Agar diri kita bisa
menggapai tingkat mahabbah, berikut ini akan kami kemukakan beberapa kiat guna menggapai
tingkat Mahabbah, yaitu:
a. Membaca
AlQuran dengan mencerna dan memahami kandungan dan maksudnya sehingga AlQuran
bukan sekedar dibaca.
b. Melakukan shalat
sunnah penyerta shalat fardhu. Sebab hal ini menghantarkan kepada tingkatan
mahbub (tercinta) setelah fase mahabbah (kecintaan).
c. Melanggengkan
dzikrullah dalam segala kondisi; baik dengan lisan, hati ataupun tindakan. Maka
ia akan mendapatkan mahabbah sebesar kadar dzikirnya.
d. Lebih mendahulukan
apa yang dicintai Allah daripada cinta hawa nafsunya walau hal itu amat berat.
e. Menghayati
sifat dan asma Allah, meyakininya dan mengetahuinya. Lalu dia ber-kubang dalam
ilmunya tersebut. Siapa saja yang mengetahui Allah; baik asma, sifat dan af’al-Nya
maka Allah pasti mencintainya.
f. Bersaksi
dan mengakui kebaikan Allah, anugerah dan segala nikmat-Nya; baik yang jelas
atau yang tersamar. Sungguh hal ini akan mendatangkan mahabbah kepada-Nya Yaitu
sebab yang paling menakjubkan , yakni kekhusyu’an hati secara keseluruhan di
hadapan Allah.
g. Menyendiri
dan menyepi diri untuk bermunajat kepada-Nya, membaca kalam-Nya, menghadap
sepenuh hati dan sopan dalam beribadah dihadapan-Nya. Kemudian diakhiri dengan
istighfar dan taubat.
h. Suka berkumpul dengan
para pendamba mahabbah yang jujur, hingga dapat memetik ucapan baik mereka.
Lalu menjadikan kita tidak berbicara kecuali dengan yang berguna bagi diri kita
dan orang lain.
i. Menjauhi
segala faktor yang menghalangi hati dengan Allah. Sebab, jika hati seseorang
rusak maka ia tak akan dapat memetik manfaat dari kehidupan dunia dan
akhiratnya.
5. Ma'rifah yang
diperkenalkan oleh Zhunnun al-Mishri, yaitu mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga
hati sanubari dapat melihat Tuhan. Jika hati sanubari terbuka mata kepala akan
tertutup dan ketika itu yang dilihat hanya Tuhan. Ma'rifat ibarat sebuah
cermin, seorang arif, baik waktu tidur maupun waktu bangun, yang dilihat dalam
cermin hanya Tuhan. Zunnun al-Misri adalah tokoh yang memopulerkan konsep ini.
Ia pernah berujar, “Aku mengetahui Tuhan melalui Tuhan dan sekiranya bukan karena Tuhan
maka aku tak akan mengenal Tuhan.”.
6.
Fana' dan baqa', yaitu ‘penghancuran
diri’ (disappear/perish/annihilate) seseorang untuk menimbulkan kesadaran
hakikinya, dengan kata lain, hancurnya perasaan dan kesadaran tentang adanya
tubuh kasar. Sedangkan, baqa' ialah efek yang timbul setelah ‘penghancuran
diri’ berupa kesadaran hakiki.
Konsep fana' dan
baqa' dapat dipahami melalui pernyataan-pernyataan sebagai berikut: “Aku tahu
pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu pada-Nya
melalui diri-Nya maka akupun hidup.” “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga
aku mati; kemudian Ia membuat aku gila pada diri-Nya, dan aku pun hidup... Aku
berkata: Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila pada-Mu adalah kelanjutan
hidup.”
Sekarang timbul
pertanyaan yang mendalam, mampukah diri kita berjumpa dengan Allah SWT saat
hidup di muka bumi ini? Setiap manusia memiliki kesempatan berjumpa dengan
Allah SWT saat hidup di muka bumi, sepanjang manusia masih memiliki dua buah
unsur yaitu unsur nasut (biologis atau unsur jasmani) dan juga memiliki unsur
yang suci dan agung (lahut atau unsur ruhani), dalam hal ini adalah hati
seorang mukmin (atau manusia masih dalam kondisi fitrah yaitu berjiwa
muthmainnah).
Untuk bisa berjumpa
dengan Allah atau untuk bisa menjangkau Allah SWT bukanlah perkara mudah, kita
diwajibkan melakukan latihan spiritual secara konsisten dari waktu ke waktu
yang dimulai dari melaksanakan Diinul Islam dalam satu kesatuan secara perlahan
namun pasti. Sehingga tidak bisa sekali latihan langsung mendapatkannya (tidak
ada yang instan untuk bisa berjumpa dengan Allah SWT dan kita tidak bisa merasa
dekat dengan Allah SWT hanya sekali ibadah).
Sedangkan, hal-hal
yang dapat menghalangi atau menghambat perjumpaan dengan Tuhan selain dosa
ialah semua penyakit-penyakit hati dan penyakit sosial, seperti munafik,
berbohong, riya, mencuri, berzina, dan membunuh atau sesuatu yang bertentangan
dengan ketentuan hadits yang kami kemukakan berikut ini:
“Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi Saw bersabda: Allah ta’ala berfirman:”
Wahai anak Adam, jika engkau ingat kepada-Ku pasti Aku juga akan ingat
kepadamu, dan bila engkau lupa kepada-Ku Akupun akan ingat kepadamu. Dan jika
engkau taat pada-Ku pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku
berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan Aku. Engkau berpaling dari-Ku
padahal Aku menghadap padamu. Siapakah yang memberimu makan di kala engkau
masih janin dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai
terlaksanalah kehendakKu atas dirimu, maka setelah Aku keluarkan engkau ke alam
dunia engkau berbuat banyak maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan
kepada orang yang telah berbuat kebaikan kepadamu. (Hadits diriwayatkan oleh
Abu Nashr Rabi’ah bin Ali Al Ajli dan Ar Rafii’: 272:182)
Alangkah nikmatnya
jika kita mampu beribadah dengan kemampuan melihat dan berjumpa Allah SWT
melalui rasa keimanan bahwa Allah SWT selalu bersama diri kita serta dekat
dengan diri kita dan kitapun mampu menempatkan Allah SWT pada posisi yang
sebenarnya, yaitu dekat yang tidak bisa terpisahkan dengan diri kita. Akhirnya
hidup ini adalah syurga sebelum syurga menjadi kenyataan.
Untuk menambah
keyakinan bahwa kita mampu memperoleh dan merasakan syurga sebelum syurga.
Berikut ini akan kami kemukakan pernyataan dari Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah yang
menyebutkan bahwa guru beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, pernah berkata:
a. “Sesungguhnya di dunia terdapat syurga yang seperti
(merupakan representasi) syurga akhirat. Barangsiapa yang memasuki syurga dunia
itu maka ia kelak akan memasuki syurga akhirat, dan barangsiapa yang tidak
memasuki syurga dunia tersebut niscaya ia tidak akan memasuki syurga akhirat.” Adapun yang dimaksud
dengan syurga dunia dalam ucapan di atas adalah ketentraman, kebahagiaan dan
kesejukan hati tiada terkira dengan mengingat, mencintai dan merindukan Allah
dari waktu ke waktu, dari momen yang satu ke momen yang lainnya selama hayat
masih di kandung badan. Dan demikianlah yang terjadi pada
diri Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah. Dalam dada beliau terdapat syurga yang
membuat beliau tentram dan bahagia di mana pun berada.
b. Ibnul Qayyim Al Jauziyah juga menuturkan bahwa gurunya,
Ibnu Taimiyyah, pernah berkata kepadanya, dengan ucapan yang patut ditulis
dengan tinta emas, yaitu: “Apa yang dapat dilakukan musuh-musuhku
terhadapku? Kebun syurgaku berada dalam dadaku, yang jika aku pergi ia
senantiasa bersamaku dan tidak berpisah dariku; penahananku
adalah khalwah(menyepi untuk bermunajat kepada Allah SWT); pembunuhan
terhadapku adalah syahid; dan pengusiranku dari negeriku adalah wisata.”
c. Lalu Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah mengisahkan lebih
lanjut tentang kondisi kehidupan gurunya tersebut, yaitu: “Allah mengetahui bahwa saya sama
sekali tidak pernah melihat seorang pun yang lebih baik kehidupannya
dibandingkan beliau, meskipun beliau mengalami kesempitan, kesulitan, serta
sangat jauh dari kemewahan dan berbagai kenikmatan dunia. Bahkan sebaliknya,
beliau dipenjara, diancam dan dianiaya. Walaupun demikian, beliau termasuk
manusia yang paling baik kehidupannya, paling lapang dadanya, paling kuat hatinya,
paling senang jiwanya, (sampai-sampai) kesenangan dan kenikmatan hidup tersebut
memancar dari wajah beliau. Jika kami ditimpa ketakutan yang sangat dan
persangkaan yang buruk, serta merasa bahwa bumi ini menjadi sempit menghimpit,
maka kami mendatangi beliau. Tidaklah kami melihat dan mendengar ucapan beliau,
melainkan hal-hal negatif tersebut menjadi sirna, bahkan berubah menjadi
kelapangan, kekuatan, keyakinan dan ketentraman.
Maka Maha Suci Allah
yang telah memperlihatkan syurga-Nya (di dunia) kepada para hamba-Nya sebelum
pertemuan dengan-Nya, dan telah membukakan pintu-pintu syurga tersebut untuk
mereka di negeri amal, sehingga mereka mendapatkan kenikmatan, kelapangan dan
kebaikannya dalam rangka mengisi kembali kekuatan mereka untuk mencari dan berlomba-lomba
meraih syurga akhirat.”
Sebagian orang bijak
berkata, “Orang-orang yang patut dikasihani dari ahli dunia keluar meninggalkan
dunia sementara mereka belum merasakan indah kenikmatannya.” Ada yang bertanya,
“Apakah itu?” Orang bijak itu menjawab, “Cinta kepada Allah, tenteram
dengan-Nya, dan merindukan pertemuan dengan-Nya….” [dalam buku Raudhatul Muhibbīn,
hal. 148]
Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, berdasarkan uraian yang
kami kemukakan di atas, syurga sebelum syurga bukanlah sesuatu angan-angan
belaka. Namun hal itu benar adanya. Sekarang tergantung kepada diri kita
sendiri mampukah merealisasikannya dalam hidup yang tidak lama di muka bumi
ini.
Ya Allah, singkirkan tabir yang menggelapi perjalanan hidup ini dengan kasih-Mu, curahkanlah kasih sayang-Mu dengan hujan cinta-Mu, dan naungilah kehidupan ini dengan awan rahmat-Mu. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar