G. MEMPERSIAPKAN DIRI MENJADI MAKHLUK
YANG SESUAI DENGAN KEHOR-MATAN TUAN RUMAH.
Seorang yang
telah berketetapan hati untuk menunaikan ibadah haji atau umroh di Baitullah
maka yang bersangkutan dilarang keras oleh Allah SWT untuk berperilaku Rafas,
Fusuq dan Jidal. Hal ini sebagaimana dikemukakan di dalam surat Al Baqarah (2)
ayat 197 yang kami kemukakan berikut ini: “(Musim) haji adalah beberapa
bulan yang dimaklumi, Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan
mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat Fasik dan berbantah-bantahan
di dalam masa mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan,
niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal
adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.”
Lalu apa yang
dimaksud dengan hal itu semua? Rafas adalah mengeluarkan perkataan yang tidak
senonoh yang mengandung unsur kecabulan (porno), senda gurau berlebihan yang
menjurus kepada timbulnya nafsu birahi (syahwat), termasuk melakukan hubungan
badan. Sedangkan Fusuq adalah segala perbuatan maksiat baik disadari ataupun
tidak. Adapun perbuatan maksiat yang dimaksud adalah:
1. Takabur
atau sombong;
2. Merugikan
dan menyakiti orang lain dengan kata kata atau sikap (perbuatan);
3. Zhalim
terhadap orang lain, seperti mengambil haknya atau merugikannya;
4. Berbuat
sesuatu yang dapat menodai aqidah dan keimanannya kepada Allah SWT;
5. Merusak
alam dan makhluk lainnya tanpa ada alasan yang membolehkan;
6. Menghasut
ataupun memprovokasi orang lain untuk melakukan maksiat atau untuk menganiaya
orang lain.
Lalu apa itu
Jidal? Jidal adalah segala sikap dan perbuatan yang mengarah pada perdebatan,
permusuhan dan juga perselisihan yang diiringi dengan nafsu amarah, meskipun
untuk mempertahankan kebenaran dan memperjuangkan haknya, seperti berbantah
bantahan untuk memperebutkan kamar, kamar kecil, dan termasuk melakukan
demontrasi terhadap sesuatu hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Adapun
diskusi atau musyawarah tentang masalah agama dan kemaslahatan yang dilakukan
dengan cara yang baik dan santun diperbolehkan.
Sebagai tamu
Allah SWT di Baitullah tentu kita harus menghormati Allah SWT dengan sebaik
mungkin dan semaksimal mungkin. Salah satu bentuk penghormatan diri kita
kepada Allah SWT adalah dengan tidak
berbuat rafas, fasik serta jidal apalagi sampai mempersekutukan Allah SWT
dengan sesuatu di Baitullah. Kita harus bisa menyesuaikan perilaku diri kita
dengan perilaku atau akhlak Allah SWT yang mencerminkan nama nama Allah SWT
yang indah (asmaul husna) tidak hanya saat di “Tanah Haram” akan tetapi juga di
“Tanah Halal”.
Kita juga
harus memahami dan menghayati tentang perilaku diri kita sebagai tamu dihadapan
Allah SWT selaku tuan rumah. Dimana saat kita bertamu jangan sampai kita
berbuat sesuatu yang mengakibatkan kemarahan Tuan Rumah akibat ulah diri kita
yang berbuat di luar kepatutan seperti menantang Allah SWT, menginjak atau
merusak Ka’bah atau berbuat onar di Baitullah, atau membawa jimat yang
dipamerkan dihadapan Ka’bah, atau berperilaku yang bertentangan dengan perilaku
dan akhlak Tuan Rumah.
Contohnya,
Allah SWT sangat menyukai kebersihan, namun saat kita berada di Baitullah
justru kita sering membuang sampah sembarangan. Allah SWT sangat menghargai
sikap sopan lagi santun, namun yang terjadi kita sibuk berswaphoto ria tanpa
ijin dan tanpa menghiraukan Tuan Rumah seolah olah Baitullah itu milik kita.
Jika ini sampai terjadi maka jangan pernah salahkan Allah SWT jika Allah SWT
menunjukkan kebesaran dan kemahaan-Nya dengan mengusir tamu yang datang dengan
berbagai macam cara seperti tidak tahu arah jalan pulang, tidak mampu melihat
Ka’bah, dipermalukan dengan melorotnya kain ihram, mulutnya tiba-tiba sariawan
sehingga tidak bisa berkata-kata dan lain sebagainya.
Untuk itu jangan sampai diri kita
berbuat dan bertindak yang pada intinya meremehkan kemahaan dan juga kebesaran
Allah SWT. Lalu meniadakan keberadaan Allah SWT yang diikuti dengan mengurangi
kemampuan Allah SWT dibandingkan dengan sesuatu, atau jangan pernah sekalipun
kita mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu, dimanapun, kapanpun, dalam
kondisi apapun, apalagi di Baitullah. Intinya apa yang kita kemukakan dalam
Talbiyah yang kita kemukakan harus kita pegang teguh terutama tidak
mempersekutukan Allah SWT dengan apapun juga.
Dan jangan pernah pula mengambil hak Allah SWT dengan membuat ketentuan baru
yang berhubungan dengan ibadah umroh seperti mengadakan ba’dal umroh, melakukan
umroh sunnah dengan cara mengambil Miqat dari Masjidil Haram lalu ke Tan’im,
atau Ji’ronah atau ke Hudaibiyah lalu kembali lagi ke Masjidil Haram untuk
Thawaf, Sa’i dan Tahallul.
Tamu
tetaplah tamu. Tamu yang baik lagi yang menyenangkan Tuan Rumah adalah tamu
yang tahu diri yang tidak mengatur Tuan Rumah di Baitullah. Tamu harus
melaksanakan segala ketentuan Tuan Rumah, bukan menjadikan dirinya menjadi
seperti Tuan Rumah, atau menjadikan Allah SWT sebagai tamu di Baitullah. Ingat,
pada waktu kita menunaikan ibadah haji (ibadah umroh) kita hanyalah tamu yang
kedudukannya tidak akan mungkin sejajar dengan Allah SWT selaku Tuan Rumah.
Sebagai mahkluk
yang terhormat sudah sepatutnya diri kita berperilaku yang terhormat dimanapun,
kapanpun dan dalam kondisi apapun juga.
Apalagi saat diri kita melaksanakan ibadah umroh atau saat diri kita berada di
Baitullah, maka kita wajib menunjukkan kehormatan yang kita miliki dihadapan
Allah SWT selaku Yang Maha Terhormat, terkecuali jika kita tidak memiliki
keinginan sama sekali untuk menjadi Tamu Yang Dibanggakan oleh Tuan Rumah.
Hal lain
yang harus kita jadikan pedoman adalah setelah diri kita mampu menjadikan diri
kita makhluk yang terhormat di Baitullah adalah selalu berprsangka baik kepada
Allah SWT selaku Tuan Rumah. Hilangkan dalam diri buruk sangka, pikiran pikiran
negatif seperti tidak mampu, tidak sanggup, panas, berat, penuh, pusing melihat
banyak orang dalam pelaksanaan ibadah umroh. Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman:
Aku selalu menurutkan persangkaan hambaKu terhadap diriKu, jika ia bersangka
baik, maka ia dapat balasannya, demikian pula bila ia berprasangka jahat, maka
ia dapat balasannya. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Ath Thabrani, Ibnu An
Najjar).”
Semakin
tinggi buruk sangka atau pikiran negatif dalam diri semakin berat kita
melaksanakan ibadah umroh dan semakin jauh diri kita kepada Allah SWT yang pada
akhirnya kesempatan untuk merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT
hilang karena ulah dari diri kita sendiri.
Allah SWT
selaku Tuan Rumah di dalam pelaksanaan ibadah umroh dapat dipastikan
bertanggungjawab kepada seluruh tamu yang diundang-Nya. Sekarang tergantung
diri kita berprasangka kepada Allah SWT, jika kita berprasangka Allah SWT
bertanggungjawab maka Allah SWT siap memberikan bantuan dan menolong diri kita.
Namun jika kita berprasangka Allah SWT lepas tanggungjawab maka Allah SWT pun
akan bersikap yang sama dengan sikap kita terutama dengan sikap buruk sangka,
pikiran pikiran negatif yang
mengakibatkan diri kita berada di dalam kehendak setan sang laknatullah. Akhirnya
hasil akhir dari pelaksanaan ibadah umroh yang seperti ini adalah lelah, letih,
lesu, dan lain sebagainya seperti halnya orang yang berpuasa hanya mendapatkan
lapar dan haus semata.
Perbanyaklah
berdzikir kepada Allah SWT (selalu mengingat Allah SWT) saat melaksanakan ibadah
umroh, dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Hal ini penting kita lakukan
karena pada saat diri kita menunaikan ibadah umroh, ketahuilah ahwa (hawa
nafsu) dan syaitan masih ada dan akan tetap menggangu ibadah umroh yang kita
laksanakan. Adanya usaha mengingat Allah SWT melalui dzikir berarti kita selalu
berusaha untuk dekat kepada Tuan Rumah yang pada akhirnya dapat menghilangkan
pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan syaitan yang mengganggu diri kita.
Sebagai tamu
yang akan melaksanakan ibadah umroh, jangan hanya karena masih ada waku menunggu keberangkatan menunaikan ibadah umroh
lalu kita menunda-nunda persiapan yang seharusnya kita siapkan lebih awal.
Terutama persiapan-persiapan yang membutuhkan waktu yang lama seperti
mempersiapkan kesucian hati dan persiapan bekal keimanan dan ketaqwaan, serta
memperoleh ilmu dan pemahaman tentang hakekat ibadah haji atau umroh yang tidak
melanggar syariat, yang kesemuanya tidak turun dari langit kepada kita secara
tiba-tiba. Butuh waktu untuk memperolehnya karena ketiganya merupakan hasil
dari proses jangka panjang yang konsisten yang dibarengi komitmen yang kuat
barulah ketiganya bisa kita peroleh. Jika kita berpedoman nanti saja menjelang
keberangkatan baru mulai mempersiapkan diri berarti kita sendirilah yang
mengundang syaitan melaksanakan aksinya kepada diri kita yang pada akhirnya persiapan
kita minim, ilmu dan pemahaman kita minim, kesehatan juga minim, yang pada
akhirnya kita akan memperoleh umroh yang sesuai dengan kehendak setan sang
laknatullah. Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita.
H.
MEMAHAMI
TENTANG PEMBAYARAN DAM.
Dam menurut
bahasa artinya darah, sedangkan menurut istilah adalah mengalirkan darah dengan
menyembelih ternak yaitu kambing, unta atau sapi dalam rangka memenuhi ketentuan
ketentuan ibadah haji terutama jamaah yang melaksanakan ibadah Haji Tamattu
atau Haji Qiran serta ketentuan jamaah umroh yang melanggar ketentuan tertentu.
Dam terdiri dari 2(dua) macam yaitu:
1.
Dam Nusuk (sesuai dengan ketentuan manasik) adalah dam
yang dikenakan bagi jamaah yang mengerjakan Haji Tamattu atau Haji Qiran (bukan
karena melakukan kesalahan). Jamaah Haji Indonesia hampir seluruhnya menunaikan
ibadah Haji dengan tata cara Haji Tamattu sehingga seluruh jamaah haji
Indonesia diharuskan membayar Dam yang bukan karena melakukan kesalahan.
2. Dam Isa’ah adalah dam yang dikenakan bagi orang yang
melanggar aturan atau mela-kukan kesalahan yaitu: (1) Melanggar aturan Ihram
Haji atau Ihram Umrah; (2) meninggalkan salah satu wajib Haji atau wajib Umroh
yang terdiri dari:
a.
Tidak
berihram atau tidak berniat dari Miqat bagi yang berhaji atau yang umroh;
b.
Tidak
Mabid di Muzdalifah bagi yang berhaji;
c.
Tidak
Mabid di Mina bagi yang berhaji;
d. Tidak melontar Jumroh bagi yang
berhaji;
e.
Tidak
Thawaf Wada’ bagi yang berhaji atau yang
umroh.
Untuk
menunaikan atau membayar dam yaitu dengan menyembelih seekor kambing sesuai
dengan ketentuan hewan kurban. Jika jamaah tidak mampu membayar Dam maka harus
diganti dengan berpuasa 10 (sepuluh) hari yaitu 3 (tiga) hari di Makkah sebelum
Wukuf di Padang Arafah dan 7(tujuh) hari di tanah air dilakukan secepatnya.
Apabila puasa 3(tiga) hari di Makkah tidak dapat dilaksakan karena suatu hal
maka harus di qadha sesampainya di tanah air dengan ketentuan 3(tiga) hari
dengan 7(tujuh) hari dengan dipisahkan 4(empat) hari.
I.
MEMAHAMI
BAHWA RUH YANG MENUNAIKAN IBADAH UMROH.
Ruh adalah bagian dari Nur Allah SWT
sehingga ruh pasti tidak bisa dipisahkan dengan Allah SWT dan sangat membutuhkan
Allah SWT selaku Dzat Yang Maha Bercahaya. Kondisi ini tidak bedanya dengan
sinar atau cahaya lampu yang sangat membutuhkan lampu, karena lampu adalah
sumber dari cahaya. Disinilah letak pentingnya ruh bercahaya dengan bercahaya ruh
(maksudnya aura ruh) maka akan tampillah keindahan dari ruh itu sendiri.
Untuk itu lihatlah bunga yang indah
yang baru akan terlihat indah jika ada cahaya yang meneranginya. Bunga yang
indah di siang hari akan hilang keindahannya bersama gelapnya malam. Hal yang
samapun berlaku pada ruh diri kita sendiri dimana cahaya dari ruh akan hilang
jika tidak tersambung dengan Allah SWT selaku Yang Maha Bercahaya.
Ruh yang tidak lain adalah jati diri
kita yang sesungguhnya tidak boleh melepaskan diri dari Allah SWT selaku Yang
Maha Bercahaya, karena hanya dengan bersinergi dengan Allah SWT maka ruh akan
meningkat cahayanya (meningkat kualitasnya) sehingga akan mampu mengalahkan ahwa
(hawa nafsu) dan juga setan serta dengan bersinergi dengan Allah SWT maka sifat
sifat alamiah ruh yang mencerminkan nilai nilai kebaikan yang sesuai dengan
nama nama Allah SWT yang indah lagi baik (asmaul husna) mampu menjadi perbuatan
kita sehingga diri kita mampu menjadi bentuk dari penampilan Allah SWT saat
hidup di muka bumi, dan inilah hakekat dari penghambaan dan kekhalifahan yang
dikehendaki Allah SWT.
Adanya
kesamaan yang paling mendasar antara ruh dengan Allah SWT (karena ruh
berasal dari Allah SWT semata) maka saat diri kita melaksanakan ibadah umroh terjadilah
apa yang dinamakan dengan proses “recharging” langsung antara ruh diri kita
dengan sumber-Nya di tempat terbaik. Sehingga antara diri kita yang
sesungguhnya (ruh) dipertemukan, disambung-kan dengan kebesaran dan kemahaan
Allah SWT yang pada akhirnya kefitrahan ruh tetap terjaga kefitrahannya atau
diri kita difitrahkan kembali oleh Allah SWT melalui menunaikan ibadah umroh.
Disinilah letak dari ibadah umroh adalah ibadah ruhiyah.
Kondisi ini
menunjukkan bahwa hanya ruh yang dapat bertemu dengan Allah SWT, atau
hanya ruh yang dapat dipertemukan dengan Allah SWT, atau hanya ruh yang masih
sesuai dengan konsep aslinya (yang masih fitrah) yang dapat menjadi tamu Allah
SWT dikarenakan ruh asalnya dari Allah SWT sehingga hanya yang berkesesuaian
dengan Allah SWT sajalah yang mampu bersinersgi dengan Allah SWT dan yang bisa
memperoleh manfaat yang terdapat dibalik perintah melaksanakan ibadah haji atau
umroh.
Sekarang
bagaimana dengan jasmani yang asalnya dari sari pati tanah? Jasmani
tidak bisa dipergunakan untuk berkomunikasi dengan Allah SWT. Jasmani juga tidak
bisa diperguna-kan untuk menghadap Allah SWT sehingga jasmani tidak bisa
menerima kebesaran dan kemahaan Allah SWT karena adanya perbedaan karakteristik
yang tidak akan mungkin dapat disamakan. Hal yang bisa kita lakukan saat
menunaikan ibadah umroh dan saat melaksanakan Diinul Islam yang kaffah adalah untuk
selalu mempergunakan jasmani yang sehat untuk kepentingan ruh selalu dalam
kefitrahannya. Dan jangan lupa jasmanipun harus kita jaga kesehatannya dengan
memperhatikan kebutuhan jasmani yang sesuai dengan konsep ilmu kesehatan dan
ilmu gizi serta olah raga yang teratur.
Selanjutnya jika ibadah umroh
yang kita laksanakan sesuai dengan yang kehendak Allah SWT maka terjadilah proses
sinergi antara ruh dengan kebesaran dan kemahaan Allah SWT. Sehingga hasilnya
mampu meningkatkan kekuatan dan kesehatan jasmani atau dengan kata lain mampu
memberikan dampak positif kepada kesehatan jasmani. Selain daripada itu dengan
fitrahnya ruh maka ruh akan dapat mengalahkan
ahwa (hawa nafsu) dan juga setan sehingga dapat mengembalikan jiwa fujur
menjadi jiwa taqwa.
Sekali lagi
kami kemukakan bahwa yang sesungguhnya melaksanakan ibadah umroh secara hakekat bukanlah jasmani, melainkan ruh
yang menunaikannya. Jasmani harus tunduk patuh kepada kehendak ruh. Dan jika
sampai diri kita tidak mampu melakukan hal ini dengan baik dan benar maka
hakekat dari menunaikan ibadah umroh tidak akan pernah terjadi serta kita pun
tidak akan bisa merasakan manfaat yang hakiki dari pelaksanaan ibadah umroh,
terkecuali merasakan apa yang dinamakan lelah, letih dan cukup sekali
menunaikan ibadah umroh. Ayo segera persiapkan ruh yang kita miliki untuk
menunaikan ibadah umroh karena yang melaksanakan ibadah haji atau umroh yang
hakiki adalah ruh, bukan jasmani.
Jamaah
umroh sekalian, itulah 9 (sembilan) persiapan yang harus dipersiapkan dengan
sebaik-baiknya guna mencapai ibadah umroh yang dikehendaki oleh Allah SWT dan
semoga Allah SWT membantu diri kita mempersiapkan hal ini dengan
sebaik-baiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar