Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi ini, ada baiknya kita juga harus mengetahui
penyebab dari seseorang mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu melalui
perilaku musyrik lagi syirik. Untuk itu kita harus berhati-hati dan selalu
waspada atas adanya 3 (tiga) buah penyebab
yang bersifat fundamental munculnya perilaku musyrik lagi syirik sebagaimana
dikemukakan oleh “Muntohar” dalam laman “ump.ac.id” berikut ini:
1. Al-Jahlu (kebodohan). Masyarakat sebelum
datangnya Islam disebut dengan masyarakat jahiliyah. Sebab mereka tidak tahu
mana yang benar dan mana yang salah. Dalam kondisi yang penuh dengan kebodohan
itu, orang-orang cenderung berbuat syirik. Karenanya semakin jahiliyah suatu
kaum, bisa dipastikan kecenderungan berbuat syirik semakin kuat. Dan biasanya
di tengah masyarakat jahiliyah para dukun selalu menjadi rujukan utama.
Mengapa, sebab mereka bodoh, dan dengan kebodohan-nya mereka tidak tahu
bagaimana seharusnya mengatasi berbagai persoalan yang mereka hadapi.
Ujung-ujungnya para dukun sebagai nara sumber yang sangat mereka agungkan.
2. Dhu’ful iimaan
(lemahnya iman).
Seorang yang lemah imannya cenderung ber-buat maksiat. Sebab rasa takut kepada
Allah tidak kuat. Lemahnya rasa takut akan dimanfaatkan oleh hawa nafsu untuk
menguasai dirinya. Ketika seseorang dibimbing oleh hawa nafsunya maka tidak
mustahil ia akan jatuh ke dalam perbuatan-perbuatan syirik, seperti memohon
kepada pohon besar karena ingin segera kaya, datang ke kuburan para wali untuk
minta pertolongan agar ia dipilih jadi pejabat atau selalu merujuk kepada para
dukun untuk supaya penampilannya tetap memikat hati banyak orang dan lain
sebagainya.
Ada manusia yang
menyembah kepada sesama manusia, ada manusia yang menyem-bah kepada malaikat,
ada manusia yang menyembah kepada alam, ada manusia yang menyembah kepada jin.
Misalnya ada di masyarakat jawa yang datang memberikan persembahan berupa
sesaji kepada pohon tua, batu besar, kuburan angker lagi keramat, laut
selatan yang dikuasai Nyai Loro Kidul, hewan langka (seperti Kebo Kyai Slamet),
keris dan bentuk-bentuk peribadatan lainnya. Bentuk kesyirikan juga bisa
menimpa para ilmuwan dengan pemahaman-pemahaman modern menyesatkan seperti
liberalism, sekulerisme, komunisme, pluralisme, hedonis-me, dan isme-isme
lainnya. Atau adanya manusia mempertuhankan teknologi, hatinya terpaut dengan
HP, TV, game, dan sebagainya.
3. Taqliid (taklid buta). Didalam AlQuran selalu digambarkan orang-orang yang menyekutukan Allah dengan alasan karena mengikuti jejak nenek moyang mereka. Hal ini sebagaimana termaktub dalam surat Al A’raaf (7) ayat 28 berikut ini: “Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah, “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.” Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” Sedangkan menurut surat Al Maaidah (5) ayat 104 berikut ini: “Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya”. Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” Ketidakmurnian penganut agama Islam tidak hanya terjadi di zaman sekarang saja, bahkan sejak Nabi Nuh as, adalah awal mula percampuran keyakinan yang murni. Umatnya Nabi Nuh as menyembah kepada berhala karena ada orang-orang shaleh yang meninggal, kemudian mereka berlebih-lebihan dalam memberikan bentuk penghor-matan sehingga sampai pada bentuk penyembahan patung-patung dengan diberi nama orang-orang sholeh tersebut seperti Wadd; Suwwa; Yaqhuts; Ya’uq dan Nasr. Sebagaimana firman-Nya berikut ini: “dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr. (surat Nuh (71) ayat 23).
Demikianlah dari
generasi ke generasi berikutnya selalu terjadi penyelewengan-penyelewengan
terhadap agama tauhid ini, sampai kepada zaman modern sekarang dengan ragam
bentuk yang berbeda dari generasi sebelumnya. Atau masih ada juga bentuk
kesyirikan ala tradisionalis yang melekat dengan unsur-unsur adat dan budaya. Adapula
kesyirikan dikemas dengan kemasan modern, seolah-olah itu adalah bagian dari
perkembangan teknologi. Dan dari pemaparan diatas kita bisa mengambil hikmah
bahwa penyebab dari manusia berbuat syirik adalah karena ketidakmampuan manusia
dalam mengandalkan akal dan indera saja, sehingga menyimpulkan tuhan dengan
berbagai macam bentuk. Akal dan indra tidak mampu menjangkau hal-hal ghaib yang
hanya diketahui oleh Pencipta makhluk. Oleh karena itu perlu adanya bimbingan
wahyu yang akan menuntun jalan hidupnya.
Sebagai abd’(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi sudahkah
kita mengetahui keadaan ini! Lalu sudahkah kita membentengi diri kita,
keluarga, anak dan keturunan kita dari pengaruh buruk musyrik lagi syirik!
C. TAUBATAN NASUHA.
Agar proses taubatan
nasuha dapat berjalan dengan baik dan benar, terdapat 3 (tiga) ketentuan yang
harus diwaspadai dan jika sampai kita mengabaikannya bukan tidak mungkin proses
taubatan nasuha menjadi gagal dan berantakan. Dan inilah yang harus kita
waspadai, yaitu:
1. Adanya Batasan Waktu
(Batasan Usia Seseorang). Untuk itu ketahuilah bahwa sepanjang ruh masih belum tiba di kerongkongan, berarti kita
masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk merubah apa-apa yang ada pada jiwa
kita sepanjang dari kita kita sendiri mau mengadakan perubahan. Allah SWT
berkehendak kepada kita agar kita sendiri yang aktif memulai terlebih dahulu
untuk mengadakan perubahan maka barulah Allah SWT menolong kita menuju kepada
perubahan yang kita harapkan, dalam hal ini dari syirik dan musyrik kepada
ketauhidan. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan
suatu kaum sebelum mereka merubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila
Allah menghendaki keburukan suatu kaum maka tidak ada yang dapat menolaknya dan
tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (surat Ar Rad (13) ayat 11)”. Allah
SWT hanya akan mengubah suatu keadaan diri kita apabila kita sendiri telah
berupaya untuk mengadakan perubahan yang ada pada diri kita sendiri. Apa
maksudnya? Sepanjang diri kita masih mempertahankan kemalasan serta hanya diam (tanpa aktifitas) untuk berubah
ke arah perbaikan diri maka sepanjang itu pula Allah SWT tidak akan merubah
diri kita.
Buang
rasa malas ganti dengan sifat aktif untuk berbuat kearah perbaikan diri maka
Allah SWT akan merubah diri kita sesuai dengan jihad atau kesungguhan diri kita
untuk mengadakan sebuah perubahan. Apalagi kesempatan untuk melakukan perubahan
masih ada karena ruh belum tiba di kerongkongan. Sebagaimana firman-Nya berikut
ini: “Dan
sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat,
niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di
bumi ini, tetapi Dia menangguhkan (hukuman)nya sampai waktu yang sudah
ditentukan. Nanti apabila ajal mereka tiba, maka Allah Maha Melihat (keadaan)
hamba hambaNya. (surat Fathir (35) ayat 45)
2. Adanya Rumus Dasar
Kesuksesan. Rumus
dasar sebuah kesuksesan sejati tentang perubahan diri adalah menggapainya harus
di awal perjalanan, bukan di akhir perja-lanan. Rumus ini harus kita hadapi
dengan kuatnya tekad kita untuk berubah yang harus diimbangi dengan menambah
kecepatan, menambah kekuatan, menambah kesungguhan untuk merubah perilaku dan
perbuatan tanpa melanggar syariat dan hakekat yang berlaku. Hal ini
sangat diperlukan karena merubah perilaku diri dari yang sesuai dengan kehendak
syaitan menjai yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sebelum ruh tiba di
kerongkongan. Jika bukan sekarang kapan lagi.
3. Kesempatan hanya ada
pada sisa usia yang kita miliki. Pendeknya waktu yang kita miliki yaitu hanya
antara waktu maghrib sampai waktu isya, atau hanya pada sisa usia yang kita
miliki yang jumlahnya lamanya tidak kita ketahui dengan pasti, mengharuskan
kita untuk lebih fokus dengan menambah kualitas ibadah yang kita lakukan, yang
tidak hanya ibadah wajib semata melainkan harus ditambah dengan ibadah-ibadah
sunnah baik yang menyertai ibadah wajib ataupun tidak. Agar proses ini menjadi
lebih mudah dan cepat, maka segera tambahkan jumlah infaq dan sedekah serta
jariah yang kita lakukan agar dengan tambahan ini mampu mempercepat kita menuju
jiwa muthmainnah.
Adanya 3 (tiga) buah
ketentuan diatas ini, disinilah proses hijrah dari kekafiran kepada ketauhidan harus
kita lakukan, yaitu dengan melakukan suatu tindakan dengan kesadaran dan
dorongan yang berasal dari diri sendiri untuk memperbaiki diri dari suatu
kondisi tertentu menuju suatu kondisi yang dikehendaki Allah SWT. Tanpa adanya
kesadaran dari diri sendiri dan upaya yang sungguh-sungguh maka upaya taubatan
nasuha tidak akan pernah terjadi pada diri kita.
Seperti telah kita ketahui bersama bahwa musyrik lagi syirik adalah
sumber yang kotor, mula-mula ia muncul dalam hati dengan memercikkan tetesan,
dan lama kelamaan berubah menjadi air bah yang mendobrak segala-galanya
sehingga hati ruhani kita tidak ada tempat untuk iman dan tqwa kepada Allah
SWT. Musyrik lagi syirik dapat pula diibaratkan sebagai virus yang membahayakan
kesehatan diri kita, virus akan terus berkembang sampai menggerogoti diri kita
dan pada akhirnya terkaparlah diri kita dengan gelimangan dosa yang tidak
terampuni. Dan jika ini yang terjadi maka syaitan sang laknatullah beserta bala
tentaranya sangat senang dan sangat bergembira dengan keadaan ini, sebab mereka
telah mendapatkan teman, konco, sahabat, tetangga yang baik untuk mengarungi
bahtera kehidupan di neraka Jahannam kelak.
Sekarang coba kita bayangkan pencipta dan pemilik dari alam semesta ini
memberikan penilaian yang sangat buruk dan sangat menjijikkan dengan istilah
“Najis” kepada ciptaan-Nya sendiri, sebagaimana telah dikemukakan dalam surat
At Taubah (9) ayat 28 berikut ini: ““Hai orang-orang
yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis[634], Maka
janganlah mereka mendekati Masjidilharam[635] sesudah tahun ini[636]. dan jika
kamu khawatir menjadi miskin[637], Maka Allah nanti akan memberimu kekayaan
kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
[634] Maksudnya: jiwa
musyrikin itu dianggap kotor, karena menyekutukan Allah.
[635] Maksudnya: tidak
dibenarkan mengerjakan haji dan umrah. menurut Pendapat sebagian mufassirin
yang lain, ialah kaum musyrikin itu tidak boleh masuk daerah Haram baik untuk
keperluan haji dan umrah atau untuk keperluan yang lain.
[636] Maksudnya setelah tahun
9 Hijrah.
[637] Karena tidak
membenarkan orang musyrikin mengerjakan haji dan umrah, karena pencaharian
orang-orang Muslim boleh Jadi berkurang.
Sungguh jika ini terjadi kepada diri kita, hal ini merupakan sebuah
hadiah dan penghargaan yang sangat menakutkan serta mengerikan kepada diri
kita. Kondisi ini sangat bertentangan dengan Kehendak Allah SWT sewaktu pertama
kali menciptakan manusia. Timbul pertanyaan, atas dasar apakah Allah SWT
memberikan penilaian najis kepada orang musyrik lagi syirik?
Hal ini dikarenakan tindakan
musyrik lagi syirik yang dilakukan oleh manusia adalah tindakan untuk
meniadakan Allah SWT selaku Tuhan bagi semesta alam, tindakan meniadakan Allah
SWT selaku Pencipta, tindakan meniadakan Allah SWT selaku Pemilik, Penjaga, dan
Pemelihara dengan menggantinya dengan benda bertuah, azimah, dukun, paranormal,
berlindung kepada selain Allah SWT, wasilah dan lain sebagainya. Selain daripada itu melalui tindakan musyrik lagi syirik berarti kita
telah menganggap Allah SWT sudah tidak ada karena sudah digantikan dengan
sesuatu melalui tindakan musyrik, dan kondisi inilah yang paling tidak disukai
Allah SWT dan jika Allah SWT sangat marah dan sangat tidak senang dengan orang
yang melakukan tindakan musyrik memang sudah sepatutnya apa yang dikemukakan
oleh Allah SWT dalam surat At Taubah (9) ayat 28 di atas berlaku.
Sebagai bahan perbandingan, lihatlah dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, seorang yang menjadi mata-mata bagi bangsa lain di negaranya sendiri
dikatakan sebagai pengkhia-nat bangsa. Negara memberikan predikat itu memang
sudah seharusnya orang tersebut menerima hal itu. Selanjutnya jika predikat najis
bagi pelaku musyrik ini sudah menjadi keputusan Allah SWT, apakah kita tidak
mempercayai keputusan ini? Sebagai orang yang menumpang di langit dan di bumi Allah
SWT maka kita wajib menerima dan mempercayai keputusan Allah SWT tentang
predikat najis. Adanya kondisi ini terlihat dengan jelas bahwa Allah SWT sangat
tegas membedakan antara orang yang beriman dengan orang yang musyrik.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya yang sedang
menjalankan tugas di muka bumi, jika predikat najis sudah berlaku sampai dengan hari kiamat
kepada orang-orang musyrik lagi syirik maka jadikan hal ini sebagai dorongan
bagi kita untuk jangan sampai diberikan predikat najis pula kepada diri kita, terkecuali kita
sendiri memang ingin memiliki dan merasakan hasil akhir dari predikat najis
yang diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita.
Lalu apa yang harus kita lakukan jika saat diri kita melaksanakan tugas
sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, diri kita
secara sengaja ataupun secara tidak sengaja akibat tidak memiliki Ilmu tentang
Allah SWT lalu melakukan perbuatan syirik dan musyrik? Sepanjang ruh belum
sampai di kerongkongan maka kita masih memiliki satu kesempatan yaitu melakukan
“Taubatan Nasuha.” Taubatan Nasuha merupakan proses taubat yang dilakukan
secara bersungguh-sungguh, dengan niat, kebulatan tekad, dan berusaha
menyempurnakannya dengan usaha memperbaiki diri. Taubatan nasuha harus melalui
proses atau keistiqomahan (konsisten) untuk bisa melakukannya. Sehingga,
taubatan nasuha tidak akan bisa diraih dalam waktu yang singkat. Namun
demikian, Allah SWT telah banyak memberikan kesempatan agar mereka segera
bertobat dan kembali ke jalan-Nya. Orang yang sangat beruntung adalah mereka yang
bertobat. Sebagaimana firman-Nya yang termaktub dalam surat An-Nisaa’ (4) ayat
110 berikut ini: “Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia
memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang.”
Ayat di atas ini
mengemukakan bahwa sebagai hamba yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi maka
setiap manusia memiliki dua pilihan dalam hidupnya, yaitu apakah mau melepaskan
diri dari dosa yang telah dilakukannya, ataukah akan tetap melakukan perbuatan dosa
tersebut selama hidupnya. Agar proses taubatan nasuha dapat terlaksana dengan
baik dan benar maka proses taubat ataupun
proses insyaf atau sadar diri dari
kesala-han haruslah timbul dari kemauan (tekad) dari dalam diri manusia itu
sendiri untuk meninggalkan dosa yang telah mereka perbuat. Sehingga proses ini
harus dilakukan secara bersungguh-sungguh dengan tekad yang penuh, niat, dan
menyempurnakannya dengan usaha memperbaiki diri dari waktu ke waktu.
Berikut ini akan kami
kemukakan langkah-langkah yang harus kita lakukan di dalam melak-sanakan konsep
taubatan nasuha, yaitu:
1. Evaluasi Diri. Pertama-tama yang
bisa dilakukan bagi mereka yang ingin melaku-kan taubatan nasuha adalah evaluasi
diri. Merenungi tentang dosa-dosa yang telah dilakukannya. Tanpa proses
merenungi diri, maka kita tidak akan menemukan apa kesalahan dan dosa yang
telah kita perbuat. Akhirnya dapat dikatakan bahwa melaku-kan proses evaluasi
diri secara mendalam merupakan syarat mutlak untuk melaksa-nakan konsep
taubatan nasuha.
2. Akui Kesalahan. Dengan cara
mengakui segala kesalahan yang telah diperbuat, dan meminta ampun kepada Allah
SWT adalah langkah berikutnya dalam melakukan proses taubatan nasuha. Kesalahan
kepada siapa pun juga perlu kita sadari, sehingga kita bisa memohon ampun serta
berkomitmen untuk tidak akan mengulangi kesalahan tersebut.
3. Perbaiki Kesalahan. Setelah mengakui
dan menyadari semua kesalahan yang te-lah diperbuat, maka perbaikilah semua
kekeliruan tersebut. Ini adalah salah satu bukti bahwa diri kita telah
bersungguh-sungguh melakukan proses taubatan nasuha. Dalam langkah ini, Allah
SWT akan menilai bukan hanya dari niat
yang kita tanamkan dalam diri, akan tetapi Allah SWT juga akan menilai amalan
baik yang kita perbuat secara konsisten walaupun kecil.
4. Mohon Ampun Kepada
Allah SWT. Selanjutnya
memohon ampun kepada Allah dengan melakukan shalat tobat dan berdoa dengan
berserah diri pada-Nya atas segala dosa yang telah kita perbuat, baik secara
disengaja ataupun tidak disengaja. Karena hanya Allah SWT yang dapat
menilainya, maka minta ampunlah setiap saat, atau di setiap kesempatan. Ingat,
Allah Maha Pengampun dan Penyayang, maka memohon ampunlah kepada Allah dengan
sungguh-sungguh.
5.
Bertobat dengan
Kondisi Beriman. Allah
SWT hanya akan menghapus dosa-dosa (kesalahan) manusia dengan syarat yang
melaksanakan proses taubatan nasuhan merupakan orang yang dalam keadaan
beriman. Sementara orang yang tidak dalam kondisi beriman kepada Allah, belum
tentu akan diterima pertobatannya. Dan agar janji Allah SWT untuk mengampuni
dosa dan kesalahan manusia maka manusia-manusia yang berdosa itu haruslah mau
memohon ampun kepada-Nya yang dilandasi dengan keimanan. Hal ini dikarenakan
orang yang beriman akan selalu senantiasa menjaga dirinya dengan perilaku dan
perbuatannya yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kemudian dia tidak akan
mengulang dosa lagi kesalahan yang pernah
dilakukannya. Bahkan mereka akan menjauhi perbuatan yang keliru dan membawa
dampak yang buruk. Dan juga karena orang beriman tidak akan melaksanakan
hal-hal yang dilarang Allah SWT secara sengaja.
6. Taubat sebelum ruh tiba di kerongkongan.
Sebagai orang yang akan mengalami kematian, mari kita perhatikan firman-Nya
yang termaktub dalam surat An Nissa’ (4) ayat 18 berikut ini: “Dan
taubat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan
hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia
mengatakan, “Saya benar-benar bertaubat sekarang”. Dan tidak (pula diterima
taubat) dari orang-orang yang meninggal sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi
orang-orang itu telah Kami sediaka azab yang pedih. (surat An Nisaa’ (4) ayat
18).” Ayat ini menengaskan bahwa sebelum ajal menjemput, alangkah
baiknya sebagai seorang muslim bertaubat setiap waktu dengan menyadari
kesalahan yang diperbuat. Manusia tidak tahu kapan ajal datang. Sedangkan
kematian dalam kondisi belum bertobat adalah salah satu penyebab hati gelisah
menurut ajaran Islam dan yang mengakibatkan Allah SWT murka kepadanya.
Akhirnya, tanpa
melalui proses “Taubatan Nasuha” yang
kita laksanakan dengan sungguh-sunggu maka Allah SWT tidak akan pernah
memaafkan perbuatan syirik dan musyrik sebagai lawan dari ketauhidan, yang
pernah kita lakukan walaupun kita telah melaksanakan ibadah haji dan umroh berkali-kali,
telah membangun masjid, telah menyantuni anak yatim, ketentuan najis masih tetap berlaku.Dan dengan adanya kesempatan “Taubatan
Nasuha” yang Allah SWT berikan, berarti Allah SWT masih memberikan kesempatan
ke dua bagi makhluk-Nya yang ingin kembali ke jalan yang lurus sehingga
makhluk-Nya bisa kembali sesuai dengan kehendak Allah SWT. Untuk itu
manfaatkanlah waktu yang masih tersisa, manfaatkanlah sisa masa aktif diri kita
di muka bumi ini. Agar di waktu yang tersisa ini dapat mengembalikan diri kita
sesuai dengan kehendak Allah SWT sehingga dapat menghantarkan diri kita pulang
kampung ke kampung kebahagiaan, syurga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar