Hadits yang akan kami kemukakan di bawah ini,
baru akan memberikan dampak yang luar biasa bagi yang membacanya (atau yang
mempelajarinya) jika dibaca lalu direnungi dengan mempergunakan mata bathin
yang ada di dalam hati nurani. Lalu bayangkan apa yang dimaksud oleh Nabi
Muhammad SAW itu adalah diri kita. Sekarang apa yang kita rasakan?
Diriwayatkan dari Abu Jum’ah ra, yang berkata:
“Suatu saat kami pernah makan siang bersama Rasulullah SAW dan ketika itu ada
Abu Ubaidah bin Jarrah ra, yang berkata
“Wahai Rasulullah adakah orang yang lebih baik dari kami? Kami memeluk
Islam dan berjihad bersama Engkau”. Beliau menjawab “Ya ada, yaitu kaum yang
akan datang setelah kalian, yang beriman kepadaku padahal mereka tidak
melihatku” (Hadits Riwayat Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 106 hadits
no.17017)
Dari Ibnu Abbas ra, diriwayatkan suatu ketika selepas shalat shubuh, seperti biasa Rasulullah SAW duduk menghadap ke para sahabat. Kemudian Beliau bertanya, “wahai manusia siapakah makhluk Tuhan yang imanya paling menakjubkan?” Sahabat menjawab “ Malaikat, ya Rasul.”
“Bagaimana Malaikat tidak beriman, sedangkan
mereka pelaksana perintah Tuhan?” Tukas Rasulullah. “Kalau begitu, para Nabi ya
Rasulullah, “ para sahabat kembali menjawab. “Bagaimana nabi tidak beriman,
sedangkan wahyu dari langit turun kepada mereka?” kembali ujar Rasul. “Kalau
begitu para sahabat sahabatmu, ya Rasul.” Tanya salah seorang sahabat. “Bagaimana
sahabat sahabatku tidak beriman, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka saksikan.
Mereka bertemu langsung denganku, melihatku, mendengar kata kataku, dan juga
menyaksikan dengan mata kepala sendiri tanda tanda kerasulanku.” Ujar
Rasulullah. Lalu Nabi SAW terdiam sejenak, kemudian dengan lembut beliau
bersabda, “yang paling menakjubkan imannya,” ujar Rasulullah “adalah kaum yang
datang sesudah kalian semua. Mereka beriman kepadaku, tanpa pernah melihatku.
Mereka membenarkanku tanpa pernah menyaksikanku. Mereka menemukan tulisan dan
beriman kepadaku. Mereka mengamalkan apa apa yang ada dalam tulisan itu. Mereka
mengamalkan apa apa yang ada dalam tulisan itu. Mereka membela aku seperti
kalia membelaku. Alangkah inginnya aku berjumpa dengan saudara saudaraku itu”.
Kemudian, Nabi SAW meneruskan dengan membaca
surat Al Baqarah (2) ayat 3. (yaitu) mereka yang beriman[13] kepada yang
ghaib[14], yang mendirikan shalat[15], dan menafkahkan sebahagian rezki[16]
yang Kami anugerahkan kepada mereka. (surat Al Baqarah (2) ayat 3)
[13]
Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan
penyerahan jiwa. tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki
oleh iman itu.
[14]
Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. percaya kepada yang
ghjaib yaitu, mengi'tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat
ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya,
seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya.
[15]
Shalat menurut bahasa 'Arab: doa. menurut istilah syara' ialah ibadat yang
sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang
dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah.
mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi
syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang
batin, seperti khusu', memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya.
[16]
Rezki: segala yang dapat diambil manfaatnya. menafkahkan sebagian rezki, ialah
memberikan sebagian dari harta yang telah direzkikan oleh Tuhan kepada
orang-orang yang disyari'atkan oleh agama memberinya, seperti orang-orang
fakir, orang-orang miskin, kaum kerabat, anak-anak yatim dan lain-lain.
Lalu Nabi SAW bersabda, “berbahagialah orang
yang pernah melihatku dan beriman kepadaku’ Nabi SAW mengucapkan itu satu kali.
“Berbahagialah orang yang beriman kepadaku padahal tidak pernah melihatku”.
Nabi SAW mengucapkan kalimat kedua itu hingga tujuh kali. “Aku sungguh rindu
hendak bertemu dengan mereka,” ucap Rasulullah lagi setelah membisu untuk
sementara waktu. (Hadits Riwayat Adh Darimi dalam Sunan Ad Darimi juz 2 hal 398
hadits no.2744)
Bayangkan jika yang dirindukan oleh Nabi SAW
berdasarkan ketentuan hadits di atas itu adalah diri kita, suami (istri) kita, kedua
orang tua kita, kedua orang mertua kita, anak keturunan kita. Tentu hal ini
adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Lalu apakah kerinduan Nabi SAW kepada
diri kita datang secara tiba tiba tanpa pernah ada perjuangan yang luar biasa
dari diri kita? Kerinduan Nabi SAW kepada diri kita sangat tergantung kepada
diri kita sendiri.
Sekarang apakah pantas kita yang kondisinya
seperti ini dirindukan oleh Nabi SAW, apalagi tempat bertemunya kita dengan
Nabi SAW dapat dipastikan di Syurga. Lalu apa yang sudah kita lakukan untuk
menuju syurga sehingga Nabi SAW yang telah merindukan diri kita mau menemui
diri kita di Syurga kelak? Jangan sampai kita hanya mampu berkhayal lalu
berdiam diri karena Nabi SAW yang merindukan diri kita lalu dengan seenaknya
saja kita hidup di muka bumi ini tanpa mengindahkan ketetuan yang berlaku!
Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah Nabi
SAW tidak akan pernah merindukan sama sekali hambanya (umatnya) yang masuk ke
dalam neraka jahannam. Sehingga hanya umatnya yang mampu masuk syurgalah yang
dirindukan oleh Nabi SAW dan Nabi SAW pun bersedia untuk menemui umatnya yang
masuk syurga tersebut. Semoga hal ini menjadi kenyataan bagi diri kita, bagi
suami (istri) kita, bagi kedua orang tua kita, bagi kedua orang mertua kita, bagi
anak dan keturunan kita kelak. Amiin.
Sekarang mari kita perhatikan dengan seksama
sebuah riwayat berikut ini. Menurut sebuah riwayat, Nabi Daud as, telah
bertanya kepada Allah SWT dalam doanya: Siapakah yang akan masuk ke dalam
syurga, dan siapakah yang shalatnya akan Engkau terima?’ Terhadap pertanyaan ini
Allah SWT telah berkata: “Orang yang akan
masuk ke dalam syurga-Ku dan shalatnya Aku terima adalah yang rendah hati
terhadap keagungan-Ku, yang selalu berdzikir di siang dan malam, yang mengekang
nafsunya demi mendapatkan ridha-Ku, yang memberi makan kepada sesamanya yang
lapar, yang berteman dengan orang orang yang shaleh, yang merasa pedih dengan
musibah yang menimpa sesamanya”.Orang-orang
yang seperti inilah yang cahaya nurnya di langit seterang matahari. Aku
mengabulkan doa mereka dan Aku akan memberi apa yang mereka minta. Aku terangi
kejahilayahannya dengan kelembutan, kebuntuannya dengan berdzikir. Aku terangi
kegelapan darinya. Orang orang yang seperti inilah makamnya seperti syurga
firdaus sebagai makam syurga yang paling tinggi. Sungai mengalir untuknya tanpa
pernah mengering, buah buahan juga tidak akan pernah melayu”.
Subhanallah, mungkinkah kita bisa masuk syurga
yang sudah disiapkan oleh Allah SWT? Lalu bagaimana dengan “track record”
yang kita miliki, apakah sudah sesuai
dengan kehendak Allah SWT?
Banyak jalan menuju Roma. Banyak methode dan
cara untuk sampai ke suatu tujuan.
Demikian pula jika kita ingin masuk syurga untuk bertemu Allah SWT, yang
dilanjutkan ditemui oleh Nabi Muhammad
SAW berikutnya berkumpul dengan keluarga besar kita disana. Ketahuilah bahwa
Syurga adalah milik Allah SWT. Syurga adalah hak Allah SWT, sehingga Allah SWT
lah yang memiliki kekuasaan untuk menentukan siapa-siapa saja yang bisa
menempati syurga-Nya. Untuk itu kita harus mengetahui methode dan cara (syarat dan
ketentuan) yang ditetapkan oleh Allah SWT selaku pemilik syurga lalu berusaha
untuk memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku semaksimal mungkin. Apalagi
kita tahu bahwa syurga bukanlah barang
gratisan yang bersifat murahan
dan yang tidak mungkin akan diobral secara murahan oleh Allah SWT. Syurga
adalah bentuk penghargaan yang diberikan oleh Allah SWT untuk abd’ (hamba)-Nya
yang sekaligus khalifah-Nya yang sukses melaksanakan tugasnya di muka bumi
sesuai dengan konsep Allah SWT.
Lalu bagaimana dengan kita yang bercita cita
untuk masuk syurga? Apa yang sudah kita perbuat? Apa yang sudah kita lakukan?
Apa karya nyata yang telah kita buat saat hidup di dunia ini yang didasari
ridha dan ikhlas semata mata untuk Allah SWT? Apakah cukup dengan pahala kita
bisa masuk syurga lalu berapa banyak pahala yang kita butuhkan untuk bisa masuk
syurga jika pahala yang menjadi ukuran? Syurga bukanlah sesuatu yang bisa
disejajarkan dengan pahala karena pahala tidak akan mampu untuk membeli syurga
atau memasukkan kita ke dalam syurga. Ridha dan Ikhlas berbuat dalam kerangka
kebaikan hanyalah alat bantu untuk masuk ke syurga, tetapi rahmat Allah SWT
jualah yang bisa memasukkan kita ke syurga, hal ini sebagaimana dikemukakan
dalam hadits berikut ini: “Dalam sebuah hadits dikemukakan bahwa Anas
ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: “Terdengar seruan pada
hari Kiamat dari tengah Arsy: Wahai umat Muhammad! Sesungguhnya Allah SWT
berfirman: Aku telah hibahkan kepada kalian hak-hak-Ku yang menjadi kewajibanmu
dan tersisalah akibat akibat yang harus dipertanggungjawabkan, maka saling
berhibahlah kalian dan masuklah syurga dengan rahmat-Ku” (272:271). Seperti apakah rahmat Allah SWT yang
bisa memasukkan kita ke syurga? Jika ini kondisinya berarti kita wajib untuk
mendapatkannya jika syurga yang menjadi tujuan akhir kita.
Alangkah bahagianya jika diri kita, keluarga
kita, anak keturunan kita bisa berkumpul di dalam syurga-Nya Allah SWT kelak.
Lalu bagaimana dengan pemenuhan syarat dan ketentuan masuk syurga yang telah
kita lakukan? Untuk itu mari kita perhatikan hadits berikut ini: “Ibnu
Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Aku tidak akan
memperhatikan hak-hak hamba-Ku sebelum ia memperhatikan hak-hak Ku atasnya”. (Hadits
Qudsi Riwayat Ath Thabari; 272:125)
Kenyataannya masih banyak syarat dan ketentuan
yang belum kita penuhi. Masih banyak hak-hak Allah SWT belum kita penuhi sehingga
perilaku kita masih berseberangan dengan Allah SWT. Perbuatan dosa masih juga
kita laksanakan. Lalu bagaimana kita akan masuk syurga?
Kita juga tahu bahwa syurga bukanlah kita yang
menciptakan, melainkan sesuatu yang akan dianugerahkan oleh Allah SWT kepada
kita. Lalu kenapa kita yang mengatur Allah SWT agar diri kita saja yang
dimasukkan ke dalam syurga? Syurga
adalah hak Allah SWT dimana hak Allah SWT ini hanya akan diberikan oleh Allah
SWT kepada yang berhak menerimannya sepanjang yang berhak tersebut mampu
memenuhi hak hak Allah SWT terlebih dahulu. Jadi jangan pernah merasa diri kita
yang berhak untuk masuk syurga atau
jangan pernah merasa yakin akan masuk syurga karena merasa telah memenuhi
syarat dan ketentuan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Selanjutnya sebagai
pelaksana dari hak hak Allah SWT berarti Allah SWT yang memiliki hak untuk
menilai serta menentukan hasil akhir dari pelaksanaan hak hak Allah SWT yang
menjadi kewajiban diri kita. Sehingga parameter yang berlaku bukanlah parameter
dari pelaksana hak hak Allah SWT melainkan parameter Allah SWT sebagai pemilik
syurga.
Sekarang mari kita renungkan kembali perjalanan
hidup yang telah kita lalui saat ini. Ketahuilah bahwa hidup itu laksana cermin
yang akan menampilkan apa apa yang pernah kita buat dan lakukan. Cermin tidak
pernah berbohong, namun diri kitalah yang sering membohongi cermin dengan tidak
mengakui apa yang telah ditampilkan oleh cermin. Dimanakah cermin kita? Seperti
apakah kualitas cermin kita? Sanggupkah jika menampik atau tidak mengakui, atau
mengatakan cermin itu salah dengan mengatakan buruknya watakku, buruknya
perilakuku, buruknya kelakuanku karena cermin? Jika sampai ini yang terjadi
berarti ada sesuatu yang salah dalam diri kita terutama kewarasan kita. Jangan
sampai kita berbuat seperti itu.
Agar cita-cita untuk pulang kampung ke syurga
bukanlah khayalan melainkan sebuah kenyataan. Ada baiknya kita memperhatikan
apa yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim Al Jauziyah berikut ini: “orang yang menuju jalan Allah dan negeri
akhirat (maksudnya menuju syurga) atau siapapun yang menempuh tujuan tertentu,
tidak akan pernah sampai kecuali dengan dua ketentuan, yaitu ilmu dan amal.
Dengan ilmu seseorang akan mengetahui di
tempat mana ia harus singgah dan di tempat mana ia harus menjauhi sebab sebab
kerusakan, tempat yang dapat menghancurkannya, bahkan kelokan yang sering kalii
menjebak. Ilmu adalah cahaya yang bersinar terang. Jika ia dalam genggaman,
niscaya dapat membantu seseorang sekalipun berjalan di malam yang gelap gulita.
Dia dapat memperhitungkan apa yang akan terjadi, apakah di depannya ada jurang
yang dalam, wilayah yang penuh bahaya, daratan dengan batuan yang terjal, atau
duri duri perjalanan.
Dengan
cahaya seseorang juga dapat melihat rambu-rambu jalan dan tanda-tanda yang
dipasang sehingga tidak akan tersesat. Dengan cahaya itulah seseorang dapat
menemukan dua hal, rambu rambu jalan dan daerah daerah yang membawa kerusakan.
Dengan kekuatan ilmu, seseorang pejalan dianggap telah dapat menempuh separuh
perjalanan. Demikian pula halnya dengan orang yang meniti jalan Allah.Apabila
seseorang telah dapat melihat jalan, memahami rambu rambunya, mengetahui tempat
tempat yang licin dan berbahaya, maka diibaratkan ia telah berhasil separuh
kebahagiaan dan keberuntungan. Tinggallah separuh yang lain. Dia harus bergegas
menyinggsingkan lengan baju dan berjalan cepat menelusuri jalan jalan tembus
melewati satu wilayah ke wilayah lain. Jika ia telah sampai di suatu tempat
peristirahatan, hendaklah bersiap siap untuk menempuh jalan selanjutnya. Pada
akhirnya, ia akan merasa sudah dekat dengan target tujuan hingga berbagai
kesulitan selama perjalanan terasa ringan”.
Begitulah. Menempuh jalan menuju Allah (atau
syurga) menggunakan hati nurani bukan dengan kaki, dan jalan yang ditempuh
memang panjang dan menakutkan. Orang-orang pilihan sebelum kita sudah
melakukannya sepanjang masa. Sayangnya, jalan tersebut pada masa sekarang
menjadi hilang hampir tanpa bekas karena keberpalingan kita dari rintisan yang
pernah mereka lakukan. oleh sebab itu, kita sangat memerlukan ilmu. Ilmu
memiliki relevansi dengan jalan dan tujuan yang tinggi ini.
Kembali Ibnul Qayyim menuturkan, “Sejatinya Anda memerlukan kekuatan ilmu,
artinya Anda harus belajar. Jangan pernah menyangka bahwa menuju ke jalan Allah
tidak perlu menuntut ilmu. Menuntut ilmu merupakan prinsip yang paling esensial
dalam rangka menuju Allah. Hal ini mutlak diperlukan bagi orang yang hendak
menelusuri jalan tersebut selamanya. Oleh sebab itu, yang paling awal dilakukan
adalah dengan menggunakan metode keilmuan yang terpadu, dan memiliki tahapan
tahapan dalam setiap cabang keilmuannya, semisal mengkaji ilmu tentang tahu
diri yang dilanjutkan dengan tahu aturan.
Ilmu
adalah sifat Allah SWT dan kitapun telah diberikan sifat Ilmu sebagai bagian
dari modal dasar diri kita untuk menjadi khalifah di muka bumi. Ilmu yang sudah
ada dalam diri tidak bisa hanya dengan didiamkan maka ilmu akan berkembang dan
mampu menghantarkan diri kita menjadi khalifah yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT. Ilmu harus dipelajari, dikembangkan dan dipraktekkan dan diamalkan
dengan cara mengajarkan kembali kepada sesama barulah ilmu bermanfaat. Ilmu
harus dicanangkan sebelum berbicara dan melakukan suatu amalan. Jika tidak
demikian, niscaya Anda akan tersesat dan tidak akan pernah sampai tujuan. Maka
kekuatan ilmu harus didahulukan, baru setelah itu kekuatan amal. Mulailah Anda
mengimplementasikan ilmu ini dalam realita, kemudian berjalan secara nyata”.
Untuk memperoleh dan mendapatkan ilmu hanya
bisa didapat dengan cara belajar yang sungguh sungguh, konsisten dalam
komitmen. Ilmu diperoleh melalui proses bertahap dari waktu ke waktu. Kita
tidak bisa hanya sesekali, sekali kali, atau hanya meluangkan waktu ala
kadarnya untuk belajar memperoleh ilmu dan jika ini yang terjadi maka sekedar
itulah ilmu yang kita peroleh. Belajar harus didukung dengan komitmen yang kuat
dan utuh dari diri sendiri maka belajar akan mudah dimudahkan oleh Allah SWT.
Allah SWT berfirman: “Maka berpalinglah (hai Muhammad)
dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali
kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu,
Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia
pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (surat An Najm
(53) ayat 29 dan 30)
Di lain sisi, setiap manusia akan melakukan
sebuah kegiatan, perbuatan, ataupun amaliah sangat tergantung dari kualitas
pemahaman yang dimilikinya. Dimana
kualitas pemahaman ini sangat berhubungan dengan kualitas ilmu yang dimiliki
seseorang. Jika kualitas ilmu seseorang hanya sebatas sesuatu yang tersurat
saja, maka kualitas pemahaman pun hanya sebatas yang tersurat saja. Dan jika
kita berkehendak untuk memperoleh kualitas pemahaman bukan hanya sekedar yang
tersurat saja, melainkan sampai yang tersirat dan yang tersembunyi, tidak ada
jalan lain kecuali dengan meningkatkan kualitas kemampuan ilmu sampai yang
tersirat dan yang tersembunyi melalui proses belajar dan mengajar yang tiada
henti dengan semangat konsisten dalam komitmen (istiqamah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar