C. MEMPERSIAPKAN
NIAT YANG IKHLAS.
Persiapan
berikutnya yang harus kita siapkan sebelum diri kita menunaikan ibadah umroh
adalah mempersiapkan niat yang ikhlas. Agar niat yang ikhlas ada dalam diri,
ada baiknya kita mempelajari hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman:
Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku, Akupun ingin menemuinya dan bila ia enggan
menemui-Ku, Akupun enggan menemuinya. (Hadits Qudsi Riwayat Al Bukhari, Malik, Annasa'ie
dari Abu Hurairah;272-17).”
Hadits ini
menerangkan
bahwa Allah SWT baru akan menemui diri kita jika kita mau menemui Allah SWT. Demikian
pula sebaliknya jika kita tidak mau menemui Allah SWT maka Allah SWTpun tidak
akan mau menemui diri kita. Ini berarti untuk mencapai sebuah kesesuaian dengan Allah SWT
tidak ada jalan lain kecuali diri kita sendiri yang terlebih dahulu aktif untuk
berusaha menemui Allah SWT barulah Allah SWT mau menemui diri kita dan yang
pasti dalam persoalan ini adalah Allah SWT bersifat pasif dengan menunggu apa
yang kita lakukan, atau menunggu apa sikap kita kepada Allah SWT. Disinilah
salah satu pentingnya niat, dimana lewat niatlah kita bisa memiliki sikap
kepada Allah SWT.
Jadi
semakin kita berusaha untuk menemui Allah SWT, semakin aktif kita berdoa kepada
Allah SWT maka Allah SWT akan mengikuti apa yang kita perbuat sehingga hasil
akhir dari perjuangan kita. Hasil akhir dari upaya kita sangat ditentukan oleh
upaya kita sendiri. Demikian pula sebaliknya, jika kita pasif maka Allah SWT
pun akan menyesuaikan diri dengan apa yang kita sikapi yaitu bersikap pasif
pula. Dan alangkah ruginya jika kita yang sudah datang jauh-jauh ke Baitullah
untuk menunaikan ibadah umroh namun setelah tiba di Baitullah justru bersikap
pasif kepada Allah SWT.
Sekarang apa
itu niat, lalu dimanakah letaknya niat itu di dalam diri kita? Niat tidak
bisa dilepaskan dengan adanya kehendak (iradat) yang keluar dari dalam hati
yang didukung oleh kemampuan (qudrat) dan ilmu. Sehingga niat itu merupakan
hasil akhir dari proses yang keluar dari kehendak (iradat) yang didukung oleh kemampuan
(qudrat) dan ilmu dalam rangka untuk melaksanakan sesuatu, dalam hal
ini adalah melaksanakan ibadah umroh. Adanya kondisi ini berarti niat dapat
dikatakan sebagai ibadah hati dalam bentuk kebulatan tekad untuk melaksanakan
apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada diri kita, tanpa ada paksaan
dari siapapun juga sehingga terjadilah kekompakan di dalam diri kita saat
melaksanakan perintah menunaikan ibadah umroh. Sekarang setelah diri kita
memiliki kebulatan tekad tanpa ada paksaan siapapun, untuk melaksanakan
perintah melaksanakan ibadah umroh, lalu seperti apakah niat yang baik itu?
Berdasarkan hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda:
Allah ta'ala berfirman: Aku tidak menerima sesuatu amal, kecuali amal yang
diniatkan untuk-Ku. (Hadits Qudsi Riwayat Al Bukhari, 272:167).” Sebuah niat
baru dapat dikatakan sebagai niat yang ikhlas maka niat itu hanya diniatkan
untuk Allah SWT semata. Contohnya, jika kita berniat untuk melaksanakan ibadah
umroh maka kita harus meniatkan ibadah umroh yang kita laksanakan hanya untuk melaksanakan
apa yang telah dikehendaki oleh Allah SWT semata. Tanpa ada maksud dan tujuan
lain yang menyertai niat kita, sehingga yang ada dalam diri kita hanyalah tulus
dan ikhlas dalam melaksanakan ibadah umroh karena Allah SWT semata.
Sekarang
mari kita perhatikan 2(dua) buah hadits yang kami kemukakan berikut ini: Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya segala
perbuatan itu disertai niat. Dan seseorang diganjar sesuai dengan niatnya. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim) dan juga hadits berikut ini, Nabi SAW bersabda: “Allah tidak
melihat fisik dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan perbuatan kalian.
(Hadits Riwayat Muslim,
Ibnu Majah, dan Ahmad).”
Berdasarkan ketentuan hadits di atas, Allah SWT memberikan penilaian
kepada seseorang sangat tergantung kepada apa yang diniatkan oleh seseorang
saat melakukan sesuatu tindakan. Allah SWT tidak pernah menjadikan fisik
(penampilan) seseorang dan harta seseorang sebagai acuan dasar untuk menilai
keberhasilan seseorang melaksanakan apa yang telah diwajibkan-Nya dan juga yang
telah diperintahkan-Nya.
Allah SWT
selaku Tuan Rumah memiliki parameter dan ketentuan sendiri di dalam menilai
keberhasilan seseorang yaitu dengan mempergunakan kriteria seberapa ikhlas
seseorang melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan-Nya, atau seberapa
tinggi kualitas niat yang ikhlas yang keluar dari hati seseorang saat melaksanakan
ibadah yang telah diwajibkan oleh Allah SWT kepadanya. Niat yang ikhlas
sangat memegang peranan penting di dalam setiap melaksanakan suatu perintah yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT dan juga setiap kewajiban yang telah
diwajibkan-Nya.
Sebagai hamba-Nya
yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang akan menunaikan ibadah umroh yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT berarti pada saat ini kita harus memiliki dan
menunjukkan niat yang ikhlas kepada Allah SWT di dalam melaksanakan segala
apa-apa yang telah diwajibkan oleh Allah SWT kepada diri kita. Timbul
pertanyaan apakah itu ikhlas atau apa itu niat yang ikhlas? Berikut ini
akan kami kemukakan beberapa arti dari ikhlas itu sendiri, yaitu :
1. Ikhlas artinya Rahasia. Hal ini sebagaimana
firman-Nya dalam surat Yusuf (12) ayat 80 berikut ini: “Maka
tatkala mereka berputus asa dari pada (putusan) Yusuf mereka menyendiri sambil
berunding dengan berbisik-bisik. berkatalah yang tertua diantara mereka:
"Tidakkah kamu ketahui bahwa Sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji
dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf.
sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan
kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. dan Dia
adalah hakim yang sebaik-baiknya.”
Ikhlas adalah suatu rahasia yang terdapat di dalam diri kita sehingga
orang lain tidak tahu apa yang akan kita perbuat dan kitapun tidak hendak
memberi tahu tentang apa yang kita perbuat. Ini berarti niat yang ikhlas adalah
rahasia yang tersembunyi di dalam hati diri kita sehingga yang tahu hanya diri
kita dan Allah SWT semata. Adanya rahasia yang hanya diketahui oleh diri kita
dan Allah SWT semata, ini berarti apa yang kita lakukan bukanlah sesuatu
untuk dipamerkan, untuk diperlihatkan kepada orang lain, atau riya, atau karena
ingin dianggap mampu, atau karena ingin dianggap alim dan lain sebagainya atau
karena ingin dipanggil sebagai ibu hajjah ataupun pak haji.
2. Ikhlas artinya suci dan murni atau tidak ada
campuran atau tidak ada pengaruh dari manapun juga, dari apapun juga serta dari
siapapun juga kecuali dari Allah SWT semata. Hal ini sebagaimana dikemukakan
dalam firman-Nya dalam surat Az Zumar (39) ayat 3 berikut ini:“Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa
yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang
yang pendusta dan sangat ingkar.”
Niat yang Ikhlas adalah suatu keadaan dimana apa
yang kita niatkan adalah sesuatu yang suci dan yang murni, bukan karena
bujukan, bukan karena hasutan, bukan karena ajakan dari orang lain apalagi
karena keterpaksaan, untuk melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan oleh
Allah SWT sehingga yang ada pada diri kita saat melaksanakan apa yang
diperintahkan Allah SWT hanyalah ikhlas karena Allah SWT semata.
3. Ikhlas artinya dekat, akrab, dengan Allah SWT. Hal
ini sebagaimana dikemukakan da-lam surat
Yusuf (12) ayat 54 berikut ini: “dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaKu,
agar aku memilih Dia sebagai orang yang rapat kepadaku". Maka tatkala raja
telah bercakap-cakap dengan Dia, Dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai)
hari ini menjadi seorang yang berkedudukan Tinggi lagi dipercayai pada sisi
kami.”
Adanya niat yang ikhlas untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkan
oleh Allah SWT berarti pada saat diri kita melaksanakan perintah Allah SWT
terjadi suatu hubungan yang sangat dekat antara diri kita akan menunaikan
ibadah umroh dengan Allah SWT selaku Tuan Rumah. Terjadinya kedekatan antara
diri kita dengan Allah SWT karena apa yang kita lakukan merupakan rahasia
antara diri kita dengan Allah SWT. Sehingga dengan adanya kerahasiaan ini akan
menumbuhkan suatu kedekatan antara diri kita dengan Allah SWT yang pada
akhirnya mampu menghantarkan diri kita kepada hakekat dari menjadi tamu Allah
SWT yaitu bertemu dan diterima oleh Tuan Rumah.
4. Ikhlas artinya suci dari segala kekotoran dan
kejahatan. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam surat Yusuf (12) ayat 24
berikut ini: “Sesungguhnya
wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun
bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda
(dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran
dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.”
Suatu niat yang Ikhlas untuk melaksanakan apa-apa
yang telah diperintahkan Allah SWT berarti pada saat diri kita melaksanakan itu
semua yang ada hanyalah kesucian dan kemurnian untuk melaksanakan dan
memperoleh apa-apa yang terdapat di balik perintah Allah SWT. Hal ini
dimungkinkan karena setiap apa yang diperintahkan oleh Allah SWT pasti untuk
kepentingan diri kita sendiri atau untuk kepentingan yang menerima dan
menjalankan perintah. Sehingga di balik perintah Allah SWT tidak akan pernah
ada kekotoran apalagi kejahatan yang akan menimpa diri kita sepanjang perintah
Allah SWT mampu kita laksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak
Allah SWT.
5. Ikhlas artinya khusus tertentu. Hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 94 berikut ini: “Katakanlah:
"Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu
di sisi Allah, bukan untuk orang lain, Maka inginilah kematian(mu), jika kamu
memang benar.”
Niat yang Ikhlas di dalam melaksanakan suatu
perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT berarti kita melaksanakan
sesuatu yang bersifat khusus tertentu, dalam hal ini untuk kepentingan diri
kita sendiri yang dilandasi karena Allah SWT semata. Contohnya, jika kita ikhlas menunaikan
ibadah umroh berarti umroh yang kita laksanakan merupakan ibadah yang bersifat
khusus tertentu yaitu untuk kepentingan diri kita semata sehingga orang lain
tidak akan mungkin memperoleh hasil atau manfaat yang terdapat di balik
menunaikan ibadah umroh laksanakan.
6. Ikhlas artinya suci daripada selain Allah SWT. Hal
ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya dalam surat Ash Shaaffat (37) ayat
160-161 berikut ini:“kecuali
hamba-hamba Allah yang dibersihkan dari (dosa). Maka Sesungguhnya kamu dan
apa-apa yang kamu sembah itu.” .
Niat yang ikhlas untuk melaksanakan perintah Allah SWT berarti saat diri
kita melaksanakan perintah tidak ada pengaruh lain dari selain Allah SWT atau
kita tidak pernah melaksanakan perintah karena selain Allah SWT. Selanjutnya
jika kita melaksanakan perintah karena ada tujuan lain, atau karena ada
perintah dari yang lain, atau karena ingin mendapatkan sesuatu yang lain di
luar apa yang akan didapat dari Allah
SWT maka Niat yang Ikhlas belum kita lakukan.
Inilah 6
(enam) arti dari niat yang ikhlas, yang harus kita ketahui, yang harus kita
laksanakan, dan yang harus kita tunjukkan kepada Allah SWT selaku Tuan Rumah
dalam pelaksanaan ibadah umroh dengan sebaik mungkin.
Sekarang,
apakah niat yang ikhlas itu hanya sebatas dipergunakan saat menunaikan ibadah
umroh saja, ataukah di dalam setiap perbuatan serta kepada siapakah kita harus
ikhlas? Niat yang ikhlas tidak hanya dipergunakan saat diri kita menunaikan ibadah
umroh saja. Akan tetapi niat yang ikhlas harus dipergunakan di saat diri kita
melaksanakan tugas sebagai hamba-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Apa dasarnya
dan pada saat apa sajakah kita harus ikhlas? Berikut ini akan kami kemukakan
hal dimaksud, yaitu:
1. Niat yang ikhlas harus juga dilaksanakan pada saat
diri kita berpegang teguh kepada Agama Allah SWT, atau saat melaksanakan Diinul
Islam secara kaffah atau di setiap menunaikan ibadah-ibadah lainnya yang sesuai
dengan syariat yang berlaku. Hal ini sebagaimana dikemukakan di dalam
firman-Nya di surat An Nisaa’ (4) ayat 146 berikut ini:“kecuali orang-orang yang taubat dan Mengadakan
perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan)
agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang
beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala
yang besar.”
2. Niat yang ikhlas juga harus kita lakukan disaat
berdoa atau memohon hanya kepada Allah SWT dan juga disaat beribadah kepada
Allah SWT sehingga yang ada adalah diri kita dan Allah SWT semata. Hal ini
sebagaimana dikemukakan di dalam firman-Nya
surat Al Mu’min (40) ayat 65 berikut ini: “Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan
dia; Maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. segala puji bagi
Allah Tuhan semesta alam”.
Sedangkan
berdasarkan surat Al A’raaf (7) ayat 29 berikut ini: “Katakanlah:
"Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah):
"Luruskanlah muka (diri)mu[533] di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah
dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan
kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya).” Niat yang ikhlas harus pula dilaksanakan pada saat diri kita menjalankan,
atau memutuskan suatu perkara dengan seadil-adilnya sehingga niat yang ikhlas
juga wajib dilaksanakan saat menjalankan fungsi fungsi melaksanakan keadilan
atau saat memutuskan suatu perkara. .
3. Niat yang ikhlas juga harus kita laksanakan pada
saat diri kita bekerja, saat beramal, saat mengabdi, dan saat beribadah hanya
kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan firman-Nya di dalam surat Al
Bayyinah (98) ayat 5 berikut ini: “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” .
4. Niat yang ikhlas tidak boleh diperuntukkan kepada
selain Allah SWT sehingga niat yang ikhlas wajib diperuntukkan hanya untuk
Allah SWT semata atau hanya milik Allah SWT semata. Hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 139 yang kami kemukakan berikut ini
: “Katakanlah: "Apakah
kamu memperdebatkan dengan Kami tentang Allah, Padahal Dia adalah Tuhan Kami
dan Tuhan kamu; bagi Kami amalan Kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya
kepada-Nya Kami mengikhlaskan hati.” dan juga berdasarkan surat Al
Mu’min (40) ayat 14 berikut ini: “Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir
tidak menyukai(nya).”
Lalu
dapatkah niat yang ikhlas selalu terpelihara di dalam hati jika di dalam diri
masih ada ahwa (hawa nafsu) dan setan yang akan selalu mengganggu diri kita? Adanya
pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan setan kepada diri kita, akan mengakibatkan niat
yang ikhlas di dalam diri bisa menjadi tidak beraturan kualitasnya, atau bahkan
bisa menurunkan kualitas dari niat yang ikhlas bahkan bisa menjadikan niat yang
ikhlas berubah menjadi pamrih berbuat.
Untuk itu
jika kita berkeinginan untuk selalu menjaga niat yang ikhlas di setiap
perbuatan, atau di setiap ibadah yang kita lakukan maka niat yang ikhlas yang
ada di dalam diri kita jangan dibiarkan berdiri seorang diri. Akan tetapi niat
yang ikhlas harus ditunjang dengan hal-hal sebagai berikut, yaitu :
1.
Jangan
pernah ragu dalam beramal shaleh atau di saat berbuat kebaikan;
2. Memelihara
Amanah yang 7 seperti qudrat; iradat;
ilmu; sami’; bashir; kalam dan hayat yang
berasal dari Allah SWT sesuai dengan kehendak-Nya;
3. Syahadat
yang telah kita laksanakan;
4. Ingat,
Allah SWT akan selalu menjaga kita;
5. Ingat,
Allah SWT mengetahui setiap pekerjaan kita;
6. Ingat,
Allah SWT selalu melihat dan menyaksikan diri kita;
7. Ingat,
bahwa manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya;
8. Ingat,
segala apa yang tersembunyi dalam hati diketahui oleh Allah SWT;
9. Ingat,
kita akan menuai apa-apa yang pernah kita kerjakan.
Sebagai hamba-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di
muka bumi yang sangat membutuhkan ibadah umroh, sudahkah niat yang ikhlas kita
miliki saat melaksanakan apa-apa yang telah diwajibkan oleh Allah SWT kepada
diri kita? Semoga kita mampu memiliki niat yang ikhlas di setiap apa yang telah
diperintahkan dan yang telah diwajibkan Allah SWT kepada diri kita sehingga
dengan itu semua mampu menghantarkan diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan
kepada Allah SWT tidak hanya saat menunaikan ibadah umroh di Baitullah dan juga setelah kembali ke tanah air selama
hayat masih di kandung badan.
D. MEMPERSIAPKAN
KESUCIAN HATI.
Sebagai
hamba-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang sangat membutuhkan ibadah
umroh, tolong perhatikan dengan seksama hadits yang akan kami kemukakan di
bawah ini: “Hudzaifah
ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah
ta’ala berfirman: Allah SWT telah mewahyukan kepadaku: "Wahai saudara para
Rasul dan saudara para pemberi peringatan! Berilah berita peringatan kepada
kaummu untuk tidak memasuki rumah-Ku (masjid) kecuali dengan hati yang bersih,
lidah yang jujur, tangan yang suci, dan kemaluan yang bersih. Dan janganlah
mereka memasuki rumah-Ku (masjid) padahal mereka masih tersangkut barang
aniayaan hak hak orang lain. Sesungguhnya Aku mengutuknya selama ia berdiri
mengerjakan shalat di hadapan-Ku sehingga ia mengembalikan barang aniayaan itu
kepada pemiliknya yang berhak. Apabila ia telah mengembalikannya, maka Aku
menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang
dengannya ia melihat dan ia akan menjadi salah seorang kekasih-Ku, orang
pilihan-Ku dan bersanding bersama-Ku bersama para Nabi, para shiddiqin dan para
syuhada di dalam syurga. (Hadits Qudsi Riwayat Abu Nua'im, Hakim,
Ad-Dailami, dan Ibnu Asakir; 272:240).”
Hal
ini penting kami kemukakan karena kita tidak akan bisa menjadi tamu yang
dikehendaki kedatangannnya oleh Tuan Rumah, atau tamu yang pantas dibanggakan
oleh Tuan Rumah, atau tamu yang memang patut ditemui oleh Tuan Rumah, atau tamu
yang patut diberikan oleh-oleh berupa makna yang hakiki dari ibadah umroh yang
dilaksanakannya, jika ketentuan yang ada pada hadits ini belum kita penuhi.
Adapun
syarat dan ketentuan yang wajib kita penuhi sebelum diri kita menunaikan ibadah
umroh yang keseluruhannya sangat dikehendaki Allah SWT adalah :
1.
Hati yang bersih;
2.
Lidah yang benar;
3.
Tangan yang suci serta;
4.
Kemaluan yang bersih.
Selain
daripada itu dan masih melalui ketentuan hadits di atas Allah SWT tidak
memperkenankan diri kita untuk memasuki masjid, atau tidak memperkenankan diri
kita mendirikan shalat jika kita masih tersangkut barang aniayaan hak orang
lain, sebelum diri kita melunasi atau mengembalikan barang aniayaan itu kepada
yang berhak. Timbul pertanyaan, ada apa dengan kondisi seperti itu sehingga
Allah SWT sampai harus menetap-kan hal ini dengan tegas sebelum diri kita
melaksanakan ibadah umroh atau sebelum diri kita mendirikan shalat atau sebelum
diri kita melaksanakan Diinul Islam secara kaffah.
Ada
beberapa alasan kenapa Allah SWT sampai harus menetapkan kondisi dasar setiap
manusia sebelum melaksanakan apa yang telah diperintahkan dan diwajibkan oleh Allah
SWT, yaitu :
1. Hati yang bersih merupakan syarat utama untuk
berkomunikasi dengan Allah SWT. Hal ini
dikarenakan Allah SWT hanya bisa dijangkau oleh hati orang mukmin, sebagaimana
hadits qudsi berikut ini: Wahab bin
Munabbih berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya
langit-langit dan bumi tidak berdaya menjangkau-Ku, namun Aku telah dijangkau
oleh hati seorang mukmin. (Hadits Riwayat Ahmad: 272:32)
2. Allah SWT akan mengutuk kepada orang yang masih
tersangkut barang aniayaan, atau kepada orang yang masih tersangkut dengan
barang curian, atau kepada orang yang masih tersangkut dengan korupsi, atau kepada
orang yang masih tersangkut hak-hak orang lain yang diambil tanpa hak, sampai
dengan apa-apa yang telah diambilnya dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak
atau yang sah, terkecuali kita siap
untuk dikutuk Allah SWT.
3. Sekarang bagaimana mungkin kita akan berhubungan, atau
menghadap, atau menjadi tamu yang dibanggakan-Nya atau berkomunikasi dengan Dzat
Yang Maha Suci dengan baik dan benar jika lidah, tangan, kemaluan, harta,
pakaian, serta diri kita sendiri masih dalam keadaan kotor. Adanya perbedaan
kondisi ini akan menghambat diri kita untuk bersinergi dengan kebesaran dan
kemahaan Allah SWT melalui ibadah umroh yang kita laksanakan di Baitullah dan
juga saat mendirikan shalat.
Untuk itu
ketahuilah bahwa ibadah umroh yang kita laksanakan tidak akan pernah sesuai
dengan kehendak Allah SWT selaku Tuan Rumah sepanjang diri kita masih mencuri,
sepanjang diri kita masih merampok, masih mengambil hak orang lain, masih
korupsi, masih kolusi serta masih belum mengembalikan barang aniayaan dan
semuanya menunjukkan kepada kita bahwa membiayai ibadah umroh harus dari penghasilan
yang halal (harta yang halal dan pekerjaan yang halal) yang tidak
terkontaminasi sedikitpun dengan yang haram.
Jika sampai
yang barang haram, atau sesuatu yang haram menjadi penghasilan kita, akan
sia-sialah shalat yang kita dirikan, akan sia-sialah kita ke Masjidil Haram
atau ke Masjid Nabawi, karena Allah SWT
tidak menghendaki diri kita ada dihadapan-Nya pada saat kita hadir di rumah
Allah SWT (maksudnya di masjid), pada saat diri menghadap Allah SWT (maksudnya
saat mendirikan shalat), pada saat diri kita memenuhi undangan Allah SWT
(maksudnya saat melaksanakan ibadah
umroh), karena ulah kita sendiri yang tidak mampu membersihkan harta kekayaan
atau tidak mampu memperoleh harta kekayaan yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT.
Lalu
setelah diri kita mampu membersihkan hati, membersihkan lidah, membersihkan
tangan, membersihkan kemaluan serta membersihkan harta kekayaan maka terjadilah
apa yang dinamakan kesesuaian kondisi antara diri kita dengan Allah SWT, yaitu Allah
SWT Yang Maha Suci hanya bisa ditemui dengan yang suci pula. Sehingga
jika Allah SWT adalah Yang Maha Suci maka kitapun harus suci terlebih dahulu
sebelum menghadap Yang Maha Suci. Lalu jika Allah SWT adalah Yang Maha Terpuji,
maka kitapun harus berperilaku terpuji pula sebelum menghadap Yang Maha
Terpuji. Berikutnya jika Allah SWT adalah Yang Maha Terhormat, maka kitapun
harus berperilaku terhormat sebelum menghadap Yang Maha Terhormat. Adanya
kesesuaian yang kita lakukan sebelum melaksanakan ibadah umroh, atau sebelum
mendirikan shalat berarti diri kita telah menempatkan dan meletakkan Allah SWT
sesuai dengan kebesaraan dan kemahaan yang dimiliki-Nya yaitu Dzat Yang Maha
Suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar