Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 28 Juni 2024

PENAMPILAN DIRI SETELAH TAHU DIRI, TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (PART 1 of 2)


 

Jika saat ini kita masih hidup maka inilah saatnya diri kita menunjukkan dan melaksanakan hidup yang sesuai dengan kehendak Allah SWT dalam kerangka memperlihatkan kualitas diri kita, baik sebagai abd’ (hamba)-Nya dan juga sebagai khalifah-Nya di muka bumi yang sudah tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir.  Lalu seperti apakah bentuk penampilan diri kita itu? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa bentuk penampilan di maksud, yaitu:

 

A.     SEORANG PEMBELAJAR DAN YANG TIDAK LUPA UNTUK MENGAJAR.

 

Salah satu bentuk penampilan diri dari seseorang yang telah tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir adalah mampu menampilkan dirinya adalah seorang pembelajar yang setelah belajar ia tidak lupa mengajarkan ilmu yang telah dimilikinya kepada sesama manusia. Adanya bentuk penampilan seperti ini merupakan bentuk dari diri kita yang memiliki kewajiban untuk belajar yang telah diperintahkan Allah SWT kepada umat manusia, sebagaimana firmanNya berikut ini: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (surat At Taubah (9) ayat 122).

 

Ayat ini menegaskan kepada kita agar diri kita belajar untuk memperdalam ilmu pengetahuan secara umumnya termasuk di dalamnya tentang ilmu agama agar kita bisa memberikan peringatan kepada sesama. Untuk itu berhati-hatilah jika kita telah memiliki ilmu dan pengetahuan, lalu jangan sampai ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi kebaikan bagi diri kita justru menjadi bumerang bagi diri kita karena kita tidak mau mengajarkan kepada sesama, atau kita tidak mau melaksanakan atas apa apa yang telah kita pelajari.

 

Proses belajar menjadi hal yang penting bagi diri kita karena kita tidak akan bisa menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT tanpa pernah memiliki ilmu dan pemahaman yang baik lagi benar. Yang mana kondisi ini hanya bisa diperoleh melalui proses belajar yang berkesinambungan dari waktu ke waktu. Ingat, hanya melalui proses belajar yang berkesinambungan yang diikuti dengan tekad yang bulat untuk melaksanakan apa apa yang telah dipelajari barulah kita akan merasakan dan menjadikan diri kita memiliki kepribadian orang-orang yang telah tahu diri, telah tahu aturan main dan tahu tujuan akhir.

 

Untuk itu buang jauh-jauh konsep sekedar membaca buku, atau hanya sesekali belajar lalu kita bisa memperoleh hasil yang baik dan maksimal.Lalu mulai kapan kita wajib belajar? Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW telah memerintahkan “carilah ilmu sejak dari buaian hingga masuk liang lahat”. Adanya perintah ini berarti kita wajib untuk belajar dan belajar serta belajar tiada henti. Panjangnya proses belajar yang harus kita lakukan bukanlah tanpa alasan yang mendasarinya. Untuk itu perhatikanlah: (1) Tantangan hidup baik berupa ujian dan cobaan yang juga ada sepanjang kita hidup di muka bumi ini; (2) Jangka waktu permusuhan antara diri kita dengan setan, yang mana permusuhan diri kita dengan setan juga berlangsung  sepanjang hayat masih di kandung badan. Untuk itu perhatikanlah dengan seksama hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata; Nabi bersabda: “Orang yang mengerti (agama) lebih sukar dipengaruhi syaitan daripada seribu orang yang shalat”.(Hadits Riwayat Aththirmidzi, Ibnu Majah) dimana setan mengalami kesukaran di dalam mempengaruhi orang yang mengerti atau paham dengan Diinul Islam dibanding dengan seribu orang yang shalat. Jika seperti ini kondisinya berarti orang yang berilmu sangat diperhitungkan oleh setan sang laknatullah.

 

Dan agar diri kita mampu belajar dari waktu ke waktu, ada baiknya kita perhatikan uraian berikut ini: Sebagaimana telah kita imani bahwa Allah SWT adalah pencipta yang sekaligus pemilik dari alam semesta ini termasuk di dalamnya pencipta dan pemilik atas keberadaan manusia yang ada di muka bumi. Adanya kondisi ini maka dapat dipastikan hanya Allah SWT sajalah yang paling mengerti, yang paling mengetahui, yang paling ahli dan yang paling paham tentang apa apa yang diciptakan-Nya dan yang dimiliki-Nya. Selanjutnya Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari alam semesta ini telah mengemu-kakan tentang belajar dalam surat Al Alaq (96) ayat 1 sampai 5 yang juga merupakan wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril as, sebagaimana berikut ini: “bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589], Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (surat Al Alaq (96) ayat 1 sampai 5) 

[1589] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.

Berdasarkan ketentuan surat Al Alaq (96) ayat 1 sampai ayat 5  di atas, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, yaitu:  

 

1.   Allah SWT berkehendak kepada umat manusia, termasuk kepada diri kita bahwa apa- apa yang kita pelajari dari AlQuran yang di dalamnya terdapat ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat kauliyah melalui proses membaca harus kita imani itu adalah kalam Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril as.

 

2.  Nabi Muhammad SAW bukanlah narasumber utama dari AlQuran melainkan hanyalah penerima wahyu semata, Allah SWT lah narasumber utama dari AlQuran

 

3.  Allah SWT memberikan tantangan kepada umat manusia untuk mempelajari AlQuran melalui proses membaca. Ingat, AlQuran bukanlah buku bacaan yang sekedar dibaca tanpa pernah tahu makna yang terkandung di dalamnya..

 

4.   Allah SWT juga telah memerintahkan kepada umat manusia untuk mengkaji isi dan kandungan yang terdapat di dalam AlQuran melalui proses baca tulis (kalam).

 

Di lain sisi, Allah SWT selaku Dzat yang paling mengetahui dan yang paling memahami apa apa yang telah diciptakan-Nya dan yang dimiliki-Nya telah memberikan penegasan pada ayat ke lima surat Al Alaq yang berbunyi, “Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” Adanya kondisi ini berarti:

 

1.   Allah SWT telah memberikan komitmen yang bersifat terbuka kepada umat ma-nusia untuk diajarkan apa apa yang tidak diketahuinya;

2.    Allah SWT akan menjadi Maha Guru Utama yang akan mengajarkan apa apa yang tidak diketahui oleh manusia dan;

3.  Allah SWT menunjukkan tanggungjawabnya terhadap wahyu yang telah ditu-runkannya sehingga manusia mampu menjadi tahu dan mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui yang berasal dari narasumber utama AlQuran.

 

Lalu kapankah Allah SWT akan mengajarkan sesuatu yang tidak diketahui manusia?  Allah SWT selaku pencipta dan pemilik alam semesta ini baru akan mengajarkan kepada manusia tentang hal hal yang tidak diketahui oleh manusia, jika manusia memenuhi hal hal sebagai berikut:

 

1.  Manusia harus beriman terlebih dahulu kepada Allah SWT selaku narasumber utama dari AlQuran, yang diikuti selalu mengajak Allah SWT sewaktu diri kita akan mempelajarinya sebagaimana ayat pertama surat Al Alaq, yaitu, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.”

 

2.  Berdoa dengan memohon kepada-Nya untuk dibimbing, untuk diberi tambahan ilmu dan pemahaman yang sesuai dengan kehendak-Nya sebelum memulai mempelajari AlQuran.

 

3.     Bersungguh-sungguh sewaktu mempelajari AlQuran yang diiringi dengan niat yang ikhlas, konsisten dan disipilin dalam belajar, tidak bermalas malasan waktu mempelajari AlQuran, serta teratur saat mempelajarinya.

 

4.  Setelah mempelajari AlQuran secara bertahap maka kita harus mulai melaksa-nakan apa apa yang telah dipelajari secara bertahap dari waktu ke waktu, yang diikuti dengan merenungi, atau memperhatikan ciptaan Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam 3 (tiga) buah ayat berikut :“Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan? Dan langit, bagaimana ditinggikan? Dan gunung gunung bagaimana ditegakkan? Dan bumi, bagaimana dihamparkan? (surat Al Ghasiyah (88) ayat 17, 18, 19, 20)

 

Allah SWT berfirman: “(yaitu) orang orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit  dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan, tidakkah Engkau menciptakan semua ini sia sia. Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (surat Ali Imran (3) ayat 191)

 

Allah SWT berfirman: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah memulai penciptaan (makhluk), kemudian Dia mengulanginya (kembali). Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Katakanlah, “Berjalanlah di bumi, maka perhatikanlah bagaimana (Allah)  memulai penciptaan (mahkluk), kemudian Allah menjadikan kejadian yang akhir. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (surat Al Ankabut (29) ayat 19, 20)

 

Hal yang harus kita pahami adalah setelah kita mampu melaksanakan 4 (empat) tahapan yang kami kemukakan di atas, tidak serta merta kita bisa menguasai atau bisa memahami AlQuran yang sesuai dengan kehendak Allah SWT secara keseluruhan. Namun apa yang kita lakukan barulah tahapan tahapan yang tidak bisa selesai sampai disitu aja, melainkan harus kita lakukan terus dan terus sepanjang hayat masih di kandung badan. Adanya hal ini maka seiring dengan waktu maka Allah SWT akan menambah pemahaman yang kita miliki dan dari situlah akan terasa betapa hebat dan luar biasanya AlQuran dan betapa Allah SWT sangat maha serta kita bukanlah apa apa.

 

Yang menjadi persoalan adalah setelah kita belajar, belajar dan belajar maka pelajaran yang telah kita terima akan menjadi sebuah kesiasiaan jika apa-apa yang telah kita pelajari hanya sampai pada diri kita sendiri dan jadilah diri kita orang yang egois yang hanya mementingkan diri sendiri. Sedangkan hadits berikut ini mengajarkan kepada kita untuk selalu berbagi, Abu Hurairah ra, berkata, Nabi bersabda: “Sesungguhnya yang dicapai oleh orang mukmin dari amal dan perbuatan sesudah matinya ialah: ilmu pengetahuan yang di dapatnya dan disebarkan dan budi baik yang dia tinggalkan, atau buku yang ia berikan untuk diwarisi, atau tempat sembahyang yang ia bangun, atau sebuah terusan yang ia gali, atau derma ia lakukan dari kekayaannya selama ia sehat dan sakit”. (Hadits Riwayat Ahmad).” Sebagai orang yang telah tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir,  ketahuilah ilmu yang kita miliki belum dikatakan menja-di ilmu yang bermanfaat jika hanya kita yang memilikinya atau hanya sampai diri kita saja. Ilmu yang kita miliki baru bisa dikatakan Ilmu yang bermanfaat jika ilmu yang kita miliki itu kita ajarkan kepada orang lain seperti kepada keluarga dan kepada masyarakat lalu masyarakat bisa merasakan rasa bertuhankan kepada Allah SWT seperti yang kita rasakan.

 

Semakin banyak yang kita ajarkan akan semakin banyak manfaat yang dirasakan oleh orang banyak serta semakin baiklah diri kita dihadapan Allah SWT kelak. Dan ingat ilmu dan pengetahuan yang kita miliki akan dimintakan pertanggung jawabannya oleh  Allah SWT dan jika sampai kita kita tidak mau mengajarkan bagaimana mungkin kita akan mampu mempertanggung- jawabkannya kepada Allah SWT kelak? Untuk itu perhatikanlah dua buah hadits yang kami kemukakan berikut ini: Abu Hurairah ra, berkata: Nabi bersabda: “Orang yang ditanya tentang pengetahuan dan menyembunyikannya, akan dikekang dengan kekangan api pada hari kiamat”. (Hadits Riwayat Abu Daud, Athtirmidzi,Ibnu Madjah)

 

“Abu Dharda ra, berkata: Nabi bersabda: Sesungguhnya seburuk buruknya manusia pada hari kiamat ialah orang pintar yang ilmu pengetahuannya tidak menguntungkan”. (Hadits Riwayat Ad Darimi). Berdasarkan ketentuan kedua hadits ini, terlihat dengan jelas sehabis belajar jika tidak mau mengajarkan atau mengajarkan dengan cara ditutut tutupi bersiaplah merasakan resikonya di akhirat kelak.

 

Sekarang apa yang akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT kelak jika saat ini kita hanya pasif belajar tanpa pernah mengajarkan sesuatu kepada orang lain padahal resiko sangat luar biasa. Untuk ketahuilah wahai para pembelajar, apabila kita mampu mengajar atau berbagi ilmu pengetahuan maka semakin kita berbuat (melaksanakan dan juga mengajar) maka semakin halus dan tajam serta mendalam pula ilmu dan pengetahuan yang kita miliki. Yang pada akhirnya mampu menghantarkan diri kita kepada kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT melalui ilmu dan pengajaran yang kita lakukan, sebagai-mana hadits berikut ini: Dari Abdullah ibnu Mas’ud berkata Nabi bersabda: “Janganlah ingin seperti orang lain kecuali seperti dua orang ini. Pertama orang yang diberi Allah kekayaan yang berlimpah dan ia membelanjakannya secara benar, kedua orang yang diberi Allah SWT Alhikmah (pemahaman) dan ia berperilaku sesuai dengannya dan mengajarkannya kepada orang lain”. (Hadits Riwayat Bukhari)

 

Dan jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti saat ini kita sedang menjalani sisa usia yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Berapa lama sisa usia kita saat ini? Kita tidak pernah tahu dan tidak akan pernah tahu karena Allah SWT sajalah yang tahu. Lalu apakah di sisa usia yang tidak kita ketahui ini kita hanya sibuk belajar, belajar dan belajar tanpa pernah merasakan hasil dari pelajaran yang kita terima yang dilanjutkan dengan mengajarkan ilmu pengetahuan yang kita miliki kepada sesama? Lalu kapan lagi kita mau berbuat kebaikan dengan ilmu dan pengetahuan yang kita miliki jika tidak sekarang? Jangan sampai terlambat karena kita memiliki keterbatasan usia dan juga keterbatasan kemampuan untuk berbagi serta adanya keterbatasan kesempatan yang hanya datang satu kali dan juga waktu tidak bisa diputar ulang.

 

Sebagai orang yang telah tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir, pernahkah kita membayangkan jika ketentuan hadits berikut ini, terjadi dalam kehidupan anak dan keturunan kita kelak, “Ibnu Amru bin al Ash berkata: Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya Tuhan tidak mengambil (ilmu) pengetahuan manusia, melainkan dengan mengambil orang yang berilmu, maka apabila tidak ada lagi orang berilmu, manusia menjadi bodoh disebabkan karena mereka sendiri, dan mereka memutuskan (sesuatu) tanpa ilmu, berarti menyalahkan diri mereka sendiri dan membawa orang lain kepada kesalahan”. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Aththirmidzi).” Sekarang bayangkan jika orang orang berilmu (orang yang memiliki ilmu agama) telah dipanggil oleh Allah SWT lalu orang yang masih hidup tidak mau belajar atau tidak merubah pola berfikirnya tentang belajar dan mengajar terjadilah apa yang dinamakan dengan penurunan kualitas sumber daya manusia. Jadi jangan pernah salahkan anak dan keturunan kita jika mereka berkualitas dan berpemahaman rendah jika kita sendiri hanya mau belajar tanpa pernah mau mengajar atau berbagi melalui tulisan!.

 

B.  MAMPU MENJADIKAN  DIRINYA  SEBAGAI  BENTUK PENAMPILAN ALLAH SWT

 

Salah satu bentuk lainnya dari penampilan diri dari seseorang yang telah tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir adalah mampu menampilkan dirinya sebagai bentuk penampilan Allah SWT di muka bumi ini, sebagaimana pengertian dasar dari khalifah dalam arti yang tersembunyi. Lalu seperti apakah bentuk penampilan diri kita setelah mampu melaksanakan ketentuan tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir, apakah lebih mementingkan penampilan phisik (jasad) semata ataukah menampilkan penampilan Allah SWT sebagaimana konsep Asmaul Husna?

 

Sebagai orang yang telah tahu diri maka diri kita yang sesungguhnya bukanlah jasmani sehingga apabila diri kita masih sibuk dengan menampilkan bentuk penampilan jasmani seperti memanjangkan jenggot, atau berpakaian yang katanya pakaian ala Rasulullah dan lain sebagainya berarti kita termasuk orang yang belum tahu diri, sebagaimana hadits berikut ini: Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi ia melihat hati dan amal kalian. (Hadits Riwayat Muslim, Abu Dawud, Ibn Hibban, Ahmad).” Sedangkan tolak ukur kemuliaan seorang hamba di mata Allah SWT terletak pada keimanan dan ketaqwaannya, bukan pada perkara-perkara lahiriah seperti rupa, fisik, penampilan jasmani seperti jenggot atau pakaian dan lain sebagainya.

 

Dan senada dengan hadits yang kami kemukakan di atas, Allah SWT juga menegaskan dalam firman-Nya berikut ini: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (surat Al Hujuraat (49) ayat 13).

 

Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT tidak memandang bentuk tubuh dan keindahan rupa seseorang, apakah tubuhnya itu besar atau kecil, sehat ataukah sakit, apakah wajahnya rupawan ataukah tidak, semuanya itu tidak ada nilainya di mata Allah SWT. Demikian juga, Allah SWT tidak memandang seseorang berdasarkan keturunan (nashab) dan hartanya. Tidak peduli seseorang dari kalangan strata sosial tinggi maupun rendah, apakah ia kaya ataukah miskin, Allah SWT selamanya tidak memandang semua itu.

 

Hubungan antara Allah SWT dengan hamba-Nya hanya didasarkan pada tingkat keimanan dan ketaqwaannya. Siapa yang paling beriman dan bertaqwa, maka dialah yang paling dekat dengan Allah dan paling mulia di sisi-Nya. Oleh karena itu, tidaklah pantas seseorang membangga-banggakan hartanya, keelokan rupa wajahnya, fisiknya, jidat hitamnya, panjangnya jenggot dan pakaian yang dikenakannya, keturunannya, gelar akademisnya, rumah-rumah megahnya, kemewahan fasilitas hidup, dan lain sebagainya dari perkara dunia. Selain daripada itu, kemuliaan seseorang di mata Allah SWT juga ditentukan oleh kondisi hatinya,sebagaimana Rasulullah SAW menegaskan dalam sabdanya. Hati menjadi poros dari segala amal. Di sanalah tempatnya niat, keikhlasan, keimanan dan ketaqwaan.


Betapa banyak manusia yang amal perbuatannya tampak bagus dan lurus secara lahiriah, tapi ternyata bernilai rusak di mata Allah SWT karena dibangun di atas niat yang salah. Maka bisa jadi dua orang terlihat dalam barisan shaf shalat yang sama, mengikuti satu imam shalat yang sama, gerakan shalat dari awal sampai akhir pun juga sama, tapi sesungguhnya antara keduanya sama sekali berbeda seperti perbedaan barat dan timur. Yang demikian itu bisa terjadi karena dibangun di atas niat yang berbeda. Boleh jadi yang satu shalat dalam kondisi hati yang lalai dan seringkali dilandasi motivasi duniawi, sementara yang satunya shalat dengan benar-benar menghadirkan keikhlasan dan semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT.

 

Oleh karena itu, penting bagi diri kita untuk selalu memperhatikan keadaan hati. Sudahkah hati ini selalu kita isi dengan keikhlasan dalam beramal semata-mata karena Allah SWT dan membersihkannya dari segala bentuk niat yang salah? Karena melalui hati itulah Allah SWT aka  menilai baik buruknya seseorang, bukan melalui fisik, rupa, dan berbagai tolak ukur keduniawian lainnya. Dan hendaknya seseorang mengarahkan kelebihan yang ia miliki dari perkara duniawi untuk meraih keridhaan Allah. Hanya dengan begitulah predikat taqwa bisa diraih dan bernilai kemuliaan di sisi Allah SWT.

 

Sekarang katakan keimanan dan ketaqwaan sudah melekat dalam hati seseorang, maka dapat dipastikan orang itu hatinya akan berisi dengan keikhlasan karena orang tersebut adalah orang yang telah tahu diri, telah tahu aturan main dan telah pula tahu tujuan akhir. Dan selanjutnya orang yang seperti ini akan mampu menampilkan penampilan Allah SWT dalam setiap tindak tanduknya saat hidup di muka bumi ini. Yang akan ditampilkan adalah nilai-nilai kebaikan yang telah menjadi sifat alamiah ruh menjadi  perilaku dan perbuatan diri kita. Katakan ruh telah disifati dengan sifat kasih sayang maka perbuatan kita pun harus pula mengasihi dan menyayangi sesama manusia melalui kebaikan-kebaikan. Berikut ini akan kami kemukakan penjelasannya.

 

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa setiap dzat memiliki sifat yang mana sifat yang melekat pada dzat akan menjadi perilaku (perbuatan) dzat. Contohnya garam, garam memiliki sifat asin dan memiliki perbuatan akan mengasinkan apa apa yang diliputinya, sehingga lahirlah telor asin, ikan asing, sawi asin dan lain sebagainya. Adanya telor asin, ikan asin, sawi asin menunjukkan kepada diri kita bahwa garam memiliki jatidiri sebagai dzat yang mampu mengasinkan sesuatu. Dan jika sekarang garam sudah tidak memiliki sifat asin, maka apakah garam masih pantas disebut garam? Hilangnya sifat asin pada garam maka dzat tersebut sudah tidak pantas lagi menyandang status sebagai garam sehingga jati diri garam sebagai dzat yang mampu mengasinkan sesuatu telah hilang.

 

Sekarang bagaimana dengan ruh diri kita yang telah disifati dengan nama nama Allah SWT yang indah lagi baik (Asmaul Husna) oleh Allah SWT? Ruhani yang tidak lain adalah jati diri kita yang sesungguhnya maka setelah ruh disifati dengan Asmaul Husna maka maka sifat yang sudah melekat pada ruhani ini haruslah menjadi perilaku (perbuatan) diri kita (ingat ruh adalah jati diri manusia yang sesungguhnya), sebagaimana sifat garam yang mampu mengasinkan apa apa yang diliputinya. Adanya kondisi ini maka setiap ruh yang sudah memiliki sifat pengasih (Ar Rahman) dan juga penyayang (Ar Rahiim) maka sifat pengasih dan sifat penyayang harus bisa menjadi perilaku/perbuatan diri kita yang tercermin dari mampunya diri kita mengasihi dan menyayangi sesama makhluk ciptaan Allah SWT.

 

Namun jika yang terjadi adalah justru kita sering menyakiti orang lain, sering memukul binatang atau sering menebang pohon tanpa sebab maka diri kita sudah tidak lagi sesuai dengan konsep Allah SWT dan sudah tidak pantas lagi menyandang status sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Hal ini dikarenakan bukan seperti itulah perilaku (perbuatan) yang dikehendaki oleh Allah SWT. Kondisi ini juga berlaku terhadap sifat-sifat ruh lainnya yang telah disifatkan menjadi sifat ruh, yang mana sifat ruh ini tidak boleh disimpan, atau tidak boleh dibiarkan terpendam dalam diri manusia. Namun sifat ruh ini harus dikeluarkan atau diaplikasikan menjadi perilaku (perbuatan) serta cerminan langsung diri kita baik sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Adanya aktifitas ini maka tampillah penampilan Allah SWT di muka bumi ini oleh sebab adanya diri kita ada di muka bumi ini.

 

Namun demikian, Allah SWT memberikan kebebasan bagi umat manusia, untuk memilih apa yang dia kehendaki, apakah ingin dunia sehingga ia hanya mampu menampilkan penam-pilan sisi duniawi dengan menampilkan penampilan jasad semata, ataukah ingin dunia dan akhirat sehingga mampu menampilan sisi akhirat dengan menampilkan penampilan ruh sebagai perilaku dan perbuatan diri kita, sebagaimana firman-Nya berikut ini:Barangsiapa menghendaki pahala di dunia maka ketahuilah bahwa di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (surat An Nisaa’ (4) ayat 134).”

 

Sekarang mari kita perhatikan dengan seksama firman Allah SWT yang termaktub dalam surat Al Anfaal (8) ayat 29) sebagaimana berikut ini: “Wahai orang orang yang beriman! Jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan yang bathil) kepadamu dan menghapus segala kesalahanmu dan mengampuni dosa dosamu. Allah memiliki karunia yang besar.”  Jika kita termasuk orang orang yang beriman dan juga bertaqwa kepada Allah SWT maka berdasarkan ketentuan ayat ini kita akan mampu membedakan mana yang diri kita dan mana yang bukan diri kita; mana yang aturan main dan yang bukan aturan main; mana yang tujuan akhir yang sesungguhnya dan mana yang bukan tujuan akhir.

 

Akhirnya kita akan mengetahui pula cara dan bentuk bentuk penampilan ruh sebagai bentuk penampilan dari diri kita saat diri kita menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi ini dan jika hal ini tidak bisa kita lakukan berarti memang diri kita belum termasuk orang yang beriman lagi bertaqwa serta belum tahu diri dan belum tahu aturan main dan belum tahu tujuan akhir. Semoga hal ini tidak terjadi pada diri, keluarga dan anak keturunan kita. Aamiin.   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar