Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 28 Juni 2024

PENAMPILAN DIRI SETELAH TAHU DIRI, TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (PART 2 of 2)

 

C.     HABBLUMMINALLAH TERCERMIN DALAM HABBLUMMINANNASS.

 

Salah satu bentuk lainnya dari penampilan diri dari seorang abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang telah tahu diri, yang telah tahu aturan main dan yang telah tahu tujuan akhir adalah  mampu menampilkan “konsep habblumminallah” yang tercermin dalam “konsep habblumminannass”. Lalu bagaimana caranya?

 

Untuk itu mari kita renungkan sebuah pelajaran dari Nabi Musa, as,, yaitu: Pada suatu saat Nabi Musa as berkomunikasi dengan Allah SWT. Nabi Musa as.: "Wahai Allah aku sudah melaksanakan ibadah. Lalu manakah ibadahku yang membuat engkau senang?".Allah SWT: “Syahadat mu itu untuk dirimu sendiri, karena dengan engkau bersyahadat maka terbukalah pintu bagimu untuk bertuhankan kepada Ku. Allah SWT: "Shalat mu bukan untuk Ku tetapi untukmu sendiri, karena dengan kau mendirikan shalat, engkau terpelihara dari perbuatan keji dan munkar. Dzikir? Dzikirmu itu membuat hatimu menjadi tenang. Puasa? Puasamu itu melatih dirimu untuk memerangi hawa nafsumu". Zakat itu untuk membersihkan apa apa yang telah engkau miliki. Menunaikan Haji untuk menjadikan kamu menjadi lebih dekat kepada Ku setelah berkunjung kerumah Ku.” Nabi Musa as,: "lalu apa ibadahku yang membuatmu senang ya Allah?" Allah SWT: "Sedekah, Infaq, Wakaf serta Akhlaqulkarimah-mu yang menceriminkan nilai nilai Asmaul Husna. Itulah yang membuat aku senang, Karena tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang susah, aku hadir disampingnya. Dan Aku akan mengganti dengan ganjaran kepadamu”. 

 

Berdasarkan pelajaran dari Nabi Musa as, di atas terlihat dengan jelas bahwa ibadah yang kita lakukan hanyalah sarana untuk kepentingan kebutuhan dasar dari diri kita sendiri. Contohnya, syahadat bukanlah sebatas kita bersaksi bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah” melainkan sebuah pernyataan sikap diri kita terhadap keimanan yang telah kita nyatakan dalam rukun iman sebagai bentuk pelaksanaan Diinul Islam sehingga terikatlah diri kita sebagai abd’ (hamba)-Nya dan Allah SWT selaku Rabb. Demikian pula dengan mendirikan shalat, dimana shalat bukanlah sekedar pelaksanaan dari rukun Islam melainkan sebagai bentuk komunikasi aktif diri kita kepada Allah SWT yang mana hasil akhir dari komunikasi aktif ini untuk kepentingan diri kita yang salah satunya untuk memenangkan konsep hidup adalah sebuah permainan.

 

Bagaimana dengan puasa, puasa bukanlah sekedar menahan lapar, haus dan syahwat semata dalam kurun waktu tertentu, melainkan sebuah proses yang dikehendaki oleh Allah SWT agar diri kita selalu berada di dalam kefitrahan dan pada saat yang bersamaan diri kita juga diwajiban untuk membersihkan harta dan kekayaan yang kita miliki melalui ibadah menunaikan zakat. Sehingga setelah puasa Ramadhan ruh tetap dalam kefitrahan, jasmani menjadi lebih sehat sedangkan harta kekayaan telah menjadi bersih setelah berzakat. Sedangkan ibadah haji bukan sekedar melaksanakan rukum Islam yang kelima semata, namun bagaimana merasakan rasa menjadi tamu Allah SWT di Baitullah sebagai bentuk dari hasil dari pendidikan (pengajaran) saat diri kita menjadi tuan rumah bagi tamu agung yaitu bulan Ramadhan yang setiap tahun datang kepada diri  kita.

 

Selanjutnya apabila kita hanya sibuk dengan ibadah ritual (syariat) semata dan bangga akan itu (maksudnya sibuk dengan ibadah Habblumminannallah) tanpa pernah merasakan hakekat ibadah yang tidak melanggar syariat  sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT maka itu tandanya kamu hanya mencintai dirimu sendiri (egois), bukan cinta kepada Allah SWT. Hal ini dikarenakan cerminan dari orang yang mampu merasakan hakekat ibadah tanpa melanggar syariat akan tercermin dari mampunya orang tersebut menunjukkan hasil ibadahnya (ibadah habblumminallah) yang tercermin langsung di dalam ibadah habblum-minannassnya. Akhirnya jika kita telah mampu berbuat dan berkorban untuk orang lain serta melunakkan hati untuk kepentingan orang lain maka itu tandanya kita mencintai Allah SWT dan tentu Allah SWT senang karenanya.

 

Buatlah Allah SWT senang dan bangga kepada diri kita maka Allah SWT akan limpahkan rahmat-Nya dengan membuat hidupmu lapang dan bahagia. Jangan lupa jadikan perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada diri kita sebagai sebuah kebutuhan karena ini adalah kunci kesuksesan hidup di dunia dan akhirat kelak. Dan ingat bahwa dibalik diri kita melaksanakan setiap perintah Allah SWT yang telah diperintahkan kepada diri kita disana ada ketertundukan dan kepatuhan diri kita kepada Allah SWT. Adanya ketertundukan dan kepatuhan diri kepada Allah SWT akan melahirkan ikhlas berbuat bagi kepentingan umum tanpa memandang kepada siapa ia berbuat lalu setelah berbuat ia lupakan perbuatan itu karena siap untuk berbuat kebaikan yang lain lagi. Sehingga diri kita akan mampu menjadi panutan, atau menjadi pelopor yang mampu menggerakkan masyarakat untuk ber-buat kebaikan.

 

D. SESEORANG YANG SELALU MAMPU MELAKUKAN PERUBAHAN DAN PERBAIKAN DIRI.

 

Hidup yang kita lakukan saat ini ini bak roda pedati, kadang di atas kadang di bawah, kadang senang kadang susah, kadang bahagai kadang sengsara, semuanya silih berganti dan semua orang pasti akan mengalami kondisi ini sehingga tidak akan ada jalan yang mulus dari waktu ke waktu. Namun sebagai orang yang beriman lagi bertaqwa tentu kita harus mengetahui dengan baik dan benar tentang ketentuan yang terdapat di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 186 berikut ini: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “ Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (surat Al Baqarah (2) ayat 286)

 

Ayat di atas ini, menunjukkan kepada diri kita bahwa segala yang kita alami saat hidup di muka bumi ini bukanlah sesuatu yang melebihi kesanggupan kita. Akan tetapi apa yang kita alami atau jalani adalah sesuatu yang pasti dapat kita lalui dan jalani. Lalu apakah yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Baqarah (2) ayat 286 di atas tidak kita percayai? Adanya jaminan dari Allah SWT bahwa kita pasti bisa menghadapi segala ujian, cobaan, rintangan, tantangan berarti kita pasti bisa menjadi pemenang, ingat bukan pecundang.

 

Setelah diri kita meyakini bahwa kita pasti bisa sanggup menghadapi segala rintangan, tantangan, ujian dan cobaan hidup, kondisi ini tidak terlepas dari mampunya diri kita melaksanakan ketentuan yang termaktub dalam surat Ar Ra’d (13) ayat 11 berikut ini: “Baginya (manusia) ada malaikat malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka taka da pelindung bagi mereka selain Dia. (surat Ar Ra’d (13) ayat 11).”

 

Ayat di atas ini menegaskan bahwa jika kita mau mengadakan perubahan (merubah) apa apa yang ada di dalam diri kita, seperti malas kita rubah menjadi rajin, pelit kita rubah menjadi dermawan, berpikiran (berwawasan) jangka pendek kita rubah menjadi berwawasan luas dan jangka panjang, bangun siang menjadi bangun pagi, sikap ego menjadi bersyukur, dompet (saku) selalu dikunci menjadi sering berderma, berat tangan dirubah menjadi ringan tangan maka Allah SWT akan merubah kondisi dan keadaan diri menjadi lebih baik.

 

Jika kita tetap tidak mau merubah atas apa apa yang ada di dalam diri kita sendiri, maka bersiap siaplah untuk dirubah oleh perubahan baik yang berasal dari internal diri (hawa nafsu dan setan) ataupun yang berasal dari eksternal diri. Selain daripada ketahuilah, saat diri kita melakukan perubahan menuju kebaikan, maka pada saat itu pula setan melaksanakan aksinya kepada diri kita agar jangan sampai terjadi perubahan.

 

Namun pada saat yang bersamaan Allah SWT telah menempatkan malaikat di depan dan di belakang diri kita untuk menjaga diri kita secara bergiliran agar upaya diri kita untuk merubah keadaan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT menjadi lebih mudah. Adanya kondisi ini menunjukkan bahwa Allah SWT sangat mendukung usaha manusia untuk menjadi orang orang yang sesuai dengan kehendak-Nya. Ayo segera manfaatkan peluang dan kesempatan ini sebelum semuanya terlambat yang hanya ada pada sisa usia yang kita miliki.

 

E. SESEORANG YANG MAMPU MELINDUNGI DIRI DAN KELUARGANYA DARI API NERAKA.

 

Salah satu bentuk lainnya dari penampilan seseorang yang telah mampu tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir adalah mampu melindungi dirinya sendiri, keluarganya, kerabatnya dari api neraka sebagaimana firman-Nya berikut ini: Wahai orang orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat malaikat yang kasar, dank eras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (surat At Tahrim (66) ayat 6).” Inilah kondisi yang paling dikehendaki dan dicita-citakan oleh seluruh umat manusia, yaitu bisa berkumpul dengan keluarga besar di syurga. Namun kondisi ini tidak akan bisa terlaksana jika kita yang telah menjadi orang tua, apakah menjadi seorang suami ataukah menjadi seorang istri, tidak mampu memelihara diri, keluarga, anak keturunan dari api neraka, atau hanya mementingkan diri sendiri tanpa memperdulikan keluarga. 

 

Salah satu bukti bahwa diri kita mampu memelihara diri dan keluarga dari api neraka, yaitu mampu memberikan nafkah kepada keluarga berupa makanan yang halal lagi baik (thayyib) yang dibiayai dari penghasilan dan/atau pekerjaan yang juga halal, sebagaimana ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 168 berikut ini: ““Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (surat Al Baqarah (2) ayat 168).”

 

Namun apabila yang terjadi adalah kita mencampur penghasilan yang kita peroleh dengan sesuatu yang haram, atau melakukan pekerjaan yang haram yang mengakibatkan penghasilan atau nafkah kepada keluarga terkontaminasi dengan yang haram berarti kita sendirilah yang secara sadar yang menjerumuskan anak, keluarga dan diri kita sendiri ke dalam api neraka, sebagaimana yang dikehendaki oleh setan sang laknatullah.

 

Selain daripada itu, sebagai bukti diri kita mampu memelihara diri dan keluarga dari api neraka, sudahkah diri kita memberikan pendidikan atau mendidik anak keturunan diri kita dengan mendahulukan pendidikan agama (akhlaq dan akidah) dibandingkan pendidikan umum yang dimulai sejak anak masih di dalam kandungan sampai mereka siap menjadi generasi penerus keluarga. Jika belum berarti ada yang salah dalam pola pendidikan yang kita lakukan kepada anak keturunan kita.

 

Lalu apakah hanya sampai disini saja kita memelihara diri dan keluarga dari api neraka? Ada satu hal yang sering terlupakan yaitu saat kita berdoa untuk kepentingan keluarga, kita sering membatasi doa yang kita panjatkan untuk kepentingan anak dan cucu semata. Jika ini yang terjadi maka jangan salahkan anak keturunan setelah cucu menjadi tidak sesuai dengan cita cita dan harapan orang tua karena ulah kita sendiri yang tidak mau mendoakan mereka. Untuk itu jika kita berdoa jangan batasi hanya sampai anak cucu semata, melainkan untuk anak dan keturunanku seterusnya.

 

Sehingga dengan doa yang kita panjatkan terbukalah jalan untuk anak keturunan kita sampai dengan hari kiamat kelak serta kesempatan untuk didoakan oleh anak dan keturunan kita juga terbuka lebar kepada diri kita. Hal ini menjadi penting kita ketahui karena keberadaan anak dan keturunan tidak bisa dilepaskan dengan kehormatan yang dimiliki oleh orang tuanya serta kakek neneknya. Sehingga mereka terikat pula dengan doa, harapan dan cita cita diri kita selaku orang tua sehingga antara diri kita dengan anak keturunan kita berada di dalam kesamaan Diinul Islam.

 

Untuk itu jika kita telah tahu diri, maka sudah sepatutnya kita berperilaku yang tidak mencoreng kehormatan orang tua & mertua kita saat kita hidup di muka bumi ini. Dan jika sampai kita memalukan kedua orang tua & mertua kita maka tercoreng pula harkat dan martabat dari keturunan mereka oleh ulah diri kita sendiri dan akhirnya betapa kecewa dan malunya mereka akibat ulah diri kita. Namun alangkah bahagia dan bangganya mereka jika kita mampu menghantarkan anak keturunan kita sesuai dengan harapan dan cita cita mereka. Semoga diri kita, keluarga kita, anak dan keturunan kita dapat berkumpul di syurga kelak. Amiin.

 

F.    SESEORANG YANG TIDAK MENINGGALKAN GENERASI PENERUS YANG LEMAH.

 

Salah satu bentuk penampilan dari orang yang telah tahu diri, tahu aturan main dan telah tahu pula tujuan akhir ialah ia tidak meninggalkan generasi penerus yang lemah. Hal ini sebagaimana telah diingatkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut ini: “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (surat An Nisaa’ (4) ayat 9).” Adanya peringatan dari Allah SWT yang tertuang di dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 9 di atas menunjukkan bahwa anak kita atau generasi penerus dari diri kita seharusnya  menjadi anak dan juga generasi penerus yang kuat, sehat, bertauhid, berilmu, berpendidikan dan juga memiliki tingkat ekonomi yang mapan serta tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir.  Dan jangan sampai kita hanya mampu menjadikan anak keturunan kita semata-mata anak biologis tanpa mampu menjadikan anak kita menjadi anak didik untuk menjadi penerus keluarga, bangsa dan negara.

 

Untuk menjadikan generasi penerus yang kuat, sehat, bertauhid, berilmu, berpendidikan dan mampu secara ekonomi, apalagi yang tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir bukanlah perkara mudah. Kondisi ini harus kita mulai dari diri sendiri yang berakidah (beriman) serta memiliki penghasilan (kekayaan) yang halal lagi baik (thayyib). Kemudian kita harus mendahulukan pendidikan ketauhidan (akidah) kepada anak sehingga kita tidak meninggalkan anak (generasi) yang lemah akidah (iman)nya. Hal ini dikarenakan akidah (keimanan dan ketaqwaan) merupakan sumber kekuatan, sumber kenyamanan, pangkal kebahagiaan dalam hidup.

 

Orang yang lemah akidah (iman)nya akan mudah terpengaruh perbuatan syirik, musyrik dan juga munafik sehingga hidupnya tanpa memiliki pegangan (pendirian) yang teguh dan bahkan mudah menjual (menggadaikan) imannya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Luqman (31) ayat 13 berikut ini: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar.

 

Hal berikutnya yang harus kita lakukan selaku orang-orang yang telah mampu tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir kepada anak keturunan kita adalah kita harus bisa menjadikan anak keturunan kita menjadi generasi yang istiqamah dalam beribadah sehingga ia mampu memiliki pegangan hidup dan tidak mudah untuk diintervensi (dipengaruhi) oleh orang lain. Sebaliknya orang yang lemah (malas-malasan) dalam ibadahnya, maka hidupnya tidak akan bahagia, terombang-ambing tanpa ada kejelasan.

 

Setelah anak memiliki akidah (keimanan) yang dilanjutkan dengan mampunya anak istiqamah dalam beribadah langkah berikut adalah jangan sampai kita meninggalkan anak yang lemah ilmunya (rendah pendidikannya). Adanya kemampuan ilmu yang mumpuni dari anak maka kesempatan anak untuk berbagi ilmu melalui program belajar tanpa melupakan mengajar menjadi terlaksana. Sehingga ketersinambungan antar generasi shaleh dan shalehah dapat terlaksana di tengah masyarakat melalui ilmu yang dimiliki oleh anak keturunan kita. Dan yang terakhir adalah jangan sampai kita meninggalkan anak (generasi) yang lemah tingkat ekonominya (sehingga menjadi mustahik), dan  hidupnya menjadi beban bagi orang lain. Dan semoga kita mampu memberikan pendidikan yang tinggi kepada anak keturunan kita sendiri ataupun kepada orang lain sehingga ia memiliki ilmu dan pengetahuan lalu ia menjadi muzakki-muzakki generasi baru yang bermanfaat bagi khalayak ramai. Semoga Allah SWT memudahkan hal ini. Aamiin.

 

Pembaca dan jamaah yang kami hormati, hanya inilah yang mampu kami tulis, hanya inilah yang mampu kami ungkapkan, hanya inilah yang mampu kami berikan sebagai sumbangsih kami kepada diri, keluarga, anak dan keturunan, masyarakat, bangsa dan juga Negara dan juga untuk generasi yang datang di kemudian hari. Semoga buku ini bermanfaat sesuai dengan peruntukannya yaitu mampu menjadikan diri kita tetap sebagai “Makhluk yang Terhormat, yang mampu berperilaku Terhormat, untuk bisa pulang kampung ke tempat yang Terhormat dengan cara yang Terhormat sehingga kita bisa bertemu dengan Yang Maha Terhormat dalam suasana yang saling hormat menghormati.

 

Dan tak lupa kami ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada siapapun juga yang turut membantu kami di dalam menulis buku ini hingga sampai ke tangan pembaca dan semoga Allah SWT menjadikan hal ini sebagai ibadah yang pahalanya terus dan terus mengalir sepanjang buku ini ada, dipelajari oleh banyak jamaah dan diajarkan kembali oleh jamaah kepada yang lainnya. Mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan di hati. Semoga Allah SWT menambah Ilmu kita, semoga Allah SWT memberikan pemahaman yang sesuai dengan kehendak Allah SWT itu sendiri, semoga kita mampu melaksanakan apa apa yang telah kita pelajari serta semoga Allah SWT mengabulkan harapan dan doa yang kita panjatkan kepada-Nya dan kita semua selalu di dalam lindungan-Nya. Sebagai penutup dari buku, tidak ada kata kata penutup yang paling indah selain kata, “Alhamdulillahi Rabbil Alamin” Inilah kata yang berisi ungkapan syukur yang sangat luar biasa kepada Allah SWT. Rasa bersyukurlah sebagai cara pamungkas agar segala nikmat yang kita peroleh dan selalu ditambah oleh Allah SWT dari waktu ke waktu.


PENAMPILAN DIRI SETELAH TAHU DIRI, TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (PART 1 of 2)


 

Jika saat ini kita masih hidup maka inilah saatnya diri kita menunjukkan dan melaksanakan hidup yang sesuai dengan kehendak Allah SWT dalam kerangka memperlihatkan kualitas diri kita, baik sebagai abd’ (hamba)-Nya dan juga sebagai khalifah-Nya di muka bumi yang sudah tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir.  Lalu seperti apakah bentuk penampilan diri kita itu? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa bentuk penampilan di maksud, yaitu:

 

A.     SEORANG PEMBELAJAR DAN YANG TIDAK LUPA UNTUK MENGAJAR.

 

Salah satu bentuk penampilan diri dari seseorang yang telah tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir adalah mampu menampilkan dirinya adalah seorang pembelajar yang setelah belajar ia tidak lupa mengajarkan ilmu yang telah dimilikinya kepada sesama manusia. Adanya bentuk penampilan seperti ini merupakan bentuk dari diri kita yang memiliki kewajiban untuk belajar yang telah diperintahkan Allah SWT kepada umat manusia, sebagaimana firmanNya berikut ini: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (surat At Taubah (9) ayat 122).

 

Ayat ini menegaskan kepada kita agar diri kita belajar untuk memperdalam ilmu pengetahuan secara umumnya termasuk di dalamnya tentang ilmu agama agar kita bisa memberikan peringatan kepada sesama. Untuk itu berhati-hatilah jika kita telah memiliki ilmu dan pengetahuan, lalu jangan sampai ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi kebaikan bagi diri kita justru menjadi bumerang bagi diri kita karena kita tidak mau mengajarkan kepada sesama, atau kita tidak mau melaksanakan atas apa apa yang telah kita pelajari.

 

Proses belajar menjadi hal yang penting bagi diri kita karena kita tidak akan bisa menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT tanpa pernah memiliki ilmu dan pemahaman yang baik lagi benar. Yang mana kondisi ini hanya bisa diperoleh melalui proses belajar yang berkesinambungan dari waktu ke waktu. Ingat, hanya melalui proses belajar yang berkesinambungan yang diikuti dengan tekad yang bulat untuk melaksanakan apa apa yang telah dipelajari barulah kita akan merasakan dan menjadikan diri kita memiliki kepribadian orang-orang yang telah tahu diri, telah tahu aturan main dan tahu tujuan akhir.

 

Untuk itu buang jauh-jauh konsep sekedar membaca buku, atau hanya sesekali belajar lalu kita bisa memperoleh hasil yang baik dan maksimal.Lalu mulai kapan kita wajib belajar? Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW telah memerintahkan “carilah ilmu sejak dari buaian hingga masuk liang lahat”. Adanya perintah ini berarti kita wajib untuk belajar dan belajar serta belajar tiada henti. Panjangnya proses belajar yang harus kita lakukan bukanlah tanpa alasan yang mendasarinya. Untuk itu perhatikanlah: (1) Tantangan hidup baik berupa ujian dan cobaan yang juga ada sepanjang kita hidup di muka bumi ini; (2) Jangka waktu permusuhan antara diri kita dengan setan, yang mana permusuhan diri kita dengan setan juga berlangsung  sepanjang hayat masih di kandung badan. Untuk itu perhatikanlah dengan seksama hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata; Nabi bersabda: “Orang yang mengerti (agama) lebih sukar dipengaruhi syaitan daripada seribu orang yang shalat”.(Hadits Riwayat Aththirmidzi, Ibnu Majah) dimana setan mengalami kesukaran di dalam mempengaruhi orang yang mengerti atau paham dengan Diinul Islam dibanding dengan seribu orang yang shalat. Jika seperti ini kondisinya berarti orang yang berilmu sangat diperhitungkan oleh setan sang laknatullah.

 

Dan agar diri kita mampu belajar dari waktu ke waktu, ada baiknya kita perhatikan uraian berikut ini: Sebagaimana telah kita imani bahwa Allah SWT adalah pencipta yang sekaligus pemilik dari alam semesta ini termasuk di dalamnya pencipta dan pemilik atas keberadaan manusia yang ada di muka bumi. Adanya kondisi ini maka dapat dipastikan hanya Allah SWT sajalah yang paling mengerti, yang paling mengetahui, yang paling ahli dan yang paling paham tentang apa apa yang diciptakan-Nya dan yang dimiliki-Nya. Selanjutnya Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari alam semesta ini telah mengemu-kakan tentang belajar dalam surat Al Alaq (96) ayat 1 sampai 5 yang juga merupakan wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril as, sebagaimana berikut ini: “bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589], Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (surat Al Alaq (96) ayat 1 sampai 5) 

[1589] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.

Berdasarkan ketentuan surat Al Alaq (96) ayat 1 sampai ayat 5  di atas, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, yaitu:  

 

1.   Allah SWT berkehendak kepada umat manusia, termasuk kepada diri kita bahwa apa- apa yang kita pelajari dari AlQuran yang di dalamnya terdapat ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat kauliyah melalui proses membaca harus kita imani itu adalah kalam Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril as.

 

2.  Nabi Muhammad SAW bukanlah narasumber utama dari AlQuran melainkan hanyalah penerima wahyu semata, Allah SWT lah narasumber utama dari AlQuran

 

3.  Allah SWT memberikan tantangan kepada umat manusia untuk mempelajari AlQuran melalui proses membaca. Ingat, AlQuran bukanlah buku bacaan yang sekedar dibaca tanpa pernah tahu makna yang terkandung di dalamnya..

 

4.   Allah SWT juga telah memerintahkan kepada umat manusia untuk mengkaji isi dan kandungan yang terdapat di dalam AlQuran melalui proses baca tulis (kalam).

 

Di lain sisi, Allah SWT selaku Dzat yang paling mengetahui dan yang paling memahami apa apa yang telah diciptakan-Nya dan yang dimiliki-Nya telah memberikan penegasan pada ayat ke lima surat Al Alaq yang berbunyi, “Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” Adanya kondisi ini berarti:

 

1.   Allah SWT telah memberikan komitmen yang bersifat terbuka kepada umat ma-nusia untuk diajarkan apa apa yang tidak diketahuinya;

2.    Allah SWT akan menjadi Maha Guru Utama yang akan mengajarkan apa apa yang tidak diketahui oleh manusia dan;

3.  Allah SWT menunjukkan tanggungjawabnya terhadap wahyu yang telah ditu-runkannya sehingga manusia mampu menjadi tahu dan mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui yang berasal dari narasumber utama AlQuran.

 

Lalu kapankah Allah SWT akan mengajarkan sesuatu yang tidak diketahui manusia?  Allah SWT selaku pencipta dan pemilik alam semesta ini baru akan mengajarkan kepada manusia tentang hal hal yang tidak diketahui oleh manusia, jika manusia memenuhi hal hal sebagai berikut:

 

1.  Manusia harus beriman terlebih dahulu kepada Allah SWT selaku narasumber utama dari AlQuran, yang diikuti selalu mengajak Allah SWT sewaktu diri kita akan mempelajarinya sebagaimana ayat pertama surat Al Alaq, yaitu, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.”

 

2.  Berdoa dengan memohon kepada-Nya untuk dibimbing, untuk diberi tambahan ilmu dan pemahaman yang sesuai dengan kehendak-Nya sebelum memulai mempelajari AlQuran.

 

3.     Bersungguh-sungguh sewaktu mempelajari AlQuran yang diiringi dengan niat yang ikhlas, konsisten dan disipilin dalam belajar, tidak bermalas malasan waktu mempelajari AlQuran, serta teratur saat mempelajarinya.

 

4.  Setelah mempelajari AlQuran secara bertahap maka kita harus mulai melaksa-nakan apa apa yang telah dipelajari secara bertahap dari waktu ke waktu, yang diikuti dengan merenungi, atau memperhatikan ciptaan Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam 3 (tiga) buah ayat berikut :“Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan? Dan langit, bagaimana ditinggikan? Dan gunung gunung bagaimana ditegakkan? Dan bumi, bagaimana dihamparkan? (surat Al Ghasiyah (88) ayat 17, 18, 19, 20)

 

Allah SWT berfirman: “(yaitu) orang orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit  dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan, tidakkah Engkau menciptakan semua ini sia sia. Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (surat Ali Imran (3) ayat 191)

 

Allah SWT berfirman: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah memulai penciptaan (makhluk), kemudian Dia mengulanginya (kembali). Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Katakanlah, “Berjalanlah di bumi, maka perhatikanlah bagaimana (Allah)  memulai penciptaan (mahkluk), kemudian Allah menjadikan kejadian yang akhir. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (surat Al Ankabut (29) ayat 19, 20)

 

Hal yang harus kita pahami adalah setelah kita mampu melaksanakan 4 (empat) tahapan yang kami kemukakan di atas, tidak serta merta kita bisa menguasai atau bisa memahami AlQuran yang sesuai dengan kehendak Allah SWT secara keseluruhan. Namun apa yang kita lakukan barulah tahapan tahapan yang tidak bisa selesai sampai disitu aja, melainkan harus kita lakukan terus dan terus sepanjang hayat masih di kandung badan. Adanya hal ini maka seiring dengan waktu maka Allah SWT akan menambah pemahaman yang kita miliki dan dari situlah akan terasa betapa hebat dan luar biasanya AlQuran dan betapa Allah SWT sangat maha serta kita bukanlah apa apa.

 

Yang menjadi persoalan adalah setelah kita belajar, belajar dan belajar maka pelajaran yang telah kita terima akan menjadi sebuah kesiasiaan jika apa-apa yang telah kita pelajari hanya sampai pada diri kita sendiri dan jadilah diri kita orang yang egois yang hanya mementingkan diri sendiri. Sedangkan hadits berikut ini mengajarkan kepada kita untuk selalu berbagi, Abu Hurairah ra, berkata, Nabi bersabda: “Sesungguhnya yang dicapai oleh orang mukmin dari amal dan perbuatan sesudah matinya ialah: ilmu pengetahuan yang di dapatnya dan disebarkan dan budi baik yang dia tinggalkan, atau buku yang ia berikan untuk diwarisi, atau tempat sembahyang yang ia bangun, atau sebuah terusan yang ia gali, atau derma ia lakukan dari kekayaannya selama ia sehat dan sakit”. (Hadits Riwayat Ahmad).” Sebagai orang yang telah tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir,  ketahuilah ilmu yang kita miliki belum dikatakan menja-di ilmu yang bermanfaat jika hanya kita yang memilikinya atau hanya sampai diri kita saja. Ilmu yang kita miliki baru bisa dikatakan Ilmu yang bermanfaat jika ilmu yang kita miliki itu kita ajarkan kepada orang lain seperti kepada keluarga dan kepada masyarakat lalu masyarakat bisa merasakan rasa bertuhankan kepada Allah SWT seperti yang kita rasakan.

 

Semakin banyak yang kita ajarkan akan semakin banyak manfaat yang dirasakan oleh orang banyak serta semakin baiklah diri kita dihadapan Allah SWT kelak. Dan ingat ilmu dan pengetahuan yang kita miliki akan dimintakan pertanggung jawabannya oleh  Allah SWT dan jika sampai kita kita tidak mau mengajarkan bagaimana mungkin kita akan mampu mempertanggung- jawabkannya kepada Allah SWT kelak? Untuk itu perhatikanlah dua buah hadits yang kami kemukakan berikut ini: Abu Hurairah ra, berkata: Nabi bersabda: “Orang yang ditanya tentang pengetahuan dan menyembunyikannya, akan dikekang dengan kekangan api pada hari kiamat”. (Hadits Riwayat Abu Daud, Athtirmidzi,Ibnu Madjah)

 

“Abu Dharda ra, berkata: Nabi bersabda: Sesungguhnya seburuk buruknya manusia pada hari kiamat ialah orang pintar yang ilmu pengetahuannya tidak menguntungkan”. (Hadits Riwayat Ad Darimi). Berdasarkan ketentuan kedua hadits ini, terlihat dengan jelas sehabis belajar jika tidak mau mengajarkan atau mengajarkan dengan cara ditutut tutupi bersiaplah merasakan resikonya di akhirat kelak.

 

Sekarang apa yang akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT kelak jika saat ini kita hanya pasif belajar tanpa pernah mengajarkan sesuatu kepada orang lain padahal resiko sangat luar biasa. Untuk ketahuilah wahai para pembelajar, apabila kita mampu mengajar atau berbagi ilmu pengetahuan maka semakin kita berbuat (melaksanakan dan juga mengajar) maka semakin halus dan tajam serta mendalam pula ilmu dan pengetahuan yang kita miliki. Yang pada akhirnya mampu menghantarkan diri kita kepada kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT melalui ilmu dan pengajaran yang kita lakukan, sebagai-mana hadits berikut ini: Dari Abdullah ibnu Mas’ud berkata Nabi bersabda: “Janganlah ingin seperti orang lain kecuali seperti dua orang ini. Pertama orang yang diberi Allah kekayaan yang berlimpah dan ia membelanjakannya secara benar, kedua orang yang diberi Allah SWT Alhikmah (pemahaman) dan ia berperilaku sesuai dengannya dan mengajarkannya kepada orang lain”. (Hadits Riwayat Bukhari)

 

Dan jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti saat ini kita sedang menjalani sisa usia yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Berapa lama sisa usia kita saat ini? Kita tidak pernah tahu dan tidak akan pernah tahu karena Allah SWT sajalah yang tahu. Lalu apakah di sisa usia yang tidak kita ketahui ini kita hanya sibuk belajar, belajar dan belajar tanpa pernah merasakan hasil dari pelajaran yang kita terima yang dilanjutkan dengan mengajarkan ilmu pengetahuan yang kita miliki kepada sesama? Lalu kapan lagi kita mau berbuat kebaikan dengan ilmu dan pengetahuan yang kita miliki jika tidak sekarang? Jangan sampai terlambat karena kita memiliki keterbatasan usia dan juga keterbatasan kemampuan untuk berbagi serta adanya keterbatasan kesempatan yang hanya datang satu kali dan juga waktu tidak bisa diputar ulang.

 

Sebagai orang yang telah tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir, pernahkah kita membayangkan jika ketentuan hadits berikut ini, terjadi dalam kehidupan anak dan keturunan kita kelak, “Ibnu Amru bin al Ash berkata: Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya Tuhan tidak mengambil (ilmu) pengetahuan manusia, melainkan dengan mengambil orang yang berilmu, maka apabila tidak ada lagi orang berilmu, manusia menjadi bodoh disebabkan karena mereka sendiri, dan mereka memutuskan (sesuatu) tanpa ilmu, berarti menyalahkan diri mereka sendiri dan membawa orang lain kepada kesalahan”. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Aththirmidzi).” Sekarang bayangkan jika orang orang berilmu (orang yang memiliki ilmu agama) telah dipanggil oleh Allah SWT lalu orang yang masih hidup tidak mau belajar atau tidak merubah pola berfikirnya tentang belajar dan mengajar terjadilah apa yang dinamakan dengan penurunan kualitas sumber daya manusia. Jadi jangan pernah salahkan anak dan keturunan kita jika mereka berkualitas dan berpemahaman rendah jika kita sendiri hanya mau belajar tanpa pernah mau mengajar atau berbagi melalui tulisan!.

 

B.  MAMPU MENJADIKAN  DIRINYA  SEBAGAI  BENTUK PENAMPILAN ALLAH SWT

 

Salah satu bentuk lainnya dari penampilan diri dari seseorang yang telah tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir adalah mampu menampilkan dirinya sebagai bentuk penampilan Allah SWT di muka bumi ini, sebagaimana pengertian dasar dari khalifah dalam arti yang tersembunyi. Lalu seperti apakah bentuk penampilan diri kita setelah mampu melaksanakan ketentuan tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir, apakah lebih mementingkan penampilan phisik (jasad) semata ataukah menampilkan penampilan Allah SWT sebagaimana konsep Asmaul Husna?

 

Sebagai orang yang telah tahu diri maka diri kita yang sesungguhnya bukanlah jasmani sehingga apabila diri kita masih sibuk dengan menampilkan bentuk penampilan jasmani seperti memanjangkan jenggot, atau berpakaian yang katanya pakaian ala Rasulullah dan lain sebagainya berarti kita termasuk orang yang belum tahu diri, sebagaimana hadits berikut ini: Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi ia melihat hati dan amal kalian. (Hadits Riwayat Muslim, Abu Dawud, Ibn Hibban, Ahmad).” Sedangkan tolak ukur kemuliaan seorang hamba di mata Allah SWT terletak pada keimanan dan ketaqwaannya, bukan pada perkara-perkara lahiriah seperti rupa, fisik, penampilan jasmani seperti jenggot atau pakaian dan lain sebagainya.

 

Dan senada dengan hadits yang kami kemukakan di atas, Allah SWT juga menegaskan dalam firman-Nya berikut ini: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (surat Al Hujuraat (49) ayat 13).

 

Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT tidak memandang bentuk tubuh dan keindahan rupa seseorang, apakah tubuhnya itu besar atau kecil, sehat ataukah sakit, apakah wajahnya rupawan ataukah tidak, semuanya itu tidak ada nilainya di mata Allah SWT. Demikian juga, Allah SWT tidak memandang seseorang berdasarkan keturunan (nashab) dan hartanya. Tidak peduli seseorang dari kalangan strata sosial tinggi maupun rendah, apakah ia kaya ataukah miskin, Allah SWT selamanya tidak memandang semua itu.

 

Hubungan antara Allah SWT dengan hamba-Nya hanya didasarkan pada tingkat keimanan dan ketaqwaannya. Siapa yang paling beriman dan bertaqwa, maka dialah yang paling dekat dengan Allah dan paling mulia di sisi-Nya. Oleh karena itu, tidaklah pantas seseorang membangga-banggakan hartanya, keelokan rupa wajahnya, fisiknya, jidat hitamnya, panjangnya jenggot dan pakaian yang dikenakannya, keturunannya, gelar akademisnya, rumah-rumah megahnya, kemewahan fasilitas hidup, dan lain sebagainya dari perkara dunia. Selain daripada itu, kemuliaan seseorang di mata Allah SWT juga ditentukan oleh kondisi hatinya,sebagaimana Rasulullah SAW menegaskan dalam sabdanya. Hati menjadi poros dari segala amal. Di sanalah tempatnya niat, keikhlasan, keimanan dan ketaqwaan.


Betapa banyak manusia yang amal perbuatannya tampak bagus dan lurus secara lahiriah, tapi ternyata bernilai rusak di mata Allah SWT karena dibangun di atas niat yang salah. Maka bisa jadi dua orang terlihat dalam barisan shaf shalat yang sama, mengikuti satu imam shalat yang sama, gerakan shalat dari awal sampai akhir pun juga sama, tapi sesungguhnya antara keduanya sama sekali berbeda seperti perbedaan barat dan timur. Yang demikian itu bisa terjadi karena dibangun di atas niat yang berbeda. Boleh jadi yang satu shalat dalam kondisi hati yang lalai dan seringkali dilandasi motivasi duniawi, sementara yang satunya shalat dengan benar-benar menghadirkan keikhlasan dan semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT.

 

Oleh karena itu, penting bagi diri kita untuk selalu memperhatikan keadaan hati. Sudahkah hati ini selalu kita isi dengan keikhlasan dalam beramal semata-mata karena Allah SWT dan membersihkannya dari segala bentuk niat yang salah? Karena melalui hati itulah Allah SWT aka  menilai baik buruknya seseorang, bukan melalui fisik, rupa, dan berbagai tolak ukur keduniawian lainnya. Dan hendaknya seseorang mengarahkan kelebihan yang ia miliki dari perkara duniawi untuk meraih keridhaan Allah. Hanya dengan begitulah predikat taqwa bisa diraih dan bernilai kemuliaan di sisi Allah SWT.

 

Sekarang katakan keimanan dan ketaqwaan sudah melekat dalam hati seseorang, maka dapat dipastikan orang itu hatinya akan berisi dengan keikhlasan karena orang tersebut adalah orang yang telah tahu diri, telah tahu aturan main dan telah pula tahu tujuan akhir. Dan selanjutnya orang yang seperti ini akan mampu menampilkan penampilan Allah SWT dalam setiap tindak tanduknya saat hidup di muka bumi ini. Yang akan ditampilkan adalah nilai-nilai kebaikan yang telah menjadi sifat alamiah ruh menjadi  perilaku dan perbuatan diri kita. Katakan ruh telah disifati dengan sifat kasih sayang maka perbuatan kita pun harus pula mengasihi dan menyayangi sesama manusia melalui kebaikan-kebaikan. Berikut ini akan kami kemukakan penjelasannya.

 

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa setiap dzat memiliki sifat yang mana sifat yang melekat pada dzat akan menjadi perilaku (perbuatan) dzat. Contohnya garam, garam memiliki sifat asin dan memiliki perbuatan akan mengasinkan apa apa yang diliputinya, sehingga lahirlah telor asin, ikan asing, sawi asin dan lain sebagainya. Adanya telor asin, ikan asin, sawi asin menunjukkan kepada diri kita bahwa garam memiliki jatidiri sebagai dzat yang mampu mengasinkan sesuatu. Dan jika sekarang garam sudah tidak memiliki sifat asin, maka apakah garam masih pantas disebut garam? Hilangnya sifat asin pada garam maka dzat tersebut sudah tidak pantas lagi menyandang status sebagai garam sehingga jati diri garam sebagai dzat yang mampu mengasinkan sesuatu telah hilang.

 

Sekarang bagaimana dengan ruh diri kita yang telah disifati dengan nama nama Allah SWT yang indah lagi baik (Asmaul Husna) oleh Allah SWT? Ruhani yang tidak lain adalah jati diri kita yang sesungguhnya maka setelah ruh disifati dengan Asmaul Husna maka maka sifat yang sudah melekat pada ruhani ini haruslah menjadi perilaku (perbuatan) diri kita (ingat ruh adalah jati diri manusia yang sesungguhnya), sebagaimana sifat garam yang mampu mengasinkan apa apa yang diliputinya. Adanya kondisi ini maka setiap ruh yang sudah memiliki sifat pengasih (Ar Rahman) dan juga penyayang (Ar Rahiim) maka sifat pengasih dan sifat penyayang harus bisa menjadi perilaku/perbuatan diri kita yang tercermin dari mampunya diri kita mengasihi dan menyayangi sesama makhluk ciptaan Allah SWT.

 

Namun jika yang terjadi adalah justru kita sering menyakiti orang lain, sering memukul binatang atau sering menebang pohon tanpa sebab maka diri kita sudah tidak lagi sesuai dengan konsep Allah SWT dan sudah tidak pantas lagi menyandang status sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Hal ini dikarenakan bukan seperti itulah perilaku (perbuatan) yang dikehendaki oleh Allah SWT. Kondisi ini juga berlaku terhadap sifat-sifat ruh lainnya yang telah disifatkan menjadi sifat ruh, yang mana sifat ruh ini tidak boleh disimpan, atau tidak boleh dibiarkan terpendam dalam diri manusia. Namun sifat ruh ini harus dikeluarkan atau diaplikasikan menjadi perilaku (perbuatan) serta cerminan langsung diri kita baik sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Adanya aktifitas ini maka tampillah penampilan Allah SWT di muka bumi ini oleh sebab adanya diri kita ada di muka bumi ini.

 

Namun demikian, Allah SWT memberikan kebebasan bagi umat manusia, untuk memilih apa yang dia kehendaki, apakah ingin dunia sehingga ia hanya mampu menampilkan penam-pilan sisi duniawi dengan menampilkan penampilan jasad semata, ataukah ingin dunia dan akhirat sehingga mampu menampilan sisi akhirat dengan menampilkan penampilan ruh sebagai perilaku dan perbuatan diri kita, sebagaimana firman-Nya berikut ini:Barangsiapa menghendaki pahala di dunia maka ketahuilah bahwa di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (surat An Nisaa’ (4) ayat 134).”

 

Sekarang mari kita perhatikan dengan seksama firman Allah SWT yang termaktub dalam surat Al Anfaal (8) ayat 29) sebagaimana berikut ini: “Wahai orang orang yang beriman! Jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan yang bathil) kepadamu dan menghapus segala kesalahanmu dan mengampuni dosa dosamu. Allah memiliki karunia yang besar.”  Jika kita termasuk orang orang yang beriman dan juga bertaqwa kepada Allah SWT maka berdasarkan ketentuan ayat ini kita akan mampu membedakan mana yang diri kita dan mana yang bukan diri kita; mana yang aturan main dan yang bukan aturan main; mana yang tujuan akhir yang sesungguhnya dan mana yang bukan tujuan akhir.

 

Akhirnya kita akan mengetahui pula cara dan bentuk bentuk penampilan ruh sebagai bentuk penampilan dari diri kita saat diri kita menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi ini dan jika hal ini tidak bisa kita lakukan berarti memang diri kita belum termasuk orang yang beriman lagi bertaqwa serta belum tahu diri dan belum tahu aturan main dan belum tahu tujuan akhir. Semoga hal ini tidak terjadi pada diri, keluarga dan anak keturunan kita. Aamiin.   


Kamis, 27 Juni 2024

TAHU DIRI MELALUI KONSEP DWIFUNGSI DAN DWIDIMENSI (PART 8 of 8)

 

 

H.    KONDISI DASAR UMAT MANUSIA.  

 

Saat ini diri kita sudah ada di muka bumi ini berarti keberadaan diri kita tidak bisa dilepaskan dengan kehendak, kemampuan serta ilmu dari yang menciptakan diri kita, dalam hal ini adalah Allah SWT. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa keberadaan diri kita di muka bumi ini bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba atau sesuatu yang bersifat insidentil, atau sesuatu yang adanya tanpa direncanakan. Keberadaan diri kita  melainkan sudah di dalam Kehendak, Kemampuan dan Ilmu dari Allah SWT yang sangat Maha. Lalu apakah mungkin sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi ini, diciptakan secara apa adanya oleh Allah SWT atau adakah kelebihan-kelebihan yang diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita untuk melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya dan wakil-Nya SWT di muka bumi?

 

Berikut ini akan kami kemukakan beberapa kondisi dasar dari diri kita atau kondisi dasar umat manusia yang sesuai dengan rencana awal Allah SWT saat menciptakan manusia yang kesemuanya menunjukkan bahwa manusia bukan diciptakan secara asal-asalan atau apa adanya  oleh Allah SWT,  yaitu :

 

1.       Setiap Manusia Telah Diberi Ruh Yang Suci dan Fitrah Oleh Allah SWT. Setiap manusia tanpa terkecuali, termasuk diri kita, pasti terdiri dari jasmani dan juga ruh. Lalu apakah keduanya ada begitu saja tanpa ada yang mengadakannya? Jasmani dan ruh tidak datang begitu saja, dia ada karena ada yang mengadakannya. Jasmani asalnya dari alam atau sari pati tanah, jasmani ada melalui proses penciptaan. Sekarang dari manakah asalnya ruh itu? Berdasarkan ketentuan surat Al Israa' (17) ayat 85 berikut ini: dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” dan juga berdasarkan ketentuan surat Al Hijr (15) ayat 29 yang kami kemukakan berikut ini: “Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” Berdasarkan ketentuan dua ayat ini, setiap ruh asalnya dari Allah SWT yang kemudian dipersatukan dengan jasmani melalui proses peniupan saat masih di dalam rahim seorang ibu.

 

Dan jika saat ini kita masih hidup berarti Allah SWT telah memberikan kepada diri kita sesuatu yang berasal dari Allah SWT secara langsung tanpa melalui perantaraan siapapun, dimana ruh yang ditiupkan Allah SWT tersebut tidak pernah diketahui sedikitpun keberadaannya oleh iblis/jin/setan dan juga oleh malaikat. Sehingga menurut pendapat dan pengetahuan iblis/jin/setan bahwa manusia hanya terdiri dari jasmani semata yang diciptakan dari tanah dan sedangkan ruh keberadaannya tidak pernah diketahui oleh iblis/jin/setan. Apa buktinya? Untuk itu lihatlah surat Saba' (34) ayat 14 berikut ini: Allah SWT berfirman: “Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau Sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.”

 

Berdasarkan ayat di atas ini, diterangkan bahwa jin tidak mengetahui sama sekali bahwa Nabi Sulaiman as, telah meninggal dunia. Ini berarti bahwa jin hanya mengetahui bahwa  Nabi Sulaiman as, hanya terdiri dari satu unsur saja yaitu jasmani saja sedangkan unsur ruh tidak pernah diketahui sedikitpun oleh jin. Selanjutnya jika sampai jin tahu bahwa Nabi Sulaiman as, mempunyai ruh yang berasal dari Allah SWT maka ia pasti akan menyesali perbuatannya dahulu yaitu membangkang perintah Allah SWT untuk sujud kepada Nabi Adam as,. (Ingat jin, iblis, setan adalah satu keturunan)

 

Saat ini dan seterusnya Allah SWT sudah memberikan sesuatu yang terbaik yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya, sampai-sampai iblis/jin/syaitan pun tidak mempunyai pengetahuan tentang ruh, sekarang bagaimana kita menyikapinya? Jika kita termasuk orang yang “Tahu Diri dan Tahu Aturan Main dan Tahu Tujuan Akhir” maka kita harus menyikapi hal ini dengan menempatkan Allah SWT pada posisi yang sebenarnya yaitu sebagai pemilik yang sekaligus pencipta, pemelihara, penjaga, pengawas dan pengayom dari langit dan bumi beserta isinya serta menempatkan diri kita sebagai makhluk ciptaan-Nya juga dan juga sebagai khalifah-Nya. Untuk itu, jika kita telah diberikan sesuatu yang sangat baik dan sangat berharga oleh Allah SWT (dalam hal ini adalah ruh) maka:

 

a.    peliharalah dan jagalah ruh tersebut jangan sampai rusak; peliharalah dan ja-galah ruh jangan sampai cacat (tidak fitrah lagi);

b.   peliharalah dan jagalah jangan sampai ruh dikalahkan oleh jasmani atau ja-ngan sampai ruh dijajah oleh jasmani;

c.     peliharalah dan jagalah ruh untuk selalu menjadi diri kita yang sesungguhnya selama hayat masih di kandung badan sehingga konsep datang fitrah kembali fitrah dapat kita laksanakan.

 

Lalu, siapakah yang sanggup memelihara, yang sanggup merawat, yang mampu menjadikan ruh unggul terhadap jasmani (ruh mampu mengkhalifahi jasmani)? Yang sanggup merawat dan memelihara dan memperbaiki ruh hanyalah Allah SWT semata karena Allah SWT adalah penciptaNya yang sekaligus adalah ahlinya. Sehingga  jika ruh terganggu, rusak, cacat, kotor, dijajah oleh jasmani maka yang sanggup memelihara dan merawatnya adalah pemilik dan pencipta dari ruh itu sendiri, dalam hal ini adalah Allah SWT. Dan jika hanya Allah SWT saja yang sanggup menciptakan, merawat dan memelihara ruh manusia, selanjutnya:

 

a.      sudahkah kita semua mengetahuinya secara baik dan benar dan menjadikan ini sebagai sebuah keimanan; 

b.      sudahkah kita semua mencoba menghubungi Allah SWT untuk meminta pera-watan; sudahkah kita semua melaksanakan apa-apa yang yang telah diperintah-kan oleh pencipta ruh;

c.       sudahkah kita melaksanakan apa apa yang dikehendaki oleh Allah SWT;

d.      sudahkah kita berhubungan baik dengan pencipta ruh;

e.   sudahkah kita menyelaraskan, menserasikan dan menyeimbangkan ruh yang ada pada diri kita dengan kehendak dari pemilik dan pemelihara ruh?

 

Hasil akhir dari semua ini, sangat tergantung kepada perjuangan diri kita sendiri, yang pasti Allah SWT tidak membutuhkan apapun dari diri kita karena Allah SWT sudah Maha dan akan Maha selamanya. Akan tetapi diri kitalah yang sangat membutuhkan Allah SWT guna merawat, guna memelihara, guna menjaga kefitrahan ruh serta untuk memperbaiki kondisi ruh diri kita akibat buruk pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga setan. Apalagi ruh terikat dengan ketentuan datang fitrah kembali harus fitrah. Dan hal yang harus kita jadikann pedoman adalah yang akan menerima dan merasakan azab ataupun nikmat dari apa-apa yang telah kita lakukan saat hidup di muka bumi ini adalah ruh serta yang akan pulang ke syurga dan neraka juga ruh.

 

2.   Setiap Manusia Telah Beraqidah Sejak Di Dalam Rahim Seorang Ibu. Setiap manusia (maksudnya setiap ruh manusia) termasuk ruh diri kita telah beraqidah sejak di dalam rahim ibu, sebagaimana kami telah kemukakan sebelumnya. Adanya pengakuan ruh bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi diri kita, ini membuktikan bahwa ruh itu berasal dari  Allah SWT atau ruh sudah tahu dan mengenal siapa penciptanya maka setiap ruh yang telah ditiupkan oleh Allah SWT ke dalam jasmani saat masih di rahim ibu akan dimintakan kesaksiannya secara individual oleh Allah SWT sehingga setiap manusia sudah beraqidah sejak di dalam rahim seorang ibu dan terikat dengan perjanjian akan bertuhankan kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana termaktub dalam surat Al Haadid (57) ayat 8 berikut ini: “dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah Padahal Rasul menyeru kamu supaya kamu beriman kepada Tuhanmu. dan Sesungguhnya Dia telah mengambil perjanjianmu jika kamu adalah orang-orang yang beriman.” Berdasarkan ketentuan ayat di atas ini, pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT merupakan salah satu bentuk kontrak permanen antara diri manusia secara individual kepada Allah SWT. Dan jika ini adalah kondisi dasar dari setiap ruh yang ada di dalam diri setiap manusia, timbul pertanyaan masih berlakukah pernyataan “kontrak permanen” dengan Allah SWT tersebut saat ini? Sepanjang ruh hanya ditiupkan oleh Allah SWT semata maka “kontrak permanen” tentang ketuhanan kepada Allah SWT akan terus dan tetap berlaku sampai kapanpun juga. Yang menjadi persoalan saat ini adalah masih utuhkah pernyataan diri kita kepada  Allah SWT tersebut; masih terjagakah keaslian dari pernyataan diri kita kepada Allah SWT; masih permanenkah atau masih sucikah pernyataan kita kepada Allah SWT.

 

Sekarang bagaimana dengan Allah SWT yang menerima pernyataan kontrak permanen dari ruh setiap manusia? Allah SWT berdasarkan surat Al A'raaf (7) ayat 172 dengan tegas menyatakan bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi semesta alam atau Tuhan bagi kita semua. Jika Allah SWT telah menyatakan bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi kita semua, ini berarti bahwa Allah SWT sudah menyatakan kesanggupan-Nya secara totalitas kepada setiap ruh yang diciptakannya untuk dijaga, untuk dipelihara, untuk diayomi, untuk dirawat atau diberikan apapun juga sepanjang kita memenuhi dan masih memelihara atau tidak melanggar isi dari “kontrak permanen” yang telah kita buat.

 

Selanjutnya berdasarkan hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Wahai anak Adam! Jika engkau ingat kepada-Ku Aku ingat kepadamu dan bila engkau lupa kepada-Ku Akupun ingat kepadamu. Dan jika engkau taat kepada-Ku pergilah kemana saja engkau suka pada tempat dimana Aku berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan-Ku. Engkau berpaling daripada-Ku padahal Aku menghadap kepadamu. Siapakah yang memberimu makan kala engkau masih dalam janin didalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai terlaksanalah kehendak-Ku bagimu, maka setelah Aku keluarkan engkau kea lam dunia engkau berbuat banyak maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu. (Hadits Qudsi Riwayat Abu Nasher Rabiah bin Ali Al-ajli dan Arrafii, 272:182).” Allah SWT tetap bertanggung jawab kepada manusia walaupun manusia atau diri kita lupa kepada  Allah SWT dan untuk itu tidak sepantasnya dan tidak pula sepatutnya jika menerapkan pepatah air susu sdibalas dengan air tuba kepada Allah SWT. 

 

Adanya “kontrak permanen” antara setiap manusia dengan Allah SWT maka timbullah hubungan timbal balik antara Allah SWT selaku Tuhan dengan manusia yang menyatakan Allah SWT adalah Tuhannya. Sebuah hubungan timbal balik baru akan mendapatkan hasil jika masing-masing pihak dapat menjaga dan memelihara “kontrak permanen” yang telah dibuat. Dalam kontrak permanen ini, yang pasti Allah SWT tidak akan pernah ingkar janji dengan kesanggupan-Nya untuk menjadi Tuhan bagi semesta alam, sekarang bagaimana dengan kita? Apabila kita ingin tetap memperoleh apa-apa yang telah dinyatakan Allah SWT dengan pernyataan-Nya sebagai Tuhan bagi alam semesta, maka peliharalah dan jagalah terus “kontrak permanen” tersebut agar tetap suci dan murni atau jangan sampai kita ingkar janji dengan “kontrak permanen” yang telah kita buat.

 

Selain daripada itu, jika kita berpedoman kepada hadits yang kami kemukakan berikut ini: Iyadh bin Himar Al Mujasyi’i meriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah saw bersabda (dalam sebuah khotbahnya) ”Sesungguhnya Tuhanku memerintahkan kepadaku untuk mengajarkan kepada kalian apa yang belum kalian ketahui dari apa yang diwahyukan Allah kepadaku pada hari ini. Allah berkata, “Setiap harta yang Aku berikan kepada seorang hamba adalah halal. Dan Aku menciptakan semua hamba-Ku seluruhnya dalam keadaan muslim, lalu mereka digoda setan yang mengajak mereka untuk meninggalkan agama mereka, mengharamkan apa yang telah Aku halalkan bagi mereka, dan menyuruh mereka agar menyekutukan-Ku dengan kedudukan yang belum pernah Aku berikan.’ Sesungguhnya Allah memerhatikan keberadaan penduduk bumi. Setelah itu, Allah amat murka kepada mereka, baik orang-orang Arab maupun orang-orang non Arab, kecuali sebagian Ahlul Kitab (yang tetap berpegang teguh kepada agama). Kemudian Allah berkata (kepadaku), “Sesungguhnya Aku mengutusmu untuk mengujimu dan menguji orang lain melalui kamu, Aku menurunkan kepadamu kitab yang tidak akan luntur oleh tetesan air (terjaga selamanya) dan bisa kamu baca ketika tidur atau ketika kamu bangun (bisa dibaca dengan mudah).’Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku untuk menghancurkan suku Quraisy. Aku berkata, Wahai Tuhanku, nanti mereka akan memenggal kepalaku dan meninggalkannya seperti potongan roti. Allah berkata, “Usirlah mereka seperti mereka mengusirmu. Seranglah mereka, Kami akan membantumu untuk menyerang. Hancurkan mereka, Kamu akan membantumu untuk menghancurkan mereka. Kirimlah sekelompok pasukan tentara, Kamu juga akan mengirim pasukan tentara, lima kali lipat lebih banyak dari pasukanmu, untuk membantumu. Dan hendaknya kamu bersama orang-orang yang taat kepadamu membunuh mereka. Allah berfirman: ‘Penghuni surga itu ada tiga macam, (1) penguasa yang adil, jujur dan bijaksana, (2) orang yang pengasih, bersahaja terhadap seluruh kerabat dan kamu muslimin, dan (3) orang yang menjaga kehormatan dirinya dan melundungi keluarganya. Penghuni neraka ada lima macam, (1) orang lemah yang tidak mau mempergunakan otaknya, yaitu orang-orang yang suka mengekor, tidak mau berkeluarga dan enggan mencari nafkah, (2) orang yang suka berkhianat dalam hal apapun, (3) orang yang tidak bekerja pada pagi hari dan sore hari, ia hanya memperdayaimu akan keluargamu dan hartamu, (4) orang yang kikir (atau pembohong) dan (5) orang yang bermulut kotor (suka berghibah dan mengadu domba).” (Hadits Riwayat Muslim, Shahih).

 

Berdasarkan hadits ini, sesungguhnya setiap manusia yang diciptakan oleh Allah SWT seluruhnya dalam keadaan muslim, dimana kondisi ini sejalan dengan pernyataan ruh kepada Allah SWT setelah ruh dipersatukan dengan jasmani. Jika hal ini adalah kondisi setiap manusia berarti jika ada orang yang tidak muslim lagi berarti orang tersebut sudah tidak fitrah lagi, atau telah melanggar kontrak permanen yang telah dibuatnya saat masih di dalam rahim seorang ibu.

 

3.   Setiap Manusia Telah Diberi Akal oleh Allah SWT. Apa itu akal? Akal adalah alat ruhaniyah yang diletakkan oleh Allah SWT dalam hati nurani setiap manusia yang berguna bagi manusia untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah sehingga manusia tidak salah jalan, tidak salah memilih yang pada akhirnya bisa merugikan manusia itu sendiri jika sampai akal tidak digunakan sesuai dengan fungsinya dengan baik dan benar. Berdasarkan hadits yang kami kemukakan berikut ini:Abu Hurairah ra. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Tatkala Allah SWT menciptakan akal, berfirmanlah Allah kepadanya: "Datang-lah hai akal"; maka datanglah ia, kemudian diperintahkannya: Pergilah dan pergilah ia. Allah berfirman: Aku tidak menciptakan sesuatu makhluk yang lebih Aku cintai dari padamu. Dengan engkau Aku mengambil dan dengan engkau pula Aku memberi. (Hadits Qudsi Riwayat Abdullah bin Ahmad dari Al Hassan dam Ath Thabarani dari Abi Umamah; 272:269).” Ada satu hal yang harus kita ketahui dengan penghormatan yang setinggi-tingginya dimana Allah SWT telah memberikan cinta-Nya kepada manusia melalui akal atau kepada hati ruhani manusia (sebab akal diletakkan di dalam hati ruhani manusia).

 

Sekarang coba jamaah sekalian bayangkan Allah SWT sebagai pemilik yang sekaligus pencipta, pemelihara, pengawas, pengayom dari langit dan bumi beserta isinya menyatakan cintanya kepada akal atau kepada hati ruhani manusia. Hal ini menunjuk-kan bahwa Allah SWT memberikan penghargaan dan penghormatan kepada akal atau kepada hati ruhani manusia yang begitu luar biasa. Timbul pertanyaan ada apa sebenarnya di balik ini semua? Hubungan cinta adalah hubungan yang terjadi diantara dua pihak yaitu antara pihak yang mencintai dengan pihak yang dicintai. Jika seseorang menyatakan cintanya kepada orang yang dicintainya maka orang tersebut sudah siap baik mental maupun materiil untuk berkorban kepada orang yang dicintainya. Lalu apakah Allah SWT juga melakukan hal yang sama kepada akal atau kepada hati ruhani manusia? Allah SWT juga melakukan hal yang sama kepada akal atau kepada hati ruhani manusia, ini dibuktikan dengan pernyataan Allah SWT yang berbunyi "Dengan engkau Aku mengambil dan dengan engkau pula Aku memberi".

 

Sekarang sudahkah kita merasakan buah dari cinta Allah SWT kepada diri kita melalui akal atau malah kita yang telah melakukan perselingkuhan dengan selain Allah SWT?  Jika kita belum pernah merasakan cinta Allah SWT tentu ada yang salah di dalam hubungan percintaan ini. Yang pasti Allah SWT tidak akan pernah ingkar janji atau berselingkuh, selanjutnya bagaimana dengan diri kita? Semoga diri kita tidak termasuk orang-orang yang mencampakkan cinta Allah SWT kepada akal dengan berselingkuh mencintai tahta, mencintai harta dan juga mencintai wanita serta menyelingkuhi akhirat dengan dunia.

 

Ingat, Allah SWT lebih dahulu menyatakan cintanya kepada diri kita, namun kita tidak bisa menilai besaran cinta Allah SWT kepada diri kita. Akan tetapi Allah SWT lah yang akan melakukan penilaian kepada diri kita dengan memberikan ujian atau cobaan melalui anak, melalui harta, melalui pangkat, melalui  jabatan, melalui istri/suami dibandingkan dengan cinta kita kepada Allah SWT. Adanya kondisi ini akan diketahuilah seberapa berkualitasnya cinta seseorang kepada Allah SWT dibandingkan dengan selain-Nya. Semoga kita lulus dalam ujian cinta ini.

 

4.    Setiap Manusia (Nass) Diciptakan Sesuai Dengan Fitrah Allah SWT. Allah SWT telah mengemukakan tentang 3(tiga) konsep kefitrahan, yaitu : (1) Adanya Diinul Islam yang berasal dari fitrah Allah SWT; (2) Adanya manusia (nass atau ruh/ruhani) yang juga berasal dari fitrah Allah SWT, dan; (3) Adanya fitrah Allah SWT itu sendiri, sebagaiman termaktub di dalam surat Ar Ruum (30) ayat 30 berikut ini: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” Lalu Allah SWT memerintahkan kita (nass) untuk dihadapkan selalu kepada Diinul Islam yang mana Diinul Islam itu sendiri adalah fitrah Allah SWT sedangkan kita juga adalah fitrah Allah SWT. Sehingga dengan kita melakukan hal ini maka kita dikehendaki oleh Allah SWT agar selalu berada di dalam  konsep kefitrahan ini. Apabila kita mampu melaksanakannya saat hidup maka konsep datang fitrah kembali fitrah dapat kita raih dan pertahankan. 

 

5.    Setiap Manusia Diciptakan Untuk Menyembah Kepada-Nya. Berdasarkan surat Adz Dzaariyaat (51) ayat 56 sebagaimana berikut ini: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.” Allah SWT telah mengemukakan bahwa menyembah; mengabdi; beriman kepada Allah SWT; mengakui bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah SWT, itulah maksud dan tujuan dari penciptaan jin dan manusia. Untuk apa Allah SWT memerintahkan manusia untuk menyembah, mengabdi, beriman kepada Allah SWT? Adanya perintah untuk menyembah, mengabdi kepada Allah SWT menunjukkan kita harus bisa menjadi Abd’ (hamba) yang baik lagi dibanggakan oleh Allah SWT. Hal ini sejalan dengan apa yang kita lakukan setiap harinya melalui firmanNya berikut ini: “hanya Engkaulah yang Kami sembah [6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan [7]. (surat Al Fatehah (1) ayat 5)

 

[6] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.

[7] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.

 

Adanya pernyataan yang selalu kita kemukakan minimal 17 (tujuh belas) kali dalam sehari yaitu pada saat diri kita mendirikan shalat yaitu pada saat diri kita membaca surat Al Fatehah (1) ayat 5 yang menyatakan “hanya Engkaulah yang kami sembah” menunjukkan ketertundukkan diri kita dihadapan Allah SWT. Selanjutnya masih berda-sarkan surat Al Fatehah (1) ayat 5,  diri kita hanya diperkenankan oleh Allah SWT untuk meminta pertolongan, meminta bantuan, meminta apapun hanya kepada Allah SWT sehingga menyembah kepada Allah SWT merupakan prasyarat mutlak yang harus kita penuhi terlebih dahulu sebelum diri kita memohon kepada Allah SWT.

 

Dan untuk menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka muka bukanlah tugas yang ringan dan yang mudah dilaksanakan. Banyak hambatan dan rintangan yang menghalanginya sehingga untuk menjadi Abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi sangat berat dan penuh tantangan, jika kita tidak memiliki ilmu dan pemahaman di maksud. Selanjutnya seperti apakah hambatan yang dihadapi oleh setiap manusia saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi? Hambatan utama dan yang pertama adalah musuh bebuyutan kita yaitu ahwa (hawa nafsu) yang ada di dalam diri serta setan beserta antek-anteknya yang sudah pasti tidak suka dan tidak senang apabila kita melaksanakan tugas ataupun perintah dari Allah SWT. Ingat, setan sudah mendapatkan restu dari Allah SWT untuk selalu menggoda, menjeru-muskan anak dan keturunan Nabi Adam as, ke jalan yang bengkok yaitu ke neraka. Ini berarti jika kita terperdaya oleh bujuk dan rayuan setan maka kita telah keluar dari jalan Allah SWT menjadi pengabdi dan penyembah setan.

 

Selanjutnya, jika ada abd’ (hamba)-Nya dan juga khalifah-Nya yang telah menjadi hamba setan, tentunya ada abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang tidak menjadi hamba setan. Siapakah dia? Dia adalah abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang menyembah atau mengabdi dan beriman kepada Allah SWT sehingga dengan ini terjadi perbedaaan antara manusia yang berada di jalan setan dan manusia yang berada di jalan Allah SWT dan ini berarti pula ada hak hidup bagi hamba setan dan ada hak hidup bagi hamba Allah SWT sehingga kita tidak bisa mengklaim bahwa hanya diri kita sajalah dan kelompok kita sajalah yang berhak menempati langit dan bumi ini.

 

6.    Setiap Manusia Diciptakan Dalam Bentuk Yang Sebaik Baiknya. Setiap manusia diciptakan oleh Allah SWT di dalam kerangka rencana besar kekhalifahan di muka bumi. Manusia diciptakan belakangan oleh Allah SWT setelah yang lainnya diciptakan  seperti jin, malaikat, bumi dan langit dan manusia diciptakan dengan harapan akan menjadi perpanjangan tangan Allah SWT  (ingat bukan perpanjangan tangan setan) di muka bumi serta akan dijadikan sebagai makhluk pilihan yang mengabdi (hamba) kepada Allah SWT. Jika hal ini yang melatarbelakangi penciptaan manusia, patutkah Allah SWT menciptakan manusia dengan cara asal-asalan atau datang begitu saja tanpa ada suatu perencanaan yang matang? Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (surat At Tiin (95) ayat 4). Allah SWT selaku Dzat Yang Maha Sempurna, pasti sudah mempersiapkan segala sesuatu dengan sesempurna mungkin sesuai dengan kesempurnaan yang dimiliki Allah SWT.

 

Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya dan menyusun tubuh manusia dalam keseimbangan yang sempurna pula. Jika hal itu tidak dilakukan oleh Allah SWT, dimana letak Allah SWT itu Maha Pencipta dan yang Maha Sempurna? Allah SWT berfirman: “Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang. (surat Al Infithaar (82) ayat 7).” Untuk itu lihatlah, perhatikanlah, renungkanlah, pelajarilah dengan seksama tubuh kita sendiri melalui organ-organ yang ada pada tubuh diri kita, maka jika kita mau berfikir jernih akan terlihat oleh kita suatu keadaan yang sangat-sangat hebat di dalam diri kita sebab Allah SWT telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya atau manusia bukan diciptakan dalam kondisi asal-asalan oleh Allah SWT.

 

Selanjutnya kami ingin mengajak para jamaah sekalian yang juga hamba-hamba Allah SWT untuk merenungi kembali apa-apa yang akan kami kemukakan di bawah ini dengan suatu perenungan yang jujur, yaitu:

 

a.    Lihatlah serta persaksikanlah jaringan sel-sel syaraf dan jaringan sel-sel darah manusia yang begitu rapih;

b.     Lihatlah serta persaksikanlah organ tubuh manusia seperti jantung, paru, lim-pa, hati dan ginjal yang selalu bekerja tiada henti;

c.   Lihatlah serta persaksikanlah ukuran dan panjang tangan kita yang propor-sional dengan tinggi rendahnya tubuh;

d.     Lihatlah serta persaksikanlah ukuran dan panjang kaki kita yang proporsional dengan tinggi rendahnya tubuh;

e.      Lihatlah dan persaksikanlah  alis mata kita yang tidak bertambah panjang dari waktu ke waktu dibandingkan dengan rambut kepala kita;

f.      Lihatlah dan persaksikanlah kuku tangan dan kuku kaki yang selalu tumbuh dari waktu ke waktu dibandingkan dengan bulu mata kita yang pertumbuhannya terbatas;

g.     Lihatlah dan persaksikanlah  wajah dan rupa manusia, tidak ada yang sama baik bentuk wajah dan rupanya atau lihat pula sidik jarinya tidak ada yang sama.

 

Sekarang adakah Tuhan selain Allah SWT yang mampu menciptakan hal-hal yang kami kemukakan di atas ini? Jika tidak ada, masihkah kita tidak mempercayai bahwa hanya Allah SWT sajalah yang mampu menciptakan manusia yang ada di jagad raya ini? Jika ini kondisinya berarti kita yang diciptakan oleh Allah SWT harus bisa menempatkan dan meletakkan pencipta diri kita sesuai dengan kehendak dan kebesaran yang dimiliki oleh pencipta, dalam hal ini Allah SWT.

 

7.  Setiap Manusia Diwajibkan Melaksanakan Perintah dan Larangan-Nya. Ber-dasarkan surat A'basa (80) ayat 23 yang kami kemukakan berikut ini: Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.” Ayat ini menegaskan bahwa setiap manusia diwajibkan untuk melaksanakan apa-apa yang telah diperintah-kan oleh Allah SWT termasuk juga apa yang dilarang-Nya. Apa dasarnya Allah SWT melakukan hal ini? Adanya ketentuan ini merupakan salah satu alat bantu untuk menilai keberadaan dan keberhasilan seorang abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah- Nya di muka bumi di dalam kerangka melaksanakan konsep hidup adalah sebuah permainan.

 

Sebagai bahan perbandingan, lihatlah rambu-rambu lalu lintas yang dibuat oleh Kepolisian, dimana rambu itu dibuat bukanlah untuk membahayakan pengguna jalan, akan tetapi untuk keselamatan penggunan jalan. Jika rambu lalu lintas saja bisa seperti ini, sekarang bagaimana dengan perintah dan larangan Allah SWT? Allah SWT membuat rambu-rambu, Allah SWT membuat ketentuan-ketentuan, Allah SWT membuat larangan-larangan, bukan dikarenakan Allah SWT benci kepada manusia yang dijadikan sebagai perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi. Justru karena Allah SWT sayang kepada manusia maka Allah SWT mensyaratkan kepada manusia untuk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Hal yang harus kita perhatikan adalah sebagai orang yang telah diperintah dan yang telah dilarang oleh Allah SWT, ketahuilah bahwa perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT bukanlah tujuan akhir dari perintah itu sendiri. Perintah hanyalah alat bantu untuk memperoleh manfaat yang hakiki yang ada dibalik perintah. Pemberi perintah tidak memiliki kepentingan dengan apa yang diperintahkan, akan tetapi yang diperintahkan itulah yang memiliki kepentingan terhadap makna yang hakiki yang terdapat dibalik perintah. Dan dengan adanya perintah merupakan bukti sayang pemberi perintah (Allah SWT) kepada yang diperintah (manusia). Demikian pula dengan perintah Allah SWT. Dimana Allah SWT memerintahkan manusia untuk mentaati perintah-Nya bukan untuk keburukan atau untuk menyusahkan manusia. Akan tetapi untuk kebaikan manusia itu sendiri sehingga manusia tersebut sukses menjadi khalifah di muka bumi serta menjadi makhluk pilihan serta dapat pulang kampung menemui Allah SWT tanpa hijab dan bertempat tinggal di “Kampung Kebahagiaan”. Sekarang mau kemanakah diri kita, apakah mau sesuai dengan kehendak Allah SWT atau apakah mau sesuai dengan kehendak syaitan yang menginginkan kita untuk pulang ke Kampung Keseng-saraan dan Kebinasaan.!

 

8.  Setiap Manusia Tidak Diperkenankan Untuk Mensyerikatkan Allah SWT De-ngan Sesuatu. Banyak orang yang mengira bahwa jika kita telah melaksanakan Rukun Iman dan Rukun Islam, yang terdiri mengucapkan syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, melaksanakan haji, jika mampu, sudah cukup baik dan sempurna kita beragama Islam. Kemudian Allah SWT akan memberikan RidhaNya kepada kita, selanjutnya kita akan dapat menerima kebahagiaan di syurga dengan segala keindahannya dan kita pun merasa aman dari siksa api neraka Jahannam. Namun kita lupa, walaupun kita telah melakukan dan melaksanakan Rukun Islam, akan tetapi jika kita melakukan setitik saja aktivitas musyrik lagi syirik maka semua yang telah kita lakukan akan menjadi batal.

 

Untuk itu jangan pernah mencampur adukkan Diinul Islam dengan kemusyrikan atau mencampur Diinul Islam dengan perbuatan syirik sebab tindakan ini akan membatalkan semua yang kita lakukan, walaupun engkau dipaksa untuk melakukannya. Sebagaimana firmanNya berikut ini: Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu, kemudian hanya kepadaKulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (surat Luqman (31) ayat 15).

 

Apakah itu syirik dan musyrik? Syirik dan Musyrik dapat diartikan suatu tindakan, apakah itu dalam bentuk perbuatan, apakah itu sesuatu perkataan, atau dorongan hati untuk mempercayai sesuatu ghaib yang ditujukan kepada selain Allah SWT atau adanya kepatuhan jiwa raga kepada selain Allah SWT, melalui tindakan mensyerikatkan Allah SWT dengan sesuatu, atau tindakan menduakan Allah SWT dengan sesuatu, atau upaya membanding-bandingkan Allah SWT dengan sesuatu, atau upaya meniadakan Allah SWT, atau upaya menganggap Allah SWT tidak ada, atau upaya menghilangkan kemahaan dan kebesaran Allah SWT dengan sesuatu.

 

Allah SWT melalui surat  An Nisaa' (4) ayat 48 berikut ini: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” Mengemukakan bahwa tindakan musyrik dan syirik adalah dosa besar yang tidak akan pernah diampuni oleh Allah SWT. Timbul pertanyaan, kenapa Allah SWT bersikap seperti itu kepada perbuatan musyrik dan syirik? Allah SWT bersikap keras tanpa ampun kepada siapapun juga yang melakukan perbuatan musyrik dan syirik sekalipun orang tersebut telah melakukan Ibadah dan Amal Shaleh baik yang besar maupun kecil, dikarenakan Allah SWT tersinggung, Allah SWT telah dihina, Allah SWT telah dianggap tidak ada, Allah SWT telah dianggap tidak mampu oleh orang tersebut padahal  Allah SWT adalah inisiator yang sekaligus pencipta dan pemilik  dari langit dan bumi.

 

9.   Setiap Manusia Dijadikan Dengan Ukuran. Langit dan bumi beserta isinya, jika semuanya diteliti sampai dengan hal yang paling terkecil, maka semuanya akan terdiri dari molekul-molekul atau atom-atom. Dimana atom-atom tersebut akan mempunyai ukuran-ukuran atau karakteristik-karakteristik yang tetap dan tertentu, yang berbeda-beda antara satu atom dengan atom lainnya. Sekarang mari kita lihat dan pelajari unsur Besi yang ada di alam ini, Besi mempunyai nama khusus dalam ilmu pengetahuan adalah Fe, dimana besi mempunyai berat jenis tetap tertentu, ion positif dan ion negatif  tetap dan tertentu, daya serap terhadap air tetap dan tertentu, daya pantul terhadap cahaya tetap dan tertentu, daya serap dan pantulnya terhadap bunyi tetap dan tertentu. Jika itu semua dapat dikenali maka jika kita menemukan unsur yang sesuai dengan kondisi diatas, maka itulah yang disebut dengan Besi (Fe).

 

Jika besi mempunyai kondisi tersebut di atas, maka ditinjau dari sisi penciptanya maka Besi (Fe) tersebut pasti ada yang menciptakan. Siapakah yang menciptakan Besi (Fe) dengan kondisi tersebut di atas, dimana semuanya tetap dan tertentu walaupun kita menilainya dimanapun kita berada? Jika kita menemukan Besi (Fe) dengan kondisi yang tidak sama-sama seperti di atas, maka kita akan menyatakan bahwa itu bukan besi dan selanjutnya pasti kita menyatakan bahwa Besi (Fe) asli harusnya seperti ini. Dan jika Besi (Fe) yang ada di bumi atau yang ada di alam ini mempunyai kondisi dan ukuran yang tetap dan tertentu, maka pencipta Besi (Fe) dengan kondisi dan ukuran yang tetap dan tertentu pasti penciptanya adalah Satu sebab jika Besi (Fe) diciptakan oleh lebih dari satu pencipta maka belum tentu sama karakteristik-karakteristiknya.

 

Untuk itu mari kita pelajari tentang Air. Air jika diteliti maka Air terdiri dari dua komponen yaitu komponen Hidrogen dan komponen Oksigen dengan komposisi Hidrogen  yang tetap dan tertentu dicampur dengan  Oksigen yang tetap dan tertentu pula maka jadilah Air. Air baru dapat dikatakan itu air maka air harus terdiri dari unsur H2 dan O atau H2O. Selanjutnya mari kita lihat air di muka bumi ini, maka unsur air pasti H2O, jika unsur air bukan H2O maka itu bukan disebut dengan air. Jika seluruh air yang ada diseluruh alam ini berunsur H2O maka pencipta air dengan unsur H2O pasti diciptakan oleh pencipta yang satu pula. Sekarang jika alam dan segala isinya diciptakan oleh Allah SWT mempunyai kondisi, ukuran, karakteristik yang tetap dan tertentu, bagaimana dengan manusia yang  diciptakan Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi? Apakah manusia diciptakan oleh Allah SWT tanpa mempunyai sesuatu kondisi, ukuran dan karakteristik yang tetap dan tertentu, seperti yang ada pada unsur tertentu yang di alam? Jawabannya ada pada surat Ar Ra’d (13) ayat 8 sebagaimana berikut ini: “Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisiNya ada ukurannya.”

 

Selanjutnya jika penciptaan manusia merupakan bagian dari rencana besar Allah SWT untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi, maka apakah manusia yang akan diutus ke muka bumi penciptaannya tanpa ada ukuran-ukuran, spesifikasi-spesifikasi, karakteristik-karakteristik, yang tetap dan tertentu juga seperti atom atau molekul? Jawaban dari pertanyaan ini ada pada surat Al-Furqaan (25) ayat 2 yang kami kemukakan berikut ini: Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” Allah SWT menciptakan manusia dalam kerangka kebaikan, tidak ada niat Allah SWT untuk mencelakakan manusia. Allah SWT sebagai pencipta dan pemilik manusia mempunyai ketentuan-ketentuan atau ukuran-ukuran yang tetap dan tertentu dalam proses penciptaan manusia. Jika Allah SWT tidak mempunyai ukuran-ukuran yang tetap dan tertentu dalam proses penciptaan manusia, maka manusia yang diciptakan oleh Allah SWT pasti tidak mempunyai sebuah keseimbangan dan keserasian.

 

Untuk itu, coba kita perhatikan bulu mata dan alis kita, jika Allah SWT tidak mempunyai sebuah ketentuan dalam bentuk ukuran-ukuran yang tetap dan tertentu, tidak bisa terbayangkan jika bulu mata dan alis selalu tumbuh seperti rambut di kepala. Itu baru dari sisi bulu mata dan alis, bagaimana dengan kaki, tangan, mata, telinga, hidung serta anggota tubuh lainnya jika Allah SWT tidak menetapkan ukuran-ukuran yang tetap dan tertentu kepada anggota tubuh tersebut? Jika hal yang diperlihatkan oleh Allah SWT sudah begitu hebat, masihkah kita tidak mau beriman kepada Allah SWT? Jika apa-apa yang telah Allah SWT perlihatkan dan tunjukkan kepada kita belum juga dapat menghantarkan diri kita beriman kepada Allah SWT berarti ada sesuatu yang salah dalam diri kita. Untuk itu segeralah bertaubat dengan Taubatan Nasuha sebelum Ruh berpisah dengan Jasmani. 

 

10.  Manusia Dijadikan Dari Dzat Dzat Bumi. Nabi Adam as, diciptakan oleh Allah SWT dari tanah, manusia diciptakan oleh Allah SWT dari apa? Allah SWT menciptakan manusia dari dzat-dzat bumi atau saripati tanah yang dalam hal ini adalah melalui makanan dan minuman yang didapat di bumi yang kemudian di konsumsi oleh kedua orang tua, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (Tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunanNya, kemudian bertobatlah kepadaNya, sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmatNya) lagi memperkenankan (doa hambanNya)”. (surat Huud (11) ayat 61)

 

Selanjutnya, untuk apakah saripati tanah tadi, apakah untuk menciptakan jasmani manusia (jasad) ataukah untuk menciptakan ruh? Yang diciptakan dari saripati tanah adalah jasmani manusia (jasad) sedangkan ruh manusia berasal dari Allah SWT. Jika jasmani manusia (jasad) diciptakan atau berasal dari saripati tanah, selanjutnya apa yang harus kita perbuat? Sehubungan dengan jasmani manusia dijadikan oleh Allah SWT berasal dari saripati tanah atau zat-zat bumi, maka Allah SWT melalui surat Abasa (80) ayat 24 berikut ini: “Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya.” telah memerintahkan setiap manusia untuk selalu menjaga dan memperhatikan segala makanan yang akan dikonsumsinya sehari-hari. Setiap makanan yang kita konsumsi sehari-hari wajib memenuhi 2(dua) syarat utama yaitu Halal lagi baik (thayyib) seperti yang tertuang di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 168 berikut ini:  Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

 

Hal yang harus kita perhatikan adalah pengertian halal tidak saja dari jenis-jenis bahan-bahan makanan yang akan kita konsumsi, tetapi juga termasuk cara untuk mendapatkan bahan-bahan makanan dan minuman yang akan kita konsumsi. Jika bahan makanan dari jenisnya dikategorikan dengan halal, tetapi cara mendapatkannya tidak halal maka makanan tersebut dapat dikatakan dengan haram, demikian pula sebaliknya atau semua memenuhi kriteria tetapi pada waktu memakannya tidak sesuai dengan syariat yang ditentukan (seperti tidak membaca basmalah pada waktu mau makan) maka makanan tersebut juga dapat dikatakan haram.

 

Sedangkan pengertian baik (thayyib) adalah kecukupan asupan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh kita termasuk di dalamnya adalah takaran-takaran atas kebutuhan gizi sesuai dengan ilmu gizi yang berlaku. Hal yang harus kita perhatikan adalah jika makanan yang kita makan harus memenuhi konsep halal lagi baik maka lawan dari konsep ini adalah haram lagi khabits. Untuk itu berhati-hatilah saat kita mengkonsumsi makanan atau minuman sebab hasil akhir dari makanan yang kita konsumsi akan mempengaruhi kualitas sperma bagi laki-laki atau kualitas sel telur bagi perempuan, yang merupakan cikal-bakal dari jasmani manusia. Selain daripada itu, jika sampai di dalam tubuh manusia terkontaminasi dengan yang haram atau terdapat unsur haram, maka di tempat yang haram tersebut merupakan pintu masuk bagi setan untuk mendirikan rumah atau tempat tinggal. Yang kemudian akan mempermudah setan untuk mempengaruhi perbuatan manusia atau melalui yang haram tersebut akan memudahkan setan melaksanakan aksinya mempengaruhi atau menggoda manusia dikarenakan kita sendiri telah mempersiapkan rumah tinggal bagi setan pada tubuh kita sendiri atau pada anak dan keturunan kita sendiri.

 

11.  Harus Menikah Terlebih Dahulu. Allah SWT telah menetapkan dan menentukan kepada seluruh manusia, jika kita ingin mendapatkan atau memperoleh keturunan atau jika kita berkeinginan untuk membuat regenerasi kekhalifahan di muka bumi yang posisinya ada di bawah diri kita, maka kita diwajibkan terlebih dahulu untuk melakukan pernikahan atau menikah. Allah SWT berfirman: Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa. (surat Al Furqaan (25) ayat 54). Adanya pernikahan antara seorang lelaki dengan seorang wanita yang didahului dengan adanya “Ijab Qabul” yang sesuai dengan ketentuan Agama dan yang juga sesuai ketentuan Hukum Negara yang berlaku. Akan menimbulkan hubungan kekeluargaan antara keluarga pihak lelaki dan keluarga pihak wanita dan seterusnya akan menjadi sebuah cikal bakal masyarakat atau adanya regenerasi kekhalifahan di muka bumi.

 

Selanjutnya ada satu hal yang teramat penting yang harus kita perhatikan dan juga menjadi perhatian bagi kita semua setelah adanya pernikahan antara seorang lelaki dan perempuan, yaitu sabda Nabi Muhammad SAW, yang kami kemukakan berikut ini:“Manakala seseorang di antara kalian sebelum menggauli istrinya terlebih dahulu mengucapkan: ‘Bismilaahi, Alloohumma janibnaasy syaithoona wa jannibi syaithoona maa rozaqtanaa’ (dengan menyebut nama Allah, ya Allah, hindarkanlah kami dari gangguan syaitan dan hindarkan pula anak yang akan Engkau anugerahkan kepada kami dari gangguan syaitan) kemudaian dilahirkanlah dari keduanya seorang anak, niscaya selamanya syaitan tidak akan dapat mengganggunya” (Munttafakun ‘alaih)

 

Dalam hadits  ini, terkandung anjuran yang mengarahkan kepada kita bahwa sebaiknya permulaan yang kita lakukan dalam hal ini bersifat Ilahiah (Rabbani), bukan Syaithani. Apabila disebutkan nama Allah SWT pada permulaan hubungan suami istri, berarti hubungan sebadan yang dilakukan oleh suami istri harus berlandaskan ketaqwaan kepada Allah SWT dan dengan izin dari Allah SWT diharapakan mendapat anak yang tidak diganggu oleh setan. Selain daripada itu, jika kita mampu melaksanakan apa yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad SAW di atas ini, maka terjadilah sinkronisasi proses pembentukan janin dalam rahim dimana input yang baik (dalam hal ini sperma dan sel telur) baru akan menghasilkan output yang baik (dalam hal ini janin) jika proses mempertemukan juga dengan cara yang baik. Dan adanya kondisi ini, berarti diri kita telah melakukan gerakan tutup pintu bagi setan untuk melaksanakan aksinya atau kita menutup kesempatan bagi setan untuk membangun tempat tinggal di dalam janin.

 

Sekarang timbul pertanyaan, setujukah setan dengan apa yang kita lakukan di atas? Setan sebagai musuh sangat tidak setuju dengan apa yang kita lakukan dikarenakan setan sangat berkepentingan untuk membangun rumahnya di dalam janin karena dengan cara itulah kesempatan untuk menggoda dan mengganggu anak dan keturunan Nabi Adam as, dapat ia laksanakan. Sebagai orang tua, sebagai calon orang tua, tolong anda perhatikan apa yang Nabi Muhammad SAW kemukakan di atas ini karena untuk mendapatkan janin yang berkualitas tinggi, tidak hanya mengandalkan makanan dan minuman yang berkualitas tinggi,tetapi juga harus dipertemukan dengan cara yang berkualitas tinggi pula (maksudnya sesuai dengan syariat yang berlaku).

 

Hal lain yang harus pula kita perhatikan adalah setan dengan segala upaya akan  menggagalkan diri kita memperoleh makanan dan minuman halal dan baik sebab yang dikehendaki syaitan adalah haram lagi khabits (buruk) serta setan juga akan menggagalkan segala upaya diri kita  untuk mempertemukan sel telur dan sperma yang sesuai dengan syariat melalui proses lupa, tidak ingat, dan lain sebagainya. Allah SWT sesungguhnya telah memerintahkan kepada kita semua, untuk memilih orang-orang yang shalih, baik laki-laki maupun perempuan, saat melakukan pernikahan, agar mereka berkemampuan untuk membesarkan dan mendidik generasi yang shalih sehingga terjadilah regenerasi yang terbaik di muka bumi ini. Demikianlah karena sesungguhnya bibit yang tidak shalih jelas tidak akan dapat memberikan keturunan yang shalih.

 

Dalam sebuah pepatah disebutkan bahwa orang yang tidak memiliki sesuatu, pasti tidak dapat memberikan sesuatu pula. Hal lain yang harus kita ingat adalah salah satu tujuan dari pernikahan adalah regenerasi abd’ (hamba)Nya dan juga regenerasi khalifahNya, atau menciptakan keturunan-keturunan baru di muka bumi sehingga jika kita melaksanakan sabda Nabi Muhammad SAW di atas setelah dilakukannya pernikahan maka akan menghasilkan keturunan-keturunan yang sangat tangguh serta mempunyai keimanan yang mantap yang siap menjadi abd’ (hamba)Nya yang juga khalifahNya di muka bumi yang sesuai dengan konsep awal Allah SWT saat menciptakan manusia. Mudah-mudahan kita semua mampu melaksanakan ini setelah membaca, memahami buku ini. 

 

12. Manusia Diciptakan Melalui Sebuah Proses. Manusia, termasuk diri kita tidak diciptakan oleh Allah SWT seperti Allah SWT menciptakan Nabi Adam as, atau seperti Siti Hawa. Penciptaan manusia, termasuk penciptaan diri kita  melalui suatu proses yang cukup panjang. Melalui proses yang cukup panjang ini, Allah SWT berkehendak untuk  menunjukkan, memperlihatkan kepada kita semua, seperti apa kebesaran dan kemahaan Allah SWT yang dimiliki-Nya, seperti apa kekuasaan Allah SWT, seperti apa kehebatan Allah SWT sehingga manusia dapat percaya, dapat meyakini bahwa hanya Allah SWT sajalah yang mampu menjadikan ini semua. Lalu seperti apakah proses kejadian manusia yang diperlihatkan, yang dipertunjukkan oleh Allah SWT di dalam kitab suci AlQuran? Allah SWT berfirman:  Dan Allah menciptakan kamu dari tanah dan kemudian dari air mani, kemudaian  Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan) . Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuanNya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan  (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah. (surat Faathir (35) ayat 11).”

 

Proses pertama kejadian manusia di mulai dari adanya pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, sebagai sebuah sarana untuk mendapatkan keturunan serta membina sebuah keluarga shakinah. Selanjutnya setelah melalui proses mempertemukan antara sperma dengan sel telur terjadilah apa yang dinamakan dengan pembuahan, sebagaimana firman Allah SWT yang kami kemukakan berikut ini: Allah SWT berfirman: Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya. (surat Abasa (80) ayat 19). Proses selanjutnya yang terjadi dalam rahim ibu selama empat puluh hari berupa mani (nutfah), kemudian berupa sekepal darah (mudhagah) selama itu juga kemudian berupa sekepal daging (allaghah) selama itu juga, kemudian setelah sempurna baru di tiupkan ruh kepadanya (maksudnya ke dalam Janin yang berumur 120 hari) sehingga bersatulah antara Jasmani dan Ruhani dalam rahim ibu. Adanya penyatuan Jasmani dengan Ruhani maka barulah dikatakan sebagai manusia. Allah SWT berfirman: “Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling baik. (surat Al Mu’minuun (23) ayat 14).” Dan setelah memenuhi proses waktu pertumbuhan dalam rahim selama 9 (sembilan) bulan maka lahirlah bayi atau seorang manusia baru ke muka bumi.

 

Kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang di wafatkan dan (ada pula) diantara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur)  kamu samapailah kepada kedewasaan, dan diantara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula)  di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat  bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan  berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (surat Al Hajj (22) ayat 5).

 

Dan proses kehidupan manusia di dunia ini akan berakhir sampai dengan waktu dipisahkannya ruh dengan jasmani yang dilanjutkan dengan kehidupan setelah mati oleh ruhani sampai menunggu hari kiamat dating di alam barzakh. Yang menjadi persoalan adalah kemanakah nanti kita akan pulang kampung kelak, apakah ke neraka ataukah ke syurga? Jawaban yang pasti adalah tergantung kepada usaha diri kita sendiri saat masih hidup di dunia saat ini sehingga apa yang kita tanam itulah yang kita tuai.

 

13.  Manusia Diberikan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 oleh Allah SWT Untuk Dipertanggungjawabkan.Untuk mensukseskan manusia melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba) yang sekaligus khalifah di muka bumi, maka setiap manusia telah diberikan modal dasar oleh Allah SWT berupa Amanah yang 7 yang kelak akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh Allah SWT. Adapun Amanah yang 7 yang harus dipertanggungjawabkan oleh setiap manusia adalah Qudrat (kuasa atau kemam-puan), Iradat (kehendak), Hayat (hidup), Kalam (berkata-kata), Ilmu (ilmu), Sama’ (penglihatan), Bashar (pendengaran) serta Af’idah (perasaan). Hal ini sebagaimana 3 (tiga) buah firman Allah SWT sebagaimana  berikut ini:  “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (surat Al Ahzab (33) ayat 72)

 

Allah SWT berfirman: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kami pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (surat An Nahl (16) ayat 78)

 

Allah SWT berfirman: Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka  tentang apa yang mereka kerjakan.Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan.(surat Fushshilat (41) ayat 20-22)

 

Dan setiap manusia selain diberikan Amanah yang 7 sebagai modal dasar manusia saat hidup di muka bumi, juga diberikan hubbul (kecintaan) yang 7 yang tidak lain adalah motor penggerak bagi setiap manusia untuk bertindak dan berbuat sesuatu. Adapun hubbul (kecintaan) yang 7 terdiri dari: Hubbul Syahwat (Ingin Berhubungan Dengan Lawan Jenis), Hubbul Hurriyah (Ingin Bebas), Hubbul Istitlaq (Ingin Tahu), Hubbul Jam’i (Ingin Berkumpul), Hubbul Maal (Ingin Harta Kekayaan), Hubbul Maadah (Ingin Dipuji) dan Hubbul Riasah (Ingin Jadi Pemimpin), sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (surat Ali ‘Imran (3) ayat 14).”

 

Allah SWT memberikan Amanah yang 7 dan juga Hubbul yang 7 kepada setiap manusia, termasuk kepada diri kita saat bertugas di muka bumi ini wajib dijadikan sebagai modal dasar dan juga alat bantu (energi penggerak) yang diberikan oleh  Allah SWT untuk memudahkan dan melancarkan serta mensukseskan manusia saar menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Hal ini dikarenakan manusia tidak akan mampu dan tidak akan bisa berbuat apa-apa jika hanya terdiri dari jasmani dan ruh semata. Dan yang harus kita pahami adalah baik Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 bukanlah barang gratisan yang bisa dipergunakan seenaknya saja karena keduanya akan dimintakan pertanggungjawaban kelak oleh Allah SWT. Untuk itu berhati hatilah di dalam mempergunakan modal dasar ini.

 

Jamaah sekalian, itulah 13 (tiga belas) kondisi dasar umat manusia yang mana setiap manusia akan terikat dengan ketentuan ini sampai dengan hari kiamat tiba.

 

Sebagai penutup, ada baiknya kita bercermin kepada pohon atau tumbuhan yang sama-sama diciptakan oleh Allah SWT dan yang tumbuh di sekitar diri kita. Sadarkah  kita bahwa setiap pohon yang ada di jagad raya selalu memberikan yang terbaik bagi manusia? Apa maksudnya? Setiap pohon atau tumbuhan secara sunnatullah sampai kapanpun ia akan menyerap “Carbon Monoksida” (menyerap yang buruk-buruk) pada waktu malam hari dan mengeluarkan “Oksigen” (memberikan yang baik baik) pada waktu pagi hari untuk keperluan manusia bernafas.  Bayangkan pohon atau tumbuhan menyerap racun lalu memberikan sesuatu yang baik kepada manusia sampai kapanpun juga. Inilah sunnatullah yang berlaku bagi pohon atau tumbuhan yang berlaku sampai hari kiamat, dan jika kita tidak mampu menjaga apa-apa yang telah direncanakan oleh Allah SWT kepada diri kita atau kita tidak mampu mempertahankan apa yang telah Allah SWT kondisikan kepada diri kita, ada baiknya kita bertanya kepada pohon atau kepada tumbuhan dengan sebuah pertanyaan bagaimanakah caranya mempertahankan sunnatullah yang berlaku bagi dirinya?

 

Jika kita tidak mampu seperti pohon (maksudnya secara sunnatullah pohon atau tumbuhan akan memproses karbon monoksida menjadi oksigen; menyerap racun memberikan yang baik bagi orang lain) berarti pohon atau tumbuhan lebih baik, lebih mulia daripada diri kita. Hal yang harus kita ingat adalah kita adalah abd’ (hamba) yang juga adalah khalifahNya sedangkan pohon adalah sesuatu yang akan kita khalifahi dan jika pohon lebih baik dan lebih mulia dibandingkan dengan abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya berarti konsep awal tentang penciptaan manusia di muka bumi yang direncanakan Allah SWT sudah berubah akibat ulah perbuatan diri kita sendiri.