F. DIMANAKAH ALLAH SWT?
Sebelum kami membahas tentang dimanakah Allah SWT berada, perkenankan
kami mengemukakan ilustrasi sebagai berikut: Ibukota Negara Republik Indonesia
adalah Jakarta. Presiden Republik Indonesia berkedudukan di ibukota, yaitu di
Istana Negara, Jakarta. Jika wilayah territorial Indonesia membentang dari
Sabang sampai Merauke berarti daerah kekuasaan dan juga daerah pengawasan serta
tanggung jawab dari Presiden Republik Indonesia seluas itu juga. Adanya kondisi
seperti ini dapat dikatakan, walaupun secara phisik Presiden Republik Indonesia
ada di Jakarta, namun secara kekuasaan, secara pengawasan dan secara tanggung
jawab, Presiden Republik Indonesia ada dari Sabang sampai Merauke. Timbul
pertanyaan adakah Presiden Republik Indonesia di kota Merauke atau di kota
Sabang?
Secara phisik Presiden Republik Indonesia tidak ada di kota Merauke
ataupun di kota Sabang, karena Presiden ada di Ibukota. Akan tetapi secara
kekuasaan, secara tanggung jawab, secara pengawasan, keberadaan Presiden
Republik Indonesia ada pada seantero wilayah teritoral Indonesia. Sekarang
berapa jaraknya antara Presiden Republik Indonesia dengan warganegara
Indonesia? Secara phisik antara Presiden Republik Indonesia dengan warganegara
Indonesia memiliki jarak, semakin jauh dari ibukota semakin jauh jaraknya. Akan
tetapi secara kekuasaan, secara pengawasan dan secara tanggung jawab Presiden
Republik Indonesia dengan warganya sudah tidak berjarak lagi, sepanjang
warganegara Indonesia mau mengakui keberadaan Presiden Republik Indonesia.
Jika Presiden Republik Indonesia saja bisa seperti itu dengan warganegara
Indonesia, sekarang bagaimana dengan Allah SWT selaku pencipta dan pemilik
dengan diri kita selaku ciptaanNya? Hal yang sama juga berlaku pada Allah SWT
dengan diri kita yaitu Dzat Allah SWT
beserta seluruh sifat Salbiyah yang dimiliki-Nya, sifat Ma’ani yang
dimiliki-Nya serta dan Asmaul Husna yang dimiliki-Nya, semuanya ada bersemayam
di tempat dan kedudukan Allah SWT, dalam hal ini Arsy. Apa dasarnya?
Berdasarkan surat Yunus (10) ayat 3 yang kami kemukakan berikut ini: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala
urusan. tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya.
(Dzat) yang demikian Itulah Allah, Tuhan kamu, Maka sembahlah Dia. Maka Apakah
kamu tidak mengambil pelajaran? (surat Yunus (10) ayat 3). Dzat Allah SWT bersemayam di Arsy,
atau Allah SWT berkedudukan tetap di Arsy dan melalui Arsy pula Allah SWT mengatur
segala urusan yang menyangkut seluruh kepentingan makhluk yang diciptakannya,
termasuk di dalamnya urusan diri kita dan urusan anak keturunan kita.
Lalu dimanakah letaknya Arsy itu dan berapakah jaraknya Arsy itu dengan
bumi yang saat ini sedang kita tempati? Berdasarkan hadits Isra Mi’raj di dapat
keterangan Arsy itu berada di uar ciptaan Allah SWT dalam hal ini berada di
atas Sidratul Muntaha. Dimana sidratul muntaha adalah suatu lapisan pemisah
antara langit yang ke tujuh dengan arsy, sehingga arsy merupakan tempat yang
paling tinggi dan disanalah Dzat Yang Maha Tinggi, yaitu Allah SWT bersemayam.
Adanya informasi ini maka dapat kita katakan bahwa kedudukan Dzat Allah SWT
tidak berkedudukan yang sama dengan segala ciptaanNya. Jarak Arsy dengan bumi
adalah sejauh lima puluh ribu tahun perjalanan cahaya sebagaimana dikemukakan
dalam surat Al Ma’aarij (70) ayat 4 berikut ini: “malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap)
kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.[1510]
[1510] Maksudnya:
malaikat-malaikat dan Jibril jika menghadap Tuhan memakan waktu satu hari.
apabila dilakukan oleh manusia, memakan waktu limapuluh ribu tahun.
Adanya kondisi ini
terlihat dengan jelas bahwa antara diri kita dengan tempat bersemayam-nya Dzat
Allah SWT memiliki jarak yang begitu jauh dan yang juga berarti bahwa Allah SWT
tidaklah ghaib di alam semesta ini, namun sangat jauh jaraknya jika ditinjau
dari sisi kedudukan dzatNya yang berada di Arsy. Sekarang sanggupkah manusia
menuju Arsy, atau adakah teknologi transportasi yang dapat menjangkau ke Arsy?
Untuk itu mari kita perhatikan dengan seksama keterangan yang ada pada surat
Yunus (10) ayat 3 dibandingkan dengan keterangan yang ada pada surat Al Baqarah
(2) ayat 186 berikut ini: “dan apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat.
aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (surat Al Baqarah (2)
ayat 186).” dan
juga berdasarkan surat Qaaf (50) ayat 16 berikut ini: “dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa
yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat
lehernya, (surat Qaaf (50) ayat 16).” tentang dimanakah Allah SWT berada?
Jika kita perhatikan
ketiga ayat yang kami kemukakan, akan terlihat dengan jelas ada sesuatu yang
bersifat kontradiktif, atau ada sesuatu
yang saling tidak berkesesuaian. Di satu sisi Dzat Allah SWT ada di Arsy, di
lain sisi Allah SWT dijelaskan sangat dekat dengan diri kita, sehingga lebih
dekat daripada urat leher kita. Timbul pertanyaan, kenapa bisa begini, apa ada
yang salah dengan Allah SWT? Apa yang dikemukakan oleh Allah SWT tidak ada yang
salah sama sekali, semuanya benar adanya. Hal ini dikarenakan surat Yunus (10)
ayat 3 menerangkan yang ada di Arsy itu adalah tempat bersemayamnya Dzat Allah
SWT, dalam hal ini seperti halnya Presiden Republik Indonesia yang berkedudukan
tetap di Ibukota, yaitu di Istana Negara, Jakarta.
Sedangkan surat Al
Baqarah (2) ayat 186 dan surat Qaaf (50) ayat 16 yang kami kemukakan di atas,
bukanlah menerangkan tentang tempat dan kedudukan dari Dzat Allah SWT. Akan
tetapi menerangkan tentang begitu dekatnya sifat Ma’ani dari Allah SWT dan juga
Asmaul Husna dari Allah SWT kepada diri kita. Sehingga kita semua sudah berada
di dalam dan bersama kekuasaan Allah SWT, sehingga kita semua sudah berada di
dalam dan bersama pertolongan Allah SWT, sehingga kita semua sudah berada di
dalam dan bersama ilmu Allah SWT, yang pada akhirnya kita semua yang ada di
muka bumi ini tidak bisa melepaskan diri dari sifat Ma’ani dan Asmaul Husna
yang dimiliki Allah SWT. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada kita semua bahwa
keberadaan dan Allah SWT ada di
mana-mana, ada di seluruh apa-apa yang telah diciptakan Allah SWT, sehingga
diri kitapun tidak bisa terlepas dari keberadaan Allah SWT jika dilihat dari
sisi sifat Ma’ani dan Asmaul Husna yang dimiliki-Nya. Selanjutnya berdasarkan
apa yang kami kemukakan di atas, kita dapat menyimpulkan 2(dua) hal penting
tentang keberadaan Allah SWT ada dimana, yaitu:
1. Allah SWT berada di Arsy jika ditinjau dari sisi
Dzat-Nya, hal ini tidak ubahnya dengan Presiden Republik Indonesia yang
berkedudukan tetap di Ibukota, Jakarta. Adanya kondisi ini berarti antara diri
kita dengan Dzat Allah SWT memiliki jarak yang mustahil dapat kita jangkau,
terkecuali Nabi kita, Nabi Muhammad SAW
yang pernah diundang langsung oleh Allah SWT melalui peristiwa Isra Mi’raj;
2. Allah SWT ada bersama seluruh ciptaan-Nya sampai dengan
kapanpun juga, jika ditinjau dari sisi sifat Ma’ani yang dimiliki-Nya serta
berdasarkan Asmaul Husna yang termaktub di dalam Nama-Nama Allah SWT Yang Indah
lagi Baik. Jika ini yang terjadi maka
kekuasaan Allah SWT akan ada dimana-mana, pendengaran dan penglihatan
akan ada dimana-mana, tanggung jawab Allah SWT akan ada di mana-mana, ilmu
Allah SWT akan ada di mana-mana, kasih sayang Allah SWT akan ada di mana-mana.
Hal ini tidak ubahnya dengan kekuasaan, tanggung jawab Presiden Republik
Indonesia yang akan ada di seluruh teritorial Indonesia yaitu dari Sabang
sampai Merauke.
Sebagai abd (hamba)Nya
yang juga sekaligus khalifahNya di muka bumi, sudah tahukah kita dengan kondisi
ini, sudah mengertikah kita dengan kondisi ini, lalu sudahkah kita mampu
menempatkan secara patut dan pantas dimana Allah SWT sudah berada di dalam
kehidupan kita sehari-hari?
Katakan saat ini kita
telah mengetahui keberadaan Allah SWT ada di mana, baik ditinjau dari sisi Dzat
maupun dari sisi sifat Ma’ani dan Asmaul Husna yang dimiliki-Nya. Timbul
pertanyaan, berjarakkah kebesaran dan kemahaan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna
yang dimiliki Allah SWT dengan diri kita, atau berjarakkah pendengaran dan
penglihatan Allah SWT dengan diri kita, memiliki jarakkah pertolongan Allah SWT
dengan diri kita, berjarakkah ilmu Allah SWT yang akan diberikan kepada diri
kita dengan diri kita sendiri, atau memiliki jarakkah kasih sayang Allah SWT
kepada diri kita? Seperti telah kita ketahui bersama bahwa setiap ciptaan yang
telah diciptakan oleh Allah SWT tidak akan mungkin bisa dipisahkan dengan Allah
SWT selaku penciptanya, karena setiap ciptaan diciptakan oleh Allah SWT
berdasarkan adanya Kehendak, Kemampuan dan Ilmu yang dimiliki oleh Allah SWT.
Adanya kondisi ini berarti setiap ciptaan yang diciptakan oleh Allah SWT
merupakan Tanda-Tanda dari Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT serta dibalik
ciptaan itu tersembunyi Allah SWT, sehingga
disetiap ciptaan yang diciptakan oleh Allah SWT pasti tidak bisa
dilepaskan dari Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT itu sendiri. Lalu bagaimana
dengan diri kita?
Hal yang samapun
berlaku pada diri kita, yaitu diri kita adalah ciptaan Allah SWT, dan diri kita
juga adalah Tanda-Tanda dari Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT serta dibalik
diri kita tersembunyi Allah SWT sehingga kita juga tidak bisa melepaskan diri
dari Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT. Selanjutnya jika ini adalah kondisi
dasar dari Allah SWT kepada setiap yang diciptakan-Nya berarti sampai dengan
kapanpun juga Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT akan selalu menyertai diri kita
dimanapun kita berada, atau kita sudah berada di dalam Kebesaran dan Kemahaan
Allah SWT kapanpun dan dimanapun juga. Berjarak atau tidaknya Kebesaran dan
Kemahaan Allah SWT, atau berjarak atau
tidaknya kekuasaan, pertolongan, ilmu, kasih sayang Allah SWT kepada diri kita
sangat tergantung kepada diri kita sendiri. Apa maksudnya? Jika kita mengacu
kepada ketentuan hadits qudsi yang kami kemukakan berikut ini: Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Aku
selalu menurutkan persangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku, jika berprasangka
baik, maka ia dapat balasannya, demikian pula bila ia berprasangka jahat, maka
ia mendapat balasannya. (Hadits Qudsi Riwayat Ahmad, Muslim, Atthabarani, Ibn
Annajjar: 272:73).”
Untuk itu ketahuilah
bahwa persepsi kita, persangkaan kita, keyakinan kita sangat memegang peranan
penting di dalam menentukan berjarak,
atau tidaknya antara diri kita dengan kekuasaan Allah SWT, dengan pertolongan
Allah SWT, dengan Ilmu Allah SWT, dengan kasih sayang dan dengan perlindungan
Allah SWT, atau dengan Allah SWT itu sendiri (maksudnya bukan dengan Dzat Allah
SWT). Sekarang pilihan jarak keberadaan
Allah SWT kepada diri kita ada pada diri kita sendiri, atau diri kita
sendirilah yang menentukan. Jika pilihan diri kita bahwa Allah SWT itu
berjarak maka jangan pernah salahkan Allah SWT jika apa yang sudah
diperuntukkan untuk diri kita semuanya akan berjarak dan jika pilihan diri kita
bahwa Allah SWT tidak berjarak maka apa yang sudah diperuntukkan oleh Allah SWT
untuk diri kita semuanya tidak berjarak lagi.
Sebagai abd’ (hamba)Nya
yang sekaligus khalifahNya yang sedang menumpang di langit dan di muka bumi
Allah SWT. Berhati-hatilah dengan persepsi kita kepada Allah SWT. Berhati-hatilah
dengan persangkaan kita kepada Allah SWT dan berhati-hatilah pula dengan
keyakinan kita kepada Allah SWT. Hal ini karena jika kita salah menempatkan,
atau salah menetapkan persepsi, salah mempersangkaan dan salah dalam keyakinan
kita kepada Allah SWT maka apa yang seharusnya dapat kita peroleh justru
menjadi gagal karena ulah kita sendiri yang tidak mampu menempatkan dan
meletakkan kemahaan dan kebesaran Allah SWT ada di mana sehingga kita tidak
tahu Allah SWT ada dimana.
Selanjutnya ada hal penting lainnya yang harus kami kemukakan yaitu Allah
SWT tidak ghaib di alam dan esa di alam. Apa maksudnya dan apa dasarnya?
Berdasarkan surat Al A’raaf (7) ayat 7 yang kami kemukakan berikut ini: Maka Sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah
mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami
sekali-kali tidak jauh (dari mereka). Allah SWT
itu ada dan tidak pernah jauh dari makhluk-Nya. Sekarang bagaimana mungkin jika
sampai Allah SWT tidak ada sedangkan segala apa yang diciptakan-Nya ada
(maksudnya langit, bumi, udara, air, manusia, binatang, tumbuhan ada), atau
apakah seluruh yang ada di alam semesta ini ada dengan sendirinya tanpa ada
yang menciptakan?
Adanya hal ini menunjukkan kepada diri kita bahwa keberadaan diri kita
ada di muka bumi saat ini karena Allah SWT itu ada, atau karena adanya kemampuan
(qudrat), kehendak (iradat) dan ilmu Allah SWT maka langit dan bumi dengan
segala isinya ada. Di lain sisi jika Allah SWT menampakkan diri kepada
ciptaannya, maka hancur luluh lantahlah seluruh alam semesta ini karena tidak
mampu menahan kebesaran dan kemahaan Allah SWT. Dan jika sekarang ada Tuhan lain selain Allah SWT di alam semesta ini,
apakah mungkin Tuhan lain itu memiliki sifat Salbiyah yang enam, sifat Ma’ani
yang tujuh dan Asmaul Husna yang termaktub di dalam 99 (sembilan puluh
sembilan) Nama-Nama Allah SWT Yang Indah lagi Baik?
Yang pasti sampai dengan kapanpun juga hanya Allah SWTlah satu-satunya
Tuhan yang ada di alam semesta ini. Lalu apakah Tuhan-Tuhan lain mampu menciptakan
segala sesuatu seperti yang diciptakan oleh Allah SWT, katakan menciptakan
nyamuk seperti nyamuk yang diciptakan oleh Allah SWT, atau menciptakan darah
untuk manusia seperti darah yang diciptakan Allah SWT atau menerbitkan matahari
dari barat? Yang pasti sampai dengan kapanpun tidak akan ada Tuhan lain yang
mampu menciptakan nyamuk dan darah seperti nyamuk dan darah yang diciptakan
oleh Allah SWT. Untuk itu jika kita bertemu, atau berjumpa dengan orang yang
telah menyatakan dirinya Tuhan, atau jika ada orang yang mengaku-ngaku dirinya
Tuhan, tolong buktikan apa yang dikatakannya tersebut dengan menyuruh orang
tersebut menciptakan sesuatu seperti yang diciptakan oleh Allah SWT, apakah
mereka mampu pula menerbitkan matahari dari barat? Sekiranya Tuhan lain itu
tidak mampu menciptakan nyamuk seperti nyamuk yang Allah SWT ciptakan, suruhlah
Tuhan tersebut Taubat sebelum Malaikat Izrail datang melaksanakan
tugasnya.
Saat ini kebesaran dan kemahaan Allah SWT sudah dekat dengan diri kita
dan juga sudah ada dimana-mana sehingga diri kita sudah berada dan bersama
Allah SWT, lalu bisakah kita merasakan kedekatan dengan Allah SWT, atau adakah
alat bantu yang ada pada diri kita guna merasakan kedekatan diri kita dengan
Allah SWT? Sebelum kami menjawab pertanyaan ini, perkenankan kami mengemukakan
hal berikut ini: Seperti kita ketahui bersama untuk dapat menikmati siaran
televisi dengan baik, setiap pesawat televisi harus dilengkapi dengan antena
yang baik pula. Hal ini dikarenakan antena memiliki fungsi untuk menerima siaran yang dipancarkan oleh stasiun
televisi. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada kita betapa pentingnya antena
bagi televisi sehingga dengan adanya antena mampu memudahkan diri kita
menikmati siaran televisi.
Sekarang bagaimana dengan diri kita, apakah di dalam diri kita ada alat
bantu yang fungsinya seperti antena televisi sehingga mampu merasakan kedekatan
diri kita dengan Allah SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita? Di dalam
diri setiap manusia, tidak terkecuali dengan diri kita, juga memiliki alat
bantu untuk merasakan kedekatan diri kita dengan Allah SWT. Apakah itu? Alat
yang ada pada diri kita untuk merasakan keberadaan Allah SWT yang sudah dekat
dengan diri kita adalah hati. Timbul pertanyaan, hati yang mana, apakah hati nurani
ataukah hati jasmani, karena manusia terdiri dari jasmani dan ruhani? Hati
jasmani tidak akan bisa menjangkau, atau merasakan kedekatan diri kita dengan
Allah SWT. Hal ini dikarenakan hati jasmani fungsinya bukan untuk itu,
melainkan untuk: penawar racun; membunuh
kuman; menguraikan sel-sel darah merah yang sudah rusak dalam sel-sel khusus
yang disebut histiosit; memecah hemoglobin sel darah merah menjadi zat besi,
globim dan hemin; menghasilkan enzim agrinasse yang berfungsi untuk mengurai
asam amino arginin menjadi asam amino ornittin; menyimpan glikkogen, tembaga
dan beberapa jenis vitamin; mengatur kadar gula dalam darah; mengubah
provitamin A menjadi vitamin A; memproduksi zat antibody; Sebagai tempat
pembentukan dan penguraian protein tertentu.
Selanjutnya jika hati jasmani tidak akan mampu menjangkau dan merasakan
kedekatan diri kita dengan Allah SWT, maka hati yang dapat merasakan, atau yang
dapat menjangkau keberadaan Allah SWT adalah hati nurani. Apakah setiap hati nurani
manusia mampu merasakan keberadaan Allah SWT, atau apakah setiap hati nurani
mampu menjangkau, mampu merasakan kedekatan diri kita dengan Allah SWT?
Berdasarkan Hadits Qudsi yang kami kemukakan berikut ini: “Wahab bin Munabih berkata:
Allah ta’ala berirman: Sesungguhnya langit-langit dan bumi tidak berdaya
menjangkau-Ku. Aku telah dijangkau oleh Hati seorang Mukmin. (Hadits Qudsi
Riwayat Ahmad dari Wahab bin Munabbih. 272:32).
Tidak setiap hati nurani manusia mampu menjangkau, mampu merasakan
kedekatan dengan Allah SWT, atau tidak setiap hati nurani mampu menjangkau
kebesaran dan kemahaan Allah SWT. Jika ini keadaannya maka hati nurani yang
seperti apakah yang mampu melakukan itu semua? Berdasarkan hadits di atas,
hanya hati nurani orang mukmin (mukmin maksudnya adalah orang yang beriman dan
beramal shaleh) sajalah yang mampu menjangkau kebesaran dan kemahaan Allah SWT,
atau hanya hati nurani orang mukmin adalah satu-satunya yang dapat merasakan
kebesaran dan kemahaan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna yang dimiliki oleh Allah
SWT, atau hati nurani orang mukmin merupakan sarana, atau alat bantu bagi diri
kita untuk merasakan secara sendiri-sendiri nikmatnya bertuhankan Allah SWT
sepanjang hati manusia tersebut memenuhi syarat untuk itu.
Timbul pertanyaan baru, komponen di dalam hati orang mukmin yang manakah
yang bisa menjangkau dan merasakan kebesaran dan kemahaan Allah SWT? Setiap
manusia tanpa terkecuali pasti memiliki apa yang dinamakan dengan Af’idah (atau
perasaan), yang diberikan bersamaan dengan peniupan ruh ke dalam rahim dan juga
bersamaan dengan pemberian pendengaran dan penglihatan. Sebagaimana dikemukakan
dalam surat An Nahl (16) ayat 78 berikut
ini: “dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan perasaan (hati), agar kamu bersyukur.” Lalu Af’idah (atau perasaan) ini diletakkan oleh Allah SWT dalam hati
ruhani manusia. Sekarang apa hubungannya Af’idah (atau perasaan) dengan hati
orang mukmin? Dalam kehidupan sehari-hari, hanya sesuatu yang sejenislah yang
mampu bercampur satu dengan yang lainnya.
Contohnya Air hanya bisa disatukan dengan Air. Air dan Minyak tidak akan
bisa disatukan karena adanya berbedaan berat jenis. Berdasarkan kondisi ini
maka hanya Af’idahlah yang bisa disambungkan untuk merasakan nikmatnya
bertuhankan Allah SWT. Hal ini dikarenakan Af’idah asalnya dari Allah SWT
sehingga dengan adanya kesamaan asal inilah maka Af’idah mampu menjangkau
kebesaran dan kemahaan Allah SWT. Dan jika sekarang diri kita memiliki Af’idah
(atau perasaan) maka melalui Af’idah inilah kita mampu merasakan rasa kedekatan
diri kita kepada Allah SWT, atau merasakan rasa bertuhankan kepada Allah SWT
sepanjang hati ruhani tempat diletakkannya Af’idah memenuhi syarat, dalam hal
ini hati nurani mukmin.
Berdasarkan uraian yang kami kemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa
hati nurani orang mukminlah merupakan tempat bersemayamnya kebesaran dan
kemahaan Allah SWT yang termaktub di dalam sifat Ma’ani yang tujuh serta Asmaul
Husna yang sembilan puluh sembilan, atau dapat juga dikatakan bahwa Allah SWT
berada di dalam hati nurani orang mukmin. Adanya kondisi ini berarti kedudukan hati nurani orang mukmin dapat dikatakan lebih tinggi
kedudukkannya dibandingkan dengan langit dan bumi, karena langit dan bumi tidak
akan mampu menghalangi dengan cara apapun hati nurani orang mukmin untuk
menjangkau, untuk merasakan secara langsung kemahaan dan kebesaran Allah SWT
dan juga karena langit dan bumi tidak bisa menjangkau Allah SWT. Yang menjadi persoalan saat ini adalah sudahkah hati nurani diri kita
memenuhi syarat dan ketentuan sebagai hati nurani orang mukmin yang dikehendaki
Allah SWT?
Sekarang kita telah mengetahui dengan pasti bahwa banyak manfaat dan
kegunaan yang diletakkan Allah SWT di dalam hati, baik hati jasmani maupun hati
nurani. Adanya kondisi ini maka hati nurani dapat dikatakan
sebagai raja bagi diri manusia. Jika raja itu baik maka baiklah diri manusia
dan jika raja itu rusak maka rusaklah diri manusia. Untuk itu kita harus mampu mempergunakan, atau mampu mendayagunakan hati jasmani dan hati nurani
sesuai dengan peruntukannya, atau sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah
Allah SWT berikan. Sehingga kita bisa selamat di dalam hidup dan kehidupan,
atau dapat menjadikan diri kita sukses menjadi abd’ (hamba)Nya yang sekaligus
khalifahNya di muka bumi yang terhormat. Untuk itu mulai saat ini juga, fungsikanlah
hati jasmani dan hati nurani sesuai dengan peruntukkannya, tempatkanlah hati nurani
sesuai dengan kodrat dan fitrahnya, peliharalah hati jasmani dan ruh sesuai
dengan kehendak Allah SWT dan jangan pernah sekalipun sembarangan mempergunakan
hati jasmani maupun hati nurani. Terkecuali jika
kita tidak membutuhkan apapun dari Allah SWT melalui hati ruhani, kita sudah
tidak ingin sehat lagi saat hidup di dunia.
Selanjutnya dalam rangka mengenal dan tahu tentang Allah SWT
(ma’rifatullah) secara lebih mendalam lagi, ada baiknya kita mempelajari
keadaan atau posisi Allah SWT kepada diri kita. Hal ini penting kami kemukakan
dalam rangka menghantarkan diri kita kepada ma’rifatullah selama diri kita
melaksanakan tugas baik abd’ (hamba)Nya yang sekaligus adalah khalifahNya di
muka bumi, atau selama hayat masih di kandung badan, yaitu :
1. Allah SWT Berada Di
Sekeliling Diri Kita. Allah SWT ada di belakang kita,
Allah SWT ada di depan kita, Allah SWT ada di atas diri kita dan juga Allah SWT
ada dihadapan kita, Allah SWT ada di sebelah kanan kita, serta Allah SWT ada di
sebelah kiri kita, sebagaimana hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Tsauban ra, berkata: Nabi SAW
bersabda: Nabi Musa berdoa: Ya Rabbi, Dekatkah Engkau untuk saya bercakap-cakap
atau jauhkah untuk saya panggil? Saya merasakan dan mendengarkan suara-Mu yang
merdu, namun tidak bisa melihat-Mu, dimanakah Engkau? Allah berfirman: “Aku
berada di belakangmu, di depanmu, di sebelah kananmu, dan di sebelah kirimu”.
Wahai Musa, Aku teman hamba-Ku di waktu ia menyebut nama-Ku dan Aku bersama dia
bila dia berdoa kepada-Ku”.(Hadits Qudsi Riwayat Addailami; 272:254) Berdasarkan ketentuan hadits ini berarti kita semua sudah berada di dalam
kekuasaan Allah SWT, kita semua sudah berada di dalam pengawasan Allah SWT,
atau kita semua sudah berada bersama Allah SWT sehingga kita tidak bisa
melepaskan diri dari Allah SWT. Lalu mau kemana lagi kita mau pergi dan
menghindar!
Lalu apanya yang ada didekat diri kita, atau yang ada bersama diri kita?
Yang ada didekat diri kita, yang ada bersama diri kita bukanlah Dzat Allah SWT.
Akan tetapi yang dekat dengan diri kita,
yang bersama diri kita dan yang tidak berjarak lagi dengan diri kita adalah
sifat Ma’ani Allah SWT yang 7(tujuh) serta Asmaul Husna yang berjumlah 99
(sembilan puluh sembilan), yang kesemuanya sudah diperuntukkan untuk seluruh
makhluk yang diciptakan Allah SWT, termasuk diperuntukkan untuk diri kita. Jika
hal ini adalah kondisi dasar Allah SWT kepada diri kita, apakah kita akan
meminta pertolongan kepada selain Allah SWT jika kita mengalami cobaan atau
musibah, atau apakah kita akan meminta petunjuk kepada selain Allah SWT jika kita
mengalami kebuntuan pikiran, atau justru meminta bantuan kepada setan yang
keberadaannya juga tidak berjarak dengan diri kita? Jika kita termasuk
orang yang telah tahu diri, tahu Allah, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir
maka sudah sepatutnya diri kita meminta pertolongan dan meminta petunjuk kepada
Allah SWT semata. Sekarang tergantung diri kita apakah yang sudah dekat dan
bersama diri kita ini kita jadikan berjarak sehingga meminta petunjuk dan
pertolongan kepada selain Allah?
2. Allah SWT Berada
Dimanapun Diri Kita Berada. Berdasarkan surat
Al Hadiid (57) ayat 4 yang kami kemukakan berikut ini: “Dialah yang menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa: kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy[1453]
Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan
apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya [1454]. dan Dia bersama
kamu di mana saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
[1453]
Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai
dengan kebesaran Allah dsan kesucian-Nya.
[1454]
Yang dimaksud dengan yang naik kepada-Nya antara lain amal-amal dan do´a-do´a
hamba.
Allah SWT menyatakan selalu berada di manapun diri kita berada, atau
sepanjang diri kita masih bernaung dan menjadi tamu di langit dan di bumi yang
diciptakan dan yang dimiliki Allah SWT maka pasti Allah SWT akan selalu bersama
diri kita dimanapun kita berada. Hal yang harus kita ingat adalah yang bersama
dengan diri kita adalah bukanlah Dzat Allah SWT, akan tetapi yang selalu
bersama diri kita adalah sifat Ma’ani Allah SWT yang tujuh dan Asmaul Husna
yang berjumlah sembilan puluh sembilan.
Adanya kondisi ini berarti dimanapun kita berada, dalam kondisi apapun
kita, kita dapat berkomunikasi dengan Allah SWT, kita dapat meminta pertolongan
kepada Allah SWT, kita dapat meminta petunjuk kepada Allah SWT, dengan catatan
sepanjang diri kita mau dan mampu menempatkan Allah SWT adalah satu-satunya
Tuhan yang berhak disembah, atau sepanjang diri kita mau melaksanakan Diinul
Islam yang kaffah (menyeluruh). Sebagai
abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya yang sedang melaksanakan tugas di muka
bumi, apakah kondisi Allah SWT yang sudah bersama diri kita dimanapun kita
berada, akan kita acuhkan begitu saja, atau apakah segala fasilitas yang telah
dipersiapkan oleh Allah SWT untuk diri kita kita sia-siakan berlalu, atau
apakah segala kesempatan dari Allah SWT berlalu begitu saja sehingga kita
justru beralih meminta bantuan kepada syaitan yang juga sudah dekat dengan diri
kita, atau apakah memang kita tidak butuh lagi dengan Allah SWT karena merasa
sudah hebat?
3. Allah SWT Mengetahui
Apapun Yang Ada Di langit Dan Yang Ada Di bumi. Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari alam semesta ini, pasti
mengetahui apapun juga yang ada di langit dan yang ada di bumi sepanjang
semuanya diciptakan oleh Allah SWT. Jika ini kondisinya berarti Allah SWT
adalah Yang Maha Tahu, Yang Maha Mengerti, Yang Maha Ahli dari apa-apa yang
diciptakannya, termasuk di dalamnya Yang Maha Ahli tentang diri kita, tentang
anak dan keturunan kita, tentang syaitan dan tentang ahwa (hawa nafsu). Sebagaimana
dikemukakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 5 berikut ini: “Sesungguhnya bagi Allah
tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.” dan juga berdasrkan surat Al An’am (6) ayat 59 yang kami kemukakan
berikut ini: “dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan
di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya
(pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak
sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata
(Lauh Mahfudz)"
Selanjutnya jika ini adalah kondisi dasar dari Allah SWT kepada seluruh
apa yang diciptakan-Nya, lalu bagaimana sikap kita kepada Allah SWT jika kita
mengalami persoalan hidup? Hal yang harus
kita lakukan adalah meminta pertolongan langsung kepada Allah SWT tanpa
perantara,karena sampai dengan kapanpun juga hanya Allah SWT sajalah Yang Maha
Tahu, Yang Maha Ahli, dan yang mengerti tentang diri kita. Sekarang alangkah
naifnya, alangkah lucunya, jika sampai diri kita meminta pertolongan kepada
selain Allah SWT, yang tentunya bukan ahlinya tentang diri kita, hal ini tidak
bedanya jika mobil Toyota yang kita miliki rusak yang kita panggil untuk
memperbaiki adalah teknisi mobil Mercedec Benz atau bahkan bukan orang yang
ahlinya yang kita panggil.
Inilah ironi yang sering terjadi di dalam kehidupan kita sehari-hari,
yaitu sudah jelas bahwa hanya Allah SWT saja yang mampu menolong diri kita,
tetapi Allah SWT justru yang kita tinggalkan, atau justru Allah SWT tidak kita
yakini mampu untuk menolong diri kita, atau malah kita berseberangan dengan Allah SWT. Hasil akhir dari ini semua adalah
Allah SWT pasti tidak akan pernah mau menolong diri kita. Selanjutnya dapatkah
kita mengalahkan setan yang jumlahnya sudah melebihi jumlah manusia dan juga
mengalahkan ahwa (hawa nafsu) seorang diri? Jika sampai diri kita melakukan hal
ini berarti kita merasa sudah paling tahu dan yang paling mengerti tentang
setan dan juga ahwa (hawa nafsu) sehingga sudah tidak membutuhkan lagi Allah
SWT.
4. Allah SWT Menyaksikan
dan Memperhatikan Diri Kita Dimanapun Kita Berada. llah SWT selaku pencipta dan pemilik dari alam semesta ini telah
menyatakan dengan tegas bahwa Allah SWT mampu menyaksikan diri kita dimanapun
diri kita berada.Jika ini adalah kondisi dasar Allah SWT kepada diri kita,
kemanakah kita akan bersembunyi, lalu mau kemana kita akan lari dan
bersembunyi. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Mujaadilah (58) ayat 7 yang
kami kemukakan berikut ini: “tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang
ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang,
melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang,
melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang
kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun
mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat
apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala
sesuatu.” Untuk itu renungkanlah sekali lagi jika kita ingin
berbuat sesuatu hal yang berada di dalam koridor Nilai-Nilai Keburukan yang
paling sesuai dengan kehendak setan sang laknatullah, karena Allah SWT dapat
dipastikan mampu menyaksikan apa yang kita lakukan.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, jangan
sampai diri kita merasa aman tidak akan diketahui oleh Allah SWT jika berbuat
korupsi, jika menipu, atau merasa aman mengambil hak orang lain baik sendiri-sendiri ataupun berjamaah.
Ingat Allah SWT pasti mengetahui apa yang kita perbuat. Apa buktinya?
Berdasarkan surat Thaahaa (20) ayat 46 berikut ini: “Allah berfirman:
"Janganlah kamu berdua khawatir, Sesungguhnya aku beserta kamu berdua, aku
mendengar dan melihat". Allah SWT dengan
tegas menyatakan “Aku Mendengar dan Aku Melihat”, apa yang dilakukan oleh
setiap manusia. Untuk itu jika saat ini
kita sudah tidak malu-malu lagi mengambil hak orang lain melalui korupsi,
melalui kolusi dan melalui nepotisme karena merasa Allah SWT tidak tahu dengan
apa yang kita perbuat, ada baiknya kita belajar kepada kucing yang malu jika mengambil
makanan dengan cara mencuri, atau carilah bumi dan langit lain diciptakan oleh
selain Allah SWT sehingga bebas berbuat sekehendak hati kita. Sekarang siapakah
yang lebih tahu diri dan tahu malu, antara kucing dengan manusia yang melakukan
korupsi, kolusi dan nepotisme saat hidup di muka bumi ini?
5. Allah SWT Mengetahui
Setiap Bisikan Hati Kita. Allah SWT selaku pencipta dan
pemilik dari kekhalifaan di muka bumi, sangat hebat sifat Ma’ani yamh
dimiliki-Nya sampai-sampai mampu mengetahui setiap bisikan hati diri kita.
Adanya kondisi ini mengharuskan diri
kita agar selalu berhati-hati di dalam mempergunakan Iradat (kehendak) yang
diletakkan di dalam hati ruhani karena setiap hasil akhir dari Iradat yang
keluar dari hati ruhani baik yang jelek, ataupun yang bagus pasti diketahui
oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Qaaf (50) ayat 16
yang kami kemukakan berikut ini: “dan Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.”
Dan agar diri kita mampu mempertanggungjawabkan Iradat yang telah
diberikan oleh Allah SWT, maka kita harus mampu mempergunakan, mampu
memanfaatkan, mampu mendayagunakan Iradat (kehendak) atau bisikan yang keluar dari
hati nurani harus selalu sesuai dengan
Nilai-Nilai Kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, terkecuali jika
kita mampu mempertanggungjawabkan Iradat yang berasal dari Allah SWT di hari
berhisab kelak.
6. Allah SWT Mengabulkan
Doa Kita Jika Dilakukan Tanpa Perantara. Allah SWT
dengan tegas menyatakan akan mengabulkan doa yang dimohonkan kepada Allah SWT
secara langsung tanpa melalui perantara. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada
diri kita bahwa Allah SWT siap bertanggung jawab kepada diri kita yang telah
diutusnya ke muka bumi, atau Allah SWT siap membuktikan untuk menolong, untuk
membantu, serta siap menjadi Tuhan bagi setiap hamba-Nya yang mau ditolong,
yang mau dibantu oleh Allah SWT. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Baqarah
(2) ayat 186 yang kami kemukakan berikut ini: “dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Dan masih berdasarkan ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 186 di atas,
Allah SWT sendirilah yang menghendaki diri kita untuk berdoa kepadaNya saja.
Sekarang coba kita bayangkan jika sampai Allah SWT tidak menghendaki diri kita
untuk berdoa hanya kepadaNya saja, lalu apa yang bisa kita perbuat dalam
kehidupan ini. Padahal bantuan dan pertolongan Allah SWT sangat kita butuhkan
saat melaksanakan tugas di muka bumi ini. Dan agar doa dan permohonan yang kita
ajukan kepada Allah SWT dapat dikabulkan, syaratnya ada 3 (tiga) yaitu: (a) kita diwajibkan oleh Allah SWT untuk
mematuhi segala apa yang telah diperintahkannya; (b) yang dilanjutkan beriman
kepada Allah SWT serta; (c) selalu berada di dalam kebenaran. Sebagai abd’
(hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi, sudahkah syarat dan ketentuan ini
kita penuhi sebelum mengajukan doa dan permohonan kepada Allah SWT? Jika belum jangan pernah salahkan Allah SWT
jika doa dan permohonan kita tidak dikabulkan oleh Allah SWT.
Selain daripada itu, ada yang tidak kalah
penting yang juga harus kita ketahui dan pahami adalah bahwa Allah SWT selaku
pencipta dan pemilik serta Tuhan bagi seluruh alam sudah menetapkan sifat kasih
sayang pada diriNya sendiri, sebagai firmanNya berikut: “Katakanlah
(Muhammad), “Milik siapakah apa yang di langit dan di bumi?” Katakanlah, “Milik
Allah.” Dia telah menetapkan (sifat) kasih sayang pada diri-Nya. Dia
sungguh akan mengumpulkan kamu pada hari Kiamat yang tidak diragukan lagi.
Orang-orang yang merugikan dirinya, mereka itu tidak beriman. (surat Al An’am
(6) ayat 12). Lalu
untuk siapakah sifat kasih sayangNya itu, apakah untuk dirinya sendiri ataukah
untuk semua makhlukNya? Allah SWT dengan segala kemahaan dan kebesaranNya tidak
membutuhkan lagi kasih sayang melainkan kasih sayang yang dimiliki hanya
dikhususkan untuk seluruh makhluknya terutama manusia manusia yang sesuai
dengan kehendakNya, atau mengajukan permohonan kepadaNya.
Untuk mempertegas apa yang kami kemukakan di atas tentang kasih sayang
Allah Swt kepada umatNya, ada baiknya kita memperhatikan dua buah ayat yang isinya
bisa dikatakan saling bertolak belakang, yang pertama adanya pernyataan tentang
jaminan dari Allah SWT untuk menyelamatkan orang yang beriman, sebagaimana
termaktub dalam surat Yunus (10) ayat 103 berikut ini: “Kemudian kami selamatkan rasul rasul Kami dan orang orang yang
beriman, demikianlah menjadi kewajiban Kami menyelamatkan orang yang
beriman.”.
Sedangkan yang kedua adanya pernyataan dari Allah SWT untuk menimpakan laknatNya kepada orang yang dzalim sebagaimana dikemukakanNya dalam surat Hud (11) ayat 18 berikut ini: “Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang mengadangadakan suatu kebohongan terhadap Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka, dan para saksi akan berkata, “Orang orang inilah yang telah berbohong terhadap Tuhan mereka.” Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) kepada orang yang dzalim.” Sekarang pilihan ada di tangan diri kita masing masing dan perlu diingat bahwa sebab bukanlah karena adanya akibat, melainkan akibat karena adanya sebab.
Dari apa-apa yang telah kami kemukakan tentang Allah SWT di atas ini, semuanya sangat tergantung bagaimana diri kita menyikapinya, dan yang pasti adalah Allah SWT tidak butuh dengan diri kita, akan tetapi kitalah yang butuh dengan Allah SWT. Untuk itu segeralah tentukan sikap yang pasti terhadap Allah SWT, sebelum semuanya terlambat, karena kita tidak tahu kapan Malaikat Izrail datang melaksanakan tugasnya kepada diri kita dan pilihan untuk mati seperti apa ada di tangan kita juga dan ingat pilihannya hanya ada dua, mati secara husnul khatimah atau suul khatimah. Selain daripada itu, dengan diri kita memiliki ilmu tentang Allah SWT (ma’rifatullah) maka pernyataan tentang “Dahulu agama menghancurkan berhala. Kini agama jadi berhala, Tak kenal Tuhannya yang penting agamanya” menjadi tidak berlaku lagi. Kita telah memiliki dan telah pula mengerti Agama serta juga telah mengerti tentang Allah SWT dan selanjutnya ayo segera rasakan betapa nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar