Jika saat ini kita masih hidup maka inilah saatnya diri kita menunjukkan dan melaksanakan hidup yang sesuai dengan kehendak Allah SWT dalam kerangka memperlihatkan kualitas diri kita, baik sebagai abd’ (hamba)-Nya dan juga sebagai khalifah-Nya di muka bumi yang sudah tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir. Lalu seperti apakah bentuk penampilan diri kita itu? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa bentuk penampilan di maksud, yaitu:
A.
SEORANG PEMBELAJAR
DAN YANG TIDAK LUPA UNTUK MENGAJAR.
Salah satu bentuk
penampilan diri dari seseorang yang telah tahu diri, tahu aturan main dan tahu
tujuan akhir adalah mampu menampilkan dirinya adalah seorang pembelajar yang
setelah belajar ia tidak lupa mengajarkan ilmu yang telah dimilikinya kepada
sesama manusia. Adanya bentuk penampilan seperti ini merupakan bentuk dari diri
kita yang memiliki kewajiban untuk belajar yang telah diperintahkan Allah SWT
kepada umat manusia, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya
(ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (surat At Taubah (9) ayat 122).
Ayat ini menegaskan kepada kita agar diri kita belajar untuk
memperdalam ilmu pengetahuan secara umumnya termasuk di dalamnya tentang ilmu
agama agar kita bisa memberikan peringatan kepada sesama. Untuk itu berhati-hatilah
jika kita telah memiliki ilmu dan pengetahuan, lalu jangan sampai ilmu
pengetahuan yang seharusnya menjadi kebaikan bagi diri kita justru menjadi
bumerang bagi diri kita karena kita tidak mau mengajarkan kepada sesama, atau
kita tidak mau melaksanakan atas apa apa yang telah kita pelajari.
Proses belajar menjadi
hal yang penting bagi diri kita karena kita tidak akan bisa menjadi abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT tanpa pernah memiliki ilmu dan pemahaman yang baik lagi
benar. Yang mana kondisi ini hanya bisa diperoleh melalui proses belajar yang
berkesinambungan dari waktu ke waktu. Ingat, hanya melalui proses belajar yang
berkesinambungan yang diikuti dengan tekad yang bulat untuk melaksanakan apa
apa yang telah dipelajari barulah kita akan merasakan dan menjadikan diri kita
memiliki kepribadian orang-orang yang telah tahu diri, telah tahu aturan main
dan tahu tujuan akhir.
Untuk itu buang jauh-jauh
konsep sekedar membaca buku, atau hanya sesekali belajar lalu kita bisa
memperoleh hasil yang baik dan maksimal.Lalu mulai kapan kita wajib belajar? Allah
SWT melalui Nabi Muhammad SAW telah memerintahkan “carilah ilmu sejak dari buaian hingga masuk liang lahat”. Adanya
perintah ini berarti kita wajib untuk belajar dan belajar serta belajar tiada
henti. Panjangnya proses belajar yang harus kita lakukan bukanlah tanpa alasan
yang mendasarinya. Untuk itu perhatikanlah: (1) Tantangan hidup baik berupa ujian dan cobaan yang juga ada sepanjang
kita hidup di muka bumi ini; (2) Jangka
waktu permusuhan antara diri kita dengan setan, yang mana permusuhan diri kita
dengan setan juga berlangsung sepanjang
hayat masih di kandung badan. Untuk itu perhatikanlah dengan seksama hadits
yang kami kemukakan berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata; Nabi bersabda:
“Orang yang mengerti (agama) lebih sukar dipengaruhi syaitan daripada seribu
orang yang shalat”.(Hadits Riwayat Aththirmidzi, Ibnu Majah) dimana setan
mengalami kesukaran di dalam mempengaruhi orang yang mengerti atau paham dengan
Diinul Islam dibanding dengan seribu orang yang shalat. Jika seperti ini
kondisinya berarti orang yang berilmu sangat diperhitungkan oleh setan sang
laknatullah.
Dan agar diri kita
mampu belajar dari waktu ke waktu, ada baiknya kita perhatikan uraian berikut
ini: Sebagaimana telah kita imani bahwa Allah SWT adalah pencipta yang
sekaligus pemilik dari alam semesta ini termasuk di dalamnya pencipta dan
pemilik atas keberadaan manusia yang ada di muka bumi. Adanya kondisi ini maka
dapat dipastikan hanya Allah SWT sajalah yang paling mengerti, yang paling
mengetahui, yang paling ahli dan yang paling paham tentang apa apa yang
diciptakan-Nya dan yang dimiliki-Nya. Selanjutnya Allah SWT selaku pencipta dan
pemilik dari alam semesta ini telah mengemu-kakan tentang belajar dalam surat
Al Alaq (96) ayat 1 sampai 5 yang juga merupakan wahyu pertama kepada Nabi
Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril as, sebagaimana berikut ini: “bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam[1589], Dia mengajar kepada manusia apa yang
tidak diketahuinya. (surat Al Alaq (96) ayat 1 sampai 5)
[1589] Maksudnya:
Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
Berdasarkan ketentuan surat Al Alaq (96) ayat 1 sampai ayat 5 di atas, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan, yaitu:
1. Allah
SWT berkehendak kepada umat manusia, termasuk kepada diri kita bahwa apa- apa
yang kita pelajari dari AlQuran yang di dalamnya terdapat ayat-ayat kauniyah
dan ayat-ayat kauliyah melalui proses membaca harus kita imani itu adalah kalam
Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat
Jibril as.
2. Nabi
Muhammad SAW bukanlah narasumber utama dari AlQuran melainkan hanyalah penerima
wahyu semata, Allah SWT lah narasumber utama dari AlQuran
3. Allah
SWT memberikan tantangan kepada umat manusia untuk mempelajari AlQuran melalui
proses membaca. Ingat, AlQuran bukanlah buku bacaan yang sekedar dibaca tanpa
pernah tahu makna yang terkandung di dalamnya..
4. Allah
SWT juga telah memerintahkan kepada umat manusia untuk mengkaji isi dan
kandungan yang terdapat di dalam AlQuran melalui proses baca tulis (kalam).
Di lain sisi, Allah
SWT selaku Dzat yang paling mengetahui dan yang paling memahami apa apa yang telah
diciptakan-Nya dan yang dimiliki-Nya telah memberikan penegasan pada ayat ke
lima surat Al Alaq yang berbunyi, “Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” Adanya kondisi ini
berarti:
1. Allah SWT telah
memberikan komitmen yang bersifat terbuka kepada umat ma-nusia untuk diajarkan
apa apa yang tidak diketahuinya;
2. Allah SWT akan
menjadi Maha Guru Utama yang akan mengajarkan apa apa yang tidak diketahui oleh
manusia dan;
3. Allah SWT menunjukkan
tanggungjawabnya terhadap wahyu yang telah ditu-runkannya sehingga manusia mampu
menjadi tahu dan mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui yang
berasal dari narasumber utama AlQuran.
Lalu kapankah Allah
SWT akan mengajarkan sesuatu yang tidak diketahui manusia? Allah SWT selaku pencipta dan pemilik alam
semesta ini baru akan mengajarkan kepada manusia tentang hal hal yang tidak
diketahui oleh manusia, jika manusia memenuhi hal hal sebagai berikut:
1. Manusia harus beriman
terlebih dahulu kepada Allah SWT selaku narasumber utama dari AlQuran, yang
diikuti selalu mengajak Allah SWT sewaktu diri kita akan mempelajarinya
sebagaimana ayat pertama surat Al Alaq, yaitu, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.”
2. Berdoa dengan memohon
kepada-Nya untuk dibimbing, untuk diberi tambahan ilmu dan pemahaman yang sesuai
dengan kehendak-Nya sebelum memulai mempelajari AlQuran.
3. Bersungguh-sungguh sewaktu
mempelajari AlQuran yang diiringi dengan niat yang ikhlas, konsisten dan
disipilin dalam belajar, tidak bermalas malasan waktu mempelajari AlQuran,
serta teratur saat mempelajarinya.
4. Setelah mempelajari
AlQuran secara bertahap maka kita harus mulai melaksa-nakan apa apa yang telah
dipelajari secara bertahap dari waktu ke waktu, yang diikuti dengan merenungi,
atau memperhatikan ciptaan Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh
Allah SWT dalam 3 (tiga) buah ayat berikut :“Maka tidakkah mereka
memperhatikan unta, bagaimana diciptakan? Dan langit, bagaimana ditinggikan? Dan
gunung gunung bagaimana ditegakkan? Dan bumi, bagaimana dihamparkan? (surat Al
Ghasiyah (88) ayat 17, 18, 19, 20)
Allah SWT berfirman: “(yaitu)
orang orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan
berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan,
tidakkah Engkau menciptakan semua ini sia sia. Mahasuci Engkau, lindungilah
kami dari azab neraka. (surat Ali Imran (3) ayat 191)
Allah SWT berfirman: “Dan
apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah memulai penciptaan (makhluk),
kemudian Dia mengulanginya (kembali). Sungguh, yang demikian itu mudah bagi
Allah. Katakanlah, “Berjalanlah di bumi, maka perhatikanlah bagaimana
(Allah) memulai penciptaan (mahkluk),
kemudian Allah menjadikan kejadian yang akhir. Sungguh, Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu. (surat Al Ankabut (29) ayat 19, 20)
Hal yang harus kita
pahami adalah setelah kita mampu melaksanakan 4 (empat) tahapan yang kami
kemukakan di atas, tidak serta merta kita bisa menguasai atau bisa memahami
AlQuran yang sesuai dengan kehendak Allah SWT secara keseluruhan. Namun apa
yang kita lakukan barulah tahapan tahapan yang tidak bisa selesai sampai disitu
aja, melainkan harus kita lakukan terus dan terus sepanjang hayat masih di
kandung badan. Adanya hal ini maka seiring dengan waktu maka Allah SWT akan
menambah pemahaman yang kita miliki dan dari situlah akan terasa betapa hebat
dan luar biasanya AlQuran dan betapa Allah SWT sangat maha serta kita bukanlah
apa apa.
Yang menjadi persoalan
adalah setelah kita belajar, belajar dan belajar maka pelajaran yang telah kita
terima akan menjadi sebuah kesiasiaan jika apa-apa yang telah kita pelajari
hanya sampai pada diri kita sendiri dan jadilah diri kita orang yang egois yang
hanya mementingkan diri sendiri. Sedangkan hadits berikut ini mengajarkan
kepada kita untuk selalu berbagi, “Abu Hurairah ra, berkata, Nabi bersabda:
“Sesungguhnya yang dicapai oleh orang mukmin dari amal dan perbuatan sesudah
matinya ialah: ilmu pengetahuan yang di dapatnya dan disebarkan dan budi baik
yang dia tinggalkan, atau buku yang ia berikan untuk diwarisi, atau tempat
sembahyang yang ia bangun, atau sebuah terusan yang ia gali, atau derma ia
lakukan dari kekayaannya selama ia sehat dan sakit”. (Hadits Riwayat Ahmad).” Sebagai
orang yang telah tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir, ketahuilah ilmu yang kita miliki belum
dikatakan menja-di ilmu yang bermanfaat jika hanya kita yang memilikinya atau
hanya sampai diri kita saja. Ilmu yang kita miliki baru bisa dikatakan Ilmu
yang bermanfaat jika ilmu yang kita miliki itu kita ajarkan kepada orang lain
seperti kepada keluarga dan kepada masyarakat lalu masyarakat bisa merasakan
rasa bertuhankan kepada Allah SWT seperti yang kita rasakan.
Semakin banyak yang kita ajarkan akan semakin banyak
manfaat yang dirasakan oleh orang banyak serta semakin baiklah diri kita
dihadapan Allah SWT kelak. Dan ingat ilmu dan pengetahuan yang kita miliki akan
dimintakan pertanggung jawabannya oleh
Allah SWT dan jika sampai kita kita tidak mau mengajarkan bagaimana
mungkin kita akan mampu mempertanggung- jawabkannya kepada Allah SWT kelak?
Untuk itu perhatikanlah dua buah hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Abu
Hurairah ra, berkata: Nabi bersabda: “Orang yang ditanya tentang pengetahuan
dan menyembunyikannya, akan dikekang dengan kekangan api pada hari kiamat”. (Hadits
Riwayat Abu Daud, Athtirmidzi,Ibnu Madjah)
“Abu Dharda ra,
berkata: Nabi bersabda: Sesungguhnya seburuk buruknya manusia pada hari kiamat
ialah orang pintar yang ilmu pengetahuannya tidak menguntungkan”. (Hadits
Riwayat Ad Darimi). Berdasarkan ketentuan kedua hadits ini, terlihat dengan
jelas sehabis belajar jika tidak mau mengajarkan atau mengajarkan dengan cara
ditutut tutupi bersiaplah merasakan resikonya di akhirat kelak.
Sekarang apa yang
akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT kelak jika saat ini kita
hanya pasif belajar tanpa pernah mengajarkan sesuatu kepada orang lain padahal
resiko sangat luar biasa. Untuk ketahuilah wahai para pembelajar, apabila kita
mampu mengajar atau berbagi ilmu pengetahuan maka semakin kita berbuat
(melaksanakan dan juga mengajar) maka semakin halus dan tajam serta mendalam
pula ilmu dan pengetahuan yang kita miliki. Yang pada akhirnya mampu
menghantarkan diri kita kepada kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT melalui
ilmu dan pengajaran yang kita lakukan, sebagai-mana hadits berikut ini: “Dari
Abdullah ibnu Mas’ud berkata Nabi bersabda: “Janganlah ingin seperti orang lain
kecuali seperti dua orang ini. Pertama orang yang diberi Allah kekayaan yang
berlimpah dan ia membelanjakannya secara benar, kedua orang yang diberi Allah
SWT Alhikmah (pemahaman) dan ia berperilaku sesuai dengannya dan mengajarkannya
kepada orang lain”. (Hadits Riwayat Bukhari)
Dan jika saat ini
kita masih hidup di muka bumi ini berarti saat ini kita sedang menjalani sisa
usia yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Berapa lama sisa usia kita saat ini?
Kita tidak pernah tahu dan tidak akan pernah tahu karena Allah SWT sajalah yang
tahu. Lalu apakah di sisa usia yang tidak kita ketahui ini kita hanya sibuk
belajar, belajar dan belajar tanpa pernah merasakan hasil dari pelajaran yang kita
terima yang dilanjutkan dengan mengajarkan ilmu pengetahuan yang kita miliki
kepada sesama? Lalu kapan lagi kita mau berbuat kebaikan dengan ilmu dan
pengetahuan yang kita miliki jika tidak sekarang? Jangan sampai terlambat
karena kita memiliki keterbatasan usia dan juga keterbatasan kemampuan untuk
berbagi serta adanya keterbatasan kesempatan yang hanya datang satu kali dan
juga waktu tidak bisa diputar ulang.
Sebagai orang yang
telah tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir, pernahkah kita membayangkan
jika ketentuan hadits berikut ini, terjadi dalam kehidupan anak dan keturunan
kita kelak, “Ibnu Amru bin al Ash berkata: Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya Tuhan tidak
mengambil (ilmu) pengetahuan manusia, melainkan dengan mengambil orang yang
berilmu, maka apabila tidak ada lagi orang berilmu, manusia menjadi bodoh
disebabkan karena mereka sendiri, dan mereka memutuskan (sesuatu) tanpa ilmu,
berarti menyalahkan diri mereka sendiri dan membawa orang lain kepada
kesalahan”. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Aththirmidzi).” Sekarang
bayangkan jika orang orang berilmu (orang yang memiliki ilmu agama) telah
dipanggil oleh Allah SWT lalu orang yang masih hidup tidak mau belajar atau
tidak merubah pola berfikirnya tentang belajar dan mengajar terjadilah apa yang
dinamakan dengan penurunan kualitas sumber daya manusia. Jadi jangan pernah
salahkan anak dan keturunan kita jika mereka berkualitas dan berpemahaman
rendah jika kita sendiri hanya mau belajar tanpa pernah mau mengajar atau
berbagi melalui tulisan!.
B. MAMPU MENJADIKAN DIRINYA SEBAGAI BENTUK PENAMPILAN ALLAH SWT
Salah satu bentuk
lainnya dari penampilan diri dari seseorang yang telah tahu diri, tahu aturan
main dan tahu tujuan akhir adalah mampu menampilkan dirinya sebagai bentuk
penampilan Allah SWT di muka bumi ini, sebagaimana pengertian dasar dari
khalifah dalam arti yang tersembunyi. Lalu seperti apakah bentuk penampilan
diri kita setelah mampu melaksanakan ketentuan tahu diri, tahu aturan main dan
tahu tujuan akhir, apakah lebih mementingkan penampilan phisik (jasad) semata
ataukah menampilkan penampilan Allah SWT sebagaimana konsep Asmaul Husna?
Sebagai orang yang
telah tahu diri maka diri kita yang sesungguhnya bukanlah jasmani sehingga
apabila diri kita masih sibuk dengan menampilkan bentuk penampilan jasmani
seperti memanjangkan jenggot, atau berpakaian yang katanya pakaian ala
Rasulullah dan lain sebagainya berarti kita termasuk orang yang belum tahu
diri, sebagaimana hadits berikut ini: Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat
fisik dan harta kalian tetapi ia melihat hati dan amal kalian. (Hadits Riwayat
Muslim, Abu Dawud, Ibn Hibban, Ahmad).” Sedangkan tolak ukur kemuliaan
seorang hamba di mata Allah SWT terletak pada keimanan dan ketaqwaannya, bukan
pada perkara-perkara lahiriah seperti rupa, fisik, penampilan jasmani seperti
jenggot atau pakaian dan lain sebagainya.
Dan senada dengan
hadits yang kami kemukakan di atas, Allah SWT juga menegaskan dalam
firman-Nya berikut ini: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (surat Al Hujuraat
(49) ayat 13).
Ayat ini menegaskan
bahwa Allah SWT tidak memandang bentuk tubuh dan keindahan rupa seseorang,
apakah tubuhnya itu besar atau kecil, sehat ataukah sakit, apakah wajahnya
rupawan ataukah tidak, semuanya itu tidak ada nilainya di mata Allah SWT. Demikian juga, Allah SWT tidak memandang
seseorang berdasarkan keturunan (nashab) dan hartanya. Tidak peduli seseorang
dari kalangan strata sosial tinggi maupun rendah, apakah ia kaya ataukah
miskin, Allah SWT selamanya tidak memandang semua itu.
Hubungan antara Allah
SWT dengan hamba-Nya hanya didasarkan pada tingkat keimanan dan ketaqwaannya. Siapa yang paling beriman dan bertaqwa, maka
dialah yang paling dekat dengan Allah dan paling mulia di sisi-Nya. Oleh karena
itu, tidaklah pantas seseorang membangga-banggakan hartanya, keelokan rupa
wajahnya, fisiknya, jidat hitamnya, panjangnya jenggot dan pakaian yang
dikenakannya, keturunannya, gelar akademisnya, rumah-rumah megahnya, kemewahan
fasilitas hidup, dan lain sebagainya dari perkara dunia. Selain daripada
itu, kemuliaan seseorang di mata Allah SWT juga ditentukan oleh kondisi hatinya,sebagaimana
Rasulullah SAW menegaskan dalam sabdanya. Hati menjadi poros dari segala amal. Di sanalah tempatnya niat,
keikhlasan, keimanan dan ketaqwaan.
Betapa banyak manusia
yang amal perbuatannya tampak bagus dan lurus secara lahiriah, tapi ternyata
bernilai rusak di mata Allah SWT karena dibangun di atas niat yang salah. Maka
bisa jadi dua orang terlihat dalam barisan shaf shalat yang sama, mengikuti
satu imam shalat yang sama, gerakan shalat dari awal sampai akhir pun juga
sama, tapi sesungguhnya antara keduanya sama sekali berbeda seperti perbedaan
barat dan timur. Yang demikian itu bisa terjadi karena dibangun di atas niat
yang berbeda. Boleh jadi yang satu shalat dalam kondisi hati yang lalai dan
seringkali dilandasi motivasi duniawi, sementara yang satunya shalat dengan
benar-benar menghadirkan keikhlasan dan semata-mata mengharapkan ridha Allah
SWT.
Oleh karena itu,
penting bagi diri kita untuk selalu memperhatikan keadaan hati. Sudahkah hati
ini selalu kita isi dengan keikhlasan dalam beramal semata-mata karena Allah SWT
dan membersihkannya dari segala bentuk niat yang salah? Karena melalui hati
itulah Allah SWT aka menilai baik
buruknya seseorang, bukan melalui fisik, rupa, dan berbagai tolak ukur
keduniawian lainnya. Dan hendaknya seseorang mengarahkan kelebihan yang ia
miliki dari perkara duniawi untuk meraih keridhaan Allah. Hanya dengan
begitulah predikat taqwa bisa diraih dan bernilai kemuliaan di sisi Allah SWT.
Sekarang katakan
keimanan dan ketaqwaan sudah melekat dalam hati seseorang, maka dapat
dipastikan orang itu hatinya akan berisi dengan keikhlasan karena orang
tersebut adalah orang yang telah tahu diri, telah tahu aturan main dan telah
pula tahu tujuan akhir. Dan selanjutnya orang yang seperti ini akan mampu menampilkan
penampilan Allah SWT dalam setiap tindak tanduknya saat hidup di muka bumi ini.
Yang akan ditampilkan adalah nilai-nilai kebaikan yang telah menjadi sifat
alamiah ruh menjadi perilaku dan
perbuatan diri kita. Katakan ruh telah disifati dengan sifat kasih sayang maka
perbuatan kita pun harus pula mengasihi dan menyayangi sesama manusia melalui
kebaikan-kebaikan. Berikut ini akan kami kemukakan penjelasannya.
Sebagaimana telah
kita ketahui bersama bahwa setiap dzat memiliki sifat yang mana sifat yang
melekat pada dzat akan menjadi perilaku (perbuatan) dzat. Contohnya garam,
garam memiliki sifat asin dan memiliki perbuatan akan mengasinkan apa apa yang
diliputinya, sehingga lahirlah telor asin, ikan asing, sawi asin dan lain
sebagainya. Adanya telor asin, ikan asin, sawi asin menunjukkan kepada diri
kita bahwa garam memiliki jatidiri sebagai dzat yang mampu mengasinkan sesuatu.
Dan jika sekarang garam sudah tidak memiliki sifat asin, maka apakah garam
masih pantas disebut garam? Hilangnya sifat asin pada garam maka dzat tersebut
sudah tidak pantas lagi menyandang status sebagai garam sehingga jati diri
garam sebagai dzat yang mampu mengasinkan sesuatu telah hilang.
Sekarang bagaimana
dengan ruh diri kita yang telah disifati dengan nama nama Allah SWT yang indah
lagi baik (Asmaul Husna) oleh Allah SWT? Ruhani yang tidak lain adalah jati
diri kita yang sesungguhnya maka setelah ruh disifati dengan Asmaul Husna maka
maka sifat yang sudah melekat pada ruhani ini haruslah menjadi perilaku (perbuatan)
diri kita (ingat ruh adalah jati diri manusia yang sesungguhnya), sebagaimana
sifat garam yang mampu mengasinkan apa apa yang diliputinya. Adanya kondisi ini maka setiap ruh yang
sudah memiliki sifat pengasih (Ar Rahman) dan juga penyayang (Ar Rahiim) maka
sifat pengasih dan sifat penyayang harus bisa menjadi perilaku/perbuatan diri
kita yang tercermin dari mampunya diri kita mengasihi dan menyayangi sesama
makhluk ciptaan Allah SWT.
Namun jika yang
terjadi adalah justru kita sering menyakiti orang lain, sering memukul binatang
atau sering menebang pohon tanpa sebab maka diri kita sudah tidak lagi sesuai
dengan konsep Allah SWT dan sudah tidak pantas lagi menyandang status sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Hal ini dikarenakan bukan
seperti itulah perilaku (perbuatan) yang dikehendaki oleh Allah SWT. Kondisi
ini juga berlaku terhadap sifat-sifat ruh lainnya yang telah disifatkan menjadi
sifat ruh, yang mana sifat ruh ini tidak boleh disimpan, atau tidak boleh
dibiarkan terpendam dalam diri manusia. Namun
sifat ruh ini harus dikeluarkan atau diaplikasikan menjadi perilaku (perbuatan)
serta cerminan langsung diri kita baik sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga
sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Adanya aktifitas ini maka tampillah
penampilan Allah SWT di muka bumi ini oleh sebab adanya diri kita ada di muka
bumi ini.
Namun demikian, Allah
SWT memberikan kebebasan bagi umat manusia, untuk memilih apa yang dia
kehendaki, apakah ingin dunia sehingga ia hanya mampu menampilkan penam-pilan
sisi duniawi dengan menampilkan penampilan jasad semata, ataukah ingin dunia
dan akhirat sehingga mampu menampilan sisi akhirat dengan menampilkan
penampilan ruh sebagai perilaku dan perbuatan diri kita, sebagaimana firman-Nya
berikut ini: “Barangsiapa menghendaki pahala di dunia maka
ketahuilah bahwa di sisi Allah ada pahala dunia dan akhirat. Dan Allah Maha
Mendengar, Maha Melihat. (surat An Nisaa’ (4) ayat 134).”
Sekarang mari kita
perhatikan dengan seksama firman Allah SWT yang termaktub dalam surat Al Anfaal
(8) ayat 29) sebagaimana berikut ini: “Wahai orang orang yang beriman! Jika kamu
bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan
antara yang hak dan yang bathil) kepadamu dan menghapus segala kesalahanmu dan
mengampuni dosa dosamu. Allah memiliki karunia yang besar.” Jika kita termasuk orang orang yang beriman
dan juga bertaqwa kepada Allah SWT maka berdasarkan ketentuan ayat ini kita
akan mampu membedakan mana yang diri kita dan mana yang bukan diri kita; mana
yang aturan main dan yang bukan aturan main; mana yang tujuan akhir yang
sesungguhnya dan mana yang bukan tujuan akhir.
Akhirnya kita akan
mengetahui pula cara dan bentuk bentuk penampilan ruh sebagai bentuk penampilan
dari diri kita saat diri kita menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya
di muka bumi ini dan jika hal ini tidak bisa kita lakukan berarti memang diri
kita belum termasuk orang yang beriman lagi bertaqwa serta belum tahu diri dan
belum tahu aturan main dan belum tahu tujuan akhir. Semoga hal ini tidak
terjadi pada diri, keluarga dan anak keturunan kita. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar