan dapat mengenal Tuhannya.;

c.        Puncak makrifat adalah pengenalan seseorang atas dirinya;

d.   Prestasi terbesar (bagi seseorang) adalah manakala ia berjaya dalam mengenal dirinya;

e.  Setiap kali bertambah  pengetahuan seseorang, maka akan bertambah pula perhatiannya kepada dirinya dan ia akan mengerahkan segenap upayanya untuk mengasah dan memperbaikinya.

 

Dan agar diri kita termotivasi untuk segera belajar dan memiliki ilmu terutama tentang mengenal Allah SWT dan mengenal diri sendiri yang dilanjutkan dengan mengetahui akan menjadi seperti apa diri ini kelak. Apakah yang berjiwa taqwa ataukah yang berjiwa fujur. Apakah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT ataukah yang sesuai dengan kehendak Syaitan. Adapun konsekuensi dari kita tidak mengenal Allah SWT dan tidak mengenal diri akan sangat mempengaruhi proses kematian yang akan kita hadapi kelak. Bagi orang yang berjiwa taqwa akan menghantarkan dirinya ke husnul khatimah, sedangkan bagi orang yang berjiwa fujur (berjiwa sesat) akan menghantarkan dirinya ke suul khatimah. Sedangkan kita tahu bahwa kematian itu adalah sesuatu yang pasti sehingga segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan matang jauh sebelum kematian itu tiba.

 

Alangkah indahnya hidup dan kehidupan ini, apalagi saat berada di persimpangan jalan, jika kita sudah mengetahui, sudah memahami, sudah menghayati dan sudah pula mengenal Allah SWT dan mengenal diri yang paling hakiki (memiliki jiwa muthmainnah) lalu tinggal meraih dan merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT yang tercermin dalam perilaku kehidupan yang bermanfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat luas, atau menampilkan kesalehan diri yang tercermin dalam kesalehan sosial.

 

Apa pentingnya kita mempelajari dan memahami serta memiliki ilmu tentang Allah dan juga tentang tahu diri sendiri sebagaimana telah kami kemukakan di atas? Banyak manfaat yang melekat jika kita mampu memiliki ilmu tentang Allah (ma’rifatullah) dan tahu diri sendiri. Sekali lagi kami tegaskan bahwa jati diri kita yang sesungguhnya bukanlah jasmani melainkan ruh yang asalnya dari Nur Allah SWT.

 

Untuk itu mari kita pelajari apa yang dikemukakan oleh “Mirza Mahdi Isfahani dalam bukunya “Wilayah dan Shalat: Perantara ke Pendekatan Ilahi”,  yang telah mengemukakan betapa pentingnya mengenal diri (tahu diri), sebagaimana berikut ini:

 

a.      Seorang yang cerdas adalah yang mengenal dirinya dan melakukan segala sesuatu dengan ketulusan (ikhlas).

b.        Mengenal diri itu lebih bermanfaat daripada dua bentuk pengetahuan.

c. Orang yang banyak tahu (arif) adalah dia yang mengenal dirinya, dan membebaskan dan menghindarkan dari apapun yang akan menjauhkannya dari Allah SWT.

d.   Kebodohan  terbesar  adalah  orang yang tidak mengenal dirinya, sedangkan kearifan terbesar adalah orang yang mengenal dirinya.

e.    Orang orang yang paling kenal diri mereka, lebih memiliki rasa takut terhadap Tuhan mereka.

f.       Intelektualitas terbaik adalah pengenalan seseoang terhadap dirinya sendiri. Jadi, siapapun yang mengenal dirinya maka ia adalah orang yang paling berilmu, sedangkan orang yang tidak mengenal dirinya, akan jatuh tersesat.

g.  Aku heran kepada orang yang bisa kehilangan sesuatu (miliknya) maka ia (langsung) mencarinya, sementara kehilangn dirinya, ia tidak mencarinya.

h.   Aku heran  kepada  orang  yang  tidak  mengenal dirinya, bagaimana bisa ia mengenal Tuhannya.

i.         Tujuan dari pengetahuan bagi seseorang (berilmu) ialah untuk mengenal dirinya.

j.    Bagaimana orang  yang  tidak  mengenal orang lain itu bisa mengenal dirinya sendiri.

k.   Cukuplah dikatakan berilmu seseorang ketika mengenal dirinya. Dan cukuplah dikatakan bodoh seseorang ketika tidak mengenal dirinya.

l.          Orang yang mengenal dirinya tidak akan menjadi materialistis.

m.   Orang yang mengenal dirinya akan berjuang dengannya. Dan orang yang tidak mengenal dirinya akan melalaikannya.

n.  Orang yang mengenal dirinya niscaya mengenal Tuhannya. Dan orang yang mengenal dirinya akan mulia kedudukannya.

o.    Orang yang tidak mengenal dirinya akan lebih tidak mengenal orang lain. Dan orang yang mengenal dirinya akan lebih mengenal orang lain.

p.    Orang yang mengenal dirinya berarti telah mencapai tujuan tertinggi dari setiap ilmu dan pengetahuan.

q.     Orang yang tidak mengenal dirinya niscaya akan menjauh dari jalan keselamatan dan ia akan jatuh ke dalam penyimpangan dan kebodohan.

r.     Pengenalan diri merupakan bentuk pengenalan yang bermanfaat. Dan orang orang yang meraih pengenalan diri, akan meraih kemenangan terbesar.

s.      Jangan sampai tidak mengenal dirimu, karena orang yang tidak mengenal dirinya, ia tidak akan mengenali segala sesuatu.

 

Secara keseluruhan, pengenalan diri yang kami kemukakan diatas adalah jalan terbaik dan yang terdekat menuju kesempurnaan, dan ini tidak perlu diragukan lagi. Bagaimanapun, inilah metode dalam menapaki jalan keselamatan dan kesempurnaan. Dan sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, apa yang anda pikirkan setelah membaca, lalu merenungi tentang pentingnya mengenal diri. Lalu sudah sampai di posisi manakah kita mengenal diri sendiri? Apakah hanya sebatas jasmani dan ruhani semata?

 

Jika kita hanya tahu sebatas itu, maka sebatas itu pula kita tahu diri sendiri. Padahal ilmu tentang jasmani dan ruhani sangatlah luas cakupannya dikarenakan banyak hal yang menyertai keduanya. Ingat, adanya jasmani dan ruh pada diri kita, baru menghantarkan diri kita sebagai manusia biasa. Akan tetapi untuk menjadikan diri kita sukses menjadi abd’ (hamba)-Nya dan yang juga khalifah-Nya di muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sehingga mampu pulang kampung ke syurga, tidak cukup hanya mengandalkan serta bermodalkan jasmani dan ruh semata namun kita membutuhkan keduanya dalam sebuah keseimbangan, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu.(surat Ar Rahmaan (55) ayat 8).”

 

Dan agar keseimbangan terjadi dalam diri ini maka kita tidak bisa hanya tahu diri tanpa tahu tentang Allah SWT karena manfaat memiliki ilmu tentang keduaya sangatlah dibutuhkan dalam kehidupan ini dan sebaiknya kita harus tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir dalam satu kesatuan.

 

Dan untuk menghindari ketimpangan yang melanda masyarakat modern saat ini, ketika agama telah kehilangan tuhannya sebagaimana yang dikemukakan oleh “Gus Mus” di atas, maka kesadaran yang seimbang, hidup dalam keseimbangan antara nalar dan bathin; rasio dan wahyu; fujur dan taqwa; pahala dan dosa; iman dan syirik; tahu diri dan tahu Allah; kecerdasan dan kearifan adalah satu kesadaran yang dapat mengintegrasikan kehidupan manusia agar tidak terjadi ketimpangan itu. Hal ini dimaksudkan agar manusia mendapatkan kesadaran yang hakiki (kulural) yang selama ini sering terlupakan. Dan akhirnya untuk menghadapi hidup dan kehidupan yang penuh dengan tantangan ini menjadi tidaklah mudah. Gaya hidup konsumtif konsumeris yang dipengaruh oleh peradaban global tidak jarang menuntut umat Islam bersikap hati hati agar tidak terjebak dalam rayuan dan buaian materi yang bersifat duniawi.

 

Disinilah letak betapa pentingnya kita memiliki ilmu dan pemahaman tentang tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir, dalam satu kesatuan dalam kerangka menjadikan diri ini menjadi seorang abd’ (hamba)-Nya yang juga sekaligus khalifah-Nya di muka bumi ini yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Lalu bagaimana kita bisa sesuai dengan kehendak Allah SWT jika kita sendiri tidak pernah memiliki tentang Allah SWT?

 

Untuk itu ketahuilah bahwa Ilmu tentang Allah SWT (ilmu ma’rifatullah) adalah asas (dasar) dari segala ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan hanya Allah SWT adalah pencipta yang sekaligus pemilik dari alam semesta ini sehingga Allah SWT sajalah yang paling tahu dan paling mengerti dan yang paling berkuasa atas segala apa apa yang ada di alam semesta ini baik yang nyata maupun yang ghaib.

 

Akhirnya keberadaan segala sesuatu tidak akan mungkin bisa dipisahkan dengan keberadaan-Nya sehingga seluruh jenis ilmu tanpa terkecuali akan mengikuti ilmu tentang-Nya dan teramat sangat membutuhkan-Nya. Sehingga keberadaan segala sesuatu sangat tergantung kepada-Nya, sebagaimana keberadaan sebuah benda yang tergantung pada pembuatnya dan juga kepada pemiliknya.

 

Siapa yang tidak mampu  mengenal Tuhannya, maka bagaimana dia akan tahu tentang ciptaan-Nya termasuk kenal tentang dirinya sendiri. Sebagaimana firman-Nya berikut ini: Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik,” (surat Al-Hasyr (59) ayat  19). Ayat ini mengemukakan suatu makna yang sangat indah, yaitu barangsiapa yang melupakan Tuhannya niscaya Tuhan pun akan membuat ia lupa kepada dirinya sendiri. Sehingga dia tidak mengenal hakikat dirinya dan kemaslahatannya sendiri. Bahkan diapun lupa dengan apa saja yang akan membawanya kepada kebaikan dunia dan akhirat. Dengan demikian, dia pun akan rusak dan diabaikan seperti binatang. Bahkan, binatang lebih mengetahui kemaslahatan dirinya karena mengikuti petunjuk (ilham) Sang Pencipta yang diberikan kepadanya. Sedangkan orang tersebut keluar dari fitrah penciptaanya, sehingga dia lupa akan Tuhannya terlebih dirinya sendiri.

 

Di lain sisi, mari kita perhatikan hadits yang diriwayatkan oleh Masruq ra, ketika ia menemui Abdullah bin Mas’ud, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Manusia! barangsiapa mengetahui sesuatu hendaklah ia mengatakan apa yang diketahuinya. Barang siapa yang tidak mengetahuinya, maka hendaklah ia mengatakan Allah-lah yang Maha Mengetahui. Karena termasuk ilmu jika ia mengatakan bahwa Allah Maha Tahu,” (Hadits Riwayat Bukhari).”

 

Berdasarkan hadits ini maka dapat kita simpulkan bahwa mengenal Allah (ma’rifatullah) adalah asal dan puncak dari segala ilmu. Ia adalah asas ilmu hamba tentang kebahagiaan, kesempurnaan dan kemaslahatan dunia dan juga kemaslatan akhirat. Tidak adanya pengetahuan tentang Allah mengakibatkan ketidaktahuan tentng dirinya sendiri dan kemaslahatannya serta apa yang membersihkan dan mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya di dunia dan di akhirat kelak.

 

Dan Oleh karenanya, pemahaman tentang Allah yang baik dan benar adalah pangkal kebahagiaan seorang abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Sedangkan ketidaktahuan seseorang tentang Allah merupakan pangkal penderitaan hidup yang berkepanjangan. Adanya kondisi dan keadaan yang seperti ini mendorong kami untuk terus berkarya nyata melalui tulisan-tulisan tentang aqidah Islam (buku ketauhidan) dan kami berharap dengan adanya buku yang berjudul “Route To 1.6.7.99: Jalan Menuju Ma’rifatullah” mampu menjadikan diri kita, keluarga dan anak keturunan kita memiliki ilmu tentang Allah SWT yang pada akhirnya mampu menghantarkan diri kita menuju m’arifatullah serta mampu merasakan betapa nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT saat hidup di muka bumi ini. Dan semoga hal ini menjadi kenyataan. Amiin.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar