Setelah mengetahui rahasia yang terdapat di
balik dzikir, timbul pertanyaan bagaimana caranya kita harus berdzikir yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT? Hal ini penting kita ketahui karena sebagai
orang yang membutuhkan dzikir maka kita tidak bisa sembarangan untuk berdzikir
karena kita harus tahu bentuk dan caranya yang terbaik untuk berdzikir.
Sekarang mari kita pelajari tentang bentuk dan cara berdzikir itu. Berdasarkan
surat Al Baqarah (2) ayat 152 berikut ini: “Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat
kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku”. serta
berdasarkan hadits qudsi riwayat Ath Thabrani berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW
bersabda: Allah ta’ala berfirman: Apabila hamba-Ku berdzikir (ingat) kepada-Ku
sendiri, maka Aku dzikir padanya sendirian. Dan apabila ia ingat (berdzikir)
pada-Ku di tengah khalayak ramai, niscaya Aku dzikir padanya di tengah kumpulan
yang jauh lebih baik dari kumpulan yang ia berdzikir kepada-Ku itu”. Berdasarkan dua ketentuan di atas, Allah
SWT telah menyatakan dengan tegas apabila seorang hamba mengingat (berdzikir
kepada) Allah SWT dengan segala tingkatannya maka Allah SWT pun akan mengingat
diri kita lebih baik dari tingkatan dzikir yang dilakukannya.
Dzikir kepada Allah SWT atau mengingat Allah
SWT dapat pula dikatakan sebuah kehendak dari diri kita untuk menemui Allah SWT
sebagaimana dikemukakan di dalam hadits berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata: Nabi
SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Apabila hambaku ingin menemuiKu, Aku pun
ingin menemuinya. Tetapi bila ia enggan menemuiKu, Aku pun enggan menemuinya.
(hadits qudsi riwayat Bukhari, Malik dan An Nasa’i).” Rasulullah SAW
mengajarkan kita untuk terus menerus berdzikir, mulai dari hendak tidur, bangun
tidur, masuk dan keluar kamar mandi, memakai baju, naik kendaraan, di
perjalanan, melihat petir ataupun kejadian di jalan, mau makan dan minum,
selesai makan dan minum, dan di segala aktifitas lainnya. Kenapa hampir tidak ada sedikitpun kegiatan kita yang luput dari
berdzikir kepada-Nya? Hal itu tak lain karena sesungguhnya rumah rumah,
rawa rawa, gunung gunung, dan bumi ini akan menjadi saksi bagi orang orang yang
berdzikir, pada hari kiamat kelak, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Pada
hari itu bumi menyampaikan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah
memerintahkan (yang sedemikian itu) padanya. (surat Az Zalzalah (99) ayat 4,5)
Kegiatan mengingat Allah SWT (berdzikir) itu
dapat dilakukan dengan tiga cara, dengan catatan ketiganya tidak bisa
dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya, namun harus dalam satu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang terdiri dari:
1. Dzikir dengan Lisan
atau Ucapan. Dzikir
dengan lisan (ucapan), yaitu dengan cara mengucapkan lafazh-lafazh dzikir
tertentu, baik dengan suara keras maupun dengan suara yang hanya dapat didengar
oleh orang yang berdzikir itu sendiri. Lafaz dzikir yang baku itu harus dari
AlQuran dan Al Hadits di antaranya adalah tasbih, tahlil, tahmid, membaca
AlQuran, istighfar, doa, dan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Allah
SWT berfirman: “(Zakaria) berkata,, “Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda.” Allah
berfirman, “Tanda bagimu adalah bahwa engkau tidak berbicara dengan manusia
selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu banyak
banyak, dan bertasbihlah (memujiNya) pada waktu petang dan pagi hari.” (surat
Ali Imran (3) ayat 41)
Dzikir lisan adalah
salah satu upaya untuk melindungi mulut dari berkata-kata yang tidak baik dan
tidak bermanfaat. Dengan berdzikir diharapkan lisan dan hati kita selalu
terjaga, bukanlah Rasulullah SAW telah mengingatkan kita, “Yang paling banyak memasukkan
manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, yaitu mulut dan farji (kemaluan).”
(hadits riwayat Ath Thirmidzi).” Dzikir melalui lisan bisa kita
laksanakan di manapun dan dalam kondisi apapun. Dzikir dengan lisan dapat kita
gunakan untuk mengisi waktu luang di tengah kemacetan atau di tengah antrian
panjang sehingga dengan dzikir lisan ini mampu menghilangkan kesempatan untuk
mengucapkan sumpah serapah. Akhirnya di tengah kemacetan dan antrian
panjang kita bisa menikmati apa yang dinamakan dengan ketenangan bathin. Dzikir
dengan lisan ini juga dapat menjadi alat bantu bagi kita untuk menghindarkan
diri dari membicarakan aib orang lain (ghibah), untuk tidak menyebarkan berita
bohong dan lain sebagainya.
Ingat, setiap lisan yang keluar dari mulut merupakan
parameter akhlak bagi si pengguna lisan itu. Misalnya, lisan yang keluar dari
mulut orang yang banyak omong dan sedikit berdzikir, maka dzikirnya pun dapat
berubah menjadi omongan. Sedangkan lisan yang keluar dari pribadi yang
berdzikir dan sedikit bicara maka bicaranya adalah dzikir.
Seorang pedzikir
tentu tidak pernah menganggap remeh rendah peran mulut sebagai sarana
dzikirnya. Itu sebabnya ketika akan berdzikir, dia membersihkan mulutnya
melalui proses wudhu. Dia sucikan mulutnya secara lahiriah, sebelum menyucikan
secara bathiniah.
Penyakit masuk melalui mulut, malapetaka keluar dari mulut.
(the best of Chinese Sayings)
Disamping menjaga
lisannya, dia pun akan menjaga mulutnya dari mengkonsumsi makanan yang haram,
jika ditinjau dari sisi dzatnya dan juga berhati hati dalam mengkonsumsi barang
barang yang termasuk dalam kondisi syubhat. Dia juga menjaga agar makanan yang
dikonsumsinya diperoleh dengan cara cara yang halal.Sebagai pezikir jangan
sampai kita terjebak ke dalam kancah perhitungan pahala. Sehingga kita selalu
menghitung hitung pahala dzikinya,
shalatnya, puasanya, sedekah dan zakatnya, umroh dan hajinya. Pezikir yang
seperti ini masih terjebak ke dalam parameter fikih. Dzikir yang dilakukannya
untuk mengejar pahala, bukan untuk menjadi sebuah kebutuhan bagi dirinya dalam
kerangka mencari rahmat dan ridha-Nya.
2. Dzikir dengan Hati atau Kalbu. Dzikir dengan hati
adalah dzikir yang memiliki ke-utamaan yang paling tinggi karena si pelaku
dzikir terus menerus berpikir tentang keangungan Allah, kegagahan-Nya,
keindahan ciptaan-Nya, dan ayat ayat-Nya di langit dan di bumi. Praktik dzikir
ini tanpa suara dan tanpa kata-kata. Allah SWT berfirman: “Dan ingatlah Tuhanmu dalam
hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara,
pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang orang yang
lengah. (surat Al A’raf (7) ayat 205).” Melalui dzikir hati atau kalbu ini mereka ingin memenuhi kalbu mereka
dengan kesadaran yang sangat dekat dengan Allah SWT, seirama dengan detak
jantung serta mengikuti keluar masuknya napas. Mereka meyakini bahwa keluar
masuknya napas yang dibarengi dengan kesadaran akan kehadiran Allah merupakan
pertanda bahwa kalbu ini hidup dan berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
3. Dzikir
Perilaku (perbuatan) atau Amal Shaleh. Dzikir perilaku adalah patuh dan taat kepada
Allah SWT dalam segala tindakan dan ucapan. Inilah yang disebut dengan taqwa.
Dzikir yang seperti ini merupakan dzikir yang paling agung. Hal ini disebabkan
seorang Muslim harus sudah berada dalam posisi melaksanakan apa apa yang
diperintahkan oleh Allah serta menjauhi segala yang haram dan syubhat. Pedzikir
ini telah mencapai puncaknya dzikir yakni ketaqawaan, yang dibuktikan dengan
amal shalehnya, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertwaqwa di antara kamu.
(surat Al Hujuraat (49) ayat 13)
Untuk menambah
wawasan tentang dzikir perilaku dapat kami ilustrasikan sebagai berikut:
Katakan kita ingat bahwa Allah SWT adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Jika ini yang kita ingat tentang Allah maka perilaku kita harus sesuai dengan
apa apa yang kita ingat dari Allah SWT sehingga kitapun berperilaku kasih dan
sayang kepada sesama manusia. Demikian pula jika kita mengingat Allah SWT
adalah Yang Maha Pemberi Rezeki maka perilaku kitapun setelah memperoleh rezeki
harus siap membahagiakan orang lain melalui rezeki yang kita terima dengan
menunaikan infaq ataupun sedekah yang tidak lain adalah perbuatan amal shaleh.
Demikian seterusnya.
Sekarang mari kita bandingkan antara pedzikir
sejati dengan pedzikir munafik. Dzikirnya
pedzikir sejati akan sangat berbeda dengan perilaku pedzikir orang orang
munafik. Orang munafik berdzikir mengingat Allah dengan lisannya hanya karena
ingin memamerkan aktivitas dzikirnya pada orang lain. Padahal, di hati mereka
tidak ada aktivitas dzikir itu, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “Sesungguhnya
orang orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan
apabila berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud ria
(dengan shalatnya itu) di hadapan orang lain dan tidaklah mereka menyebut Allah
kecuali sedikit sekali. (surat An Nisa’ (4) ayat 142).”
Usai berdzikir, mereka gunakan anggota tubuh
mereka untuk melakukan hal hal yang tidak diridha Allah. Dengan mulut yang
sama, usai berdzikir mereka gunakan pula untuk berbohong, menipu, membicarakan
aib orang lain, mengeluarkan kata kata yang tidak bermanfaat. Bahkan mereka
tidak sungkan sungkan menerima sesuatu yang bukan haknya, pikiran mereka
berkata itu perbuatan dosa, tetapi hati mereka tak sanggup menolaknya. Nabi SAW bersabda: “Celaka, celaka, celaka, orang
yang banyak berdzikir dengan lidahnya, tetapi bermaksiat terhadap Allah dengan
perbuatannya. (hadits riwayat Adh Dailami)
Orang orang yang beriman berdzikir dengan
hatinya. Lisannya hanya menjadi jalan untuk dzikirnya. Lisannya ikhlas berdzikir karena Allah, tak ada maksud tersembunyi,
sehingga hasil dari dzikirnya akan sampai pada hatinya. Saat itulah sesungguhnya,
aktifitas dzikirnya menjadi sangat banyak, karena hatinya mampu menterjemahkan
dzikir lisannya menjadi dzikir perilaku dalam bentuk amal shaleh. Akhirnya mereka
menjadi orang orang yang ringan tangan dalam membantu saudara saudaranya atau
tetangga tetangganya yang susah. Air matanya mudah menetes melihat penderitaan
dan kedzaliman yang berlangsung di sekitarnya. Hidupnya didedikasikan untuk
umat, dia ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak melalui
aktifitas wakaf waktu atau mewakafkan sebahagian waktunya untuk kemaslahatan
umat. Selalu merasa berdosa atas sikap dan perkataan yang dikeluarkannya, dia
selalu melakukan kebaikan dan perbaikan dalam hidupnya.
Secara umum jika kita mampu berdzikir (baik
lisan, hati dan perilaku) yang sesuai dengan kehendak Allah SWT akan melahirkan
sifat Al Muraqabah (perasaan selalu
diawasi oleh Allah) sehingga akan memasukkan pelakunya ke pintu Al
Ikhsan. Orang orang yang lalai tentu tidak akan sampai ke derajat Al Ikhsan. Dzikir juga akan melahirkan
sifat Al Inabah (dorongan jiwa ingin
selalu kembali kepada Allah) sehingga Allahlah yang ditakuti dan tempat kembali
serta tempat untuk berlindung.Seorang
pedzikir sejati tak pernah mengaku cinta kepadaNya jika tak pernah merasa rindu
denganNya. Dia tak akan pernah mengaku rindu kalau tak pernah mengingatNya. Dan
dia tak pernah merasa berdzikir apabila belum meneteskan air matanya. Air mata
rahmat, air mata yang menjaga dan melindungi dirinya pada Hari Kiamat kelak.
Insya Allah!.
Matinya hati adalah sebuah tragedi bagi
seorang manusia. Benar secara lahiriah dia hidup, fisiknya sehat dan bugar,
serta fikirannya cerdas. Tetapi di sisi lain, syahwatnya menggebu gebu, nafsu
berkuasanya tinggi, takabur dan ria dalam beramal, dan sepak terjang bisnisnya
menghalalkan segala cara. Inilah manusia yang hatinya telah mati. Karena itu,
pepatah Barat yang mengatakan, “Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang
sehat”, tidak cocok diberlakukan bagi orang yang beriman. Paradigma yang begitu
merasuk selama beberapa dekade di negeri ini memang sangat tidak cocok bagi
orang orang mukmin.
Untuk apa kita memiliki tubuh yang sehat jika
hatinya sakit atau hatinya telah mati. Hidup yang kita jalani ternyata dapat
membuat kita menjadi mati. Maka sebelum mati itu datang menjemput.
Jangan sia siakan manis dan lezatnya kehidupan ini. Ayo berdzikir dan berpikir
akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Tak ada yang lebih indah di dunia ini
melainkan menjadi orang yang cerdas menurut kriteria sang Pencipta berikut ini:
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda
tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (yaitu) orang orang yang
mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami,
tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia sia; Mahasuci Engkau, lindungilah
kami dari azab neraka. (surat Ali Imran (3) ayat 190, 191).”
Celakalah orang yang hidup tetapi hatinya
sakit sebab di hidup di arena kemaksiatan. Dan sia sialah orang yang hidup
tetapi memiliki hati yang mati sebag orang yang demikian hidup dalam kekufuran.
Hatinya dikunci mati oleh Allah, sama saja bagi mereka diberi petunjuk atau
tidak. Inilah hati orang kafir. Dan jangan biarkan hidup ini diwarnai dengan
semerbak wangi bunga kematian dan jangan biarkan hati kita menjadi taman bagi
sekuntum bunga kematian.
Sekarang mari kita pelajari secara lebih
mendalam lagi tentang dzikir. Dimana dzikir kepada Allah SWT ada dua macam, yaitu
dzikir wajib dan dzikir sunnah. Kita wajib berdzikir (mengingat) Allah SWT dalam
tiga situasi, yaitu:
1. Yang pertama, kita melihat adanya makhluk maka kita harus
mengingat khalik-Nya.
2. Yang kedua, apabila kita melihat ciptaan, maka kita
harus bisa menyadari kekuatan dan kebijaksanaan Tuhan yang tidak terbatas
karena telah memperlihatkan karya nyata berupa alam semesta ini.
3. Yang ketiga, kita harus memandang Allah sebagai sumber
anugerah dan seharus-nyalah kita tidak menyianyiakan cintaNya yang ditanamkan ke
hati kita.
Sebagai tingkatan pertama mengenal Allah SWT,
dzikir seperti ini adalah sebuah kewajiban bagi setiap manusia. Apabila manusia
telah mengenal Allah SWT pada tingkat wajib dan mulai mencintai-Nya dan
mengabdi kepada-Nya maka dzikir yang terus dilakukannya menjadi sunnah baginya.
Artinya, disunahkan kepadanya agar setiap kali melihat makhluk, ia selayaknya
mengingat penciptanya. Setiap kali ia melihat suatu karunia, haruslah ia
menganggapnya sebagai hadiah dari Allah SWT. Dan dengan begitu, ia tak akan
melupakan Allah SWT selama hayat masih di kandung badan. Dzikir semacam ini
tergolong ibadah yang paling baik. Selain dzikir wajib dan dzikir sunnah yang
kami kemukakan di atas, masih ada pilihan berdzikir kepada Allah SWT dalam
bentuk yang lainnya, yaitu:
1. Dzikir yang dikaitkan
dengan Ingat kepada hasil ciptaan-Nya, kebesaran-Nya, kema-haan-Nya. Jika dzikir
ini yang kita lakukan terdapat pemisah antara diri kita selaku abd’ (hamba)
dengan Allah SWT selaku Rabb.
2. Dzikir yang dikaitkan
dengan Ingat langsung kepada Allah SWT. Jika ini yang kita lakukan tidak ada
lagi tirai, perantaraan, hijab atau penghalang antara diri kita selalu abd’
(hamba) dengan Allah SWT selaku Rabb.
Selanjutnya agar kita mampu berdzikir seperti
yang kami kemukakan diatas ini, berikut ini akan kami berikan sebuah
ilustrasinya. Sewaktu kita mengingat presiden pertama dan kedua Indonesia,
yaitu Ir Soekarno dan Jenderal Soeharto, secara utuh. Tentu kita tidak bisa
hanya mengingat sosok dan penampilan dari penampilan phisik belaka. Jika ini
yang kita lakukan kepada Ir Soekarno dan Jenderal Soeharto, tidak cukup bagi
kita untuk mengingat secara baik dan benar. Kita juga wajib mengetahui sejarah
perjuangan keduanya, kita juga wajib mengetahui dan memahami hasil dan karya
nyata yang telah ditorehkannya baik yang tampil ke permukaan (told story)
maupun yang tidak tampil ke permukaan (untold story). Barulah kita bisa
mengenang mereka sebagai seorang yang berjiwa besar dan pahlawan bagi bangsa
Indonesia.
Kita tidak akan bisa mengucapkan rasa kagum
dan menaruh hormat kepada Ir Soekarno dan Jenderal Soeharto selaku presiden
Republik Indonesia, jika hanya mengandalkan lisan semata. Kita harus
mempergunakan segala elemen yang ada di dalam diri seperti mempergunakan mata
untuk melihat, telinga untuk mendengar, ilmu untuk berpikir, hati untuk
merasakan karya nyata mereka berdua, yang dipergunakan secara utuh satu
kesatuan, maka barulah kita bisa mengingat kedua presiden Indonesia ini dengan
baik dan benar.
Jika kepada manusia saja kita harus seperti
itu, lalu bagaimana kita bisa mengingat Allah SWT sesuai dengan kehendak Allah
SWT jika hanya melalui lisan semata? Agar kita mampu melakukan dzikir wajib
kepada Allah SWT seperi yang kami kemukakan di atas, maka kita tidak bisa
melakukannya hanya sebatas lisan semata. Namun kita harus mempergunakan ilmu
dan pengetahuan yang diiringi dengan mata, telinga, hati kita untuk merasakan
langsung tentang Allah SWT.
Akhirnya
dzikir harus kita maknai bukanlah sebagai titik, melainkan sebagai koma.
Sehingga tidak boleh berhenti di situ. Jika dzikir dipahami sebagai titik, kita
akan terjebak ke dalam ritual ibadah. Tak ubahnya seperti orang orang Nasrani,
Yahudi atau Majusi dalam melakukan ritual. Mereka mengingat dan menangis saat
beribadah, mereka pun merasa berada di titik nol, mereka pun merasa berdosa dan
memohon kepada tuhan mereka.
Kalau kita dapat memahami hal itu, maka orang
orang yang berdzikir sejatinya adalah orang orang yang dapat melahirkan
kesalehan individu yang tercermin dalam kesalehan sosial dalam dirinya. Inilah salah satu
tujuan paling mulia yang dimaksud dari pelaksanaan ibadah dzikir kepada Allah.
AllahSWT berfirman: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah
dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut nyebut (membangga banggakan)
nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka diantara
manusia ada yang berdoa: “Ya Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia”, dan
Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. (surat Al Baqarah (2)
ayat 200).”
Berikut ini akan kami kemukakan 3 (tiga) kegiatan
dan sikap atau pandangan spiritual yang bisa kita lakukan selama hayat di
kandung badan sebagai bentuk pengungkapan “hidup adalah bukanlah titik, melainkan
koma” dikarenakan jika hidup dimaknai sebagai titik berarti kita telah mati.
Inilah yang bisa kita lakukan, yaitu:
1. Mawas Diri. Mawas diri berarti pengenalan atau pencarian,
atau penemuan jati diri seseorang dan kedalam spiritualnya, serta latihan
kemampuan spiritual dan intelektual untuk memperoleh nilai nilai kemanusiaannya untuk membangun
nurani, membantu, dan memelihara dirinya. Ini adalah proses bagaimana seseorang
membedakan baik dan buruk, amal dan dosa, dan bagaimana menjaga hati nurani.
Lebih jauh lagi mawas diri adalah memberikan waktu kepada kita untuk
mengevaluasi apa yang terjadi serta merencanakan sesuatu untuk masa depan.
Bertafakur adalah
kesempatan bagi kita untuk menyadari kesalahan kesalahan masa lalu dan
menyadari Allah SWT selalu mengawasi setiap langkah yang kita jalani, ini
berarti pula kesadaran tanpa henti untuk selalu memperbaharui diri dalam jiwa
seseorang. Kondisi tersebut adalah untuk mencapai hubungan yang harmonis dengan
Allah SWT, dimana hubungan ini tergantung kepada kemampuan seseorang dalam
menjalani kehidupan spiritualnya dan waspada terhadap keinginan keinginan yang
berlebihan dalam jiwanya. Kesuksesan hidup berarti dapat memelihara hubungan
yang langgeng dengan alam sebagaimana dia mempertahankan jiwa raganya.
2. Berdzikir (Reflection). Berdzikir adalah
langkah penting untuk menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar kita dan
menyimpulkan daripadanya. Berdzikir adalah kunci emas untuk membuka pintu
pengalaman, suatu tanah persemaian bagi pohon kebenaran, dan merupakan titik
awal bagi terbukanya mata hati. Karena itu, wakil manusia yang paling agung,
yang paling utama dalam berdzikir, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tiada
satu amalan ibadah pun yang nilainya menyamai berdzikir. Maka berdzikirlah
tentang karunia Allah dan hasil perbuatan-Nya, namun jangan engkau mencoba
untuk memikirkan akan dzat-Nya, karena engkau tidak akan pernah bisa
melakukannya.” Hadits tersebut menggambarkan pahala dan kebaikan dari
berdzikir, manusia yang paling mulia, Nabi Muhammad SAW, menentukan, serta
mengingatkan batas batas pemikiran dan kemampuan kita.
3. Bersyukur. Bersyukur yang sesungguhnya berada di dalam
hati seseorang akan tercer-min dalam sikap dan tingkah lakunya bahwa semua
berasal dari Allah SWT dan memengaruhi kehidupan sehari harinya. Allah SWT
berfirman: “Dan Dia telah memberikan kepadamu segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya.
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu
menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat dzalim dan sangat mengingkari
(nikmat Allah). (surat Ibrahim (14) ayat 34).’ Seseorang dapat
bersyukur kepada Allah secara lisan atau melalui ibadahnya jika ia merasa yakin
untuk mengakui dengan sungguh sungguh bahwa seluruh hidupnya, keberadaannya,
dirinya, penampilan phisiknya, seluruh kemampuannya, dan seluruh prestasinya
adalah semuanya karena Allah SWT. Sebagai pribadi-pribadi yang mampu berdzikir
(lisan, hati, dan perilaku) dalam satu kesatuan adalah pribadi-pribadi yang
mengerti dan memahami makna bersyukur.
Dia mensyukuri apa
apa yang telah diberikan Allah SWT kepadanya, seperti bersyukur atas
pendengaran, bersyukur atas penglihatan, bersyukur atas ilmu, bersyukur atas iradat,
bersyukur atas kekuatan dan kemampuan (qudrat), bersyukur atas hayat, bersyukur
atas sehatnya jasmani, dan lain sebagainya.
“Abu Darda ra,
berkata: “Setiap sesuatu itu mempunyai
kilapan dan kilapan hati itu adalah dengan berdzikir kepada Allah SWT.”
“Ibnu Al Qayyim Al
Jauziyah juga berkata, “Sesungguhnya hati
itu bisa berkarat seperti halnya tembaga dan perak. Maka untuk membersihkan
karat tersebut adalah dengan berdzikir, sebab ia akan membuantnya mengkilap
seperti cermin putih. Apabila hari dibiarkan, maka ia akan berkarat dan apabila
dibawa berdzikir, maka ia akan cemerlang. Hati berkarat itu disebabkan oleh dua
hal, kelaiaan dan dosa. Sedangkan cara membuatnya mengkilap adalah dengan
istighfar dan dzikir.”
“Ibnu Taimiyah pernah
berkata, “Sesungguhnya kelezatan,
kebahagiaan, dan keindahan yang tak bisa diungkapkan dengan kata kata, hanya
terdapat pada saat mengenal Allah SWT, mengesakan-Nya, dan beriman kepada-Nya,
serta saat mengambil manfaat lewat hakikat keimanan dan pengetahuan AlQuran.”
Seseorang yang senantiasa berdzikir (mengingat
Allah SWT) pasti tidak akan menyianyiakan atas apa apa yang telah diberikan
Allah SWT sehingga hidupnya tidak akan digunakan untuk mendatangkan dosa dan
bencana bagi dirinya, bagi keluarga, bagi masyarakat, bagi bangsa dan
negaranya. Pribadi yang berdzikir tentu memiliki mata, telinga, hidung,
perasaan, mulut, tangan, kaki yang juga berdzikir. Hal ini karena semuanya
selalu terjaga dan dijaga oleh Allah SWT.
Tetesan air matanya mudah jatuh dan hatinya
mudah tergetar ketika telinga, mata, perasaannya menangkap lantunan ayat suci
AlQuran atau ketika melihat ada orang yang didekatnya mengalami kesusahan atau
mudah mendoakan orang lain tanpa diketahui oleh orang yang bersangkutan.
Hatinya selalu berbisik kepada matanya, kepada telinganya, kepada tangan dan
kakinya agar ia selalu mampu menampilkan penampilan Allah SWT dalam hidupnya
selama hayat masih di kandung badan. Sungguh Allah Maha Besar, lalu nikmat mana
lagi yang kita dustakan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar