N. ALLAH SWT BERKEHENDAK
AGAR MANUSIA MENEPATI JANJI.
Allah SWT berkehendak kepada setiap manusia untuk
selalu menepati janji baik kepada Allah
SWT dan juga kepada sesama manusia. Janji atau nazar wajib ditunaikan jika kita
memang telah berjanji untuk melakukan sesuatu. Hal ini sebagaimana dikemukakan
dalam firman-Nya dalam surat Al Insaan (76) ayat 7-8-9-10 berikut ini: “mereka
menunaikan Nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.
dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim
dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah
untuk mengharapkan keridhaan Allah, Kami tidak menghendaki Balasan dari kamu
dan tidak pula (ucapan) terima kasih.Sesungguhnya Kami takut akan (azab) Tuhan
Kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh
kesulitan.” Dan jangan pernah
ingkar janji sebab akan menurunkan kepercayaan dan kredibilitas diri sendiri
baik di mata manusia apalagi di mata Allah SWT.
Allah SWT memberikan pedoman janji ini bukanlah untuk menyusahkan manusia, akan tetapi untuk memudahkan manusia
di dalam melaksanakan komunikasi dan hubungan dengan Allah SWT dan juga di
dalam memudahkan hubungan dengan sesama manusia. Apabila kedua hubungan ini
lancar maka lancar pulalah hubungan vertikal dan horizontal diri kita, yang
pada akhirnya akan terbina tali silaturahhmi diantara umat manusia serta
hubungan antara pencipta dengan ciptaannya sehingga pada akhirnya kita mampu
menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi.
B. ALLAH SWT BERKEHENDAK KEPADA MANUSIA UNTUK
MELAKSA-NAKAN PERINTAH DAN LARANGAN-NYA.
Allah SWT berkehendak kepada umat manusia untuk
melaksanakan perintah dan larangan-Nya, yang mana dengan adanya perintah dan
larangan Allah SWT ini akan diketahuilah seberapa berkualitasnya umat manusia.
Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat
Al An'am (6) ayat 54-55 berikut ini: “apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang
kepadamu, Maka Katakanlah: "Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan
atas Diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat
kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertaubat setelah
mengerjakannya dan Mengadakan perbaikan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. dan Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya
jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang
yang berdosa.”
Adanya kehendak Allah SWT menetapkan adanya perintah
dan larangan bagi umat manusia, hal ini untuk menegaskan tidak ada istilah yang
bersifat abu-abu (mendua), semuanya jelas yaitu: perintah atau larangan; benar
atau salah; baik atau buruk; hitam atau putih, sedangkan kita tahu tempat
kembali manusia hanya ada dua yaitu syurga atau neraka. Hal ini menjadi penting
saat diri kita melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus
khalifah-Nya di muka bumi karena dengan adanya kepastian mana yang baik dan
mana yang buruk, disinilah letak bagaimana kita menentukan sikap untuk
melaksanakannya. Jika sampai ketetapan yang baik dan yang buruk tidak ditetapkan
oleh Allah SWT maka saat diri kita melaksanakan hidup adalah sebuah permainan
tidak memiliki patokan yang jelas sehingga kita tidak bisa istiqamah dalam
melaksanakan ketentuan yang kita ambil. Dan bisa jadi karena tidak adanya
ketetapan Allah SWT hidup yang kita jalani kadang berperilaku ziq-zaq.
Untuk mempertegas adanya ketentuan dari Allah SWT
maka Allah SWT telah memberikan perintah-Nya sebagaimana berikut ini:
1. Perintah untuk berlaku lemah lembut. Perintah ini telah dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya
berikut : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan
itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
(surat Ali Imran (3) ayat 159)
2. Perintah Menahan Amarah dan Memaafkan Kesalahan Orang. Perintah untuk menahan amaran dan
memaafkan kesalahan orang lain telah dikemukakan oleh Allah SWT dalam
firman-Nya berikut ini: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan. (surat Ali Imran (3) ayat 134)
3. Selalu Berbuat Baik dari waktu ke waktu. Adapun perintah untuk selalu berbuat
baik dari waktu ke waktu selama hayat masih di kandung badan juga telah
dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut ini: “Sembahlah Allah dan janganlah
kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua
orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, Ibnu sabil[295] dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri. (surat An Nisaa’ (4) ayat 36)
[294] Dekat dan jauh di sini ada yang
mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang
Muslim dan yang bukan Muslim.
[295] Ibnus sabil ialah orang yang dalam
perjalanan yang bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang
tidak diketahui ibu bapaknya.
4. Perintah Jangan Berperilaku Sombong. Perintah untuk tidak
berlaku sombong (menyombongkan diri) ada pada firman-Nya berikut ini: “Allah
berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu sepatutnya
menyombongkan diri di dalamnya, Maka keluarlah, Sesungguhnya kamu Termasuk
orang-orang yang hina". (surat Al A’raaf (7) ayat 13)
5.
Perintah menjadi orang yang pemaaf. Allah SWT untuk
memerintahkan kepada umatnya untuk menjadi seorang pemaaf, sebagaimana
firman-Nya berikut ini: “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
(surat Al A’raaf (7) ayat 199)
6. Perintah untuk berkata-kata yang lemah lembut. Allah SWT
juga memerintahkan kepada umatnya untuk berbicara dan berkata-kata lemah
lembut, sebagaimana firman-nya berikut ini: “Maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau
takut". (surat Thaahaa (20) ayat 44)
Itulah 6 (enam) buah perintah Allah SWT yang saat
ini masih berlaku. Selanjutnya kami mengemukakan 10 (sepuluh) larangan Allah
SWT yang kesemuanya untuk kebaikan umat manusia yang mau mentaati larangan
Allah SWT, yaitu:
1. Larangan mempersekutukan Allah (syirik), sebagaimana
dikemukakan dalam su-rat Al-Isra’ (17) ayat 22 berikut ini: “Janganlah
kamu mengada-adakan tuhan yang lain di samping Allah, nanti engkau menjadi
tercela dan terhina.”
2. Larangan untuk durhaka kepada ke dua orang tua (mertua)
sebagaimana dike-mukakan dalam surat Al Isra’ (17) ayat 24 berikut ini: “Dan
rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah,
“Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku pada waktu kecil”.
3. Larangan menghambur-hamburkan kekayaan (berperilaku
boros), sebagaimana firman-Nya berikut ini: “dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (surat Al Isra’ (17) ayat 26).
4. Larangan untuk tidak berperilaku kikir, sebagaimana
firman-Nya berikut ini: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu
kamu menjadi tercela dan menyesal.” (surat Al Isra’ (17) ayat 29).
2. Larangan untuk membunuh anak, sebagaimana firman-Nya
berikut ini: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya
membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (surat Al Isra’ (17) ayat 31)”.
3. Larangan berzina, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (surat Al Isra’ (17) ayat 32).
4. Larangan membunuh seseorang, sebagaimana firman-Nya
berikut ini: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),
melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara
zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya,
tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia
adalah orang yang mendapat pertolongan. (surat Al Isra’ (17) ayat 33)”.
5. Larangan memakan harta anak yatim, sebagaimana firman-Nya
berikut ini: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang
lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji. Sesungguhnya
janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya. (surat Al Isra’ (17) ayat 34).
6. Larangan taqlid buta (mengikuti syariat tanpa dasar dalil
naqli yang jelas), seba-gaimana firman-Nya berikut ini: “Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (surat
Al Isra’ (17) ayat 36).
7. Larangan berperilaku sombong, sebagaimana firman-Nya
berikut ini: “Dan ja-nganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu
tidak akan sampai setinggi gunung.” (surat Al Isra’ (17) ayat 37).
Setelah Allah SWT
mengemukakan sepuluh larangan di atas ini, ketahuilah bahwa Allah SWT sangat
membenci perbuatan tersebut jika kita sampai melakukannya, hal ini sebagai-mana
dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Semua itu kejahatannya amat dibenci di sisi
Tuhanmu. (surat Al Isra’ (17) ayat
38). Semoga Allah SWT menghindarkan kita dari sepuluh perbuatan di atas
dan mampu melaksanakan apa yang telah diperintahkan-Nya. Aamiin.
Inilah
15 (lima belas) bentuk kondisi dasar dari kehendak Allah SWT yang berhubungan
erat dengan konsep dwifungsi dan dwidimensi yang harus dilaksanakan oleh
manusia sehingga setiap manusia tidak akan mungkin bisa dipisahkan dengan
kehendak Allah SWT di atas. Apalagi isi dari kehendak Allah SWT itu sendiri bukanlah
kehendak yang bersifat merugikan manusia. Kehendak Allah SWT bukanlah
kehendak yang membuat manusia celaka. Kehendak Allah SWT bukan untuk membuat
manusia menjadi sengsara. Kehendak Allah SWT bukan pula untuk membuat manusia
mengalami kehinaan baik di dunia maupun di akhirat.
Sebagai abd’ (hamba)Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi
ketahuilah bahwa kondisi dasar dari diri kita tidak lain adalah celupan Allah
SWT (shibghah) sebagaimana termaktub dalam surat Al
Baqarah (2) ayat 138 berikut ini: “Shibghah Allah.
Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya
kepadaNya-lah kami menyembah.” dan jika kita
adalah celupan dari Allah SWT berarti segala tingkah laku kita, segala tindak
tanduk kita, segala perbuatan diri kita harus mencerminkan tingkah laku dan
perbuatan Allah SWT yang termaktub di dalam sifat Ma’ani dan juga Asmaul Husna.
Sekarang sudahkah hal ini tercermin dalam diri kita?
Jika saat ini segala perbuatan
kita, segala tingkah laku kita, segala tindak tanduk kita selalu berada di
dalam Nilai-Nilai Keburukan yang paling sesuai dengan kehendak syaitan berarti
kita sudah tidak sesuai lagi dengan kehendak Allah SWT serta ada sesuatu yang
salah di dalam diri kita. Dan jika saat ini kita merasa bahwa keberadaan kita
memang tidak dapat dipisahkan dengan kehendak dan kemampuan serta ilmu Allah
SWT yang sangat maha, maka sudah seharusnya kita harus memiliki ilmu tauhid
(ketauhidan) sehingga kita tahu diri, tahu aturan main dan tahu tujuan akhir
secara baik dan benar. Yang mana kesemuanya harus berdasarkan persfektif dan
sudut pandang Allah SWT selaku pencipta
dan pemilik alam semesta ini.
Dan jika saat ini diri kita masih hidup di muka bumi ini berarti kita
bukanlah sesuatu yang menciptakan konsep ketauhidan dan juga konsep dwifungsi
dan juga konsep dwidimensi, melainkan diri kita hanyalah obyek (pelaku) yang
harus melasakanakan konsep dasar tersebut yang sesuai dengan kehendak dari
pemilik dan pencipta konsep dasar tersebut, dalam hal ini adalah Allah SWT. Lalu jika kedua konsep di atas harus kita
laksanakan maka sebagai obyek (pelaku) yang juga pelaksana dari konsep
dwifungsi dan dwidimensi di atas, mengharuskan diri kita memiliki ilmu tentang
hal itu dengan sebaik-baiknya. Adanya kondisi yang kami kemukakan tentang
konsep dasar di atas maka bertanyalah kepada diri ini butuhkah kita dengan ilmu
tentang Allah SWT atau butuhkah kita dengan ilmu tauhid (ketauhidan) saat kita
hidup di dunia ini?
Jika kita merasa butuh dengan ilmu tauhid
(ketauhidan) sudahkah kita mempelajarinya! Timbul pertanyaan, bagaimana kita akan bisa mengenal dan tahu tentang
Allah SWT (ma’rifatullah) dengan baik dan benar jika hal-hal di bawah ini masih
juga terjadi pada diri kita, seperti:
1. Kita tidak memiliki
Ilmu tentang Allah SWT dengan baik dan benar lalu bagaimana Allah SWT akan tahu
kepada diri kita?
2. Kita tidak tahu dimana
keberadaan Allah SWT saat kita hidup di dunia?
3. Kita tidak tahu
bagaimana caranya melaksanakan Diinul Islam yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT ?
4. Kita tidak mengerti
kenapa kita harus membutuhkan Allah SWT saat hidup di dunia?
5. Kita tidak paham akan
adanya hubungan antara diri kita dengan Allah SWT selaku pencipta dan pemilik?
6. Kita tidak memiliki pemahaman bagaimana harus bersikap kepada Allah SWT saat diri kita hidup di
dunia?
Jika sampai apa yang kami kemukakan di atas
ini menimpa diri kita, lalu apa yang harus kita lakukan? Jika sampai hal tersebut
di atas terjadi pada diri kita, maka tidak ada jalan lain bagi diri kita mulai
saat ini juga untuk belajar, atau mempelajari Ilmu tentang Allah SWT, atau
belajar tentang Diinul Islam yang sesuai dengan kehendak Allah SWT dalam hal
ini kita wajib belajar ilmu tauhid (ketauhidan) sejak dini.
Dan sebagai makhluk
yang keberadaannya tidak dengan sendirinya ada. Kita ada di muka bumi karena
ada yang menciptakan, yang mana setiap pencipta harus selalu ada terlebih
dahulu ada dibandingkan dengan ciptaannya. Dan mustahil di akal jika ciptaan
ada terlebih dahulu dibandingkan dengan penciptanya. Adanya kondisi ini berarti
pencipta seluruh umat manusia harus ada terlebih dahulu ada dibandingkan dengan
ciptaannya (manusia). Adanya pernyataan ini maka akan timbul pertanyaan yang
lain seperti:
1. Siapakah pencipta
manusia itu?
2. Seperti apakah
kemampuan dari pencipta manusia itu?
3. Bagaimana caranya
pencipta itu menciptakan manusia, apakah ada yang memban-tunya?
4. Adakah maksud dan tujuan yang hakiki dari penciptaan manusia, apakah sekedar di-ciptakan ataukah
ada maksud lainnya?
5. Adakah kemampuan diri
kita menghadirkan diri ini dengan kemampuan yang kita mi-liki?
6. Mampukah kita
melaksanakan konsep-konsep dasar kehidupan yang dikehendaki oleh Allah SWT jika
kita tidak memiliki ilmu tentang Diinul Islam?
7. Apakah langit dan
bumi dengan segala isinya ada dengan sendirinya tanpa ada yang pernah
menciptakan? Lalu apakah air, udara, bintang, bulan, matahari begitu saja
berproses tanpa pernah ada yang mengaturnya?
8. Adakah aturan main yang telah diciptakan oleh pencipta untuk kepentingan ciptaannya sehingga
ciptaan bisa sesuai dengan kehendak-Nya?
Lalu, patut dan
pantaskah kita memiliki ilmu tauhid (ketauhidan) dalam kerangka mengetahui dan
memahami tentang Allah SWT selaku pencipta dan pemiliki dari ini semuanya? Dan
dengan mampunya diri kita belajar dan memahami ilmu tauhid secara baik dan
benar maka kita akan dapat melaksanakan 5 (lima) hal sebagaimana berikut ini:
1. Mampu menempatkan dan
meletakkan Allah SWT adalah satu satunya Tuhan yang berhak disembah di alam
semesta ini yang diiringi dengan mampunya diri kita menempatkan Allah SWT
sebagai “Rabb” dan diri kita adalah “Abd” (hamba)-Nya yang sekaligus
khalifah-Nya di muka bumi yang kedudukannya tidak mungkin sejajar;
2. Mampu mengimani bahwa
Allah SWT adalah pencipta dan pemilik
langit dan bumi serta apa apa yang ada diantara keduanya sehingga segala
ketentuan, segala hukum, segala peraturan, segala undang undang yang berlaku di
langit dan di muka bumi ini pasti berasal dari Allah SWT dan AlQuran adalah
kumpulan dari ketentuan, hukum yang berlaku;
3. Mampu mengimani bahwa
AlQuran adalah wahyu Allah SWT yang tidak lain adalah buku manual bagi
kekhalifahan yang ada di muka bumi ini sehingga wajib diimani, dipelajari,
dipahami, dilaksanakan, diajarkan, disebarluaskan dan dijadikan akhlak bagi
diri kita;
4. Mampu mengimani bahwa
Allah SWT adalah penguasa hari akhir dan juga yang akan menetapkan siapa siapa
saja yang akan menjadi penghuni neraka dan siapa siapa saja yang akan menjadi
penghuni syurga;
5. Mampu menyembah
(beribadah) kepada Allah SWT baik dalam bentuk ibadah khusus yang disebut
ibadah mahdah (murni, ritual), seperti syahadat, shalat, puasa, zakat, haji dan
sejenisnya, ataupun ibadah umum yang disebut dengan ibadah gairu mahdah (ibadah
sosial), seperti belajar-mengajar, berdagang (bekerja dan berusaha), makan,
tidur, dan semua perbuatan manusia yang tidak bertentangan dengan aturan agama.
Dan semoga Allah SWT menolong diri kita agar mampu melaksanakan ke 5 (lima) hal yang kami kemukakan di atas ini dengan baik dan benar selama hayat masih di kandung badan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar