Satu satu penyebab
utama terjadinya problem bahkan konflik di muka bumi ini adalah karena tidak
adanya rasa malu. Nihilnya dan hilangsnya
rasa malu, menjadikan manusia lebih buas dari buaya, lebih ganas dari singa dan
lebih jahat dari binatang buas lainnya.Tetapi tetap saja, raibnya rasa malu
dianggap sebagai hal biasa. Sudah tidak banyak lagi yang menyadari bahwa rasa
malu sejatinya sangat menentukan segala sesuatu, termasuk nasib suatu bangsa
dan negara. Seperti apa yang belakangan
ini marak terjadi, korupsi, ketidakadilan, perselingkuhan, perampokan dan
pembunuhan dan berbagai macam tindak kemaksiatan, semua berawal dari tidak
adanya rasa malu.
Rasa Malu dalam
berbagai maksudnya selalu tergambar dalam fikiran kita adalah sesuatu yang
negatif, aib dan tercela sehingga mengakibatkan kita rendah diri, minder dan
juga takut untuk menghadapi sesuatu yang baru. Apapun juga yang berhubungan dengan rasa malu, maka kita harus bisa
meletakkan rasa malu tersebut pada posisi yang sebenarnya.
Nabi SAW bersabda: “Tidak
ada kemelaratan yang lebih parah dari kebodohan dan tidak ada harta (kekayaan)
yang lebih bermanfaat dari kesempurnaan akal. Tidak ada kesendirian yang lebih
terisolir dari ujub (rasa angkuh) dan tidak tolong menolong yang lebih kokoh
dari bermusyawarah. Tidak ada kesempurnaan akal melebihi perencanaan (yang baik
dan matang) dan tidak ada kedudukan yang lebih tinggi dari akhlak yang luhur.
Tidak ada wara’ yang lebih baik dari menjaga diri (memelihara harga dan kehormatan
diri), dan tidak ada ibadah yang lebih mengesankan dari tafakur
(berfikir),serta tidak ada iman yang lebih sempurna dari sifat malu dan sabar”.
(Hadits Riwayat Ibnu Majah dan Ath Thabarani).”
Sebagai contoh, kita
harus malu berbuat atau membuat kesalahan atau bertindak tidak sopan atau menyalahi
syariat agama. Tanamkan dalam diri bahwa rasa
malu terhadap Allah SWT dengan takut untuk melakukan dosa adalah sebagai tanda
keimanan kita. Selain daripada itu, dalam banyak hal, malu itu biarlah
bertempat dan bermanfaat atau dengan kata lain malu itu adalah tanda beriman. Jika kita malu pada tempatnya maka iman kita
kuat dan jika sebaliknya lemahlah iman kita atau bahkan orang tersebut belum
beriman.
1. Apa Itu Malu. Malu atau rasa malu memiliki arti dan makna
yang banyak. Malu atau rasa malu tidak bisa diartikan hanya satu arti atau satu
makna saja, melainkan harus diartikan secara luas. Berikut ini akan kami
kemukakan beberapa arti dan makna dari malu, yaitu:
a. Malu adalah Bagian
dari Iman. Mari kita kaji secara logis, mengapa dari enam
puluh cabang iman, malu yang beliau sampaikan? Berarti, malu adalah pengantar
terbaik seorang Muslim sampai pada 59 cabang iman lainnya. Mengapa? Jawabannya
ada pada hadits berikut ini: Rasulullah bersabda, “Iman mempunyai enam puluh
lebih cabang. Dan malu adalah salah satu cabangnya.” (Hadits Riwayat Bukhari).”
Dengan malu, seorang beriman tidak akan berzina, tidak akan menampakkan
auratnya kepada semua orang, tidak akan mencuri apalagi korupsi. Bahkan dengan
malu seorang mukmin tidak akan menghina atau membicarakan aib saudaranya. Jadi,
malu bisa mencegah seorang mukmin dari
berbuat kejahatan dan keburukan. Jika ini sampai kita berbuat dan bertindak
tanpa rasa malu atau bahkan memalukan berarti kita dengan sadar telah berbuat
yang mengakibatkan kebaikan yang kita miliki berkurang atau keburukan kita
bertambah.
Nabi SAW bersabda: “Malu
seluruhnya baik.” (Hadits Riwayat Muslim).” dan “Malu selalu mendatangkan
kebaikan.” (Hadits Riwayat Bukhari). Malu adalah salah satu out put dari
keimanan. Siapa yang keimanannya baik maka rasa malunya akan sempurna. Siapa
yang malunya kuat, maka imannya akan sempurna. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah,
dalam hadits berikut ini: “Malu dan iman saling bertaut. Jika salah
satunya diangkat, yang lainnya juga terangkat.” (Hadits Riwayat. Hakim).
Jadi, tidak salah jika ada ungkapan yang tepat tentang hal ini, yaitu, “Milik
siapa kebaikan, iman dan akhlak itu?” Semuanya adalah milik orang beriman yang
memelihara rasa malu.
b. Malu ini adalah satu bentuk
akhlak yang paling penting dari setiap Muk-min. Malu adalah akhlak
yang sangat berpengaruh pada individu, keluarga, dan masyarakat. Namun sayang,
akhlak ini seakan-akan sudah asing dalam kehidupan.Malu adalah sifat yang
dikaruniakan oleh Allah SWT kepada hambanya yang mendorongnya untuk menjauhi
keburukan dan hal hal yang hina serta memilih berbuat kebaikan (kitab fathul
bari 1/1020). Malu adalah satu kata yang mencakup segala perbuatan menjauhi
segala apa yang dibenci. Malu adalah
akhlak yang mendorong seseorang untuk segera meninggalkan perbuatan perbuatan
buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa
dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak hak orang lain.
c. Malu adalah warisan
para nabi. Berdasarkan
hadits yang kami kemukakan be-rikut ini: “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah
diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian yang terdahulu adalah “jika engkau
tidak malu berbuatlah sesukamu”.(Hadits Bukhari, Ahmad, Abu Dawud) malu
atau rasa malu merupakan warisan dari para nabi nabi terdahulu untuk generasi
akan datang.
d. Malu adalah kebaikan.
Hidup
dan matinya hati seseorang sangat mempe-ngaruhi sifat malu orang tersebut.
Begitu pula dengan hilangnya rasa malu dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan
ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati dan ruh hidup maka pada saat itu pula
rasa malu menjadi lebih sempurna. Nabi SAW bersabda: “Rasa malu tidak datang kecuali
bersama kebaikan. ((Hadits Riwayat Bukhari).” Rasa malu dimiliki
manusia sepanjang manusia itu normal tidak sakit jiwa (gila) dan dalam keadaan
sadar tidak tidur atau pingsan. Seperti malu kelihatan aurat, malu waktu
menguap saat mengantuk dilihat orang, malu untuk mencuri, malu bertanya perihal
hukum fiqih, malu tidak mendirikan shalat yang sesuai syariah, malu tidak bisa
membaca Al Qur’an sehingga kita tetap dalam kebodohan maka inilah yang
dikatakan dengan malu yang tercela.
e. Malu ialah salah satu
benteng yang sangat efektif untuk menghindarkan kita dari segala bentuk
perilaku buruk. Kita
tidak akan berkata kotor, kasar dan cabul karena kita merasa malu. Kita tidak
mau membuang sampah sembarangan karena kita merasa malu, Kita menutupi aurat
karena merasa malu. Sebagai makhluk sosial yang berakal, ketika kita berselisih
dengan sesama, menyelesaikannnya menggunakan logika dan akal sehat, tidak
dengan cara cara fisik karena kita merasa malu.
f. Malu juga bisa
diartikan sebagai terkendalinya jiwa, yaitu ketidakmampuan seorang melakukan
perbuatan-perbuatan tercela atau sesuatu yang buruk. Orang yang pemalu
adalah orang yang tidak bisa melihat dirinya hina di hadapan Allah SWT, hina
dihadapan manusia, atau hina dihadapan dirinya sendiri.Dengan demikian, orang
yang pemalu atau orang yang masih memiliki rasa malu adalah orang yang mulia.
Ia memuliakan dirinya dihadapan Allah SWT, dihadapan manusia, dan dihadapan
dirinya sendiri. Ini berarti, orang yang memiliki rasa malu adalah orang yang
benar-benar kuat keimanannya, sehingga ia tidak melakukan kehinaan meski
terhadap dirinya sendiri, lebih-lebih kepada orang lain, apalagi kepada
Allah SWT. Jadi, tidak salah jika ada
ungkapan seperti ini, “Manusia yang paling sempurna hidupnya adalah
manusia yang paling sempurna rasa malunya.”
g. Malu bukanlah berarti
Minder. Masih
banyak orang yang salah paham. Malu kadangkala dianggap sebagai sifat rendah
diri alias minder. Padahal, keduanya sangatlah jauh berbeda. Menurut satu
pendapat, minder diartikan sebagai kebingungan yang muncul pada diri manusia
sebagai akibat dari situasi tertentu. Lebih dari itu, minder tidak berasal dari
keimanan yang kuat. Ia justru lahir dari sifat pengecut dan dari sifat takut.
Karena pribadi yang minder adalah pribadi yang lemah, yang tidak mengetahui
nilai dirinya. Sedangkan malu, tidak bersumber dari sifat buruk seperti
pengecut dan penakut. Malu bersumber dari keimanan yang kuat, sehingga Muslim
yang pemalu adalah Muslim yang menjauhi segala bentuk kehinaan.
2. Macam-Macam Rasa Malu. Sebagai orang yang masih memiliki rasa
malu, keta-huilah bahwa malu atau rasa malu dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu:
a. Malu Naluri, yaitu rasa malu
yang dikaruniakan Allah SWT kepada setiap di-ri manusia seperti rasa malu
kelihatan auratnya. Dalam hal ini kita harus selalu tunduk dan patuh kepada
Allah SWT dengan segala ketentuanNya dengan mengkaruniakan kita malu naluri.
Bila kita memiliki rasa malu terhadap
diri sendiri dan juga kepada orang lain pasti kita akan selalu menjaga aurat
jangan sampai kelihatan. Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki rasa malu
harus diwaspadai sebab kalau dia telah merusak citra dirinya sendiri, sangat
mungkin baginya untuk merusak citra orang lain.
b. Malu Imani, ialah rasa malu yang bisa mencegah
seseorang dari melakukan perbuatan maksiat karena takut kepada Allah SWT.
Setiap mukmin haruslah memiliki sifat malu kepada Allah SWT yang sebenar
benarnya, malu yang ditunjukkan dimana saja, kapan saja, dan dalam situasi
serta kondisi yang bagaimanapun juga. Bukan hanya malu untuk menyimpang ketika
berada di masjid semata dan sejenisnya, tetapi tidak malu malu untuk melakukan
penyimpangan di pasar, di kantor, bahkan saat sendirian. Oleh karena itu
menjadi penting bagi kita untuk selalu memperkokoh rasa malu sehingga tidak ada
kejelekan sedikitpun dari sifat malu
tersebut.
Ingat,
kedua macam rasa malu yang kami kemukakan di atas, harus kita miliki saat hidup
di muka bumi ini.
3. Tidakkah Kita Malu atau Masihkah Kita Memiliki Rasa Malu?
Ruh/Ruhani
adalah jati diri manusia yang sesungguhnya, dimana Ruh/Ruhani tidak bisa
dipisahkan dengan keimanan karena keimanan inilah yang menjadi santapan, energi
yang sangat dibutuhkan oleh Ruh/Ruhani. Salah satu cabang dari keimanan adalah
malu atau rasa malu, ini berarti malu atau rasa malu harus melekat pada
Ruh/Ruhani diri kita sehingga kita bisa menjadi khalifah yang dibanggakan oleh
Allah SWT.
a. Malu kepada Ciptaan
Allah SWT. Berdasarkan
ketentuan surat Al Hajj (22) ayat 18 berikut ini: “Apakah kamu tiada mengetahui,
bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan,
bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian
besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab
atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang
memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” dan
surat Al Hadiid (57) ayat 1 berikut ini: semua yang berada di langit dan yang berada
di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” di langit dan di muka bumi ada yang
diciptakan oleh Allah SWT ada makhluk lain manusia dan jin, yaitu ada matahari,
ada bulan, ada bintang, ada gunung, ada pohon pohonan, ada binatang, ada
material logam, tembaga, emas, perak dan lainnya, ada tanah, ada udara, ada
air, ada petir, ada guntur, ada hujan, ada awan, dan lain sebagainya. Dimana
kesemuanya sujud, patuh, bertasbih kepada Allah SWT.
Akan menjadi sebuah
kontroversi jika kita yang hidup berdampingan dengan mereka semua lalu kita
tidak mau sujud, tidak mau patuh, tidak mau bertasbih kepada Allah SWT. Apalagi
ada makhluk atau ciptaan Allah SWT itu ada yang kita konsumsi, ada yang kita makan,
ada yang kita butuhkan saat hidup di muka bumi ini, dalam hal ini air, udara,
tumbuhan dan juga hewan. Dan alangkah tidak tahu dirinya kita yang berperilaku
menyimpang dibandingkan dengan apa apa yang kita konsumsi, dengan apa apa yang
kita makan, dengan apa apa yang kita hirup. Tidakkah kita malu dibandingkan
dengan mereka semua apalagi kita telah diangkat menjadi duta besar Allah SWT di
muka bumi yang seharusnya berperilaku terhormat dibandingkan dengan mereka
semua? Lalu bisakah terjadi kehidupan yang harmonis antara diri kita dengan
mereka saat hidup di dunia ini? Maukah makhluk lain yang dikonsumsi dan yang
dibutuhkan oleh kita memberikan manfaat kepada diri kita secara ikhlas?
b. Malu Kepada Diri Sendiri. Sewaktu kita hadir ke
muka bumi ini, apa yang kita miliki dan apa yang kita perbuat? Seluruh manusia
termasuk diri kita hadir kemuka bumi tidak memiliki apa apa dan tidak bisa
berbuat apa apa, hanya bisa menangis, menangis dan menangis untuk seluruh
persoalan yang dihadapinya. Setelah sekian lama hidup di muka bumi yang tidak
pernah kita ciptakan dan tidak pernah kita miliki, lalu kita bisa berbuat apa
apa serta telah memiliki apa apa. Apakah karena kita sendiri yang mengakibatkan kita bisa seperti ini? Jika kita
termasuk orang yang memiliki rasa malu, maka tidak sepatutnya kita berbuat
diluar kepatutan dan kepantasan dihadapan Allah SWT dengan mengaku ngaku bisa
berbuat apapun tanpa bantuan siapapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar