Saat ini sampai dengan hari kiamat kelak, AlQuran adalah satu-satunya
buku pedoman yang berlaku bagi hamba-Nya dan yang juga bagi khalifah-Nya yang
ada di muka bumi ini karena berasal dari Allah SWT. Dan jika saat ini kita
masih hidup di dunia, berarti saat ini kita sedang menumpang di langit dan di
bumi Allah SWT dalam rangka melaksanakan sebagai hamba dan juga tugas sebagai
khalifah di muka bumi. Dan sebagai orang yang menumpang, atau menjadi tamu
berarti kita harus mematuhi dan harus pula melaksanakan segala ketentuan,
segala hukum, segala undang-undang yang telah ditetapkan oleh “Tuan Rumah” jika
kita tidak mau dianggap sebagai penumpang atau tamu yang tidak tahu diri.
Selanjutnya jika kumpulan dari segala ketentuan, segala hukum, segala
undang-undang yang telah ditetapkan oleh “Tuan Rumah” adalah AlQuran. Ini
berarti kita yang sedang menumpang, atau kita yang sedang menjadi tamu di
langit dan di muka bumi ini harus mematuhi dan melaksanakan segala ketentuan,
segala hukum, segala undang-undang yang telah ditetapkan oleh “Tuan Rumah” yang
tertuang di dalam AlQuran sesuai dengan kehendak “Tuan Rumah”.
Untuk itu ketahuilah bahwa Allah SWT selaku “Tuan Rumah” di langit dan di
bumi ini, tidak akan diam saja dengan diri kita. Allah SWT siap memberikan
sesuatu yang paling bermanfaat (memberikan hikmah) bagi diri kita, bagi
keluarga dan anak keturunan jika kita mampu mematuhi dan mampu melaksanakan
apa-apa yang ada di dalam AlQuran, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Alkitab (AlQuran) untuk manusia
dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk Maka (petunjuk itu)
untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia semata-mata
sesat buat (kerugian) dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang
bertanggung jawab terhadap mereka.” (surat Az Zumar (39) ayat 41).
Hal yang harus kita pahami dengan benar tentang ketentuan surat Az Zumar
(39) ayat 41 di atas, AlQuran adalah petunjuk Allah SWT yang telah ditunjukkan kepada
diri kita agar diri kita memperoleh petunjukNya yang masih berada di Allah SWT
berdasarkan petunjuk Allah SWT yang tertuang di dalam AlQuran. Dan dengan
petunjuk yang dari Allah SWT inilah pintu segala hikmah terbuka lebar lebar
untuk diri kita. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa petunjuk
Allah SWT yang ada di dalam AlQuran tidaklah sama kedudukannya dengan petunjuk
yang berasal langsung dari Allah SWT melalui petunjuk AlQuran.
Selain daripada itu AlQuran adalah cahaya dan juga petunjuk kepada jalan
yang lurus yang keduanya akan diberikan kepada diri kita sepanjang kondisi dan
keadaan diri kita masih sesuai dengan kehendak Allah SWT. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Asy Syuura (42) ayat 52 yang kami
kemukakan berikut ini: “dan Demikianlah Kami
wahyukan kepadamu wahyu (AlQuran) dengan
perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Alkitab (AlQuran) dan
tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan AlQuran itu
cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara
hamba-hamba kami. Dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada
jalan yang lurus.”
Ayat ini menegaskan bahwa AlQuran sebagai cahaya dan petunjuk tidak akan memberikan dampak yang
positif kepada diri kita jika kita sendiri tidak mau mengimani AlQuran sebagai
satu satunya buku manual (manual handbook) yang diturunkan Allah SWT untuk kepentingan umat manusia.
Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang sangat membutuhkan cahaya,
petunjuk dan arahan langsung dari Allah SWT, maka kita harus berusaha dari
waktu ke waktu untuk selalu memperoleh dan mendapatkan cahaya, petunjuk dan
arahan dari Allah SWT yang berasal langsung dari Allah SWT. Hal ini penting
kami kemukakan agar jangan sampai kita merasa hebat telah memperoleh petunjuk
dari AlQuran padahal AlQuran bukanlah cerminan langsung dari cahaya, petunjuk
dan arahan Allah SWT yang sesungguhnya. AlQuran berfungsi untuk menunjukkan
jalan kepada diri kita guna memperoleh cahaya, petunjuk dan arahan yang masih
berada di Allah SWT dan yang akan diberikan langsung kepada diri kita.
Untuk itu mari kita
perhatikan perumpamaan berikut ini: Katakan saat ini kita memiliki handphone,
dimana saat diri kita membelinya kita sudah pasti diberikan buku manual yang
berasal dari pabrikan. Jika kita merasa sangat membutuhkan segala fasilitas
yang ada pada handphone maka kita harus mematuhi segala apa-apa yang telah
dikemukakan di dalam buku manual, yang dilanjukan dengan mengaktifasi kartu
perdana, menjaga battery serta mengisi pulsa maka barulah segala apa-apa yang
dijanjikan oleh operator telephone dapat kita peroleh dan melalui buku petunjuk
itu pula kita bisa memperoleh informasi langsung dari pabrikan selaku pembuat
handphone.
Hal yang samapun
berlaku jika kita ingin memperoleh apa-apa yang telah dijanjikan oleh Allah SWT
(dalam hal ini cahaya, petunjuk dan arahan dari Allah SWT) maka kita harus
mematuhi dan melaksanakan segala ketentuan yang ada di dalam AlQuran yang
dilanjutkan dengan mengaktifasi keimanan serta selalu mengerjakan segala apa
yang diperintahkan-Nya dan juga harus selalu berbuat kebaikan kepada sesama.
Dan adalah suatu
yang mustahil terjadi pada diri kita, jika kita abai dan jika kita tidak mau
melaksanakan segala ketentuan yang kami kemukakan di atas lalu Allah SWT mau
memberikan janji-janji-Nya kepada diri kita (dalam hal ini cahaya, petunjuk dan
arahan dari Allah SWT). Untuk itu jika merasa tamu yang sedang menumpang di
langit dan di bumi Allah SWT ini, sudah seharusnya kita yang menumpang tahu
diri bahwa orang yang menumpang harus mengakui, harus melaksanakan segala
ketentuan yang ada di dalam AlQuran, terkecuali jika kita ingin hidup
bertetangga dengan syaitan sang laknatullah di neraka. Allah SWT tidak akan
pernah rugi, atau berkurang kemahaan dan kebesaran-Nya jika kita tidak mau
melaksanakan segala ketentuan yang ada pada AlQuran serta bersiaplah menanggung
segala resiko akibat ulah diri kita sendiri yang tidak mau menjadikan AlQuran
sebagai buku manual saat diri kita menjadi khalifah di muka bumi ini dan
kondisi inilah yang paling dikehendaki oleh syaitan.
Berikut ini akan
kami kemukakan beberapa hikmah dan manfaat yang siap diberikan oleh Allah SWT
kepada diri kita yang mampu menjadikan AlQuran sebagai buku pedoman (manual handbook) saat melaksanakan tugas
di muka bumi ini baik sebagai hamba-Nya maupun sebagai khalifah-Nya, yaitu :
A. MAMPU MELAKSANAKAN KONSEP
MENGENAL ALLAH DAN MENGENAL DIRI.
Adanya AlQuran yang diturunkan oleh Allah SWT akan memudahkan diri kita
di dalam mempelajari Ilmu Tauhid, atau Ilmu mengenal Allah SWT, atau Ilmu
berkomunikasi langsung dengan Allah SWT dimanapun dan kapanpun tanpa melalui
perantara siapapun juga serta apa-apa yang akan diberikan oleh Allah SWT tidak
bisa dicegah, atau dihalangi oleh siapapun juga. Inilah salah satu hikmah dari diturunkannya AlQuran kepada diri kita,
yaitu mampu mengenal Allah SWT yang sesuai dengan kehendak Allah SWT itu
sendiri, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Katakanlah: "Siapakah
yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". Dia menjadi
saksi antara aku dan kamu. dan AlQuran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan
Dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai AlQuran
(kepadanya). Apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di
samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah:
"Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas
diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah).” (surat Al An’am (6) ayat
19).” Sekarang coba kita bayangkan jika Allah SWT tidak pernah
menurunkan AlQuran ke muka bumi ini, lalu apa yang terjadi? Kita tidak tahu apa
itu Allah SWT. Kita tidak mengerti dan paham siapa dan bagaimana Allah SWT. Kita
tidak akan mengetahui bagaimana caranya berkomunikasi dengan Allah SWT dan juga
kita tidak akan mampu merasakan nikmatnya bertuhan kepada Allah SWT dan
seterusnya.
Saat ini, AlQuran yang diturunkan oleh Allah
SWT sudah ada dihadapan diri kita, lalu sudahkah AlQuran yang diturunkan oleh
Allah SWT memudahkan diri kita mengenal dan berkenalan dengan Allah SWT lalu
merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT? Jika belum berarti ada
sesuatu yang salah dalam diri kita di dalam menyikapi keberadaan AlQuran. Karena kitalah yang sangat membutuhkan Allah
SWT sedangkan Allah SWT tidak membutuhkan kita.
Dan setelah
kita mulai mengetahui siapa Allah SWT yang sesungguhnya, langkah berikutnya
adalah kita harus tahu diri karena hal ini merupakan salah satu kunci sukses di
dalam menjalani kehidupan ini. Selain itu dengan tahu diri kita maka kita akan
mengetahui ada hubungan apa antara diri kita dengan Allah SWT sehingga kita
akan mengetahui siapa diri kita sesungguhnya dan siapa Allah SWT yang
sebenarnya. Adanya kondisi ini maka kita akan dapat mengetahui dengan
pasti apa hak hak Allah SWT yang berlaku
kepada diri kita sehingga hal itu menjadi kewajiban bagi diri kita kepada Allah
SWT dan jika ini terjadi terjalinlah hubungan yang harmonis antara diri kita
dengan Allah SWT.
Adanya kondisi di atas ini, mengharuskan diri
kita untuk megetahui betapa pentingnya kita mengenal diri sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ali bin Thalib ra, berikut ini:
1. Mengenal diri adalah ilmu yang paling berguna;
2. Aku heran dengan orang yang mencari barangnya
yang hilang padahal (di saat yang sama) ia kehilangan dirinya namun ia tidak
(berupaya) mencarinya;
3. Aku heran dengan orang yang tidak mengenali
dirinya bagaimana ia akan dapat mengenal Tuhannya?;
4. Puncak makrifat adalah pengenalan seseorang
atas dirinya;
5. Prestasi terbesar (bagi seseorang) adalah
manakala ia berjaya dalam mengenal dirinya;
6. Setiap kali bertambah pengetahuan seseorang,
maka akan bertambah pula perhatiannya kepada dirinya dan ia akan mengerahkan segenap
upayanya untuk mengasah dan memperbaikinya.
Di lain sisi, saat ini kita hidup di muka bumi
ini, ketahuilah bahwa bumi tempat kita hidup bukan kita yang ciptakan dan buka
pula kita yang miliki. Ini berarti:
1. kita hanyalah orang yang sedang menumpang yang
tidak selamanya menumpang karena kita harus keluar dari muka bumi;
2. kita adalah obyek yang diciptakan oleh Allah
SWT sehingga kedudukan obyek tidak sama dengan kedudukan subyek;
3. kita adalah tamu yang tidak selamanya menjadi
tamu sehingga tamu tidak bisa mensejajarkan diri dengan tuan rumah dan tidak
bisa berperilaku seperti layaknya tuan rumah di langit dan di bumi ini.
Sebagai orang yang menumpang, atau sebagai
obyek, atau sebagai tamu di muka bumi ini, maka kita tidak bisa menentukan sendiri
hukum, ketentuan, peraturan, aturan yang berlaku di muka bumi ini. Kita
hanyalah orang yang harus melaksanakan ketentuan dan juga orang yang akan
dinilai atas pelaksanaan dari ketentuan yang telah ditetapkan berlaku.
Dan sebagai orang yang telah tahu diri, jangan
pernah bertindak seolah-olah menjadi tuan rumah di rumah orang lain, atau
bahkan yang mengatur tuan rumah di rumah tuan
rumah yang tidak pernah kita miliki atau dengan
kata lain kita hanyalah obyek yang tidak bisa mengatur subyek. “Barangsiapa yang
mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan barangsiapa yang mengenal
Tuhannya maka binasalah (fana) dirinya.” (Al Hadits). Dan hanya orang yang tahu dirilah yang bisa
menempatkan posisinya dihadapan Allah SWT sebagai tuan rumah, sehingga apabila
ini terjadi maka keharmonisan hidup di muka bumi ini dapat terlaksana dengan
baik. Untuk itu jadilah orang yang menumpang, atau jadilah tamu yang
menyenangkan lagi membanggakan tuan rumah (Allah SWT) saat kita hidup di muka
bumi ini dengan mengetahui aturan main yang berlaku di muka bumi ini dengan
sebaik baiknya yang tertuang dalam AlQuran.
Lalu apakah dengan kita tahu diri, lalu kita
tahu tentang Allah SWT sudah cukup bagi diri kita? Tahu diri dan Tahu Allah SWT
belum sempurna jika belum dilengkapi dengan tahu tentang Nabi Muhammad SAW yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT dan juga tahu tentang orang tua yang
melahirkan kita dan juga mertua kita yang melahirkan suami/istri kita,
sebagaimana firmanNya berikut ini: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu-bapak. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan
yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang
dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku pada waktu kecil.’” (surat Al-Israa’ (17) ayat 23-24)
Allah SWT adalah pembuat skenario rencana besar
kekhalifahan di muka bumi yang sangat sempurna mempersiapkan rencananya. Hal
ini bisa kita rasakan langsung kesempurnaannya. Salah satunya adalah jika
sampai Nabi Muhammad SAW tidak diutus oleh Allah SWT ke muka bumi ini tentu
kita tidak tahu bagaimana cara melaksanakan hak hak Allah SWT dalam kerangka
melaksanakan hubungan yang harmonis antara diri kita dengan Allah SWT. Dan,
diutusnya Nabi Muhammad SAW merupakan suri tauladan bagi diri kita, sebagaimana
firmanNya: “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
Kiamat dan yang banyak meningat Allah. (surat Al Ahzab (33) ayat 21).”
Adanya ketentuan Nabi Muhammad SWT sebagai suri
tauladan bagi manusia maka kita sekarang memiliki contoh, cara, metode yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui
perkataannya, melalui perbuatan (perilaku)nya serta melalui taqrir (perbuatan
sahabat) yang disetujui oleh Nabi Muhammad SAW dan inilah yang disebut dengan
hadits.
Hal terakhir dari tahu diri adalah keberadaan
diri kita di muka bumi ini tidak bisa terlepas dari keberadaan ke dua orang tua
kita dan juga keberadaan ke dua orang mertua kita, tanpa mereka kita tidak
mungkin ada di muka bumi serta tanpa mereka kita tidak akan menjadi seorang
suami/istri seseorang, atau menjadi bapak/ibu dari anak keturunan kita. Adanya
hal ini maka tidak akan sempurna bakti kita kepada Allah SWT jika tidak
diimbangi dengan bakti kepada ke dua orang tua dan juga kepada ke dua mertua
kita, secara berkesinambungan selama hayat masih di kandung badan, melalui apa
apa yang telah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW. Dari
Abdullah bin ’Amru ra, Rasulullah SAW bersabda,“Ridha Allah tergantung pada
ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua” (Hadits
Riwayat Ath Thirmidzi, Al Hakim, Ath Thabrani dan Al-Bazzar).”
Allah SWT selaku
pencipta dan pemilik dari kekhalifahan di muka bumi, sangat menghormati
kedudukan kedua orang tua (dan juga kedua orang mertua kita) sehingga Allah SWT
meletakkan ridha dan murka-Nya tergantung kepada ridha dan murka mereka berdua.
Sebagai orang yang berjiwa muthmainnah, sudah selayaknya dan sepatutnya mampu berbakti
kepada mereka sampai kapanpun juga dan juga mengajarkan kepada anak dan
keturunan kita mengenai hal ini sejak mereka masih kanak kanak.
Di lain sisi, dengan
diri kita tahu siapa orang tua kita (dan juga siapa mertua kita) maka secara
langsung kita terikat dengan kehormatan yang dimiliki oleh kedua orang tua kita
dan juga oleh kedua orang mertua kita serta diri kita terikat pula dengan
harapan dan cita cita mereka berdua kepada anak dan keturunannya. Untuk itu
jika kita telah tahu diri, maka sudah sepatutnya kita berperilaku yang tidak
mencoreng kehormatan mereka berdua saat kita hidup di muka bumi ini. Hal yang
samapun berlaku jika kita telah tahu diri dan tahu tentang Allah SWT maka kita
pun terikat dengan akhlak Allah SWT yang sesuai dengan Nama NamaNya Yang Indah
(asmaul husna). Sehingga segala perbuatan dan tindak tanduk kita harus
berkesesuaian dengan akhlak Allah SWT tersebut jika kita telah tahu diri.
Sebagai orang yang
telah tahu diri, maka kita harus bisa menempatkan diri secara patut dan pantas
dihadapan Allah SWT selaku pencipta dan pemilik kekhalifahan di muka bumi ini.
Dan kita harus bisa memahami bahwa kita bukanlah siapa siapa, bukan apa apa
dibandingkan dengan Allah SWT sehingga kita tidak bisa mensejajarkan diri
dengan Allah SWT. Kita hanyalah obyek
yang tidak bisa melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT selaku
subyek dari rencana besar penghambaan dan kekhalifahan di muka bumi ini. Sebagai
obyek maka sudah sepantasnya dan sepatutnya tahu dan mengerti aturan main yang
ditetapkan berlaku di muka bumi, dalam hal ini adalah AlQuran jika kita memang
orang yang telah tahu diri. Dan agar
diri kita ini termotivasi untuk segera belajar dan memiliki ilmu terutama
tentang mengenal Allah SWT dan mengenal diri sendiri yang dilanjutkan dengan
mengetahui akan menjadi seperti apa diri ini kelak, apakah yang berjiwa taqwa
ataukah yang berjiwa fujur.
Hal
yang harus kita lakukan adalah memaksa diri ini untuk mempelajari AlQuran
minimal 30 (tiga puluh) menit setiap pagi. Ayo paksa diri ini karena memaksa
diri ini hanya bisa dilakukan oleh diri sendiri. Dan ingat, ada sebuah konsekuensi yang harus kita hadapi
jika kita tidak mengenal Allah SWT dan tidak mengenal diri yaitu akan
mempengaruhi proses kematian yang akan kita hadapi kelak. Dan bagi orang yang
mampu beriman kepada Allah SWT atau bagi berjiwa taqwa akan menghantarkan
dirinya ke husnul khatimah, sedangkan bagi orang yang kafir, musyrik atau bagi
yang berjiwa fujur (berjiwa sesat) akan menghantarkan dirinya ke suul khatimah.
Sedangkan kita tahu bahwa
kematian itu adalah sesuatu yang pasti terjadi sehingga segala sesuatunya harus
dipersiapkan dengan matang jauh sebelum kematian itu tiba.
Alangkah indahnya hidup dan kehidupan ini, apalagi saat berada di persimpangan jalan, jika kita sudah mengetahui, sudah memahami, sudah menghayati dan sudah pula mengenal Allah SWT dan mengenal diri yang paling hakiki (memiliki jiwa muthmainnah) lalu tinggal meraih dan merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT yang tercermin dalam perilaku kehidupan yang bermanfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat luas, atau menampilkan kesalehan diri yang tercermin dalam kesalehan sosial. Lalu apa pentingnya kita mempelajari dan memahami serta memiliki ilmu tentang diri sendiri (tahu diri)? Banyak manfaat yang melekat jika kita memiliki ilmu tentang diri sendiri. Berikut ini akan kami kemukakan manfaat yang akan kita peroleh dari mengenal diri sendiri, terutama jati diri kita yang sesungguhnya adalah ruh. Sekali lagi kami ingatkan bahwa jati diri kita yang sesungguhnya bukanlah jasmani melainkan ruh yang asalnya dari Nur Allah SWT.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, apa yang anda pikirkan setelah membaca konsep tahu diri, yang diikuti dengan merenungi tentang pentingnya mengenal diri. Lalu sudah sampai di posisi manakah kita mengenal diri sendiri? Apakah hanya sebatas jasmani dan ruhani semata? Jika kita hanya tahu sebatas itu, maka sebatas itu pula kita tahu diri sendiri. Padahal ilmu tentang jasmani dan ruh sangatlah luas cakupannya dikarenakan banyak hal yang menyertai keduanya. Dan ingat, adanya jasmani dan ruh pada diri kita, baru menghantarkan diri kita sebagai manusia biasa. Akan tetapi untuk menjadikan diri kita sukses menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, yang mampu pulang kampung ke syurga, tidak cukup hanya mengandalkan serta bermodalkan jasmani dan ruh semata, akan tetapi harus mampu pula melaksanakan Diinul Islam secara kaffah (secara keseluruhan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar