E. KETAUHIDAN DALAM DIRI AKAN MENGHANTARKAN DIRI KITA MENDAPATKAN GANJARAN BERUPA KEBAIKAN DI KEHIDUPAN DUNIA MAUPUN DI
AKHIRAT KELAK.
Adanya ketauhidan dalam diri yang baik dan
benar akan mampu menghantarkan diri kita memperoleh dan mendapatkan ganjaran
berupa kebaikan yang berlipat ganda baik di kehidupan dunia maupun di akhirat
kelak. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Perumpamaan orang yang menginfakkan
hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai,
pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia
kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (surat Al Baqarah (2) ayat
261).”
Saat ini sampai dengan hari kiamat tiba, Allah SWT sudah menetapkan
adanya kepastian hukum atas kebaikan dan keburukan sebagaimana tertuang di
dalam surat An Nahl (16) ayat 96 berikut ini: “apa yang di sisimu akan lenyap,
dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. dan Sesungguhnya Kami akan memberi
Balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan.” Dan juga berdasarkan surat An An’am (6)
ayat 160 berikut ini: “Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka
baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan Barangsiapa yang membawa
perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan
kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” serta
berdasarkan ketentuan surat Ar Rahmaan (55) ayat 60 seperti yang kami kemukakan
berikut ini: “tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).”
Berdasasarkan ketentuan di atas, Allah SWT pasti akan memberi balasan
setiap kebaikan dengan kebaikan (pahala) yang lebih baik dari apa yang telah
kita kerjakan. Demikian pula Allah SWT juga akan membalas keburukan (kejahatan)
dengan keburukan (kejahatan) pula sesuai dengan kadar atau seimbang dengan
keburukan (kejahatan) yang dilakukan oleh seseorang.
Sedangkan berdasarkan ketentuan hadits berikut ini: Abu Darda ra, berkata: Nabi SAW
bersabda: Allah ta’ala berfirman: Apabila hamba-Ku berniat melakukan suatu
kejahatan, maka janganlah kamu catat sebelum ia melaksanakannya. Bila telah
dilaksanakannya, catatlah sebagai satu kejahatan. Akan tetapi bila ia berniat
melakukan suatu kebajikan namun tidak jadi dilaksanakannya, maka catatlah
baginya satu kebajikan. Bila ia melaksanakannya, maka catatlah untuknya sepuluh
kebajikan. (Hadits Qudsi Riwayat Bukhari, Muslim; 272: 23). Hadits ini
mengemukakan bahwa Allah SWT juga telah memberikan sebuah kepastian hukum yang
mengikat terutama di dalam besaran kebaikan dan juga besaran keburukan. Adapun
ketetapan hukum atas besaran kebaikan (pahala)
yang akan diberikan Allah SWT kepada yang berbuat kebaikan sebagai
berikut : apabila seseorang berniat
berbuat kebaikan maka catatlah sebagai satu kebajikan dan jika niat kebaikan
dilaksanakan maka catatlah untuknya sepuluh kebajikan. Sedangkan bagi orang
yang baru berniat untuk melakukan
keburukan, niatnya belum dicatat sebagai sebuah keburukan sepanjang niat itu
belum dilaksanakan. Keburukan baru dicatat sebagai satu keburukan jika niat
keburukan sudah dilaksanakan oleh pelakunya. Inilah salah satu contoh dari matematika
Allah SWT yang berlaku kepada diri kita dan juga kepada anak dan keturunan
kita.
Hal yang tidak akan pernah terjadi adalah Allah SWT salah di dalam
menetapkan balasan kebaikan ataupun balasan keburukan yang telah kita lakukan.
Ingat, Allah SWT memiliki Malaikat Raqib
dan Malaikat Atid sebagai petugas pelaksana yang telah diberi mandat oleh Allah
SWT yang tidak akan pernah lalai sedikitpun di dalam melaksanakan tugasnya
terutama di dalam memonitor, merekam, mencatat seluruh aktivitas manusia
melalui program CCTV yang ada padanya. Seluruh data yang dipegang oleh
Malaikat Raqib dan Malaikat Atid tetap utuh, sesuai dengan apa yang terjadi,
sesuai dengan aslinya tanpa ada pengurangan, tanpa penambahan ataupun proses
pensensoran oleh siapapun juga dan siap diperlihatkan kepada diri kita saat
hari berhisab tiba.
Sekarang apa yang dicatat oleh kedua malaikat yang obyek utamanya
adalah diri kita, lalu apa yang bisa kita perbuat dengan apa yang telah dicatat
oleh malaikat? Sebagai obyek yang akan dinilai dan dicatat oleh Malaikat maka
kita tidak bisa mengelak atau menghindar dari apa yang telah dilakukan oleh
Malaikat di dalam mencatat apa-apa yang kita lakukan dan yang harus kita persiapkan
adalah bagaimana caranya untuk mempertanggungjawabkan terhadap apa-apa yang
telah kita lakukan, terutama dalam hal keburukan atau kejahatan yang telah kita
lakukan.
Apalagi Allah SWT telah dengan tegas menyatakan dalam surat Ath Thalaaq
(65) ayat 11 sebagaimana berikut ini: “(dan mengutus) seorang Rasul yang
membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum)
supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari
kegelapan kepada cahaya. dan Barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan
amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Sesungguhnya Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya.” Ayat ini
mengemukakan tentang fasilitas yang akan diberikan kepada orang yang beriman
dan beramal shaleh, yaitu
1. Dikeluarkan dari kegelapan ke cahaya terang benderang.
2. Dikeluarkan dari kesesatan
menuju kepada petunjuk Ilahi.
3. Dikeluarkan dari keragu-raguan menuju kepada keyakinan.
4. Dikeluarkan dari kekafiran menuju kepada keimanan serta
5. Dimasukkan ke dalam syurga-Nya dan yang terakhir Allah SWT akan selalu
mem-beri-kan rezeki yang terbaik kepada diri kita yaitu rezeki yang penuh
keberkahan.
Selain daripada itu, Allah SWT juga tidak akan pernah menganiaya
seseorang walaupun sebesar zarrah, seperti yang kami kemukakan dalam surat An
Nisaa’ (4) ayat 40 berikut ini: “Sesungguhnya Allah tidak Menganiaya
seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah,
niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang
besar[298].”
[298] Maksudnya: Allah tidak
akan mengurangi pahala orang-orang yang mengerjakan kebajikan walaupun sebesar
zarrah, bahkan kalau Dia berbuat baik pahalanya akan dilipat gandakan oleh
Allah.
Inilah salah satu bentuk dari pernyataan sikap dari Allah SWT yang
pasti mengganjar setiap kebaikan walaupun kebaikan itu seberat zarrah, demikian
pula dengan keburukan. Dan jika yang ada
sekarang dalam diri seseorang adalah keburukan dan juga kejahatan berarti
kesemuanya berasal dari diri kita. Tidak ada jalan keluar dari keburukan
ataupun kejahatan kecuali memper-tanggungjawabkannya di akhirat kelak atau jika
kematian belum tiba lakukanlah taubatan nasuha.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi
ketahuilah bahwa saat hari
mempertanggungjawabkan atas apa apa yang kita lakukan saat hidup di dunia,
mulut tidak bisa berkata-kata. Justru kaki, tangan, telinga, mata dan kulit
yang dapat berkata-kata saat diri kita diminta mempertanggungjawaban segala
tindakan kita yang kesemuanya disesuaikan dengan apa apa yang telah dicatat oleh malaikat pencatat. Dan
kita tidak bisa menghindar lagi serta kita tidak bisa berbohong lagi lalu
bersiap menerima akibat dari perbuatan diri kita. Jadi pilihan untuk berbuat
kebaikan ataupun berbuat keburukan dan kejahatan sudah ada pada diri kita,
silahkan berbuat dan ingat segala resiko tanggung sendiri.
F. KETAUHIDAN
DALAM DIRI AKAN MENGHANTARKAN DIRI KITA
MEN-DAPATKAN PEMAHAMAN DAN KEMUKJIZATAN ALQURAN
Adanya ketauhidan dalam diri yang baik dan
benar akan menghantarkan diri kita mendapatkan pemahaman AlQuran yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT serta mampu pula merasakan rasa kemukjizatan AlQuran
yang sangat luar biasa. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya
berikut ini: “Dan mereka tidak akan
mengambil pelajaran darinya (AlQuran) kecuali (jika) Allah menghendakinya.
Dialah Tuhan yang patut (kita) ber-taqwa
kepada-Nya dan yang berhak memberi ampun. (surat Al Muddassir (74) ayat 56).”
Pemahaman tentang
AlQuran bukanlah sesuatu yang mudah kita dapatkan, butuh perjuangan, butuh
konsentrasi, butuh kerja keras untuk memperolehnya sehingga tidak ada yang
instan untuk mendapatkannya. Apalagi kita harus bisa menempatkan Allah SWT sebagai
satu-satunya narasumber utama AlQuran dan kepada-Nya lah kita belajar. Dan bagi
orang yang telah memiliki ketauhidan dalam diri. Ia akan lebih mudah
mendapatkan pemahaman AlQuran karena ia telah mampu menempatkan AlQuran sebagai
sebuah kebutuhan. Tiada hari tanpa AlQuran bagi orang yang bertauhid.
Dilain sisi, pemahaman
tentang AlQuran yang terdiri dari ayat-ayat kauliyah dan ayat-ayat kauniyah dapat
kami kemukakan terdiri dari: (1) arti
yang tersurat, lalu: (2) ada arti
yang tersirat dan; (3) yang terakhir adalah arti yang tersembunyi. Untuk memperoleh arti yang tersirat kita
harus memulainya dengan mempelajari terlebih dahulu arti yang tersurat secara
konsisten. Demikian juga untuk memperoleh arti yang tersembunyi kita harus
mengetahui dan memahami terlebih dahulu arti yang tersurat dan arti yang
tersirat maka barulah kita mulai sedikit demi sedikit bisa mengetahui dan bisa memahami
arti yang tersembunyi yang terdapat di dalam AlQuran. Dan arti yang
tersembunyilah yang akan diberikan kepada orang-orang tertentu terutama orang
yang telah memiliki ketauhidan dalam diri yang baik dan benar. Dan semoga
itulah diri kita.
Dan khusus untuk mempelajari
ayat-ayat kauniyah kita tidak cukup hanya mempelajarinya melalui AlQuran semata,
namun harus melalui penelaahan langsung ke obyeknya masing-masing yang mana
untuk mempelajarinya membutuhkan ilmu dan teknologi yang canggih. Disinilah
letak salah satu kemukjizatan AlQuran. Dimana AlQuran bukanlah buku ilmiah,
akan tetapi apa yang dikemukakan oleh AlQuran bisa dibuktikan dengan pendekatan
ilmiah yang mempergunakan ilmu dan teknologi.
Lalu untuk apa kita
harus mempelajari mukjizat AlQuran baik dari sisi ayat-ayat kauliyah dan juga
ayat-ayat kauniyah. Sebagai orang yang membutuhkan AlQuran pahamilah bahwa Mukjizat
AlQuran tidak boleh dibatasi oleh pemahaman yang kita miliki, akan tetapi
pemahaman kitalah yang terbatas sehingga membatasi kemampuan kita untuk
memahami kemukjizatan AlQuran. AlQuran memang sudah menjadi mukjizat yang
posisinya sudah berada di atas pemahaman diri kita sehingga AlQuran tidak bisa
dibatasi kemukjizatannya oleh sebab apapun juga. Jika kita mampu
menghargai AlQuran dengan segala kemukjizatan yang ada di dalamnya berarti kita
telah mampu menghargai kebesaran dan kemahaan Allah SWT selaku narasumber
tunggal AlQuran.
Akhirnya mempelajari
kemukjizatan AlQuran sangatlah penting bagi diri kita selaku orang yang
bertauhid. Hal ini dikarenakan apabila kita hanya mendengarkan AlQuran, atau
kita hanya mempelajari bacaan AlQuran berarti kita baru sampai pada tahap
mendengarkan atau mempelajari pesan yang disampaikan oleh Allah SWT kepada umat
manusia. Namun, jika hanya pesan saja yang sampai kepada diri kita maka pesan
tersebut belum tentu sampai menjadi pemahaman dari diri kita karena pesan yang
masuk bisa sampai ke kuping kanan lalu ia bisa keluar ke kuping kiri atau
sebaliknya.
Akan tetapi jika kita
mampu mengetahui dan memahami kemukjizatan AlQuran yang kita pelajari maka kita
mulai memiliki pemahaman AlQuran melalui mukjizatnya masuk ke dalam hati kita.
Disinilah letaknya kita wajib mempelajari kemukjizatan AlQuran karena dengan
masuknya kemukjizaran AlQuran ke dalam hati kita maka sedikit demi sedikit
pemahaman AlQuran sudah mulai kita miliki yang pada akhirnya akan menambah
keima-nan dan ketaqwaann diri kita. Lalu, apa yang terjadi? Semakin tenteram
hati kita, semakin tenang hidup kita, dan semakin yakin dan percaya kepada
AlQuran, yang pada akhirnya kita mampu menerima AlQuran sebagai cahaya,
petunjuk dan pedoman hidup yang memang diturunkan oleh Allah SWT untuk
kepentingan umat manusia. Dan kondisi inilah yang didapatkan oleh orang-orang
yang telah memiliki ketauhidan dalam diri yang baik dan benar dan semoga kita
mampu merasakannya di sisa usia yang kita miliki.
Awas, adanya ketertutupan
diri kita kepada AlQuran atau terkuncinya hati kita kepada AlQuran, akan
menyulitkan masuknya pesan yang ada di dalam AlQuran. Jika pesan yang ada di dalam AlQuran tidak bisa masuk ke dalam hati kita,
lalu bagaimana mungkin kemukjizatan AlQuran bisa masuk ke dalam diri lalu
memantapkan dan menentramkan hati ini karena ulah diri kita sendiri. Ayo
segera persiapkan diri (hati yang bersih) untuk menerima kemukjizatan AlQuran
sehingga secara otomatis kita mampu menerima pesan terdalam yang terdapat di
dalam AlQuran lalu masuk ke dalam relung hati nurani. Dan agar diri ini bisa terus
dan terus memperoleh pemahaman dan rasa kemukjizatan AlQuran saat hidup di
dunia ini, ada 5 (lima) hal yang bisa kita lakukan, yaitu:
1. Membacanya dengan
hati yang bersih, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Apabila engkau (Muhammad) hendak
membaca AlQuran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan
yang terkutuk.”(surat An-Nahl (16) ayat 98)”. Dengan membaca isti`ādzah atau ta`awwudz (memohon
perlindungan pada Allah dari syaitan yang terkutuk), adalah sebuah langkah jitu
agar hati kita menjadi bersih. Ibarat cermin, selama kita tidak
membersihkannya, maka cahaya AlQuran tidak mampu dipantulkan secara sempurna.
Dan melalui langkah pembersihan hati ini perlu dilakukan karena: syaitan (baik
dari jin maupun manusia) akan senantiasa menghalang-halangi manusia mendapat
petunjuk dari AlQuran dari berbagai arah dan bersifat konstan.
2. Membacanya ikhlas
karena Allah SWT semata. Tidak mengherankan jika pertama kali wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad, ayat yang pertama kali turun ialah surat Al-`Alaq: (96)
ayat 1. Di situ ada kalimat, ‘iqra`
bismi rabbikal ladzi khalak’ (bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah
menciptakan). Jadi, orang yang membaca AlQuran bukan karena Allah, maka ia
tidak akan mampu merasakan kemukjizatan dan juga daya tariknya. Tidak aneh jika setiap surah yang ada pada AlQur`an
–kecuali Surah At-Taubah- selalu diawali dengan bacaan Basmallah.
Seolah-olah mengandung pelajaran tersirat, bahwa: Membaca (mempelajari AlQuran
yang dimulai dari membaca) harus di mulai dengan nama Allah (karena Allah),
bukan karena pamrih kepada apa pun.
3. Membacanya dengan
pemahaman. Orang yang ingin merasakan kemukjizatan dan daya tariknya, harus
memahami bahasanya. Mereka yang pertama kali, merasakan langsung daya tarik
AlQuran adalah orang-orang Arab. Mereka dikenal dengan kepiawaiannya dalam hal
syair dan tata bahasa Arab. Dengan hati yang bersih, ditambah dengan pemahaman
bahasa Arab, akan memudahkan mereka merasakan kemukjizatan dan daya tariknya. Contohnya
adalah setelah Umar bin Khattab ra, membersihkan hatinya dari kebencian, dan
disertai dengan pemahaman, maka ketika membaca Surah Thaha, akhirnya kemukjizaran
dan daya tarik AlQuran bisa menggun-cang sanubarinya. Apa yang dia pahami
selama ini, ternyata keliru. Pemahamannya tentang AlQuran seketika itu berubah
ketika AlQuran menyatakan: “Tidaklah aku
menurunkan AlQuran kepadamu, supaya kamu menjadi celaka.”(surat Thaha (20) ayat
2). Akhirnya ia sadar bahwa Islam (AlQuran yang diturunkan) bukan untuk membuat
orang celaka, tapi untuk membuat bahagia.
4. Membacanya dengan
pemikiran dan penelitian. Hal ini sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal.”(surat Ali Imran (3) ayat 190). Orang yang
membaca AlQuran disertai pemikiran dan penelitian, akan mampu merasakan kemukjizatan
dan daya tariknya. Tidak aneh jika para ilmuwan baik masa lampau maupun masa
kini, begitu tertarik dengan AlQuran karena mereka membaca AlQuran dengan
pemikiran dan penelitian terutama saat mempelajari ayat-ayat kauniyah.
5. Membacanya dengan
pengamalan. Dengan pengamalan maka kemukjizatan dan daya tariknya akan
dirasakan. AlQuran membuat metafor sindiran terhadap orang yang diberi kitab
tapi tidak mengamalkannya: “Perumpamaan
orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya
adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya
perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi
petunjuk kepada kaum yang zalim.”(surat Al-Jumu`ah (62) ayat 5). Tiada
memikul berarti tidak mengamalkan isinya. Keledai membawa kitab adalah gambaran
konkrit tentang orang yang tidak akan merasakan daya tarik al-Qur`an, lantaran
tidak mengamalkannya.
Sebagai orang yang
telah bertauhidkan kepada Allah SWT sudah semestinya 5 (lima) hal yang kami
kemukakan di atas ini mampu kita laksanakan, terutama di sisa usia yang kita
miliki. Terkecuali jika kita hanya butuh AlQuran sebatas buku bacaan semata,
atau buku hafalan tanpa makna.
G. KETAUHIDAN
DALAM DIRI AKAN MENGHANTARKAN DIRI KITA UN-TUK MEMPEROLEH DAN MENDAPATKAN JALAN
YANG LURUS.
Adanya ketauhidan dalam diri yang baik dan
benar akan menghantarkan diri kita memperoleh, mendapatkan dan juga merasakan
jalan yang lurus melalui petunjuk Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan
dalam firman-Nya berikut ini: “Sungguh,
Kami telah menurunkan ayat-ayat yang memberi penjelasan. Dan Allah memberi
petunjuk siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus. (surat An Nuur (24) ayat
46).” Hal lain yang harus menjadi perhatian bagi diri kita adalah bahwa
Nabi Muhammad SAW tidak bisa memberi petunjuk kepada orang yang ia kasihi, sehingga
hanya Allah SWT sajalah yang dapat memberi petunjuk hanya kepada orang yang Dia
kehendaki. Daan yang bisa memperolehnya adalah orang-orang yang telah memiliki
ketauhidan yang baik lagi benar. Hal ini sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat
memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk
kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau
menerima petunjuk. (surat Al Qashshas (28) ayat 56).”
Lalu
apa itu jalan yang lurus? Inilah salah satu pengertian dari jalan yang lurus sebagaimana yang dikemukakan
oleh “Pardamean Harahap”, dalam bukunya “Iqro! Menyingkap Makna Dari Fenomena Hidup Sehari Hari (Melihat
TandaNya adalah (juga) Menyadari Kehadiran-Nya)”, Inner Voice Publishing,
Jakarta, tahun 2012. Yaitu: jalan yang lurus adalah jalan yang menentramkan
jiwa kita, dan jalan yang membuat kita mengerti siapa diri kita yang
sebenarnya. Sehingga kita paham dengan aliran pikiran yang muncul di benak
kita. Jalan yang lurus adalah jalan yang membuat diri kita senantiasa sadar
sepenuhnya siapa diri kita yang sebenarnya, dan siapa Tuhan kita yang
sebenarnya. Jalan yang lurus adalah
jalan yang paling dikehendaki oleh Allah SWT karena jalan ini yang akan mampu
menghantarkan diri kita kembali kepada Allah SWT. Namun jalan yang lurus sangat
dibenci dan tidak disukai oleh syaitan yang sanglaknatullah. Dan semoga Allah
SWT selalu membimbing kita untuk tetap dan terus berada di jalan yang lurus
melalui petunjuk-Nya selama hayat masih di kandung badan.
Adanya jalan yang lurus
mengharuskan diri kita sadar bahwa diri kita bukanlah sesuatu yang sama
kedudukannya dengan Allah SWT. Diri kita hanyalah abd’(hamba)-Nya yang
sekaligus khalifah-Nya di muka sehingga kita harus mengabdi kepada Allah SWT.
Lalu melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan-Nya dan juga menghindari
dari apa-apa yang telah dilarang-Nya. Jangan sampai diri kita berjalan secara
ziq-zaq kadang lurus kadang bengkok. Dan untuk mempertegas agar diri kita bisa selalu
berjalan di jalan yang lurus terutama di sisa usia yang ada maka diperlukan
adanya 3 (tiga) hal yang harus kita miliki dan laksanakan, yaitu:
1. Wajib memiliki iman
atau keyakinan yang teguh kepada Allah, yaitu berupa ketau-hidan yaitu
mengesakan Allah, Allah hanya satu, tidak beranak dan tidak diperanakan dan
tidak ada yang setara dengan-Nya. Doktrin ketauhidan yang bersifat monotheisme mutlaq ini telah dinyatakan
dengan tegas dalam surat Al Ikhlas (112) ayat 1-4 berikut ini: “Katakanlah
(Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu.
(Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang
setara dengan Dia.”
2. Seorang muslim tidak
cukup hanya meyakini rukun iman yang enam, yaitu iman kepada Allah, iman kepada
Rasul, iman kepada kitab, iman kepada malaikat, iman kepada qadha, qadar dan
takdir dan iman kepada adanya hari kiamat. Akan tetapi juga wajib melaksanakan
rukun Islam yang lima, yakni mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat,
berpuasa, menunaikan zakat dan naik haji dan mampu melaksanakan ibadah ikhsan. Dimana
di dalam pelaksanaannya baik rukun iman, rukun islam dan ikhsan harus dilaksanakan
dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Jika rukun iman
menekankan keyakinan pada Allah, maka rukun Islam menekankan pentingnya
melaksanakan ibadah. Karena itu ibadah merupakan unsur kedua dari pentingnya
mencapai jalan lurus yang diperintahkan oleh Allah dan menjadikan ibadah ikhsan
menjadi bentuk penampilan diri kita melalui kebaikan-kebaikan yang kita
laksanakan dalam kerangka mencari keridhaan Allah SWT. Hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari
keridhaan Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik. (surat Al-Ankabut (29) ayar 69)”.
3. Unsur ketiga yang harus kita lakukan agar diri kita terus dan tetap berada jalan yang lurus selama
hayat di kandung adalah melakukan amal shaleh secara konsisten dalam bentuk kebaikan-kebaikan
bagi kepentingan umat manusia dan juga berusaha untuk berani membayar untuk
kebaikan yang bersifat jangka panjang yang dapat dinikmati oleh generasi yang
datang dikemudian hari. Apalagi di dalam AlQuran kata iman selalu digandengkan
amal shaleh, yang bermakna disamping keyakinan yang kuat terhadap Allah SWT
harus juga disertai kesediaan untuk melakukan amal kebaikan atau amal shaleh.
Dalam AlQuran
bertebaran ayat yang menyampaikan penghargaan Allah yang sangat tinggi kepada
orang yang beramal shaleh yang berbuat kebaikan. Bahkan, Allah SWT menyebut
mereka dengan sebaik-baiknya makhluk (khairul bariyyah), seperti yang termaktub
dalam surat Al-Bayyinah (98) ayat 8: “Sungguh, orang-orang yang beriman dan
mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk”.
Dalam ayat yang lain
orang yang berbuat shaleh ini juga disebut orang-orang yang benar (shodiqun).
Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang mukmin yang
sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian
mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan
Allah.Mereka itulah orang-orang yang benar. (surat Al-Hujurat (49) ayat 15)”.
Bahkan, jika seorang
yang telah memiliki ketauhidan dalam diri menginginkan dapat berjumpa dengan
Allah pada hari akhirat kelak, maka amal shaleh berupa kebajikan itula yang
akan mengantarkannya bertemu dengan Allah SWT, Dzat Yang Maha Pengasih dan
Penyayang. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “……Maka
barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan
kebajikan dan janganlah dia memperse-kutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah
kepada Tuhannya. (surat Al Kahfi (18) ayat 110)”.
Sekarang bertanyalah
kepada diri sendiri, apakah kita tidak merindukan untuk bertemu dengan Allah
SWT kelak di syurga, karena hal ini adalah puncak dari kebahagiaan sejati
seorang hamba yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Jika kita merindukannya
segera miliki ilmu ketauhidan dalam diri saat ini juga lalu berbuatlah amal
kebajikan terus dan terus dan semoga Allah SWT memudahkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar