Katakan saat ini kita
telah melaksanakan ibadah umroh lalu telah pula merasakan rasa kembali fitrah
setelah menunaikan ibadah umroh. Lalu apa yang kita rasakan setelah berjalannya
waktu mendengar Talbiyah atau mengenang saat menunaikan ibadah umroh atau setelah
melihat photo-photo perjalanan ibadah umroh? Akan terasa adanya rasa sedih,
rindu, bergetar atau ada perasaan terharu dan berharap untuk bisa kembali untuk
menunaikan ibadah umroh lagi dan lagi. Timbul pertanyaan, ada apa dibalik
adanya perasaan perasaan yang kami kemukakan di atas, atau ada apa dibalik
keinginan diri kita untuk bisa kembali lagi dan lagi untuk menunaikan?
Untuk menjawab
pertanyaan ini, perkenankan kami mengemukakan sebuah cerita sebagai berikut:
Seperti telah kita ketahui bersama keindahan taman laut Bunaken ada pada
kehidupan di dalam lautnya. Katakan kita pergi Bunaken, namun kita hanya mampu
menikmati pemandangan taman laut yang indah tersebut hanya di atas kapal, lalu
apa yang kita rasakan? Dari atas kapal memang kita bisa menikmati pemandangan
kehidupan bawah laut yang sangat indah. Namun akan terasa sangat berbeda jika
kita bisa langsung menyelam ke dalam laut (diving) lalu menikmati pemandangan
bawah laut bersamaan dengan aktivitas menyelam.
Lalu kita merasa
takjub dan senang dengan apa yang kita lihat secara langsung di bawah laut.
Sekarang jika sudah begini keadaannya, maukah kita kembali lagi ke Bunaken
untuk melakukan penyelaman melihat keindahan kehidupan bawah laut? Jika kita
pernah merasakan secara langsung dan terlibat secara langsung betapa indahnya
kehidupan di bawah laut di Bunaken maka kita akan bersedia kembali untuk pergi
kesana. Akan tetapi jika kita hanya merasakan rasa lelah semata saat berwisata
ke taman laut Bunaken, atau hanya melihat keindahan Bunaken dari atas kapal,
kemungkinan besar orang yang seperti ini tidak akan mau kembali ke Bunaken
karena tidak bisa menikmati dan merasakan keindahan bawah laut Bunaken secara
langsung.
Hal yang samapun
terjadi pada orang orang yang menunaikan ibadah umroh setelah mereka pulang
dari menunaikan ibadah umroh. Dimana hanya orang orang yang mampu merasakan
rasa diterima oleh Allah SWT saat di Baitullah lalu mampu pula menikmati
hakekat rangkaian ibadah umroh yang
tidak melanggar syariat, yang akan selalu merindukan untuk kembali pergi ke
tanah suci lagi dan lagi dan lagi tanpa pernah ada batasan.
Bagi jamaah umroh
yang hanya merasakan rasa capek, lelah dan letih semata, atau jamaah jamaah
yang merasa terusir dari hadapan Tuan Rumah maka orang yang seperti ini akan biasa
biasa saja mensikapi atas apa apa yang pernah dilakukannya saat menunaikan
ibadah umroh; atau bahkan mereka tidak bereaksi saat mendengar dan
diperdengarkan Talbiyah yang dikumandangkan, yang akhirnya mereka tidak
mempunyai keinginan untuk balik dan kembali lagi untuk melaksanakan ibadah
umroh. Akhirnya ia mengatakan cukup sekali menunaikan ibadah umroh.
Untuk lebih
mempertegas lagi tentang rangkaian pelaksanaan ibadah umroh, ketahuilah bahwa
beribadah di Masjidil Haram serta ziarah di Masjid Nabawi yang ada di kota
Madinah, memang sangat terasa luar biasa nikmatnya. Hal yang harus kita jadikan
pedoman adalah ukuran dari terasa luar biasa nikmatnya beribadah saat
menunaikan ibadah umroh bukanlah ukuran keberhasilan diri kita menunaikan
ibadah umroh. Alangkah ruginya jika kita yang pergi kesana hanya merasakan
nikmatnya beribadah tanpa bisa bertemu Allah SWT selaku tuan rumah dan
merasakan rasa diterima oleh Allah SWT yang kemudian rasa ini terus bisa kita
rasakan selama hayat masih di kandung badan. Disinilah letak yang terpenting
dari menunaikan ibadah umroh dan dari sini pulalah yang sebenarnya yang mampu
menggetarkan hati dan perasaan kita jika mendengar suara Talbiyah
dikumandangkan yang pada akhirnya kita ingin selalu kembali dan kembali menunaikan
ibadah umroh.
Jadikan nilai
pertemuan dengan Allah SWT atau rasa bertemu dan diterima oleh Allah SWT selaku
Tuan Rumah dari pelaksanaan ibadah umroh menjadi tujuan utama, sedangkan
merasakan kenikmatan beribadah di tempat terbaik yang ada di muka bumi ini
merupakan bonus dari menunaikan ibadah umroh. Hal ini dikarenakan merasakan
kenikmatan beribadah saat menunaikan ibadah umroh tidak menjamin diri kita bisa
bertemu dengan Allah SWT atau merasakan rasa diterima oleh Allah SWT. Akan
tetapi jika kita mampu bertemu dan diterima oleh Allah SWT maka secara otomatis
merasakan kenikmatan beribadah pasti dapat kita rasakan sepenuhnya dan mampu
kita rasakan tidak hanya di saat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, melainkan
sampai di tanah air sepanjang hayat masih di kandung badan.
Jika saat ini kita
sudah pernah menunaikan ibadah umroh, ada baiknya kita introspeksi diri tentang
apa apa yang pernah kita lakukan saat beribadah umroh. Lalu bertanyalah kepada
diri sendiri, sudahkah kita bertemu dengan Allah SWT dan merasakan rasa
diterima oleh Allah SWT selaku Tuan Rumah? Apakah kita hanya merasakan
nikmatnya beribadah di tempat terbaik di muka bumi tanpa bertemu dengan Allah
SWT selaku Tuan Rumah? Jika kita hanya mampu merasakan nikmatnya beribadah
tanpa bertemu dengan Allah SWT maka hasilnya sangat berbeda jauh dibandingkan
dengan orang yang bertemu dan diterima oleh Allah SWT maka secara otomatis bisa
merasakan nikmatnya beribadah dihadapan Tuan Rumah.
Dan orang yang
seperti ini biasanya akan mampu menahan diri untuk tidak melaksanakan ibadah
umroh berulang ulang, lagi dan lagi. Namun ia akan fokus kepada khalayak ramai
dengan memberikan hasil kesalehan pribadi yang diperoleh dari pelaksanaan
ibadah umroh tampil dalam kesalehan sosial di tengah masyarakat, sebagai bukti
dari napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim as, dan keluarganya. Lalu yang manakah
diri kita?
Sebagai hamba-Nya
yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi jangan pernah menjadikan ibadah umroh
sebagai ibadah yang penuh perjuangan. Justru nilai perjuangan yang sesungguhnya
adalah setelah diri kita kembali ke tanah air. Kita bisa merasakan nikmatnya
ibadah umroh di Baitullah dikarenakan adanya peraturan khusus berlaku di
tempat-tempat tersebut. Jadi bukanlah sesuatu yang istimewa jika kita mampu
merasakan nikmatnya beribadah ibadah umroh karena adanya fasilitas yang berbeda
yang ditetapkan Allah SWT. Dan jangan sampai diri kita hanya berhasil bertemu
dengan Allah SWT dan juga merasakan betapa nikmatnya ibadah umroh di Baitullah,
sehingga mampu menjadi pemenang serta kembali fitrah. Namun menjadi pecundang
saat dipertandingan yang sesungguhnya yang dimulai dari kepulangan diri kita
dari melaksanakan ibadah umroh. Inilah salah satu ironi yang terjadi di tengah
tengah masyarakat pada umumnya.
Mampu menunaikan
ibadah umroh berkali kali, namun hanya untuk kepentingan diri sendiri tanpa
pernah bisa menunjukkan kesalehan pribadi yang terwujud dalam kesalehan sosial.
Disinilah salah satu letak kelemahan yang paling kentara setelah jamaah umroh
pulang ke tanah air, yaitu tidak mampu menunjukkan kualitas dirinya dihadapan
masyarakat dengan selalu berbuat kebaikan dalam kerangka ibadah ikhsan sebagai
bentuk dari diterimanya kehadiran diri kita diterima oleh Allah SWT. Allah SWT
memang telah memperkenankan kita untuk menunaikan ibadah umroh, namun
ketahuilah ibadah umroh ini bukan untuk
menjadikan manusia termasuk diri kita menjadi pecundang menghadapi ahwa (hawa
nafsu) dan setan apalagi menyusahkan diri dan orang lain. Allah SWT
memperkenankan kita beribadah umroh agar diri kita sukses dipertandingan yang
sesungguhnya yaitu hari hari tanpa adanya fasilitas khusus (maksudnya adanya
perbedaan aturan main antara di Tanah Haram dengan di Tanah Halal sebagai
contoh nilai shalat di Masjidil Haram nilainya berbeda dengan shalat di Tanah
Halal).
Justru yang sering
terjadi adalah kita mampu bertemu Allah SWT dan merasakan nikmatnya ibadah
selama menunaikan ibadah umroh. Namun tidak mampu bertemu dengan Allah SWT dan
juga tidak mampu merasakan nikmatnya ibadah setelah kembali di tanah air. Untuk
itu perhatikan dengan seksama apa yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat
An Nahl (16) ayat 92 berikut ini: “dan janganlah kamu seperti seorang
perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi
cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu
di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari
golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan
Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu
perselisihkan itu.”
Allah SWT melalui
surat An Nahl (16) ayat 92 telah mengingatkan melalui perumpamaan seorang yang
menguraikan benang yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai karena
ulah dirinya sendiri. Ini menunjukkan hasil kerja keras hilang karena kita
tidak bisa mempertahankan apa apa yang telah kita perjuangkan. Hal yang samapun
berlaku saat diri kita menunaikan ibadah umroh yang hanya mampu bertemu dengan
Allah SWT dan merasakan nikmatnya ibadah. Namun apa apa yang pernah kita capai
dan raih saat menunaikan ibadah umroh di Baitullah (di Tanah Haram) akhirnya
hilang setelah kembali ke tanah air (di Tanah Halal) karena ketidakmampuan diri
kita serta ketidakinginan diri kita untuk berbagi ke sesama akibat kita tidak
memiliki ilmu dan pemahaman ibadah umroh yang komprehensif.
Ingat, Allah SWT
belum dan bahkan tidak akan tersenyum bangga kepada diri kita, sepanjang
manfaat yang hakiki dari pelaksanaan ibadah umroh tidak bisa dinikmati oleh
orang lain, tidak bisa dinikmati oleh keluarga, tidak bisa dinikmati oleh
masyarakat, tidak bisa dinikmati oleh bangsa dan negara dan Allah SWT juga
belum bangga jika kita belum bisa berkarya nyata yang berjangka panjang yang bisa dinikmati oleh generasi yang datang di
kemudian hari.
Setelah diri kita
kembali ke tanah air dari menunaikan ibadah umroh bukan untuk menjadikan diri
kita malas atau tidak mau keluar rumah menunggu sampai waktu tertentu, baru
melaksanakan aktivitas kembali (dalam hal ini masih adanya tradisi tertentu di
dalam masyarakat yang belum memperbolehkan seseorang keluar rumah jika belum 40
hari sejak kepulangannya dari Baitullah).
Ayo bersegeralah
untuk membuktikan hasil dari pelaksanaan ibadah umroh yang telah kita
laksanakan sesegera mungkin, jangan malu melaksanakannya, jangan ditunda tunda
sampai kita mampu melaksanakannya. Semakin cepat kita membuktikannya semakin
baik dan semakin cepat keluarga, masyarakat, bangsa dan negara merasakan
hasilnya serta semakin cepat pula Allah SWT tersenyum bangga kepada diri kita.
Agar Allah SWT selalu tersenyum bangga kepada diri kita setelah diri kita mampu
menunaikan ibadah umroh. Dan agar diri kita mampu sesuai dengan yang
dikehendaki oleh Allah SWT setelah menunaikan ibadah umroh.
Berikut ini akan kami
kemukakan hal hal yang harus bisa kita laksanakan sebagai bukti kita telah
melaksanakan ibadah umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT di tanah air
sepanjang hayat masih di kandung badan, dimanapun dan kapanpun, yaitu:
A.
BERIHRAM SEPANJANG
HAYAT MASIH DI KANDUNG BADAN.
Ihram berasal dari kata “ahrama” yang artinya mengharamkan, dimana saat
kita berihram umroh maka saat itu juga kita terikat dengan sesuatu yang
diharamkan dengan tidak melakukan tindakan tindakan yang bertentangan dengan
kebesaran dan kemahaan Allah SWT. Lalu apakah hanya saat diri kita melaksanakan
ibadah umroh saja kita berihram yang bermakna terikat dengan sesuatu yang yang
diharamkan Allah SWT? Berihram dengan memakai dua helai kain putih tanpa
berjahid secara syariat memang harus kita kenakan saat diri kita melaksanakan
ibadah umroh di Baitullah. Namun bukan berarti setelah selesai diri kita
menunaikan ibadah umroh di Baitullah kita berhenti total untuk tidak lagi
berihram.
Berihram secara syariat benar adanya saat diri kita melaksanakan ibadah
umroh di Baitullah, namun secara hakekat kita harus tetap berihram dimanapun,
kapanpun dan dalam kondisi apapun dengan tidak berbuat sesuatu hal yang telah
diharamkan oleh Allah SWT. Ingat, kebaikan dari sesuatu yang telah diharamkan
oleh Allah SWT bukan untuk kepentingan Allah SWT melainkan untuk kepentingan
diri kita yang mau melaksanakan ketentuan dimaksud.
Jika saat ini kita
telah melaksanakan ibadah umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT maka teruslah berihram atau berihromlah
secara hakekat terus menerus sepanjang hayat masih di kandung badan dengan
tidak melakukan tindakan-tindakan, atau perbuatan perbuatan yang telah
diharamkan oleh Allah SWT seperti malas, sombong, angkuh, membanggakan
keturunan, membanggakan pangkat dan jabatan, merusak lingkungan, korupsi,
kolusi, nepotismme, berperilaku kejam kepada sesama makhluk, yang pada intinya
jangan pernah melakukan tindakan yang paling disukai oleh syaitan, terkecuali
kita ingin menjadi teman yang berguna bagi syaitan.
Kita bisa juga
melakukan hakekat ihram di tanah air (di Tanah Halal) dengan selalu melepaskan
diri dari segala kesombongan, dengan meniadakan keangkuhan dan ketamakan,
dengan tidak pernah merasa benar sendiri karena kekayaan, karena kedudukan,
karena pangkat dan jabatan, atau karena keturunan yang kita miliki.
Dengan kita berihram
di tanah air secara hakekat (di Tanah Halal), maka diri kita akan menjadi
pribadi-pribadi rendah hati, berbudi pekerti luhur, selalu menjadi tangan di
atas, cepat tanggap dengan lingkungan, mau mewakafkan waktunya untuk kebaikan
umat, serta menginvestasikan kekayaannya untuk membuat karya nyata yang
bersifat jangka panjang sehingga kita berguna bagi masyarakat, bangsa dan
negara.
Dan jika kita mampu
melaksanakan hakekat ihram di tanah air setelah melaksanakan ibadah umroh maka
terjadilah apa yang dinamakan keselarasan, keserasian dan keseimbangan Habblum
minnallah wa Habblum minannass (atau keseimbangan kehidupan dunia dengan
kehidupan akhirat) dalam hidup dan kehidupan kita sehari-hari. Kita akan mampu
merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT melalui khusyu’nya setiap
ibadah yang kita laksanakan dari waktu ke waktu dan juga terjadinya hubungan
yang baik ke sesama umat manusia.
Hidup
menjadi lebih berwarna dan bermakna sehingga masyarakat madani dapat tercipta
atau mampu menjadikan diri kita menjadi orang yang berguna bagi orang lain
seperti halnya lampu yang mampu menerangi kegelapan. Akan tetapi jika kita
hanya mampu memahami bahwa ihram/berihram hanya bisa dilakukan di Baitullah
semata, berarti setelah kita kembali ke tanah air kita telah memberikan
kesempatan kepada syaitan untuk melaksanakan aksinya kepada diri kita.
Hal
ini dikarenakan kita telah melepaskan diri atau keluar dari kehendak Allah SWT
sehingga berbuat kebaikan atau berperilaku baik hanya saat menjadi tamu di
Baitullah, namun setelah kembali ke tanah air merasa tidak perlu lagi
berperilaku baik karena sudah tidak berihram lagi atau sudah tidak terikat
dengan larangan larangan dalam berihram. Semoga kita yang telah pulang
menunaikan ibadah umroh tidak melakukan hal seperti itu, terkecuali jika ibadah
umroh yang kita laksanakan masuk dalam kategori umroh yang sesuai dengan
kehendak syaitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar