Sekarang untuk apa kita mempelajari, memahami
dan lalu melaksanakan ilmu tauhid itu selama hayat di kandung badan. Yang mana
kita harus dapat mendahulukannya dibandingkan dengan mempelajari ilmu-ilmu yang
lainnya! Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita perhatikan firman-Nya berikut
ini: “Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang
Maha Kaya (yang tidak memerlukan sesuatu), Yang Maha Terpuji. (surat Fathir
(35) ayat 15).” Ayat ini mengemukakan bahwa Allah SWT dengan tegas tidak
membutuhkan apapun juga dan dari siapapun juga, namun kitalah yang membutuhkan
dan memerlukan Allah SWT saat hidup di muka bumi ini. Adanya kondisi ini bukan
berarti Allah SWT yang sangat membutuhkan ibadah hamba-Nya. Melainkan
karena manusialah yang membutuhkan ibadah yang telah Allah SWT perintahkan dan
juga menunjukkan jika Allah SWT sangat peduli dan sayang kepada umat manusia.
Hal ini dikarenakan setiap perintah yang diperintahkan oleh Allah SWT bukanlah
untuk kepen-tingan yang memerintahkan ibadah, melainkan untuk kepentingan yang
diperintah untuk melaksanakan ibadah, dalam hal ini umat manusia.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan
oleh Allah SWT dalam surat Adz Dzariat (51) ayat 56,57,58 sebagaimana berikut
ini: “Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.
Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar
mereka memberi makan kepada Ku. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki
Yang mempunyai Kekuatan lagi sangat kukuh.” Dimana ayat di atas ini dengan tegas Allah
mengemukakan bahwa Allah SWT tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk
beribadah kepada-Nya yang berarti manusia dan jin wajib melaksanakan ibadah
hanya kepada Allah SWT semata guna memperoleh manfaat yang terdapat di balik
perintah ibadah tersebut. Dan manfaat ibadah inilah yang sangat dibutuhkan oleh
jin dan manusia sepanjang jin dan manusia itu mau berkesesuaian dengan kehendak
Allah SWT. Lalu Allah SWT mengemukakan
pula bahwa Allah SWT tidak butuh diberi makan dan tidak butuh diberi rezeki
dari umat manusia. Hal ini menunjukkan bahwa Allah SWT sangat berkuasa.
Ibadah yang kita lakukan bisa diibaratkan
dengan makan, kita makan agar mendapatkan energi, membantu pertumbuhan jasmani
serta dalam kerangka menjaga kesehatan jasmani. Begitu juga dengan ibadah yang
kita lakukan, kita beribadah kepada Allah SWT agar mendapatkan ketentraman dan
kedamaian ruh, dan juga agar semakin menumbuhkan rasa keimanan dan ketaqwaan
kita kepada Allah SWT yang pada akhirnya mampu menjadikan ruh tetap fitrah dari
waktu ke waktu sampai kembali kepada Allah SWT dalam kondisi fitrah. Semoga
kita tetap senantiasa istiqamah dalam beribadah, menjadikan ibadah sebagai
kebutuhan sehingga melahirkan berbagai kebaikkan bagi diri, bagi keluarga, bagi
masyarakat sebagai bentuk keshalehan diri yang tercermin dalam keshalehan
sosial.
Untuk itu mari kita perhatian hadits berikut
ini: “Wahai
hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari awal penciptaan sampai akhir
penciptaan. Seluruhnya menjadi orang yang paling bertaqwa, hal itu sedikitpun
tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari
awal penciptaan sampai akhir penciptaan. Seluruhnya menjadi orang yang paling
bermaksiat, hal itu sedikitpun tidak mengurangi kekuasaan-Ku” (Hadits Riwayat Muslim,
Nomor.2577). Berdasarkan hadits ini kita bisa memahami bahwa
walaupun semua manusia dan jin memiliki akhlak yang baik, ibadahnya luar biasa
dan rajin, ataupun mereka memiliki level ketaqwaan yang paling tinggi. Itu
semua tidak akan menguntungkan sama sekali bagi Allah SWT. Begitu juga jika semua
makhluk hidup yang ada di permukaan bumi ini, mereka tidak pernah beribadah,
selalu membuat kerusakan di muka bumi ini, membuat permusuhan dan kebencian, ataupun
memiliki level kejahatan dan juga kedzaliman yang paling tinggi. Maka itu tidak
akan merugikan Allah SWT sedikitpun.
Kita menjadi diri kita yang sekarang ini karena
sudah puluhan tahun Allah SWT memberi kita, apa yang dinamakan dengan nikmat mata, nikmat pendengaran, nikmat lisan, nikmat anggota tubuh
seperti jantung, paru paru, ginjal dan lain sebagainya; nikmat oksigen, nikmat
air, nikmat makan dan minum yang kesemuanya itu tidak berhenti ada di muka bumi
ini. Dan diantara nikmat-nikmat tersebut ada yang tidak bisa kita berlepas
darinya walaupun sejenak. Walaupun kita sedang tertidur tetap akan membutuhkan
nikmat-nikmat Allah yang telah Allah SWT ciptakan kepada kita. Sudahkah kita
menyadarinya!
Selanjutnya mari kita perhatikan firman Allah
SWT berikut ini: “Wahai manusia! Sungguh telah datang Rasul (Muhammad) kepadamu dengan
membawa kebenaran dari Tuhanmu, maka berimanlah (kepadanya), itu lebih baik
bagimu. Dan jika kamu kafir, itu tidak merugikan Allah sedikitpun, karena
sesungguhnya milik Allahlah apa yang di langit dan di bumi. Allah Maha
Mengetahui Maha Bijaksana. (surat An Nissaa’ (4) ayat 170). Berdasarkan
ayat ini, Allah SWT tidak akan rugi sama sekali karena ulah kita yang
menjadikan diri kita kafir (berseberangan dengan kehendak Allah SWT). Justru
kitalah yang merugikan diri sendiri karena Allah SWT pemilik langit dan bumi
yang tidak membutuhkan apapun dan dari siapapun. Dan jika sampai diri kita
melepaskan diri dari apa-apa yang dikehendaki oleh Allah SWT berarti diri kita
sendirilah yang memberikan kesempatan bagi ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan
melaksanakan aksinya yang pada akhirnya akan menghantarkan diri kita pulang
kampung ke kampung kesengsaraan dan kebinasaan untuk hidup bertetangga dengan
syaitan. Semoga diri kita dan juga anak keturunan kita tidak mengalami hal ini.
Sekarang mari kita renungkan hadits yang
kami kemukakan berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW
bersabda: Allah ta'ala berfirman: Wahai Anak Adam! Jika engkau ingat kepada-Ku,
Aku Ingat kepadamu dan bila engkau lupa kepada-Ku, Akupun ingat kepadamu. Jika
engkau taat kepada-Ku pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku
berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan da-Ku. Engkau berpaling
daripada-Ku padahal aku menghadap kepadamu, Siapakah yang memberimu makan
dikala engkau masih di dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan
memeliharamu sampai terlaksanalah kehendak-Ku bagimu, maka setelah Aku
keluarkan engkau ke alam dunia engkau berbuat banyak maksiat. Apakah demikian
seharusnya pembalasan kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu?. (Hadits Qudsi Riwayat Abu Nasher Rabi'ah bin
Ali Al Ajli dan Arrafi'ie; 272:182). Hadits ini mengemukakan tentang hubungan
Allah SWT kepada makhluk-Nya, termasuk kepada diri kita, akan terus terjadi
sampai kapanpun walaupun kita telah melupakan Allah SWT, atau walaupun kita
telah memutuskan hubungan dengan Allah SWT. Allah SWT tetap memperhatikan diri
kita, Allah SWT tetap menghadapi diri kita sampai dengan Allah SWT mengadili
diri kita di hari kiamat kelak. Sekarang apakah akan kita sia-siakan Allah SWT
yang sudah begitu sayang kepada diri kita sehingga kita menukarnya dengan
menjadi makhluk kebanggaan setan? Dan sebagai orang
yang membutuhkan dan memerlukan Allah SWT maka sudah sepantasnyalah kita
memiliki ilmu tentang Allah SWT serta memenuhi kriteria yang dikehendaki oleh
Allah SWT jika ingin memperoleh sesuatu yang berasal dari Allah SWT. Disinilah letak
betapa pentingnya ilmu ketauhidan bagi diri kita. Dan alangkah tidak tahu
dirinya kita jika kita membutuhkan Allah SWT namun kita tidak pernah tahu dan
tidak pernah kenal kepada Allah SWT karena tidak mau mempelajari ilmu tauhid
dengan baik dan benar.
Dan yang harus kita pahami adalah buah
(hasil) dari pelaksanaan dari ketauhidan yang baik dan benar yang telah kita
miliki sangat tergantung kepada kualitas ketauhidan yang ada dalam diri. Semakin
berkualitas nilai ketauhidan yang ada di dalam diri dan yang kita laksanakan
maka hasilnya sesuai dengan kualitas ketauhidan yang kita miliki yaitu
berkualitas. Demikian pula sebaliknya, jika nilai ketauhidan dalam diri
bernilai (berkualitas) rendah maka rendah pula hasilnya. Dan jangan sampai diri
kita tidak memiliki ketauhidan sama sekali dalam diri karena hasilnya sesuai
dengan kondisi yang kita miliki. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus
khalifah-Nya di muka bumi ketahuilah bahwa inilah yang akan kita peroleh dan
rasakan secara langsung dari ilmu tauhid (ketauhidan) yang kita laksanakan dan
yang kita terapkan saat hidup di dunia ini yang kesemuanya berasal hanya dari
Allah SWT semata.
A. KETAUHIDAN DALAM DIRI
DAPAT MEMANJANGKAN UMUR SESE-ORANG.
Adanya ketauhidan
dalam diri yang baik dan benar akan mampu memanjang umur seseorang. Kondisi ini
terjadi karena konsep umur dengan konsep usia adalah sesuatu yang berbeda. Usia
adalah saat Allah SWT mulai mempersatukan ruh ke dalam jasmani sampai dengan
dipisahkannya kembali ruh dengan jasmani melalui proses sakaratul maut. Adapun
saat atau berapa lama masa bersatunya ruh dengan jasmani ditentukan oleh Allah
SWT. Tidak ada yang bisa memajukan, tidak ada pula yang bisa memundurkan masa
bersatunya ruh dengan jasmani. Adapun saat dipisahkannya ruh dengan jasmani
oleh malaikat maut maka terjadilah apa yang dinamakan dengan proses sakaratul
maut. Jasmani akan dikem-balikan ke tanah sedangkan ruh untuk sementara waktu
akan ditempatkan di alam barzah sampai hari kiamat tiba.
Berapa usia kita atau
berapa lama kita hidup di dunia ini kita tidak tahu, yang tahu hanya Allah SWT.
Sehingga seseorang jika telah sampai kepada apa yang telah ditentukan oleh
Allah SWT maka selesai pula hidupnya di muka bumi ini. Dan jika kematian adalah
sebuah kepastian berarti di dalam menghadapi kepastian ini kita harus pintar-pintar
memanfaatkan waktu agar kita bisa merealisir visi akhirat kita melalui karya
nyata yang besar saat hidup di dunia. Lalu sudahkah kita mempersiapkan kematian
yang pasti datang itu dengan sebaik- baiknya.
Sekarang apa yang
disebut dengan umur? Umur adalah seberapa berkualitasnya kebaikan atau seberapa
buruknya keburukan yang dikenang oleh generasi yang datang di kemudian hari
setelah kita tiada. Jika kita dikenang oleh generasi yang datang dikemudian
hari dalam nilai-nilai kebaikan maka itulah yang dikatakan dengan umur panjang.
Apabila yang dike-nang dari diri kita adalah nilai-nilai keburukan oleh
generasi yang akan datang maka itulah yang kami istilahkan dengan umur pendek.
Panjang pendeknya umur seseorang bukan
ditentukan oleh Allah SWT melainkan diri kita sendirilah yang menjadikannya panjang
atau pendek sesuai dengan karya-karya nyata yang kita perbuat saat hidup di
dunia ini. Untuk mempertegas konsep umur di atas, ketahuilah bahwa orang-orang yang berumur panjang adalah orang-orang yang sudah meninggal dunia
tetapi peninggalan dari kebaikan-kebaikan yang telah ditanamnya saat masih
hidup di dunia tetap dan terus memberikan manfaat kepada masyarakat luas bisa
dalam skala lokal, bisa dalam skala nasional dan bisa pula dalam skala
international.
Lalu melalui cara
apakah umur panjang bisa kita raih? Jawabannya ada pada hadits berikut ini: “Abu
Hurairah ra, berkata, Nabi bersabda: “Sesungguhnya yang dicapai oleh orang
mukmin dari amal dan perbuatan sesudah matinya ialah: ilmu pengetahuan yang di
dapatnya dan disebarkan dan budi baik yang dia tinggalkan, atau buku yang ia
berikan untuk diwarisi, atau tempat sembahyang yang ia bangun, atau sebuah
terusan yang ia gali, atau derma ia lakukan dari kekayaannya selama ia sehat
dan sakit”. (Hadits Riwayat Ahmad).” Apa contohnya? Berikut ini akan
kami kemukakan beberapa contoh nyata yang dibuat oleh orang-orang yang sangat hebat
saat mereka hidup di dunia, yaitu:
1. Air zam zam yang ada
di kota Makkah sebagai buah dari perjuangan Ibunda Siti Hajar yang keberadaannya
akan sampai hari kiamat kelak;
2. Buku kumpulan hadits
yang dirawikan oleh perawi hadits seperti Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ath
Thabarani; Ath Thirmidzi, Ad Dailami, Al Hakim dan yang lainnya yang mana
kumpulan haditsnya bisa dipergunakan sampai hari kiamat;
3. Tafsir Al Azhar yang
ditulis oleh Buya Hamka dan juga melalui Tafsir Al Misbach yang ditulis oleh
Quraisy Shihab; serta melalui buku Nasaihul Ibad yang ditulis oleh Syekh An
Nawawi Al Bantani.
4. Waduk Jatiluhur yang
dibuat oleh Ir Juanda;
5. Masjid St Petersberg
yang ada di Moskow yang diinisiasi oleh Ir Soekarno.
6. Jembatan semanggi
yang dibuat oleh Ir Soetami, dan lain sebagainya..
Semakin lama kebaikan
yang di tanam saat hidup lalu dikenang serta bisa dimanfaatkan oleh banyak orang
maka semakin panjanglah umur orang tersebut walaupun usianya telah habis. Dan adanya
panjang umur ini berarti panjang dan banyak pula kebaikan yang diterima oleh
orang tersebut serta semakin banyak bekal yang akan dibawa untuk kepen-tingan
akhirat. Jika ini yang terjadi pada diri kita maka sebagai orang yang bertauhid
terlihat dengan jelas bahwa orang yang bertauhid adalah orang-orang yang mampu
berani membayar mahal atas kebaikan-kebaikan yang ia tinggalkan untuk generasi
yang datang di kemudian hari. Dan semoga itulah cerminan dari diri kita.
Lalu bagaimana dengan
orang yang dikenang karena keburukannya? Orang
yang dikenang karena keburukannya berarti orang tersebut pendek umurnya yang
berarti orang tersebut tidak memiliki nilai kebaikan, yang ada hanyalah
keburukan dan keburukan, yang tidak hanya melekat kepada yang bersangkutan
tetapi juga melekat pada keluarga dan anak keturunan dari yang bersangkutan.
Contohnya adalah Fir’aun, Hamman, Abu Jahal, Qarun, Samiri dan lain sebagainya yang
kesemuanya dikenang oleh generasi yang datang dikemudian hari dari sisi
keburukannya. Alangkah ruginya orang yang berumur pendek, ia tidak memiliki
bekal untuk kepentingan akhiratnya selain keburukan, yang pada akhirnya akan
menghantarkan orang tersebut ke Neraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar