C.
ADANYA SAAT KHUSUS
SAAT BERIBADAH HAJI.
Berikut ini akan kami kemukakan beberapa keadaan khusus yang hanya dapat diperoleh oleh jamaah haji, yakni:
1. Saat Allah SWT
mengadakan Open House bagi tamu yang diundang-Nya di Arafah.
Padang Arafah adalah
suatu tempat yang akan dituju oleh setiap jamaah haji untuk melaksanakan salah
satu rukun haji, yaitu melaksanakan prosesi Wukuf. Yang mana prosesi Wukuf hanya diadakan oleh
Allah SWT setahun satu kali yaitu setiap tanggal 9 Dzulhijjah yang waktunya
hanya berlangsung kurang lebih 6 jam mulai dari waktu shalat Dzuhur sampai
menjelang shalat Maghrib. Adanya keterbatasan waktu prosesi Wukuf yang seperti
ini maka tidak berlebihan jika prosesi wukuf merupakan saat yang terbaik yang
dipersiapkan oleh Allah SWT kepada tamunya yang hadir untuk melaksanakan ibadah
haji yang mana kondisi ini kami istilahkan dengan “Open House” dimana setiap
jamaah haji harus menghadiri prosesi ini. Alangkah nikmatnya jika sampai diri
kita selaku tamu yang hadir prosesi wukuf di padang Arafah dalam kerangka Open
House, lalu kehadiran diri kita disana diterima oleh Allah SWT selaku Tuan
Rumah. Jika kondisi ini terjadi pada diri kita, mampukah kita menggambarkannya?
Mampukah kita merefleksikannya dan mengemukakannya dengan kata-kata, selain
dengan menangis? Adanya kondisi seperti ini maka akan membuat diri kita ingin
kembali dan kembali lagi untuk melaksanakan haji lalu merasakan kembali apa
yang pernah kita rasakan di padang Arafah.
2. Saat Allah SWT
memperlihatkan konsep miniatur Padang Mahsyar di muka bu-mi. Adanya prosesi wukuf
di padang Arafah yang diadakan hanya setiap tanggal 9 Dzulhijjah, sesungguhnya Allah SWT selaku Tuan Rumah
sedang mempertunjukkan, sedang mempertontonkan, serta sedang memperlihatkan
secara kasat mata kepada seluruh umat manusia tentang sebuah pemandangan apa
yang dinamakan dengan konsep miniatur berkumpulnya umat manusia seperti yang
akan Allah SWT laksanakan kelak di padang Mahsyar.
Adapun peserta dari
konsep miniatur padang Mahsyar di muka bumi adalah seluruh jamaah haji yang
datang ke pelaksanaan prosesi Wukuf di padang Arafah. Sehingga setiap jamaah
haji yang hadir di padang Arafah untuk melaksanakan prosesi Wukuf merupakan orang orang yang
turut terlibat secara langsung sebagai peserta konsep miniatur padang Mahsyar
di muka bumi dan diharapkan kita bisa mengambil pelajaran yang berharga melalui
dikumpulkannya manusia di padang Arafah. Sadarkah kita dengan kondisi ini!.
Saat seluruh jamaah
haji berkumpul di padang Arafah maka semuanya dalam kondisi yang sama, yaitu
berkumpul dengan mempergunakan kain ihram yang sama warnanya, yaitu putih
bersih, yang kesemuanya memiliki niat yang satu, yaitu berusaha untuk menjadi
tamu yang menyenangkan bagi Allah SWT. Hal yang samapun akan terjadi saat semua
manusia dikumpulkan kelak di padang Mahsyar, yaitu semuanya berdiri di tengah
hambaran bumi baru yang terbentang dengan bertelanjang, untuk menunggu
pengadilan sejati untuk menetapkan kemana kita harus pulang, apakah ke syurga
ataukah ke neraka.
Lalu bagaimana dengan
gambaran kualitas jamaah haji saat melaksanakan prosesi wukuf di padang Arafah?
Gambaran dari kualitas umat manusia ataupun kedekatan seorang hamba dengan
Rabb-Nya sangat tergantung dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan dari para tamu
yang hadir di padang Arafah. Semakin baik dan semakin berkualitas tingkat
keimanan dan ketaqwaannya maka semakin mampu merasakan mampu merasakan rasa
diterima dan rasa ditemui oleh Allah SWT. Demikian pula sebaliknya.
3.
Saat prosesi melempar
jumroh.
Sekarang apakah hanya
di Masjidil Haram dan juga di padang Arafah kita bisa merasakan sesuatu yang
luar biasa saat menunaikan ibadah haji? Di luar itu, kita juga bisa merasakan
sesuatu yang luar biasa, terutama saat diri kita berada di Masy’aril Haram
(Muzdalifah) untuk melaksanakan Mabid dalam kerangka mempersiapan diri untuk
menuju jamarat untuk menyerang, untuk melempar dan untuk menembak tiga buah
jamarat berupa Ula, Wustha, dan Aqabah dengan mempergunakan batu yang sedang
kita kumpulkan dan persiapkan saat Mabid di Muzdalifah.
Dan sesaat diri kita selesai melakukan penyerangan
kepada 3 (tiga) buah jamarat, Ula, Wustha dan Aqabah, akan terasa ada sesuatu
yang lepas dari diri ini, yaitu adanya sebuah perasaan lega dan plong setelah
melempar dan membuang segala keburukan yang dikehendaki oleh setan saat
melempar jumroh. Apalagi saat menyerang dan melempar jumroh kita barengi dengan
pernyataan, “Bismillah Allahuakbar”. Apakah kita merasakan hal ini!
Pesan dari melempar
jumroh adalah tidak menjadikan apa yang
kita lontarkan dan yang kita buang melalui prosesi jumroh menjadi oleh-oleh
ibadah haji setelah kembali ke tanah air (Tanah Halal) sehingga apa yang telah
kita lemparkan dan kita buang melalui prosesi jumroh adalah apa-apa yang
dikehendaki oleh setan sang laknatullah sehingga yang ada pada diri kita
setelah kembali dari menunaikan ibadah haji adalah membuktikan dan
merealisasikan segala perbuatan yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Dan jika sampai
mengejar kenikmatan hidup dengan cara-cara terlaknat, yang tidak
mempertimbangkan sama sekali ukuran kelayakan dan kewajaran, apalagi
batas-batas baik dan buruk. Selalu memperdaya manusia dalam upaya mengumpulkan
berbagai fasilitas dan kemudahan-kemudahan dalam kehidupan, tanpa
mempertimbangkan sama sekali keseimbangan dan kelestarian lingkungan, tidak
mempunyai kepedulian sosial atas hak-hak orang lain terutama hak dhuafa, fuqara
dan masakin. Serakah menumpuk kekayaan dan berbagai fasilitas dengan cara yang
tidak halal untuk diri dan anak keturunan serta konco-konconya. Tanpa
memperhatikan rintihan orang yang kelaparan dan orang yang tidak mampu yang ada
disekitarnya, demikian seterusnya. Jika hal ini masih kita lakukan sepulang
melaksanakan ibadah haji (maksudnya setelah melempar jumroh) berarti yang kita
lempar hanya batu semata dan batunya telah pula menjelma menjadi oleh-oleh
haji.
Akhirnya hakekat dari
melempat jumrah adalah kita membuang atau meniadakan segala perbuatan-perbuatan
atau tingkah laku yang sesuai dengan kehendak setan sang laknatullah. Dengan dibuangnya
atau dihilangkannya perbuatan-perbuatan melalui simbol batu berarti setelah
jumroh maka perbuatan atau tingkah laku harus berkesesuaian dengan apa-apa yang
diridhai Allah SWT. Untuk itu setelah kembali ke tanah air, jangan sampai apa
yang telah kita buang melalui prosesi Jumroh kembali lagi menjadi perbuatan
atau menjadi tingkah laku kita dikarenakan kita telah jadikan sebagai oleh-oleh
haji.
Selain daripada itu,
saat diri kita berziarah ke kota Madinah, yang mana kita bisa berziarah ke
makam Nabi Muhammad SAW dan juga ke makam Abu Bakar Ash Shiddiq ra, dan Umar
bin Khattab ra, serta kepemakaman Baqi. Ditambah jika kita mampu berdoa di
Raudah yang diiringi dengan mampunya diri kita melaksanakan ibadah Arbain di
Masjid Nabawi juga mampu memberikan suasana bathin (jiwa) yang begitu terkesan
dalam diri. Selanjutnya dengan diri kita mampu melihat dan mampu pula shalat
sunnah di Masjid Quba dan Masjid Qiblatain serta ziarah ke Jabal Uhud semakin
menambah kerinduan kita terhadap kota Madinah.
Berdasarkan uraian yang kami kemukakan di atas, perasaan untuk kembali dan kembali lagi untuk melaksanakan ibadah haji atau umroh bukanlah sesuatu yang mengada-ada namun memang kenyataannya seperti itu adanya. Apalagi jika sampai di tanah air kita mampu membuktikan hasil dari pelaksanaan ibadah haji atau umroh yang mabrur dalam bentuk karya-karya nyata untuk kepentingan masyarakat banyak, maka rasa untuk kembali menjadi lebih bertambah lagi. Akan tetapi jika ada jamaah yang menunaikan ibadah haji atau ibadah umroh yang hanya merasakan rasa capek, lelah dan letih semata, atau jika ada jamaah haji atau jamaah umroh yang terusir dari hadapan Tuan Rumah karena sikapnya yang menantang Tuan Rumah maka orang yang seperti ini akan biasa biasa saja mensikapi atas apa-apa yang pernah dilakukannya saat menunaikan ibadah haji atau ibadah umroh atau bahkan mereka tidak bereaksi saat mendengar dan diperdengarkan Talbiyah yang dikumandangkan, yang akhirnya mereka tidak mempunyai keinginan untuk balik dan kembali lagi untuk melaksanakan ibadah haji atau ibadah umroh). Akhirnya ia mengatakan cukup sekali menunaikan ibadah haji (ibadah umroh.
Alangkah ruginya jika kita yang pergi ke Baitullah hanya merasakan nikmatnya beribadah tanpa bisa bertemu Allah SWT selaku tuan rumah dan merasakan rasa diterima oleh Allah SWT yang kemudian rasa ini terus bisa kita rasakan selama hayat masih di kandung badan. Disinilah letak yang terpenting dari menunaikan ibadah haji atau ibadah umroh dan dari sini pulalah yang sebenarnya yang mampu menggetarkan hati dan perasaan kita jika mendengar suara Talbiyah dikumandangkan yang pada akhirnya kita ingin selalu kembali dan kembali menunaikan ibadah haji atau ibadah umroh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar