Untuk itu mari kita perhatikan hikmah-hikmah yang hakiki yang terdapat di
balik diperkenankannya diri kita melaksanakan ibadah umroh, sebagaimana berikut
ini:
1. Untuk Menyelamatkan
Ruh Sehingga Ruh Mampu Datang Fitrah Kembali Fi-trah Agar Bisa Bertemu Dengan Dzat
Yang Maha Fitrah.
Salah
satu hikmah dari pelaksanaan ibadah umroh adalah untuk menyelamatkan ruh yang
tidak lain adalah jati diri manusia yang sesungguhnya. Ruh harus diselamatkan dari
pengaruh buruk ahwa (hawa nafsu) dan juga setan yang mengakibatkan kualitas ruh
menjadi tidak fitrah lagi (menjadikankan
jiwa kita menjadi jiwa fujur). Ruh asalnya fitrah dan harus kembali
dalam kondisi yang fitrah (jiwa muthmainnah) agar bisa bertemu dengan Allah SWT
Dzat Yang Maha Fitrah di tempat yang fitrah (maksudnya surga).
Sebagai
jamaah umroh yang berkehendak untuk menyelamatkan ruh akibat pengaruh buruk
dari ahwa (hawa nafsu) dan juga setan maka kita harus merubah pola berpikir
terhadap ibadah yang kita laksanakan dengan mencanangkan program baru. Sehingga
ruh akan
selalu fitrah (berjiwa muthmainnah) yang
konsisten dan berkualitas selama hayat masih di kandung badan. Untuk itu
ruh harus selalu memperoleh asupan energi keimanan melalui pelaksanaan ibadah
yang telah diperintahkan oleh Allah SWT melalui pelaksanaan Diinul Islam secara
kaffah (secara menyeluruh), dengan catatan bahwa :
1. Ibadah yang kita laksanakan bukanlah untuk
mencari pahala, atau memba-talkan sebuah kewajiban. Ibadah adalah kebutuhan yang
hakiki bagi diri dan jiwa kita.
2. Ibadah merupakan sarana dan alat bantu terbaik
untuk memberi asupan ma-kanan atau energi guna pertumbuhan keimanan, atau untuk
mempertahankan kualitas keimanan yang sangat dibutuhkan oleh ruh atau jiwa
kita.
3. Ibadah
merupakan sarana dan alat bantu untuk memantapkan iman dalam jiwa, sehingga
jiwa kita berada di dalam kelompok jiwa taqwa, dalam hal ini jiwa muthmainnah.
4. Ibadah
merupakan sarana dan alat bantu untuk memperbaharui sumber ke-kuatan guna
memperoleh pertolongan Allah SWT yang sangat diperlukan untuk mensukseskan
tugas manusia sebagai hamba-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi.
5. Ibadah adalah sarana dan alat bantu untuk menggarap hati kita agar men-jadi lebih peka
terhadap lingkungan, lebih teguh terhadap perintah dan larangan Allah SWT.
6. Ibadah adalah sarana dan alat bantu untuk membina pribadi-pribadi ma-nusia dalam
kerangka mempertahankan dan memelihara serta mengembangkan dan meningkatkan apa
apa yang telah diberikan Allah kepada diri kita.
7. Ibadah adalah sarana dan alat bantu untuk
mensukseskan tugas kita sebagai hamba-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka
bumi serta untuk mencari keridhaan Allah.
Selain dari itu, masih ada ketentuan lain yang
harus kita pahami dengan baik dan benar yaitu tentang adanya ketentuan dasar
tentang ruh dan juga tentang jasmani, yaitu:
a. Ruh memiliki ketentuan datang fitrah kembali
harus fitrah maka ruh sangat membutuhkan pelaksanaan Diinul Islam secara kaffah
(menyeluruh dalam satu kesatuan).
b. Kemampuan jasmani sangat berhubungan erat
dengan posisi usia seseorang. Semakin tua usia seseorang maka jasmani pasti
akan mengalami penurunan kemampuan. Inilah sunnatullah yang pasti berlaku
kepada jasmani.
c. Kemampuan ruh tidak berhubungan langsung dengan
tua atau mudanya seseorang, melainkan
sejauh mana kita mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah. Semakin kaffah
(khusyu’) kita melaksanakan Diinul Islam maka semakin berkualitas atau semakin
fitrah ruh seseorang.
d. Untuk itu jangan pernah menjadikan ruh
mengikuti sunnatullah yang ber-laku bagi jasmani. Semakin tua semakin berkurang
kemampuannya. Cukup jasmani saja yang menjadi tua atau berkurang kemampuannya
namun ruh haruslah tetap muda (maksudnya tetap berkualitas atau tetap fitrah
sesuai dengan kehendak Allah SWT).
e. Sebagai hamba-Nya yang sekaligus khalifah-Nya
di muka bumi jangan sam-pai tuanya jasmani diikuti dengan tuanya ruh (maksudnya
jangan sampai penurunan kualitas jasmani diikuti dengan menurunnya kefitrahan
ruh) dan jika sampai ini terjadi maka sesuailah diri kita dengan kehendak setan.
f. Ruh yang tetap dalam kondisi fitrah akan sangat
membantu kondisi dan keadaan jasmani yang sedang mengalami penurunan kemampuan,
sehingga kita tetap mampu hidup berkualitas dari waktu ke waktu serta mampu
bermanfaat bagi orang banyak.
Ingat,
ruh dengan keimanan adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dikarenakan
makanan ruh adalah keimanan yang didapat dari pelaksanaan ibadah sebagai buah
dari kebutuhan kita saat melaksanakan
ibadah. Adanya keimanan yang berkualitas akan menjadikan ruh kuat. Keimanan
juga akan menjadi benteng (pelindung) bagi ruh dari gangguan ahwa (hawa nafsu)
dan juga setan serta menjadikan diri kita selalu berada di dalam kehendak Allah
SWT. Untuk itu jangan pernah menyianyiakan kesempatan menunaikan ibadah umroh
oleh sebab apapun juga.
2.
Merasakan Nikmatnya
Bertuhankan Allah Di Tempat Yang Terbaik.
Setiap
manusia pasti akan menghadapi monster-monster kehidupan yang memang sudah
menjadi skenario Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT berikut ini: “Dan
Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang orang
yang sabar. (surat Al Baqarah (2) ayat 155).” Inilah monster-monster
kehidupan yang harus kita hadapi dan
kitapun harus mampu mengalahkannya. Lalu bagaimana kita bisa mengalahkannya?
Allah
SWT selaku pembuat skenario kehidupan manusia, sudah memiliki skenario pula
untuk mengatasinya, yaitu salah satunya adalah melalui hikmah dari pelaksanaan
ibadah umroh dimana Allah SWT berkehendak kepada diri kita agar kita mampu
merasakan langsung nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT terutama saat diri
kita berada di tempat yang terbaik yang ada di muka bumi ini, yaitu di Masjidil
Haram yang ada di kota Makkah Al Mukaramah dan juga di Masjid Nabawi yang ada
di kota Madinah.
Di
Masjidil Haram kita bisa melaksanakan shalat wajib dan sunnah yang nilainya
melebihi nilai shalat jika didirikan di luar Masjidil Haram, sebagaimana hadits
berikut ini: “Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) lebih utama daripada 1000 shalat di
masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama
daripada 100.000 shalat di masjid lainnya. (Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Majah).”.
Selain shalat wajib dan shalat sunnah, di Masjidil Haram kita juga bisa
melaksanakan thawaf sunnah tanpa ihram dan tanpa miqat, memperbanyak membaca
dan menghayati AlQuran. Di Masjidil Haram kita bisa berdoa, bertasbih dan
bertahmid kepada Allah SWT yang langsung digerakkan oleh orang yang
melaksanakan Thawaf.
Adanya
fasilitas yang hanya berlaku di Masjidil Haram
dan juga di Masjid Nabawi ditambah dengan sebuah perasaan yang terasa
begitu nikmat saat diri kita diterima kehadirannya oleh Allah SWT yang begitu
luar biasa bisa kita jadikan sebagai oleh-oleh atau kenang-kenangan atau
pembelajaran yang tidak terlupakan dalam perjalanan hidup kita sehingga mampu
menjadi pelajaran kehidupan yang sangat berharga sampai diri kita bertemu
dengan Allah SWT kelak di syurga.
Inilah
pelajaran dan pengajaran yang berasal dari Allah SWT dari ibadah umroh yang
kita laksanakan sehingga bisa menjadi faktor kekuatan bagi diri kita saat
menjadi hamba-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi ini. Lalu diri kita
mampu berdiri tegar, tegas, sabar, kuat di dalam menghadapi segala ujian dan cobaan hidup yang
pasti terjadi sebagaimana surat Al Baqarah (2) ayat 155 di atas dan akhirnya kita mampu menjadi
pemenang. Sungguh luar biasa skenario Allah SWT untuk kepentingan umat manusia,
termasuk untuk kepentingan diri kita, sepanjang kita mau menyadarinya dan mau
melaksanakannya dengan baik dan benar yang dilandasi dengan niat yang ikhlas.
3. Turut Serta Dalam
Menggerakkan Energi Pengagungan dan Doa Kepada Allah SWT Melalui Prosesi
Thawaf.
Hikmah
lain yang sangat luar biasa dari melaksanakan ibadah haji (ibadah umroh) adalah
Allah SWT berkehendak agar diri kita terlibat langsung di dalam proses
menggerakkan energi-energi yang diarahkan
oleh umat manusia ke satu titik tertentu, dalam hal ini ke Ka’bah. Adapun
energi yang diarahkan dan yang fokuskan ke satu titik itu adalah energi dari
shalat. Di dalam shalat terdapat dua energi besar yaitu energi pengagungan atas
kebesaran dan kemahaan Allah SWT dan juga adanya energi doa dan harapan manusia
yang dipanjatkan dan yang dimohonkan baik melalui ibadah shalat maupun yang
diluar ibadah shalat.
Adanya
energi yang terkumpul dalam satu titik, maka energi ini harus digerakkan dimana
penggeraknya adalah adanya gerakan berlawanan arah dengan arah jarum jam
sehingga gerakan ini berkeseuaian dengan teori energi yang mengatakan setiap
energi yang digerakkan berlawanan arah dengan arah jarum jam maka energi yang
ada akan naik ke atas. Proses ini ada pada prosesi Thawaf yang dilakukan oleh
jamaah haji dan juga oleh jamaah umroh.
Jika
saat ini diri kita sedang menunaikan ibadah haji (atau sedang menunaikan ibadah
umroh) maka kita termasuk orang orang yang turut terlibat langsung di dalam
menggerakkan energi yang sudah terkumpul di Ka’bah sehingga terangkatlah atau
naiklah energi-energi tersebut ke atas untuk menuju kepada Allah SWT melalui prosesi
Thawaf yang kita lakukan. Begitu luar biasanya Allah SWT di dalam membuat
scenario- skenario ibadah yang telah diperintahkannya kepada diri kita. Lalu
pernahkah mencoba mempelajari dan menghayatinya sampai sedemikian rupa sehingga
kita sangat membutuhkan ibadah haji? Semoga kita yang telah diperintahkan oleh
Allah SWT menunaikan ibadah haji atau ibadah umrog tidak mengecewakan Allah
SWT.
4.
Pembuktian Hasil Dari
Menjadi Tuan Rumah Bagi Bulan Ramadhan.
Salah
satu ajaran Islam adalah wajib hukumnya untuk menghormati tamu yang datang.
Setiap tahun kita selalu didatangi oleh tamu yang agung, yaitu Ramadhan bulan
yang mulia. Jika bulan Ramadhan adalah tamu yang mulia maka yang menjadi tuan
rumah bagi tamu yang mulia adalah diri kita. Bulan Ramadhan sebagai bulan yang
mulia yang datang setiap tahun kepada diri kita maka kemuliaan tamu yang datang
sangat tergantung kepada kemuliaan diri kita selaku tuan rumah bagi bulan
Ramadhan. Dan alangkah ruginya diri kita jika kemuliaan tamu yang datang
tercoreng oleh ulah diri kita yang berperilaku buruk lagi tidak memuliakan
kepada tamu yang datang tersebut. Padahal tamu yang mulia itu datang tidak
memiliki kepentingan bagi dirinya, namun untuk kebaikan diri kita selaku tuan
rumah.
Adanya
kehadiran bulan Ramadhan kepada diri kita setiap setahun sekali berarti setiap
tahun kita sedang mengalami proses belajar dan pengajaran yang dilakukan oleh Allah
SWT untuk menjadi tuan rumah yang mulia bagi Ramadhan yang mulia. Sekarang
proses pembelajaran melalui ibadah puasa di bulan Ramadhan kepada diri kita
sudah berlangsung sekian kali selama kita hidup maka kondisi ini seharusnya akan
memudahkan diri saat kita menunaikan ibadah haji atau ibdah umroh karena kita
sudah belajar bagaimana menjadi tuan rumah yang mulia bagi tamu yang mulia.
Adalah
sebuah kebaikan yang tidak terhingga jika kita bisa memanfaatkan momentum ini
hanya dengan merubah posisi dan konsep diri kita dari yang sebelumnya sudah
mampu menjadi tuan rumah yang mulia bagi Ramadhan yang mulia menjadi tamu yang mulia dihadapan Allah SWT Dzat Yang
Maha Mulia saat melaksanakan ibadah umroh di Baitullah. Sadarkah kita dengan kondisi
dan keadaan ini? Hampir sebahagian orang tidak menyadarinya atau bahkan tidak
tahu dengan keadaan ini.
Inilah
hikmah yang ada dibalik perintah menunaikan ibadah haji atau ibadah umroh yang
kita hubungkan dengan perintah melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Sungguh
luar biasa Allah SWT yang begitu sempurna membuat sebuah skenario ibadah bagi
kepentingan hamba-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi ini. Jadi
semakin cepat kita menunaikan ibadah haji atau ibadah umroh semakin cepat pula
kita mendapatkan pelajaran berharga dari Allah SWT yaitu bagaimana bersikap
menjadi tamu yang mulia sehingga kita bisa berbuat yang mulia pula kepada
sesama selama hayat masih di kandung badan.
5.
Belajar Toleransi
Dalam Keberagaman.
Hikmah
lain dari ibadah haji atau ibadah umroh yang kita laksanakan adalah Allah SWT
berkehendak agar diri kita mampu mengambil hikmah tentang keberagaman yang ada
di muka bumi ini saat berada di Baitullah. Allah SWT di tengah keberagaman atas
ciptaan-Nya memiliki parameter sendiri untuk menilai tamu yang hadir
melaksanakan ibadah haji atau ibadah umroh.
Allah
SWT dengan tegas di dalam pelaksanaan ibadah haji atau ibadah umroh tidak
memandang warna kulit tamunya; Allah SWT juga tidak memandang suku bangsa
tamunya; Allah SWT juga tidak memandang bahasa tamunya; Allah SWT tidak
memandang budaya tamunya; Allah SWT juga tidak memandang pangkat, jabatan,
kekayaan serta keturunan yang dimiliki tamunya. Allah SWT hanya memandang dan
menilai tamunya dari sisi niatnya, dari sisi keimanan dan ketaqwaannya, dari
sisi tujuan yang hakiki saat menunaikan ibadah
umroh.
Saat
diri kita berada di Masjidil Haram, saat kita berada di Masjid Nabawi, Allah
SWT begitu jelas memperlihatkan dan mempertontonkan sesuatu yang bisa dilihat
langsung dan dirasakan langsung bahwa keberagaman bukanlah pesan utama yang
hendak Allah SWT perlihatkan kepada kita. Pesan nyata Allah SWT dari
pelaksanaan ibadah umroh adalah di tengah keberagaman umat manusia yang begitu
banyak yang hadir menunaikan ibadah umroh yaitu adanya kesamaan tujuan dan
adanya kesamaan niat yaitu semuanya menuju kepada yang satu yaitu Allah SWT.
Sebuah pertunjukkan yang spektakuler yang dipertontonkan lewat ibadah haji atau
ibadah umroh oleh Allah STW kepada seluruh umat manusia.
Untuk
itu, setelah kita kembali dari menunaikan ibadah haji atau ibadah umroh jangan
pernah banggakan suku bangsa kita yang kita miliki. Jangan pernah membanggakan
asal usul keturunan kita. Jangan pernah banggakan budaya kita. Jangan pernah
pula membanggakan pangkat, jabatan, kedudukan, gelar, apalagi harta kekayaan
yang kita miliki. Hal itu bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan dihadapan
Allah SWT. Apalagi membanggakan diri bahwa kita telah mampu menunaikan ibadah
haji atau ibadah umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT baik kepada
manusia apalagi kepada Allah SWT. Sekali lagi, jangan pernah lakukan hal ini.
Agar
diri kita mampu menjadi tamu, atau menjadi hamba-Nya yang sekaligus
khalifah-Nya yang dibanggakan oleh Allah SWT setelah menunaikan ibadah haji
atau umroh maka buatlah Allah SWT
tersenyum bangga melalui ibadah ikhsan yang kita lakukan dalam kerangka
pembuktian bahwa kita telah mampu menjadi tamu yang mulia dihadapan Allah SWT
Dzat Yang Maha Mulia. Laksanakan secara perlahan namun pasti. Laksanakan dari
yang kecil menuju yang besar tanpa harus buru-buru. Jangan pernah takut dan
ragu membuktikan hasil menunaikan ibadah haji atau ibadah umroh, tetapi
takutlah jika tidak mampu membuktikan bahwa kita pernah menunaikan ibadah haji
atau ibadah umroh.
D. MAMPU MEMAHAMI SIAPA
TAMU DAN SIAPA TUAN RUMAH SAAT MENUNAIKAN IBADAH UMROH.
Setiap jamaah yang akan menunaikan ibadah haji atau ibadah umroh harus
mengerti siapa yang menjadi tamu dan siapa yang menjadi tuan rumah. Dalam
pelaksanaan ibadah haji atau ibadah umroh yang akan kita laksanakan maka ketahuilah
yang menjadi tamu adalah diri kita sedangkan yang menjadi tuan rumah adalah
Allah SWT dan Allah SWT juga selaku pengundang dari tamu yang datang
sebagaimana hadits berikut ini: Nabi SAW bersabda: “Tamu Allah ada tiga:
Orang yang berhaji, orang yang berumroh, dan orang yang berperang sabil. (Hadits
Riwayat An Nassa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dari Abu Hurairah ra,).”
Hal ini penting kita pahami karena dengan diri kita paham siapa diri kita
dan siapa Allah SWT yang sesungguhnya sehingga mengharuskan kita untuk tahu
diri, bukan untuk unjuk diri seperti layaknya Tuan Rumah. Tamu bukanlah sesuatu
yang bisa mensejajarkan diri selayaknya Tuan Rumah.
Sebagai tamu yang datang ke Baitullah untuk melaksanakan ibadah haji
atau umroh sudah sepantasnya dan sepatutnya kita mempelajari, mentaati,
melaksanakan segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuan Rumah. Jangan
sampai kita selaku tamu yang diundang ke Baitullah justru mengatur Tuan Rumah
dengan membuat aturan-aturan baru yang berseberangan dengan apa apa yang telah
ditetapkan oleh Tuan Rumah, terkecuali jika kita ingin dinilai sebagai tamu
yang tidak tahu diri saat berhaji atau umroh.
Allah SWT selain Tuan Rumah saat pelaksanaan ibadah haji atau umroh adalah
pencipta dan pemilik dari langit dan bumi, termasuk yang menciptakan diri kita.
Adanya kondisi ini terlihat dengan jelas siapakah diri kita yang sebenarnya dan
siapakah Allah SWT yang sesungguhnya. Kita bukanlah apa-apa dibandingkan dengan
Allah SWT. Kita ada karena diciptakan oleh Allah SWT. Kita ada di muka bumi
karena dijadikan Allah SWT sebagai hamba-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di
muka bumi. Sebagai hamba-Nya yang sekaligus khalifah-Nya yang
menumpang di muka bumi tentu kita harus melaksanakan segala perintah, atau
melaksanakan segala ketentuan yang berlaku di muka bumi termasuk menunaikan
ibadah haji atau umroh.
Saat ini perintah menunaikan ibadah haji yang mabrur yang pahalanya
adalah syurga atau ibadah umroh sebagai penghapus dosa-dosa sudah berlaku di
muka bumi sebagaimana hadits berikut ini: Nabi SAW bersabda: “Antara Umroh yang pertama dengan Umroh yang kedua
penghapus dosa dosa (yang dilakukan antara keduanya) dan haji mabrur tiada
pahala kecuali syurga. (Hadits Riwayat Bukhari).” Adanya ketentuan ini berarti
jika kita ingin menjadi tamu yang baik lagi
dibanggakan oleh Tuan Rumah, maka kita harus melaksanakan ibadah haji atau
ibadah umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Sebagai hamba-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi sudahkah diri
kita memiliki ilmu dan juga pemahaman tentang itu semua termasuk sudahkah kita
mengenal diri untuk tahu diri? Semoga kita yang diberikan kesempatan untuk
melaksanakan ibadah haji atau umroh mampu mengenal diri dan mengenal Allah SWT
sehingga kesempatan untuk menjadi tamu yang tahu diri terbuka bagi diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar