D. MEMPEROLEH REZEKI
YANG TIDAK ADA HABIS HABISNYA.
Para penduduk syurga akan
memperoleh rezeki yang tidak pernah ada habis-habisanya; kalau gambaran ahli syurga
selalu disediakan minuman, buah-buahan, daging dan sebagainya, dan tidak pernah
merasakan kenyang atau tidak pusing dan tidak mabuk setelah memakan atau
meminumnya. Disediakan pelayan dan ditemani oleh bidadari yang cantik dan
sebaya umurnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Ini
adalah kehormatan (bagi mereka). Dan sungguh, bagi orang-orang bertaqwa
(disediakan) tempat kembali yang terbaik. (yaitu) syurga ‘And yang
pintu-pintunya terbuka bagi mereka. Di dalamnya mereka bersandar (di atas
dipan-dipan) sambil meminta buah-buahan yang banyak dan minuman (di syurga itu)
dan disamping mereka (ada bidadari-bidadari) yang redup pandangannya dan sebaya
umurnya. Inilah apa yang dijanjikan kepadamu pada hari perhitungan. Sungguh,
inilah rezeki dari Kami yang tidak ada habis-habisnya. (surat Shad (38) ayat
49-54).” Lalu bagaimana kita akan mendapatkan kondisi seperti diatas
saat di kehidupan dunia?
Dengan beriman dan bertakwa
hanya kepada Allah semata, maka kita akan dicukupkan rezekinya oleh Allah dan
akan diberikan rezeki dari berbagai arah (min haisu la yahtasib). Dan sikap
kita di dunia terhadap rezeki yang diberikan oleh Allah SWT juga sangat menentukan
kebahagian hidup itu sendiri seperti sikap qonaah (merasa cukup) terhadap rezeki
yang sudah diberikan oleh Allah, orang qonaah adalah orang yang paling kaya
dari pada kaya dengan limpahan harta, tetapi mereka (orang yang kaya) selalu
kurang dan tidak pernah puas dengan pemberian Allah, sehingga orang yang
seperti ini akan tersiksa di dunia, walau banyak harta dan serba tercukupi.
E. SEMUANYA DILIPUTI
DENGAN KEMUDAHAN, DAN APAPUN YANG DIINGINKAN PASTI TERPENUHI.
Meski kehidupan dunia
adalah penjara bagi kaum beriman lagi bertaqwa, akan tetapi kehidupan dunia
bukan pula berarti neraka bagi orang yang beriman lagi bertaqwa. Keimanan dan
ketaqwaanlah yang menuntun mereka menikmati hidup dalam kecintaan kepada Allah
SWT dan berbahagia karena bisa menyuguhkan ketaatan kepada Allah SWT. Aduhai
sungguh nikmatnya jika kita mampu menjadi orang yang beriman dan bertaqwa. Hal
ini sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Barangsiapa yang beramal shaleh baik lelaki
maupun wanita dalam keadaan beriman, maka Kami akan berikan kepadanya kehidupan
yang baik dan Kami akan berikan kepada mereka balasan yang lebih baik dari apa
yang mereka perbuat (surat An Nahl ayat 97).”
Ibnu Abbas ra, menjelaskan
bahwa ‘kehidupan yang baik’ itu adalah kebahagiaan di dunia (sebagaimana dikemukakan dalam Zaadul Masiir
karya Ibnul Jauzi (4/125).
Sedangkan Ibnul
Qoyyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa makna kehidupan yang baik (indah) itu
adalah syurga dunia (dalam Al-Jawaabul
Kaafi (1/139)).
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah juga menyatakan: “Manusia jika
terus menerus taat kepada Allah secara lahir dan bathin, ia berada dalam
kenikmatan iman, dan ilmu memasukinya pada sisi-sisinya, maka ia berada di
syurga dunia. Sebagaimana disebutkan dalam hadits: Jika kalian bertemu dengan
kebun-kebun syurga, bergabunglah. Ditanyakan kepada Nabi: Apakah kebun-kebun
syurga itu? Nabi menjawab: Majelis-majelis dzikir (ilmu) (dalam kitab Majmu’ al-Fataawa (14/160)).
Lain halnya dengan Umar
bin al-Khaththab ra, ia tidak kerasan (tidak betah) tinggal di dunia kalau
tidak ada 3 (tiga) hal: (1) Shalat; (2) Duduk di majelis ilmu; (3) Berjihad di
jalan Allah. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Umar ra, berikut ini: “Kalaulah
tidak karena 3 (tiga) hal, aku ingin segera berjumpa dengan Allah. Kalaulah
tidak karena aku letakkan dahiku (bersujud) untuk Allah, atau aku duduk di
majelis untuk memetik ucapan-ucapan yang baik sebagaimana memetik kurma yang
baik, atau aku berjalan (berjihad) di jalan Allah Azza Wa Jalla (Riwayat Ahmad
dalam az-Zuhd)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah menjelaskan tentang makna ucapan Umar bin al-Khaththab ra, tersebut: Ucapan Umar ra, itu termasuk ucapan yang
padat dan sempurna. Beliau adalah orang yang diberi ilham (kebenaran). Setiap
ucapan beliau berisi kebaikan yang banyak. Seperti 3 (tiga) hal yang beliau
sebutkan itu. Beliau menyebutkan sholat, jihad, dan ilmu. Tiga hal ini
adalah termasuk amalan yang paling utama menurut kesepakatan umat (Islam) (dalam kitab Minhajus Sunnah anNabawiyyah).
Ibnul Qoyyim
al-Jauziyyah juga menyatakan: “sikap menghadapkan diri kepada Allah SWT, inabah
(kembali bertaubat) kepada-Nya, ridha kepada-Nya, penuhnya cinta kepada Allah
dalam hati, tekun dalam berdizkir mengingat-Nya, gembira dan bahagia karena
mengenal-Nya, adalah balasan yang disegerakan. Itu adalah syurga (dunia). Juga
(kenikmatan) kehidupan yang tidak bisa dibandingkan dengan kehidupan raja-raja
sekalipun.
Di lain sisi, seorang ulama terkemuka yang bernama
“At Thantawi” mengatakan, “Kebaikan adalah mata uang yang beredar di dunia ini.
Kamu mampu mencarinya dan bergelut di dalamnya. Adapun di akhirat nanti,
sungguh kamu tidak akan dapat mencarinya. Karena, akhirat adalah tempat
pembalasan. Kemudian jika kamu tidak mampu berbuat kebaikan semaksimal mungkin
dan tidak mampu mencarinya, sedangkan engkau berada di dunia, maka engkau akan
melihat debu tersingkap. Apakah di bawah kakimu terdapat seekor kuda ataukah
keledai?’
Dunia ini sejatinya adalah ladang pertempuran
antara kebaikan dengan kejahatan (keburukan). Pemenangnya adalah seorang yang
berhasil meraih piala Rabbani saat sakratulmaut. Dialah yang detak jantung dan napasnya yang
berhenti secara husnul khatimah. Setiap orang tentu berharap akan masuk ke
dalam syurga-Nya. Orang orang kafir mencoba memvisualisasikan kehidupan di
syurga melalui layar lebar. Para pengikut ajaran Kristen bahkan meyakini
setelah wafat mereka semua akan berada di syurga sebab seluruh dosa mereka
telah ditebus oleh Jesus (?). Agama para penyembah berhala lainnya pun meyakini
jikalau mereka berbuat kebaikan di dunia, mereka akan tinggal di nirwana,
syurga atau paradise.
Jangankan manusia hewanpun sesungguhnya
berhak untuk mendapatkan kehidupan di syurga. Ada sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi SAW bersabda: “Seekor
semut pernah menggigit salah seorang nabi dari beberapa nabi yang ada. Lalu dia
memerintahkan kepada penduduk untuk membakar semut itu. Kemudian, karena nabi
itu membakar seekor semut, Allah menurunkan wahyu kepadanya, “Engkau telah
membakar sekelompok umat yang senantiasa bertasbih kepada Allah SWT.” (Hadits
Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Abi Hatim).
Abu Thalhah berkata, “Hadits di atas memberi
faedah kepada kita, sesungguhnya semut senantiasa bertasbih dan berdzikir
kepada Allah.” Berdasarkan hadits ini bahwa hewan yang di mata kita kadang
dianggap remeh, sesungguhnya bisa lebih mulia daripada manusia yang berperilaku
seperti hewan saat hidup di dunia ini. Bayangkan, bukanlah merupakan hal sangat
memalukan jika seekor semut yang lemah saja bisa masuk syurga, sedangkan yang
memiliki tubuh kuat dan cantik malah dilemparkan ke dalam neraka? Bukankah hal
ini sangat memalukan jika seekor sapi bisa masuk syurga, sementara si pemakan
dagaing sapi itu dan peminum susunya dapat dilemparkan ke neraka yang
dinyalakan apinya oleh Allah, hingga ke hati manusia?
Jadi, kemenangan baru dapat diperoleh ketika
hidup ini diisi dengan sejumlah amal kebaikan, Lidah ini dibasahi dengan
berdzikir kepada Allah. Begitu banyak amalan yang disunahkan oleh Rasulullah
SAW, tetapi jarang atau hampir tidak pernah kita lakukan. Padahal, bacaan
bacaan tersebut kadang hanya memakan waktu 5 detik sampai 2 menit, tetapi
dampaknya akan memberikan jutaan kebaikan
bagi si pembacanya. Contohnya, kita akan mendapatkan 40.000 kebaikan
hanya jika setelah shalat subuh membaca: “Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu la
syarikalah, lahul mulku illahaw wahidan shamadan, lam yattakhidz shahihatan
wala waladaw wa lam yakun lahu kufuwan ahad. (Hadits Riwayat Ibnu as Sunni).” Jika dalam satu hari saja kita mampu
meraih 40.000 kebaikan dalam waku 10 detik, maka hitunglah berapa kebaikan yang
kita peroleh dalam satu bulan, satu tahun, hanya dengan membaca bacaan yang
memakan waktu 10 detik ini. Lalu mengapa kita malas membaca ayat Kursi usai
shalat fardhu? Padahal Rasulullah SAW mengatakan bahwa tak ada yang bisa
menghalangi seseorang masuk ke dalam syurga, ketika usai shalat fardhu dia
membiasakan membaca ayat Kursi. (Hadits Riwayat an Nasa’i, Ibnu as Sunni, dan
Al Bani)
Selanjutnya untuk mempertegas apa yang telah
kami kemukakan di atas tentang berjumpa dan melihat Allah SWT saat hidup
merupakan syurga sebelum syurga. Ada baiknya kita mempelajari apa yang
dikemukakan oleh Prof Dr Nasarudin Umar,
dalam tulisannya di Republika.co.id yaitu, “Wujud perjumpaan seseorang
dengan Tuhannya sangatlah bersifat personal,
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan adanya
perbedaan tingkat keimanan dan ketaqwaan seseorang yang tidak akan mungkin sama
kualitasnya.” Adanya kondisi ini maka setiap orang mempunyai pengalaman
spiritualnya masing-masing yang tidak bisa disamaratakan bentuknya, rasanya dan
kualitasnya.
Di antara pengalaman pengalaman para sufi,
orang orang shaleh, orang yang beriman dan bertaqwa yang mampu berjumpa dengan
Tuhannya, dikenal 6 (enam) buah konsep dasar sebagai berikut:
1.
Al-hulul yang
diperkenalkan oleh Ibn Mansur al- Hallaj, yaitu Tuhan memilih tubuh manusia tertentu
untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada
dalam tubuh itu dilenyapkan. Sifat-sifat kemanusiaan dapat dilenyapkan dengan
upaya pembersihan diri secara bertahap atau saksama. Jika sifat-sifat
kemanusiaan sudah hilang, yang tinggal hanyalah unsur kedua yang dikenal dengan
sifat-sifat ketuhanan (lahut). Pada saat menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaannya, pada saat itu pula manusia akan fana’ dan Tuhan dapat mengambil
tempat dalam diri yang bersangkutan.
Di situlah ruh
manusia dan Tuhannya bersatu. Pengalaman seperti ini digambarkan dalam
syair-syair sufi atau biasa disebut syuthuhat (theopatical stammering) sebagai
berikut. “Jiwa-Mu disatukan dengan jiwa ku sebagaimana anggur disatukan dengan
air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan
ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah Aku.” Dalam syair lain dikatakan, “Aku
adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa
yang bertempat dalam satu tubuh, jika engkau lihat aku engkau lihat Dia. Dan
jika engkau lihat Dia engkau lihat kami.”
2. Al-ittihad yang
dikembangkan oleh Abu Yazid al-Busthami, yaitu seseorang yang merasa dirinya
betul-betul bersatu dengan Tuhan, sehingga yang dilihat dan dirasakan hanya
satu wujud. Identitas kemanusiaan sudah hilang dan yang tinggal hanya satu
wujud. Abu Yazid melukiskan pengalamannya dengan syair, “Aku bermimpi melihat
Tuhan. Aku pun bertanya: Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepada- Mu? Tuhan
menjawab: Tinggalkan dirimu dan datanglah.”
Pada saat Abu Yazid
meninggalkan dirinya, saat itulah merasakan penyatuannya dengan Tuhan. Jika
menurut konsep hulul al-Hallaj diri seseorang tidak hancur dan tidak hilang,
tetap dua wujud (Tuhan dan manusia), tetapi bersatu dalam satu tubuh, menurut
konsep Abu Yazid, diri seseorang hancur dan yang ada hanya diri Tuhan.
Seseorang yang ingin berjumpa dengan Tuhannya dapat melakukan upaya yang
disebutnya dengan mendaki (taraqqi). Pada saat manusia melakukan pendakian,
Tuhan akan “turun” (tanazul) hingga terjadi pertemuan dan penyatuan antara
keduanya. Pada saat penyatuan terjadi, keluarlah ungkapan-ungkapan “aneh”
(syuthuh at) sebagaimana disebutkan di atas.
3. Al-wahdah al-wujud.
Konsep ini diperkenalkan oleh Muhyiddin Ibn Arabi, yaitu unsur nasut
(biologis) dalam diri manusia dikonsepsikan sebagai makhluk (al-khalq) dan
unsur lahut (unsur suci dan agung) yang dikonsepsikan sebagai Haq (al-Haq).
Semua makhluk sebenarnya mempunyai kedua aspek ini.Aspek luar atau lahir
(dhahir/'aradl/accident) disebut al-khalq dan aspek dalam
(bathin/jauhar/substance) disebut al-haq. Aspek pertama disebut mempunyai sifat
kemakhlukan dan aspek kedua mempunyai sifat ketuhanan. Tuhan ingin melihat
diri-Nya di luar diri-Nya maka terciptalah alam ini. Ibnu Arabi seorang sufi
sekaligus filsuf menggambarkan alam ini sebagai cerminan (tajalli) dari Tuhan.
Di kala Ia ingin
melihat dirinya, Dia melihat alam. Pada setiap benda (makhluk) terdapat unsur
atau sifat ketuhanan. Dari sinilah muncul paham kesatuan. Yang ada dalam ini
kelihatannya banyak, tetapi sebenarnya satu.Ibarat seseorang melihat dirinya
dalam beberapa cermin. Mirip yang dikatakan oleh filsuf Parmenides, “Yang ada
itu satu, yang banyak itu tidak ada.” Yang berwujud selain Tuhan adalah wujud
ilusi (palsu). Wujud yang sebenarnya atau wujud hakiki ialah Tuhan. Dan jika
manusia ingin berjumpa dengan Tuhannya cukup menghayati secara mendalam alam
raya ini. “Siapa yang memahami dirinya maka ia akan memahami Tuhannya.” (man
'arafa nafsahu fa qad 'arafa Rabbahu). Jika manusia ingin berjumpa dengan
Tuhannya cukup menghayati secara mendalam alam raya ini. “Siapa yang memahami
dirinya maka ia akan memahami Tuhannya.” (man 'arafa nafsahu fa qad 'arafa
Rabbahu).
4. Al-mahabbah yang
diperkenalkan oleh Rabiah al-Adawiyyah, yaitu penyerahan diri secara total kepada
satu-satunya yang dicintai dan dikasihi, yaitu Tuhan. Rabiah al-Adawiyah,
seorang sufi wanita yang paling populer, menggunakan konsep ini dalam upaya
berjumpa dengan Tuhannya. Cinta Rabiah Al Adawiyah kepada Allah SWT begitu
memenuhi seluruh jiwanya, sehingga dia menolak seluruh tawaran untuk menikah.
Dia mengatakan dirinya adalah milik Allah yang dicintainya, karenanya siapa
yang ingin menikahinya harus minta izin dahulu kepada-Nya.
Pernah pula ditanyakan
kepada Rabi’ah, apakah engkau benci kepada syaitan? Dia menjawab, “Tidak,
cintaku kepada Allah tidak meninggalkan ruang kosong dalam diriku, untuk tempat
rasa benci kepada syaitan. Ditanyakan apakah dia cinta kepada Nabi Muhammad
SAW? Dia menjawab, “Saya cinta kepada Nabi Muhammad SAW, tetapi cintaku kepada
khalik memalingkan diriku dari cinta kepada makhluk. Banyak sekali syair dan
gubahan dari Rabi’ah menggambarkan cintanya kepada Allah SWT.
Adapun syair-syair
Rabiah al-Adawiyah yang populer, antara lain: “Ya Tuhan, bintang-bintang di
langit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah
dikunci dan tiap-tiap pencinta telah menyendiri dengan yang dicintainya, dan
inilah aku berada di hadirat-Mu.”
“Ya. Allah, aku
mencintai-Mu dengan dua cinta. Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu.
Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu. Dan, cinta karena
diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat. Baik untuk
ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku. Bagi-Mu lah pujian untuk
semuanya.”
Adalah Imam al
Qusyairi, pengarang Risâlah al Qusyairiyyah mendefinisikan tentang cinta
(mahabbah) Allah kepada hamba sebagai kehendak untuk memberikan nikmat khusus
kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Apabila kehendak tersebut tidak
diperuntukkan khusus melainkan umum untuk semua hamba-Nya–menurut
Qusyairi–dinamakan Rahmat; kemudian jika irâdah tersebut berkaitan dengan adzab
disebut dengan murka(ghadlab).
Sedangkan Al Junaidi
Al Baghdadi menyebutkan, bahwa mahabbah itu sebagai suatu kecenderungan hati,
artinya, hati seseorang cenderung kepada
Allah SWT dan kepada segala sesuatu yang datang daripada-Nya tanpa usaha.
Sedangkan Abu Nasr as Sarraj at-Tusi seorang tokoh sufi terkenal membagi
mahabbah kepada tiga tingkat:
a. Mahabbah
orang biasa, yaitu orang yang selalu mengingat Allah SWT dengan dzikir dan
memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya serta senantiasa memuji-Nya;
b. Mahabbah orang siddik
(orang jujur, orang benar) yaitu orang yang mengenal Allah tentang kebesaran-Nya,
kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya. Mahabbah orang siddik ini dapat menghilangkan
hijab, sehingga dia menjadi kasysyaf, terbuka tabir yang memisahkan diri
seseorang dari Allah SWT. Mahabbah tingkat kedua ini sanggup menghilangkan
kehendak dan sifatnya sendiri, sebab hatinya penuh dengan rindu dan cinta
kepada Allah;
c. Mahabbah
orang arif, yaitu cintanya orang yang telah penuh sempurna makrifatnya dengan
Allah SWT. Mahabbah orang arif ini, yang dilihat dan dirasakannya bukan lagi
cinta, tetapi diri yang dicintai. Pada akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk
ke dalam diri yang mencintai. Cinta pada tingkat ketiga inilah yang menyebabkan
mahabbah orang arif ini dapat berdialog dan menyatu dengan kehendak Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar