Sekarang katakan diri
kita telah mampu mengenal Allah (ma’rifatullah) yang diikuti pula telah beriman
kepada Allah SWT dengan segala konsekuensinya, lalu apakah yang harus kita
perbuat dengan iman kepada Allah SWT tersebut, apakah kita biarkan begitu saja,
ataukah harus kita jaga dan kita rawat? Iman yang ada dalam diri (hati) kita
tidak bisa dibiarkan begitu saja dalam diri. Iman harus dipelihara, harus
dijaga keutuhan dan kualitasnya, harus dijaga kemurniannya dari waktu ke waktu
sebab keimanan yang ada di dalam diri bisa naik dan bisa turun kualitasnya
karena adanya gangguan ahwa (hawa nafsu) dan juga gangguan syaitan.
Hal yang harus kita perhatikan adalah syaitan
sebagai musuh abadi diri kita, tidak akan senang jika kita sampai diri kita
mampu mengimani atau meyakini Allah SWT yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Karena jika hal ini terjadi pada diri kita berarti syaitan akan sangat
sulit mengganggu dan menggoda diri kita serta kondisi ini paling tidak disukai oleh syaitan. Adanya pengaruh
ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan kepada diri kita maka kita harus selalu
menjaga, merawat, memelihara keimanan dan keyakinan yang ada di dalam diri,
agar selalu sesuai dengan kehendak Allah SWT selama hayat di kandung badan.
Berikut ini akan
kami kemukakan beberapa pupuk keimanan yang harus kita laksanakan selama hayat
masih di kandung badan, yaitu:
A. PUPUKLAH IMAN DENGAN
ILMU.
Salah
satu pupuk iman kepada Allah SWT adalah ilmu, dimana ilmu itu sendiri adalah
sifat Ma’ani Allah SWT. Ilmu juga telah diberikan oleh Allah SWT kepada setiap
manusia yang mana ilmu ini merupakan salah satu modal dasar bagi setiap manusia
saat melaksanakan tugas baik sebagai abd’ (hamba)-Nya dan juga sebagai khalifah-Nya
di muka bumi. Bertambahnya ilmu dalam diri tidak datang kepada diri kita dengan
tiba- tiba, melainkan melalui proses belajar dan yang juga di dapat melalui
lidah yang gemar bertanya serta melalui akal bagi orang yang suka berpikir
secara berkesinambungan dari waktu ke waktu.
Ilmu memberi
kekuatan yang menerangi jalan, sedangkan iman menumbuhkan harapan dan dorongan
bagi jiwa. Ilmu menciptakan alat alat produksi dan akselerasi, sedang iman
menetapkan haluan yang dituju serta memelihara kehendak suci. Ilmu adalah revolusi eksternal, sedangkan
iman adalah revolusi internal. Ilmu memelihara manusia dari penyakit penyakit
jasmani dan petaka duniawi. Sedangkan iman
memeliharanya dari kompleks kejiwaan serta petaka ukhrawi. Sehingga
tidak berlebihan jika kita katakan menuntut ilmu adalah sebuah kebutuhan bagi
setiap umat manusia, yang mana pernyataan ini sejalan dengan 2 (dua) buah
hadits berikut ini: yang pertama, “Nabi
SAW bersabda: tuntutlah ilmu sejak dalam buaian sampai liang lahat” dan
yang kedua, “Nabi SAW bersabda: Menuntut ilmu wajib atas setiap Muslim”
(Hadits Riwayat Ibnu Majah). Berdasarkan ketentuan hadits ini berarti
menuntut ilmu hukumnya fardhu di setiap waktu dan kesempatan. Untuk itu
belajarlah, hanya dengan proses belajar kita bisa memiliki ilmu.
Di lain
sisi, ibarat sebuah pohon, iman itu memiliki cabang-cabang. Dalam salah
satu haditsnya, Rasulullah SAW bersabda: “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau
enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan 'La ilaha
illallah' (tauhid), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan)
dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang iman." (Hadits Riwayat
Bukhari dan Muslim) dan kemudian menurut Imam Al Baihaqi di dapat
keterangan bahwa salah satu cabang iman adalah “menuntut ilmu; menyebarkan ilmu” hal ini berdasarkan firman Allah yang mengemukakan: “Agar engkau menjelaskannya kepada manusia
dan tidak menyembunyikannya” serta mengagungkan AlQuran, dengan cara mengimaninya,
mempelajari dan mengajarkannya, menjaga hukum-hukumnya, mengetahui halal haramnya,
memuliakan para ahli dan huffazh-nya, serta takut pada ancaman-ancamannya
Jika
sekarang salah satu cabang iman adalah ilmu dan ilmu itu sendiri adalah sifat
Allah SWT dan bukanlah suatu yang berlebihan jika salah satu bentuk pupuk iman
adalah ilmu sehingga iman dan ilmu sesuatu yang tidak bisa dipisahkan laksana
keping dalam uang logam. Hal ini dikarenakan hanya dengan ilmu lah kita bisa
mengenal Allah SWT, lalu mengakui adanya Allah SWT dan meyakini akan Allah SWT
sehingga kita tidak bisa dipisahkan dengan Allah SWT. Timbul pertanyaan,
bisakah kita beriman tanpa memiliki ilmu?
Tanpa adanya ilmu dalam diri maka iman dalam
dada tidak akan bisa lahir dan tanpa ilmu akan sulit bagi diri kita untuk
mengakui adanya Allah SWT dan tanpa ilmu akan sulit bagi diri kita meyakini
bahwa Allah SWT dan keberadaanNya tidak bisa dipisahkan dengan diri kita,
demikian pula sebaliknya. Akhirnya hanya melalui proses belajarlah kita bisa
memperoleh ilmu, namun ketahuilah belajar bukan menambah ilmu akan tetapi
dengan mengajarkan ilmu yang telah kita pelajari kepada sesama maka ilmu kita
miliki semakin bertambah karena ditambah oleh Allah SWT.
Adanya
pertambahan ilmu yang kita miliki maka semakin terasa indah dan semakin mantap
keimanan yang kita miliki. Hal ini dikarenakan semakin bertambahnya ilmu maka
semakin dalam ilmu dan pemahaman yang kita miliki yang akhirnya akan terasa
rasa keimanan yang ada di dalam diri serta semakin beriman diri kita maka akan
semakin bermanfaat diri kita bagi orang orang yang ada di sekitar kita. Ingat,
sebaik baik orang yang beriman adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Kondisi
ini akan menjadikan diri kita selalu berbuat kebaikan dan kebaikan dalam
kerangka ibadah ikhsan.
Untuk
itu perhatikanlah dengan seksama hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Ibnu
Abbas ra, berkata; Nabi bersabda: “Orang yang mengerti (agama) lebih sukar
dipengaruhi syaitan daripada seribu orang yang shalat”. (Hadits Riwayat
Aththirmidzi, Ibnu Majah).” dimana syaitan mengalami kesukaran di dalam
mempengaruhi orang yang mengerti atau paham dengan Diinul Islam dibanding
dengan seribu orang yang shalat. Jika seperti ini kondisinya berarti orang yang
berilmu sangat diperhitungkan oleh syaitan sang laknatullah.
Agar
diri kita mampu menjadi orang yang diperhitungkan oleh syaitan maka kita tidak
bisa hanya belajar tanpa mengajarkan apa apa yang kita pelajari kepada orang
lain, atau tidak cukup hanya membaca saja tanpa pernah merenungi apa yang telah
kita pelajari, sebagaimana hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Ibnu
Umar ra, berkata kepada Aisyah ra, “Kabarkanlah kepada kami sesuatu yang
sangat mengagumkan yang engkau lihat
dari Rasulullah SAW.! Aisyah ra, terdiam sejenak kemudian berkata: “Pada suatu
malam Rasulullah SAW bersabda, Wahai Aisyah tinggalkanlah aku, mala mini aku
hendak beribadah kepada Tuhanku. Aku (Aisyah ra,) berkata, Demi Allah
sesungguhnya aku senang berada di dekatmu, dan akupun senang terhadap sesuatu
yang membuatmu gembira. Selanjutnya Aisyah ra, berkata: “Lalu Rasulullah SAW
bangun lantas berwudhu dan beliau shalat. Tidak henti hentinya beliau menangis
hingga membasahi pangkuannya, beliau terus menangis hingga membasahi
janggutnya, dan beliau terus menangis hingga membasahi tanah. Kemudian Bilal
datang hendak azan untuk shalat. Ketika dia melihat beliau menangis, dia
bertanya. “Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis, padahal Allah telah
mengampuni dosamu yang lalu dan akan datang?. Beliau SAW bersabda:”Tidak
bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur? Tadi malam telah turun ayat
kepadaku, celakalah orang yang membacanya tetapi tidak merenungkannya, yaitu Al
Qur’an surat Ali Imron (3) ayat 190”. (Hadits Riwayat Ibnu Hibban)
Yang
menjadi persoalan adalah setelah kita belajar, belajar dan belajar maka
pelajaran yang telah kita terima akan menjadi sebuah kesiasiaan jika apa apa
yang telah kita pelajari hanya sampai pada diri kita sendiri dan jadilah diri
kita orang yang egois yang hanya mementingkan diri sendiri. Sedangkan hadits
berikut ini mengajarkan kepada kita untuk selalu berbagi, “Abu Hurairah ra, berkata, Nabi
bersabda: “Sesungguhnya yang dicapai oleh orang mukmin dari amal dan perbuatan
sesudah matinya ialah: ilmu pengetahuan yang di dapatnya dan disebarkan dan
budi baik yang dia tinggalkan, atau buku yang ia berikan untuk diwarisi, atau
tempat sembahyang yang ia bangun, atau sebuah terusan yang ia gali, atau derma
ia lakukan dari kekayaannya selama ia sehat dan sakit”. (Hadits Riwayat Ahmad).”
Jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti saat ini kita
menjalani sisa usia yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Berapa lama sisa usia
kita saat ini? Kita tidak pernah tahu dan tidak akan pernah tahu karena Allah
SWT sajalah yang tahu.
Lalu
apakah di sisa usia yang tidak kita ketahui ini kita hanya sibuk belajar,
belajar dan belajar tanpa pernah merasakan hasil dari pelajaran yang kita
terima yang dilanjutkan dengan mengajarkan ilmu pengetahuan yang kita miliki
kepada sesama? Lalu kapan lagi kita mau berbuat kebaikan dengan ilmu dan
pengetahuan yang kita miliki jika tidak sekarang? Jangan sampai terlambat
karena kita memiliki keterbatasan usia dan juga keterbatasan kemampuan untuk
berbagi serta keterbatasan kesempatan yang hanya datang satu kali.
Dan berbahagialah
bagi orang yang beriman dan yang terus bertambah kuat imannya dari hari ke hari
dan juga senatiasa diiringi oleh penambahan ilmu, baik itu ilmu syar'i maupun
kauniyah. Ingat, Allah SWT akan mengangkat derajat orang yang beriman dan yang berilmu
beberapa derajat lebih tinggi sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut
ini:“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan
kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkan lah
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:
"Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(surat Al Mujadillah (58) ayat 11)
Jika
kita merenungkan ayat di atas ini, Allah SWT menggandengkan dua hal yaitu kata
iman dan kata ilmu, yanga mana keduanya memiliki hubungan sangat erat. Untuk
bisa beriman dengan baik dan benar kita membutuhkan ilmu, sedangkan
bertambahnya ilmu seharusnya mampu meningkatkan kualitas keimanan seseorang. Dan alangkah sedihnya jika kita
memperhatikan banyak orang yang berilmu tetapi iman mereka berkurang. Hal ini
terlihat beraninya orang orang yang berada di era smartphone meninggalkan
kewajiban mereka sebagai hamba Allah SWT terutama di point shalat lima waktu
dan juga mereka menunduk yang bukan berarti merenung dan berdzikir kepada Allah
SWT melainkan sedang online dan juga sedang bermain games.
Kondisi
seperti ini kelihatannya sudah menjadi sebuah budaya baru bagi para penuntut
ilmu di zaman yang serbamodern ini, khususnya bagi negara kita Indonesia yang
di mana penduduknya mayoritas memeluk agama Allah, yaitu Islam, maka sangatlah
di sayangkan jika seorang penuntut ilmu tak mengerti apa yang ia dapat dan tak
juga mengamalkan apa yang ia pelajari serta tak menambah keimanan yang ada
dalam diri sedikit pun. Semoga Allah menjauhkan diri kita semua dan seluruh
umat Islam dari hal yang sangat miris tersebut. Amin.
Berikut ini akan kami
kemukakan hubungan Ilmu dan Iman, sebagaimana dikemukakan oleh “M
Quraish Shihab” dalam bukunya “Yang Bijak dari M Quraish Shihab”
sebagaimana berikut ini:
a. Ilmu memberi kekuatan yang menerangi jalan, sedang iman
menumbuhkan harapan dan dorongan bagi jiwa.
b. Ilmu menciptakan alat alat produksi dan akselarasi,
sedang iman menetapkan haluan yang dituju serta memelihara kehendak suci.
c. Ilmu adalah revolusi eksternal, sedang iman adalah
revolusi internal.
d. Ilmu memelihara manusia dari penyakit penyakit jasmani
dan petaka dunia, sedang iman memeliharanya dari kompleks kejiwaan serta petaka
ukhrawi.
e. Ilmu menyesuaikan manusia dengan diri dan lingkungannya,
sedang iman menyesuaikannya dengan jati dirinya.
f. Ilmu bagaikan air telaga yang tenang, tetapi tidak jarang
mengeruhkan pemiliknya, sedang iman bagai air bah dengan gemuruh suaranya
tetapi selalu menenangkan jiwa pemiliknya.
g.
Ilmu mudah diubah oleh pemiliknya, sedang iman sulit
diubah.
h. Ilmu dan iman, keduanya merupakan kekuatan; kekuatan ilmu
terpisah sedang kekuatan iman menyatu.
i. Ilmu dan iman, keduanya adalah keindahan dan hiasan; ilmu
adalah keindahan akal sedang iman keindahan jiwa; ilmu hiasan pikiran dan iman
hiasan perasaan.
j. Ilmu dan iman keduanya menghasilkan ketenangan;
ketenangan lahir oleh ilmu dan ketenangan bathin oleh iman.
k. Ilmu tanpa iman bagaikan lentera di tangan bayi dan iman
tanpa ilmu bagaikan kompas di tangan pencuri.
Untuk itu mari kita
mulai melakukan perenungan diri dari sekarang, sudahkah kita menjadi orang yang
berilmu lagi beriman! Ingat, ilmu dan iman sesuatu yang tidak bisa dipisahkan
dan sangat bermanfaat bagi diri kita baik di dunia maupun di akhirat nanti dan
juga barangsiapa yang berilmu niscaya Allah SWT dekat dengannya sebagaimana
sabda Rasulullah SAW berikut ini: “Tuntutlah
ilmu,sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza
Wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah
sedekah. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya dalam kedudukan
terhormat dan mulia (tinggi). Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di
dunia dan di akhirat.”
Untuk itu marilah kita
perbaiki iman dan ilmu kita untuk menjadi hamba Allah SWT yang dekat dan tinggi
di sisi-Nya, sehingga kita mampu mendapatkan syurga Firdaus kelak. Tuntutlah
ilmu mulai sekarang dan jangan lupa mengajarkan apa apa yang telah kita
pelajari semoga kelak beguna bagi kehidupan dunia dan juga akhirat serta
masyarakat terbantu melalui ilmu yang kita miliki.
Berikut ini akan kami
kemukakan dua buah bahan renungan kalbu tentang pentingnya diri kita memiliki
ilmu, sebagaimana dikemukakan oleh “Al Hakim Al Tirmidzi” dalam bukunya
“Rahasia
Perumpamaan dalam Quran & Sunah”, berikut ini:
1. Ilmu
telah mengantarkan saya menuju pengetahuan tentang Sang Khaliq dan menyuruh
saya untuk berbakti pada-Nya. Dia pun menunjukkan saya kepada-Nya, maka saya
tunduk dihadapan kekuasaan-Nya dan saya bisa melihat sifat sifat-Nya. Hati saya
juga merasakan getaran getaran kebesaran-Nya, hingga saya tertunduk malu karena
cinta saya kepada-Nya. Ilmu juga menggerakkan saya untuk selalu dekat dengan keharibaan-Nya,
agar semakin tinggi pengabdian saya pada-Nya. Saya larut dalam kebesaran-Nya
setiap kali saya mengingat-Nya dalam setiap dzikir. Kesendirian saya adalah
pengabdian kepada-Nya. Tatkala saya ingin melepaskan kesibukan dan ingin
melakukan khalwat (berduaduan tanpa ikatan pernikahan), ilmu meneraiki saya,
“Apakah engkau akan berpaling dariku, padahal akulah yang menjadi penunjuk
jalanmu untuk tahu tentang-Nya? Saya menjawab, “Engkau adalah penunjuk jalan.
Akan tetapi, jika aku telah sampai tujuan, masihkah aku membutuhkan penunjuk
jalan?”. Ilmu itu berkata, “oh, tidak! Setiap kali engkau tambah bekalmu
denganku, akan semakin bertambah pula pengetahuanmu tentang Kekasihmu dan
engkau akan semakin paham bagaimana cara mendekati-Nya.
2. Kenikmatan
ilmu adalah karunia yang paling bermakna bagi saya daripada kenikmatan ragawi
yang pernah saya rasakan. Dialah yang menciptakan sarana agar saya sampai
kepada pengetahuan, hingga kini saya mengerti banyak hal. Seluruh yang saya
cintai berasal dari-Nya, karena-Nya dan dengan-Nya, baik yang inderawi ataupun
yang maknawi. Seluruh jalan kemudahan mencapai ilmu pengetahuan adalah
pemberian-Nya. Semua pencapaian saya pada ilmu telah saya rasakan jauh lebih
nikmat daripada apapun yang bersifat inderawi. Andai saja bukan karena ajaran-ajaran-Nya, mungkin saja saya tak akan tahu dan mengerti apa apa.
Proses
belajar menjadi hal yang sangat penting bagi diri kita karena kita tidak akan
bisa menjadi abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT tanpa pernah memiliki ilmu dan pemahaman yang baik
lagi benar, yang mana kondisi ini hanya bisa diperoleh melalui proses belajar
yang berkesinambungan. Ingat, hanya melalui proses belajar yang
berkesinambungan yang diikuti dengan tekad yang bulat untuk melaksanakan apa
apa yang telah dipelajari barulah kita akan merasakan dan menjadikan diri kita
memiliki kepribadian orang orang yang telah tahu diri, telah tahu aturan main
dan tahu tujuan akhir.
Untuk itu buang jauh
jauh konsep sekedar membaca buku kita bisa memperoleh hasil yang baik dan
maksimal. Akhirnya setiap orang harus belajar kemana saja, dengan siapa saja
dan dengan membaca buku apa saja untuk meluaskan cakrawala pikirannya. Ambil
yang baik dan buang yang buruk. Ambil yang mendekatkan diri kepada Allah SWT
serta buang yang menjauhkan diri dari Allah SWT.
B. PUPUKLAH IMAN DENGAN
KETAUHIDAN.
Allah SWT Telah memerintahkan
kepada diri kita untuk mengatakan serta mengakui dengan sejujurnya bahwa Allah SWT adalah Tuhan langit dan bumi, atau Allah SWT adalah Tuhan bagi
semesta alam serta Allah SWT adalah Pencipta dan Pemilik segala sesuatu yang
ada di langit dan di bumi ini, sebagaimana termaktub dalam surat Ar Ra'd (13) ayat 16 yang kami kemukakan berikut
ini: “Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya:
"Allah". Katakanlah: "Maka Patutkah kamu mengambil
pelindung-pelindungmu dari selain Allah, Padahal mereka tidak menguasai
kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?".
Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah
gelap gulita dan terang benderang; Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi
Allah yang dapat menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu
serupa menurut pandangan mereka?" Katakanlah: "Allah adalah Pencipta
segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha Esa lagi Maha Perkasa".
Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini, akan terjadi 2(dua) buah
keadaan yang dapat membedakan manusia
yang ada di muka bumi ini akibat adanya pernyataan di atas, yaitu:
1. Tidak akan mungkin sama orang yang buta dengan orang yang
melihat;
2. Tidak akan mungkin sama orang yang berjalan di jalan yang
lurus dengan yang berjalan di jalan yang bengkok;
3. Tidak akan mungkin sama sesuatu yang terang dengan yang gelap;
4. Tidak akan mungkin sama orang yang beriman dengan orang
kafir.
Dan sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang sedang
menjalankan tugas di muka bumi, jangan pernah berharap dan hal ini tidak akan
mungkin pernah terjadi jika Allah SWT akan menyamakan kedudukan baik dalam
kehidupan dunia maupun dalam kehidupan akhirat, antara orang yang beriman
dengan orang yang kafir, antara orang
yang berbuat kebaikan dengan orang yang berbuat kejahatan, antara orang
yang berjalan di jalan yang lurus dengan orang yang berjalan di jalan yang
bengkok, sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Jaatsiyah (45) ayat 21 berikut
ini: “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu
menyangka bahwa Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh, Yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka?
Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.”
Berdasarkan ketentuan ayat di atas ini, Allah SWT tidak akan pernah
merubah ketentuan yang membedakan perlakuan kepada orang yang beriman dengan
orang yang kafir sehingga akan berlaku terus sampai dengan hari kiamat kelak.
Jika sampai Allah SWT menyamakan kedudukan orang yang berbeda perilaku dan
berbeda perbuatannya seperti orang yang beriman dengan orang yang kafir, timbul
pertanyaan dimanakah letak keadilan yang Allah SWT terapkan di dalam rangka
mengisi syurga dan neraka secara adil? Allah SWT
tidak akan pernah berbuat yang menjadikan Kemahaan dan Kebesaran Allah SWT
tercoreng dengan perbuatan-Nya sendiri.
Selanjutnya sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka
bumi kita harus dapat melaksanakan dengan baik serta penuh kejujuran tentang
pernyataan yang telah kita buat, bahwa :
Allah SWT adalah Tuhan langit dan bumi
atau Allah SWT adalah Tuhan bagi alam semesta, serta Allah SWT adalah pencipta segala sesuatu yang ada di langit
dan di bumi. Jika kita telah mampu melaksanakan dua buah pernyataan yang
telah kami kemukakan di atas, Ini berarti kita telah mampu melaksanakan, atau
telah mampu memberikan pernyataan Ketauhidan yang sangat dikehendaki oleh Allah
SWT dan ini merupakan salah usaha kita memberikan salah satu pupuk yang terbaik
bagi iman yang sudah ada di dalam diri, yaitu ketauhidan.
Timbul pertanyaan, kenapa harus dengan ketauhidan kita merawat, menjaga,
memelihara iman yang ada di dalam diri? Hal ini disebabkan iman dengan ketauhidan
tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya, seperti ikan yang tidak bisa
dipisahkan dengan Air. Iman tidak akan
bisa tumbuh di dalam diri dan tidak berbuah jika tanpa ada pernyataan sikap
yang jujur untuk mengakui bahwa: Allah
SWT adalah Tuhan langit dan bumi, atau Allah SWT adalah Tuhan bagi alam
semesta, serta Allah SWT adalah pencipta dan pemilik segala sesuatu yang ada di langit dan di
bumi. Demikian pula dengan ketauhidan, dimana ketauhidan tidak akan
berjalan dengan mulus jika iman tidak tumbuh di dalam diri. Adanya kondisi ini
dapat dikatakan bahwa iman dan ketauhidan, laksana 2(dua) sisi dari mata uang.
Sehingga iman dan ketauhidan harus ada di dalam diri manusia secara bersamaan,
saling isi mengisi di antara ke duanya. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga
adalah khalifah-Nya yang membutuhkan iman kepada Allah SWT lalu sudahkah kita
mampu memupuk iman dengan ketauhidan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar