5. Seperti Apakah Bentuk
Ruh Diri Kita. Pernahkah kita merenung dan bertanya kepada diri
sendiri, seperti apakah wujud dan bentuk ruh yang ditiupkan Allah SWT ke dalam
jasmani diri kita? Apakah bentuk ruh sama dengan bentuk jasmani diri kita? Jika
ruh dan jasmani sama bentuknya, apakah ruh dapat melihat, dapat mendengar serta
merasakan seperti yang terjadi dengan jasmani kita? Untuk mengetahui itu semua,
mari kita pelajari ruh dimaksud walaupun
hanya sedikit. Sekarang mari kita pelajari hadits yang kami kemukakan di bawah
ini:
“Abu Dzar r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: Pada suatu malam terbuka
atap rumahku di Mekkah, lalu turun Jibril, dan membelah dadaku, kemudian
membasuhnya dengan air zam-zam, kemudian ia membawa mangkok emas yang penuh
berisi hikmat dan iman lalu dituangkan ke dalam dadaku, lalu ditutup kembali.
Kemudian ia membimbing tanganku dan menaikkan aku ke langit dunia, dan ketika
sampai di langit, Jibril berkata kepada penjaganya: Bukalah. Lalu ditanya:
Siapakah itu? Jawabnya: Jibril. Lalu ditanya: Apakah bersama lain orang?
Jawabnya: Ya, bersamaku Muhammad SAW. Ditanya: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya.
Ketika telah dibuka, kami naik ke langit dunia tiba-tiba bertemu dengan orang
yang duduk sedang di kanan, kirinya banyak gerombolan, bila ia melihat ke kanan
tertawa, bila melihat kekiri menangis, maka ia menyambut: Marhaban (selamat
datang) nabi yang salih dan putra yang salih. Saya Tanya kepada Jibril:
Siapakah itu? Jawabnya: Itu Adam a.s, sedang gerombolan yang kanan-kirinya anak
cucunya, yang di kanan ahli sorga dan yang di kirinya ahli neraka, karena itu
ia tertawa bila melihat ke kanan, dan menangis bila melihat ke kirinya.
Kemudian dinaikkan ke langit kedua, dan minta buka pada penjaganya, juga dikatakan
oleh penjaganya sebagaimana langit pertama, lalu dibuka. Anas r.a. berkata:
Maka menyebut bahwa di langit-langit itu telah bertemu dengan Adam, Idris,
Musa, Isa, Ibrahim a.s. tetapi tidak dijelaskan tempat masing-masing, hanya
menyebut bahwa Adam di langit pertama
dan Ibrahim di langit ke enam.Anas r.a. berkata: Ketika Jibril bersama Nabi
Muhammad SAW jumpa dengan nabi Idris maka disambut: Marhaban (selamat datang)
nabi yang salih dan saudara yang salih. Lalu saya tanya: Siapakah ini?
Jawabnya: Ini Idris, kemudian melalui nabi Musa juga disambut: Marhaban
binnabiyissalih, dan saya bertanya: Siapakah ini? Jawab Jibril: Itu Musa, lalu
melalui Isa juga menyambut selamat datang nabi yang salih dan saudara yang
salih, ketika saya tanya: Siapakah itu? Jawab Jibril: Itu Isa a.s.
Kemudian melalui Ibrahim juga menyambut: Selamat
datang nabi yang salih dan putra yang salih. Lalu saya tanya: Siapakah itu?
Jawab Jibril: Itu Ibrahim a.s. Kemudian aku dibawa naik sehingga ke atas
mustawa, dimana aku mendengar suara kalam yang mencatat dilauh mahfudh. Maka
Allah mewajibkan atas ummatku lima puluh kali sembahyang. Lalu aku kembali
membawa perintah kewajiban itu sehingga melalui Musa, maka ia tanya: Apakah
yang diwajibkan Tuhan atas ummatmu? Jawabku: Lima puluh kali sembahyang,
langsung ia berkata: Kembalilah kepada Tuhan untuk minta keringanan, sebab
ummatmu takkan kuat melakukan itu, maka aku kembali kepada Tuhan minta
keringanan dan diringankan separuhnya, lalu kembali kepada Musa dan saya
terangkan padanya telah diringankan separuhnya, tetapi Musa tetap berkata:
Mintalah keringanan karena ummatmu tidak akan kuat, maka kembali aku minta
keringanan kepada Tuhan dan mendapat keringanan separuhnya, kemudian kepada
Musa saya katakan telah mendapat keringanan separuhnya, tetapi Musa tetap
menganjurkan supaya minta keringanan karena ummatmu tidak akan kuat melakukan
itu, maka kembalilah aku minta keringanan kepada Tuhan, sehingga Allah
berfirman: Itu hanya lima kali dan berarti lima puluh, tidak akan berubah lagi
putusanku maka aku kembali kepada Musa dan Musa tetap menganjurkan supaya minta
keringanan, tetapi aku jawab bahwa aku malu kepada Tuhan. Kemudian aku dibawa
ke sidratul muntaha yang diliputi oleh berbagai warna sehingga aku tidak
mengerti apakah itu. Kemudian aku dimasukkan sorga, mendadak kubah-kubahnya
dari mutiara dan tanahnya kasturi (misik). (Hadits Riwayat Bukhari,
Muslim, Al Lulu Wal Marjan: 102)
Malik bin
Sha’sha’ah r.a. berkata: Nabi SAW
bersabda: Ketika aku di dekat Ka’bah di antara tidur dan jaga, tiba-tiba aku
mendengar suara salah seorang, yaitu yang di antara dua orang , lalu disediakan
mangkok emas yang berisi hikmat dan iman, lalu dibelah dari bawah tenggorokan
hingga perutku, kemudian dibasuh dadaku dengan air zamzam, lalu dipenuhi dengan
hikmat dan iman, lalu didatangkan untukku binatang yang putih lebih besar dari
himar dan di bawah keledai (baghel) bernama buraq, lalu berangkat bersama
Jibril hingga sampai langit dunia, dan ketika ditanya: Siapakah itu? Jawabnya:
Jibril. Ditanya: Bersama siapa? Jawabnya: Muhammad. Ditanya: Apakah dipanggil?
Jawabnya: Ya. Maka disambut selamat datang, maka aku bertemu dengan Adam a.s.
dan memberi salam, dan menyambutku dengan Selamat datang putraku dan nabi.
Kemudian kita naik ke langit kedua, dan ditanya: Siapakah itu? Jawabnya:
Jibril. Ditanya: Siapa yang bersamamu? Jawabnya: Muhammad. Ditanya: Apakah
dipanggil? Jawabnya: Ya. Lalu disambut: Selamat datang, di sana kami bertemu
dengan Isa dan Yahya a.s. keduanya menyambut: Selamat datang saudara sebagai
nabi. Kemudian kami naik ke langit ketiga, lalu ditanya: lalu ditanya: Siapakah
itu? Jawab: Jibril. Ditanya: Dan siapa yang bersamamu? Jawabnya: Muhammad.
Ditanya: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut dengan selamat datang,
dan disitu bertemu dengan Yusuf a.s. dan
setelah memberi salam padanya ia menyambut: Selamat datang saudara sebagai
nabi. Kemudian kami naik ke langit keempat, dan ditanya: Siapakah itu? Jawab:
Jibril. Ditanya: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut dengan selamat
datang, dan disitu bertemu dengan Idris a.s. Sesudah saya beri salam, ia
menyambut: Selamat datang saudara sebagai nabi. Kemudian kami naik ke langit
kelima, dan ditanya: Siapakah itu? Jawabnya: Jibril. Dan ditanya: Siapakah yang
bersamamu? Jawabnya: Muhammad. Ditanya pula: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya.
Maka disambut: Selamat datang.
Disitu kami
bertemu dengan Harun a.s. maka aku memberi salam, dan ia menyambut: Selamat
datang saudara sebagai nabi. Kemudian kami naik ke langit keenam, juga ditanya:
Siapakah itu? Jawab: Jibril. Lalu ditanya: Dan siapa yang bersamamu? Dijawab:
Muhammad. Ditanya: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut: Selamat
datang, dan disitu bertemu dengan Musa a.s. setelah aku memberi salam, ia
menyambut dengan ucapan: Selamat datang saudara sebagai nabi. Dan ketika kami
meninggalkannya ia menangis, dan ketika ditanya: Mengapakah ia menangis?
Jawabnya: Ya Rabbi itu pemuda yang Tuhan utus sesudahku akan masuk sorga dari
ummatnya lebih banyak dari ummatku. Kemudian kami naik ke langit ketujuh, maka
ditanya: Siapakah itu? Jawab: Jibril, Ditanya: Siapa yang bersamamu? Jawabnya:
Muhammad. Ditanya: Apakah ia dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut: Selamat
datang, dan disitu kami bertemu dengan Nabi Ibrahim a.s .Sesudah aku memberi
salam, maka ia sambut dengan: Selamat datang putraku sebagai nabi.
Kemudian tampak
padaku albaitul ma’mur, maka aku tanya kepada Jibril. Jawabnya: Ini baitul
ma’mur tiap hari dimasuki oleh tujuh puluh ribu Malaikat untuk sembahyang, jika
telah keluar tidak akan masuk lagi untuk selamanya.
Kemudian
diperlihatkan kepadaku Sidratul Muntaha, mendadak buahnya bagaikan gentong
(tempat air) Hajar, sedang daunnya bagaikan telinga gajah dan dibawahnya
menyumber empat sungai, dua kedalam dan dua keluar. Aku bertanya kepada Jibril.
Jawabnya: Yang dalam itu di sorga, sedang yang keluar itu yaitu sungai Nil dan
Furat. Kemudian diwajibkan atasku lima puluh kali sembahyang. Lalu aku turun
bertemu Musa, lalu ia bertanya: Apakah yang anda dapat? Jawabku: Diwajibkan
atasku lima puluh kali sembahyang. Musa berkata: Aku lebih berpengalaman dari
padamu, aku telah bersusah payah melatih Bani Israil, dan ummatmu tidak akan
kuat, karena itu kembali minta keringanan, dan diringankan sepuluh sehingga
tinggal empat puluh, kemudian dikurangi lagi sepuluh sehingga tinggal tiga
puluh, kemudian diringankan lagi sepuluh sehingga tinggal dua puluh, kemudian
diringankan lagi sepuluh sehingga tinggal sepuluh, dan aku kembali kepada Musa
dan ia tetap menganjurkan supaya minta keringanan, maka aku minta keringanan,
dan dijadikannya lima kali. Maka aku bertemu Musa dan menyatakan bahwa kini
tinggal lima, maka ia tetap menganjurkan supaya minta keringanan, tetapi saya
jawab: Aku telah menerima dengan baik. Maka terdengar seruan: Aku telah
menetapkan kewajibanKu, dan meringankan pada hamba-hambaKu, dan akan membalas
tiap hasanat dengan sepuluh lipat gandanya. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim,Al Lulu Wal Marjan: 103). “
Itulah
hadits isra mi’raj, lalu apa yang jamaah pikirkan? Mungkin jamaah sekalian
bertanya-tanya di dalam hati, untuk apakah hadits isra mi’raj yang
panjang-panjang kami kemukakan dalam pembahasan tentang ruh. Secara sepintas
memang tidak ada hubungan antara permasalahan ruh dengan perjalanan isra’
mi’raj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sekarang
mari kita pelajari hadits di atas. Seperti kita ketahui bersama, perjalanan
Isra’ Mi’raj terbagi atas dua perjalanan yaitu perjalanan Isra’ yaitu
perjalanan dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa dan perjalanan Mi’raj yaitu
perjalanan dari Masjidil Aqsa menuju tempat bertahtanya Allah SWT. Dalam
perjalanan Mi’raj inilah yang nanti akan ada hubungannya dengan ruh manusia.
Untuk itu mari kita pelajari perjalanan Mi'raj yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW. Perjalanan Mir’aj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dimulai
dari Masjidil Aqsa menuju Arsy. Dalam perjalanan menuju Arsy tersebutlah Nabi
Muhammad SAW melewati langit yang pertama sampai dengan langit yang ketujuh
serta melewati sidratul muntaha. Selanjutnya apa yang Nabi Muhammad SAW lihat
dan alami di dalam perjalanan itu?
Pada
waktu Nabi Muhammad SAW sampai di langit yang pertama, Beliau bertemu dengan
seseorang dan orang tersebut menyambutnya seraya berkata “Marhaban (selamat
datang) Nabi yang salih dan Putra yang salih”. Nabi Muhammad SAW bingung
kenapa orang tersebut mengenalnya sedangkan Beliau tidak mengenalnya. Kemudian
Nabi bertanya kepada Malaikat Jibril “Siapakah itu?” Jawab Malaikat Jibril: ”Itu Adam a.s,
sedang gerombolan yang berada di kanan dan di kirinya adalah anak cucunya, yang
di kanan ahli syurga dan yang di kirinya ahli neraka, karena itu ia tertawa
bila melihat ke kanan, dan menangis bila melihat ke kiri”. Demikian seterusnya
Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi dan Rasul
terdahulu di setiap tingkatan langit sebelum Beliau bertemu langsung
dengan Allah SWT.
Berdasarkan
uraian yang tertuang dalam hadits yang kami kemukakan di atas, ada beberapa hal
yang patut kita perhatikan dengan seksama untuk memudahkan kita menjawab
pertanyaan tentang bentuk ruh/ruhani manusia seperti apa, yaitu : (a) Siapakah yang sebenarnya ditemui oleh
Nabi Muhammad SAW di langit yang pertama sampai dengan langit yang ke tujuh;
(b) Setiap Nabi yang ditemui atau setiap Nabi yang bertemu dengan Nabi Muhammad
SAW selalu Nabi tersebut mengenal Nabi Muhammad SAW sedangkan Beliau sendiri
tidak mengenalnya.
Berdasarkan
kondisi ini, sebenarnya apa yang terjadi? Seperti kita ketahui bersama setiap
manusia pasti mengalami kematian atau ruh pasti berpisah dengan jasmani, dimana
jasmani akan dimakamkan di bumi atau kembali ke tanah sedangkan ruh kembali ke
asalnya yaitu kepada pencipta-Nya. Sekarang jika Nabi Muhammad SAW di langit
yang pertama bertemu dengan Nabi Adam as, maka siapakah yang ditemui oleh
Beliau, apakah Nabi Adam as, dalam bentuk ruh tanpa jasmani atau apakah Nabi
Adam as, dalam bentuk jasmani dengan ruh atau apakah Nabi Adam as, dalam bentuk
jasmani tanpa ruh?
Jika yang ditemui
oleh Nabi Muhammad SAW adalah Nabi Adam as, dalam bentuk jasmani dengan ruh ini
berarti bahwa Nabi Adam as, masih hidup sedangkan kenyataannya Nabi Adam as,
sudah meninggal. Lalu jika yang ditemui oleh Nabi Muhammad SAW adalah Nabi
Adam as, dalam bentuk jasmani tanpa ruh,
lalu siapakah yang dikuburkan atau yang telah dimakamkan di muka bumi sedangkan
pada saat itu Nabi Muhammad SAW sedang berada dalam perjalanan Mi'raj atau
berada di atas bumi. Adanya kondisi ini berarti yang ditemui oleh Nabi Muhammad
SAW adalah bukan Nabi Adam as, dalam bentuk jasmani tanpa ruh atau bukan pula
Nabi Adam as, dalam bentuk jasmani dengan ruh, jadi siapakah itu?
Sekarang jika Nabi
Adam as, adalah manusia yang diciptakan oleh Allah SWT, maka Nabi Adam as,
pasti terdiri dari ruh dan jasmani. Adanya kondisi ini maka yang ditemui oleh
Nabi Muhammad SAW di langit yang pertama adalah Nabi Adam as, dalam bentuk ruh
tanpa jasmani atau disebut juga dengan ruh Nabi Adam as, karena jasmani Nabi
Adam as, telah dikubur di bumi dan mungkin saja telah hancur di makan tanah.
Ini berarti yang
ditemui dan yang mengenal terlebih dahulu Nabi Muhammad SAW adalah Nabi Adam
as, dalam bentuk ruh tanpa jasmani dan jika sekarang ruh Nabi Adam as, tidak mempunyai
bentuk mungkinkah Nabi Muhammad SAW mengenalnya dan bertanya kepada Malaikat
Jibril “Siapakah Itu?” Sebuah pertanyaan jika disampaikan dengan
kata “Siapakah Itu”, maka ada sesuatu
yang mempunyai bentuk atau mempunyai rupa serta nyata ada dihadapan Nabi
Muhammad SAW. Berdasarkan kondisi ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Nabi
Adam as, dalam bentuk ruh dari Nabi Adam as, mempunyai rupa atau bentuk (ingat
pertanyaan dari Nabi Muhammad SAW serta jawaban dari Malaikat Jibril).
Lalu seperti apakah
bentuk ruh tersebut? Untuk menjawab pertanyaan, mari kita perhatikan hadits
yang kami kemukakan berikut ini: “Ibn Abbas ra berkata: Nabi SAW
bersabda: Ketika malam Isra’ aku melihat Nabi Musa seorang yang coklat rupanya,
tinggi dan keriting rambutnya, bagaikan orang dari suku Syanu’ah, juga aku
melihat Isa a.s orang yang sedang tidak tinggi dan tidak pendek sedang bentuk
badannya berkulit putih kemerah-merahan lurus rambutnya. Juga saya melihat
Malaikat Malik penjaga neraka dan Dajjal, dalam beberapa ayat-ayat (bukti
kebesaran) Allah yang telah diperlihatkan kepadaku, karena itu maka jangan ragu
anda pasti bertemu padaNya. (Hadits Riwayat Bukhari,
Muslim, Al Lulu Wal Marjan: 104)
Abu Hurairah r.a.
berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ketika malam Israa’ saya melihat Musa seorang
yang kurus, sedang, seakan-akan orang dari suku Syanu’ah, juga melihat Isa juga
sedang, putih kemerahan bagaikan orang yang baru keluar dari pemandian, dan aku
sangat menyerupai Ibrahim. Kemudian dihidangkan kepadaku dua bejana satu berisi
susu dan yang kedua berisi khamer, dan diperintahkan kepadaku supaya memilih
salah satu yang mana aku suka, maka aku ambil susu lalu aku minum, maka
diberitahu: Anda telah mengambil fitrah agama, andaikan anda mengambil khamer
pasti ummatmu akan tersesat. (Hadits Riwayat
Bukhari, Muslim, Al Lulu Wal Marjan: 106)
Berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim yang terdapat dalam kitab Al Lulu Wal Marjan No.104 dan No. 106, didapat keterangan sebagai berikut:
a. Nabi
Musa as, digambarkan mempunyai warna kulit coklat dengan perawakan tinggi serta
keriting rambutnya serta seakan-akan
orang dari suku Syanu’ah,;
b. Nabi Isa as,
digambarkan mempunyai warna kulit putih
kemerah-merahan de-ngan perawakan sedang serta rambut yang lurus;
c. Sedangkan
Nabi Muhammad SAW menggambarkan bahwa dirinya seperti Nabi Ibrahim as.
Jika Nabi Musa as,
dan Nabi Isa as, serta Nabi Ibrahim as, dapat digambarkan oleh Nabi Muhammad
SAW seperti itu, ini berarti bahwa ruh juga mempunyai tinggi (dalam hal ini tinggi badan);
warna (dalam hal ini warna kulit) serta rambut (dalam hal ini ikal dan lurus).
Sedangkah khusus untuk Nabi Musa as, dipertegas dengan pernyataan bahwa Nabi
Musa as, seperti orang dari suku Syanu’ah.
Sekarang jika Nabi
Muhammad SAW sudah menyatakan bahwa Nabi Musa as, seperti orang dari suku
Syanu’ah, ini berarti bahwa Nabi Muhammad SAW tahu betul dengan kondisi phisik
dari orang-orang suku Syanu’ah. Dan Jika Nabi Muhammad SAW tidak tahu dan tidak
mengenal orang-orang dari suku Syanu’ah maka Beliau tidak akan mungkin dapat
memberikan keterangan dan pernyataan yang pasti tentang bentuk serta ciri-ciri
dari Nabi Musa as. Adanya informasi tentang hal ini maka kita dapat menyimpulkan
bahwa ruh
mempunyai bentuk seperti yang dikemukakan Nabi Muhammad SAW pada waktu
menggambarkan ruh tanpa jasmani dari Nabi Musa as, seperti orang-orang suku
Syanu’ah.
Selanjutnya jika kita
mengambil perumpaan dalam membuat kue, bentuk kue yang kita buat akan sama
bentuknya dengan loyang kue yang kita sediakan. Demikian pula dengan ruh.
Bentuk ruh sama persis dengan bentuk
phisik seseorang karena phisik seseorang adalah cetakan atau loyang dari bentuk
ruh itu sendiri. Jika bentuk ruh sama bentuknya dengan bentuk phisik atau
bentuk jasmani seseorang, masih ada pertanyaan lagi yang harus kita jawab yaitu
mempunyai
matakah ruh, mempunyai mulutkah ruh, mempunyai hati atau perasaankah ruh?
Untuk menjawabnya, mari kita lanjutkan pembahasan kita. Nabi Muhammad SAW pada saat bertemu pertama kali dengan
Nabi-Nabi baik di langit pertama sampai dengan langit yang ke tujuh, Beliau
selalu tidak mengenal Nabi-Nabi tersebut sedangkan Nabi-Nabi yang ditemui
Beliau selalu mengenalnya dan selalu menyampaikan salam terlebih dahulu kepada
Nabi Muhammad SAW. Salam yang diucapkan oleh para Nabi-Nabi yang ditemui
oleh Nabi Muhammad SAW selalu hampir sama yaitu “Marhaban (selamat datang) Nabi
yang salih dan Putra yang salih” atau “Selamat datang saudara sebagai nabi”.
Jika seseorang menyampaikan salam terlebih dahulu kepada
tamunya, mungkinkah orang yang memberikan salam tidak mempunyai mata, tidak
mempunyai mulut, tidak mempunya telinga? Berdasarkan hadits di atas maka dapat
dipastikan bahwa ruh para Nabi-Nabi mempunyai mata karena dia dapat melihat
tamunya, ruh juga memiliki mulut karena dia bisa berbicara kepada tamunya,
ruh juga memiliki telinga karena dia
bisa mendengar ucapan atau respon tamunya.
Adanya kondisi ini
dapat dikatakan bahwa ruh setiap manusia mempunyai mata, mulut dan telinga.
Lalu apakah
ruh juga memiliki perasaan (af’idah)? Berdasarkan surat As Sajdah (32)
ayat 9 berikut ini: “kemudian Dia menyempurnakan
dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” Setiap manusia pasti
memiliki perasaan yang diberikan oleh Allah SWT setelah peniupan ruh ke dalam
jasmani manusia. Kondisi ini juga dibuktikan pada waktu Nabi Muhammad SAW
sampai di langit yang pertama Beliau melihat Nabi Adam as, menangis jika
menengok ke kiri dan tertawa jika menengok ke kanan. Menangis dan tertawa merupakan bagian dari
suatu perasaan, tanpa ada perasaan yang mendalam tidak akan mungkin kita akan
tertawa ataupun menangis.
Jika Nabi Adam as,
yang dilihat oleh Nabi Muhammad SAW di
langit yang pertama menangis dan tertawa, maka hal ini sudah dapat dipastikan
bahwa ruh dari Nabi Adam as, mempunyai perasaan (af’idah). Lalu apakah ruh
mempunyai ilmu dan pengetahuan? Ruh dapat dipastikan memiliki ilmu dan
pengetahuan, apa buktinya? Setelah Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Allah SWT
di Arsy, Nabi Muhammad SAW mendapatkan sebuah pesan yang wajib dilaksanakan
yaitu mendirikan shalat sebanyak 50 (lima puluh) waktu sehari semalam. Sewaktu
Nabi Muhammad SAW turun Beliau bertemu dengan Nabi Musa as, dan Nabi Musa as,
menanyakan apa pesan yang dikemukakan oleh
Allah SWT.
Pesan dan wasiat yang
telah diterima oleh Nabi Muhammad SAW lalu disampaikan kepada Nabi Musa as,
pada waktu Beliau bertemu dengan Nabi Musa as, di langit yang ke enam. Nabi
Musa as, lalu memberikan masukan, memberikan nasehat, memberikan wejangan
kepada Nabi Muhammad SAW tentang kewajiban mendirikan shalat sebanyak 50 (lima
puluh) waktu. Nabi Musa as, menyuruh dan meminta kepada Nabi Muhammad SAW
menghadap Allah SWT kembali supaya mengurangi kewajiban shalat tersebut
dikarenakan umat tidak akan mampu melaksanakannya. Sekarang jika Nabi Musa as, memberikan
masukan, nasehat dan wejangan kepada Nabi Muhammad SAW untuk meminta
pengurangan atau dispensasi atas kewajiban shalat 50 (lima puluh) waktu dalam
sehari semalam, apakah mungkin Nabi Musa as, tidak mempunyai ilmu dan
pengetahuan serta tidak mempunyai pemikiran dan pandangan yang luas?
Adanya wejangan, masukan, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW menunjukkan
kepada kita bahwa Ruh Nabi Musa as, mempunyai ilmu dan pengetahuan serta
pemikiran dan pandangan yang luas.
Lalu jika ruh para
Nabi-Nabi yang kami sebutkan di atas mempunyai bentuk sesuai dengan bentuk atau
tampilan phisik atau jasmani mereka sendiri, maka apakah ruh kita juga sama
seperti bentuk phisik atau jasmani kita sendiri? Jika para Nabi dan diri kita sama-sama adalah
manusia yang diciptakan dalam kerangka rencana besar untuk dijadikan abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi maka ruh kitapun pasti
mempunyai bentuk, pasti mempunya ciri-ciri phisik seperti tinggi, warna dan
rambut. Ruh kita pun pasti mempunyai mata, mulut, kuping, ilmu dan pengetahuan,
perasaan dan juga memiliki kemampuan dan pandangan luas. Disinilah letak
keadilan Allah SWT selaku pencipta manusia yang bertindak adil dengan tidak
membeda-bedakan kualitas ruh yang ditiupkan ke dalam jasmani setiap manusia.
6. Sifat, Perbuatan dan
Kemampuan Ruh. Ruh
seperti halnya jasmani juga memiliki sifat, juga memiliki perbuatan dan juga
memiliki kemampuan. Ruh akan dinamakan dengan Nass, jika ditinjau dari sisi
sifat alamiah ruh yang berasal dari Allah SWT. Ruh akan dinamakan dengan
Nafs/Anfuss jika ditinjau dari sisi perbuatan di dalam mempe-ngaruhi perbuatan
serta aktivitas kehidupan manusia. Sedangkan Ruh jika ditinjau dari sisi
kemampuannya disebut juga dengan Ruh.
Sifat-sifat alamiah
ruh (nass) sangat berbeda dan juga sangat bertolak belakang dengan sifat-sifat
alamiah jasmani (insan) dikarenakan asal muasal dari keduanya berbeda. Ruh
berasal dari Allah SWT sedangkan jasmani asalnya dari alam atau dari tanah. Apa
buktinya ruh berasal dari Allah SWT? Dasarnya ada pada surat Shaad (38) ayat
72-73 berikut ini: “Maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya. Lalu seluruh malaikat itu
bersujud semuanya.” Dimana ayat ini menerangkan bahwa ruh yang ada pada diri
manusia semuanya berasal dari Allah SWT tanpa ada campur tangan dari pihak
manapun juga serta tanpa ada bantuan dari siapapun juga.
Jika ruh berasal dan
diciptakan hanya oleh Allah SWT semata, timbul pertanyaan, apakah sesuatu yang
berasal langsung dari Allah SWT memiliki sifat buruk sehingga membawa nilai-nilai keburukan? Sesuatu yang
berasal langsung dari Allah SWT dapat dipastikan memiliki sifat yang sangat
berkesesuaian dengan nilai-nilai kebaikan yang berasal dari sifat-sifat
Ilahiah. Sesuatu yang berasal dari Allah SWT dapat dipastikan pula tidak
mempunyai sifat-sifat buruk, tidak mempunyai sifat jahat, tidak mempunyai sifat tercela, tidak
mempunyai sifat munafik, tidak mempunyai sifat kejam dan seterusnya, atau
dengan kata lain apa yang berasal dari Allah SWT pasti memiliki Nilai-Nilai
Ilahiah. Sekarang seperti apakah sifat ruh itu? Hal yang harus kita ketahui
adalah sifat ruh manusia tidak sama dengan sifat Ma’ani Allah SWT yang telah
dijadikan oleh Allah SWT sebagai modal dasar bagi setiap manusia. Selanjutnya
jika sifat Ma’ani telah menjadi modal dasar manusia saat diri kita menjadi abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya bukanlah sifat ruh, lalu yang manakah
sifat ruh itu?
Sifat ruh memiliki
sifat yang mencerminkan Nama-Nama Allah SWT yang indah lagi baik yang berjumlah
99 (sembilan puluh sembilan) perbuatan (Asmaul Husna), yang diberikan Allah SWT
melalui proses shibghah atau proses pencelupan. Sehingga setiap manusia tanpa
terkecuali, tanpa memandang agamanya apa, tanpa memandang siapa orangnya
ataupun keturunannya, pasti memiliki celupan Asmaul Husna sebagaimana
firman-Nya berikut ini: “Shibghah Allah.
Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya
kepadaNya-lah kami menyembah. (surat Al Baqarah (2) ayat 138).
Adanya shibghah
kepada ruh maka dapat dipastikan bahwa sifat dari ruh dari setiap manusia,
ternasuk di dalamnya ruh diri kita adalah sesuai dengan Asmaul Husna yang
dimiliki Allah SWT. Adanya kondisi ini
berarti setiap ruh, termasuk di dalamnya ruh diri kita sendiri, pasti mempunyai
perbuatan Ar Rakhman (Maha Pengasih); Ar Rahiem (Maha Penyayang); Ar Maalik
(Maha Merajai, Maha Memiliki); As Salam (Maha Penyelamat); Al Mu’min
(Maha Pemelihara Keamanan); Al Muhaimin (Maha Penjaga, Maha Pemberi
Kebahagiaan); Al Wahhaab (Maha Pemberi);
dan seterusnya sampai dengan sembilan puluh sembilan perbuatan Allah SWT.
Sekarang mari kita
perhatikan diri kita sendiri, apakah Sibghah dari Allah SWT yang berasal dari
perbuatan (Af’al) Allah SWT atau perbuatan-perbuatan Allah SWT itu ada dalam
diri kita? Untuk itu kita dapat merasakannya sendiri dengan menyatakan adakah rasa
pengasih dalam diri kita? Adakah rasa penyayang dalam diri kita? Adakah rasa
memiliki dalam diri kita? Adakah rasa penyelamat dalam diri kita? Lalu tanyakan
lagi kepada diri sendiri, apakah rasa pengasih dan penyayang, rasa memiliki dan
rasa penyelamat yang ada dalam diri kita
itu Ada dengan sendirinya tanpa ada yang mengadakannya, ataukah rasa itu semua
datang begitu saja? Lalu siapakah yang sanggup menciptakan seluruh rasa
yang ada di dalam diri kita?
Jawaban dari
pertanyaan ini adalah seluruh rasa yang ada di dalam diri berasal dari pencipta
semua rasa, lalu siapakah dia? Jawaban dari pertanyaan ini adalah Allah SWT
sebagaimana termaktub dalam surat Al Hasyr (59) ayat 22-23-24 berikut ini: “Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang
Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia,
Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang
Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala
Keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah
Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai
Nama-Nama Yang Paling baik, bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan
di bumi. Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.”
Sekarang jika di
dalam diri kita saat ini sudah ada Nilai-Nilai Ilahiah yang berasal dari
perbuatan (Af’al) Allah SWT atau perbuatan-perbuatan Allah SWT yang termaktub
dalam Asmaul Husna maka kita dapat
memastikan bahwa sifat-sifat kebaikan adalah sifat yang paling dominan di dalam
ruh kita. Hal ini dikarenakan sesuatu yang bersifat buruk apalagi sifat
tercela tidak akan mungkin berasal dari Allah SWT. Selanjutnya jika saat ini kita
masih suka saling berantam, masih suka
saling menghasut, masih suka saling memfitnah, masih suka berbuat tidak adil,
masih suka berbuat ingkar janji, masih suka korupsi, masih suka menyakiti
sesama dan seterusnya dari manakah itu semua dan kemana larinya Nilai-Nilai
Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah yang telah Allah SWT berikan
kepada kita?
Lalu, untuk apakah
Allah SWT sampai memberikan sibghah atau celupan yang berasal dari perbuatan
(Af’al) Allah SWT itu sendiri kepada setiap ruh manusia yang kemudian menjadi
sifat ruh? Sebagai seorang khalifah di
muka bumi, maka manusia tidak lain adalah perpanjangan tangan Allah SWT untuk
mengurus, untuk memelihara serta untuk menjaga apa-apa yang telah Allah SWT
ciptakan di muka bumi sehingga terciptalah kehidupan yang aman, tenteram,
sejahtera serta dalam suasana keadilan oleh sebab adanya kekhalifahan. Dan
untuk
memudahkan dan juga untuk menuntaskan tugas tersebut di atas maka setiap
manusia yang telah diberikan sibghah oleh Allah SWT yang berasal dari Af’al-Nya
maka setiap manusia wajib menjadikannya sebagai perbuatannya sehari-hari atau
wajib mendayagu-nakannya dalam koridor nilai-nilai kebaikan kepada sesama yang
membutuhkannya. Adanya kondisi saling memberi dan saling menerima maka
inilah salah satu tujuan adanya khalifah di muka bumi dapat terlaksana dengan
baik serta apa yang dikehendaki Allah SWT dapat tercapai.
Sekarang bagaimana
dengan perbuatan ruh yang berasal dari sifat-sifat alamiah ruh yang berasal
dari Af’al Allah SWT yang termaktub dalam Asmaul Husna, yang disebut juga dengan Nafs/Anfuss? Perbuatan yang dilakukan oleh sifat-sifat
alamiah ruh yang berasal dari Nur Allah SWT, pada prinsip kerjanya hampir sama
dengan prinsip kerja perbuatan dari sifat alamiah jasmani yang berasal dari
alam. Apa contoh konkretnya? Salah satu
contoh dari sifat alamiah ruh adalah sifat dermawan. Jika sifat dermawan tumbuh dalam diri kita, atau sifat dermawan
menjadi perilaku diri kita sehari-hari maka perbuatan diri kita menjadi mudah
berbagi kepada sesama, tidak hanya pada sesuatu yang bersifat materiil dan juga
pada sesuatu yang bersifat immaterial, seperti ilmu dan pengajaran serta
bimbingan.
Adanya kondisi ini
akan menghantarkan
diri kita menjadi pribadi-pribadi yang hanya mementingkan diri sendiri atau
kelompok tertentu saja, atau menjadikan diri kita menjadi pribadi-pribadi yang
hanya tahunya menang sendiri tanpa mau memikirkan orang lain. Lalu bagaimana
jika sifat sabar mempengaruhi diri kita? Jika sifat sabar mempengaruhi diri
kita maka akan menjadikan diri kita berbuat dan bertindak dalam koridor keteraturan,
atau akan menjadikan diri kita menjadi pribadi-pribadi yang tidak cepat putus
asa, tidak mau merugikan dan mencelakakan orang lain baik sengaja ataupun
tidak. Demikian seterusnya sesuai Asmaul Husna Allah SWT yang berjumlah
sembilan puluh sembilan perbuatan.
Saat ini kita telah mengetahui perbuatan
jasmani yang di dalam AlQuran dikatakan dengan istilah ahwa (hawa nafsu) dan
juga kita telah pula mengetahui perbuatan ruh yang di dalam AlQuran dikatakan
dengan istilah Nafs/Anfuss. Lalu bisakah kita membedakannya? Jika kita termasuk
orang yang telah tahu diri, maka kita akan mudah mengetahui perbedaan yang
mencolok antara ahwa (hawa nafsu) dengan nafs/anfuss. Hal ini dikarenakan
perbuatan keduanya sangat bertolak belakang. Ahwa (hawa nafsu) sangat berkesesuaian dengan Nilai-Nilai
Keburukan yang sangat dikehendaki setan, sedangkan Nafs/Anfus sangat
berkesesuaian dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang sangat dikehendaki Allah SWT.
Adanya kondisi ini seharusnya dapat menyadarkan diri kita untuk berhati-hati di
dalam bertindak, dalam berbuat karena hasil akhir dari apa yang kita lakukan,
kita jugalah yang akan menikmatinya.
Sekarang mari kita pelajari dengan seksama
tentang kemampuan ruh. Untuk itu kita harus terlebih dahulu kembali kepada
hadits Isra Mi’raj di atas. Di dalam hadits Isra Mi’raj dikemukakan bahwa “Setiap Nabi yang ditemui atau
bertemu dengan Nabi Muhammad SAW selalu Nabi-Nabi tersebut mengenal Nabi
Muhammad SAW sedangkan Nabi Muhammad SAW sendiri tidak mengenal siapa Nabi
tersebut“. Berdasarkan kondisi ini sebenarnya apa yang terjadi?”
Sebelum menjawab pertanyaan ini, kami ingin mengajak anda untuk merenungi apa
yang akan kami kemukakan, yaitu: dapatkah anda membayangkan jarak atau rentang
waktu antara Nabi Adam as, dengan Nabi Muhammad SAW? Rasanya tidak ada satupun
makhluk ataupun manusia yang dapat mengetahui berapa jarak yang sebenarnya
antara Nabi Adam as, dengan Nabi Muhammad SAW kecuali Allah SWT selaku pencipta
manusia.
Lalu atas dasar
apakah Nabi Adam as, dapat mengenal bahwa yang datang menemuinya di langit yang
pertama itu adalah Nabi Muhammad SAW? Jika Nabi Adam as, tidak mengenal Nabi
Muhammad SAW bagaimana mungkin ucapan yang pertama kali disampaikan oleh Nabi
Adam as, kepada Nabi Muhammad SAW kita adalah “Marhaban (selamat datang) Nabi
yang salih dan Putra yang salih”. Setelah ucapan itu di sampaikan oleh Nabi
Adam as, Nabi kita bertanya kepada Malaikat Jibril dikarenakan Nabi tidak
mengenalinya “Siapakah Itu? lalu di jawab oleh Malaikat Jibril “Itu adalah Nabi
Adam as”. Menurut akal sehat manusia, bagaimana mungkin dengan jarak atau
tenggang waktu yang begitu jauh yang tidak seorang manusiapun mampu
menghitung-nya, sekarang Nabi Adam as, dapat mengenali Nabi Muhammad SAW.
Adanya perbedaan
kondisi antara Nabi Adam as, dan Nabi Muhammad SAW pada waktu bertemu di langit
yang pertama, Nabi Adam as, sudah tanpa
Jasmani, maka dengan Kehebatan Ruh Nabi Adam as, maka Nabi Adam as dapat
mengenali dan mengetahui dengan pasti tamunya yang datang walaupun tamunya
sendiri tidak mengenal Beliau. Demikian pula dengan Nabi-Nabi yang ditemui oleh
Nabi Muhammad SAW seperti Nabi Idris as, Nabi Musa as, Nabi IbrahimM as, dan
Nabi Isa as, mereka semua dapat mengenali Nabi Muhammad SAW dikarenakan
kehebatan ruh yang tidak tidak mengenal jarak, ruang dan waktu.
Hal yang perlu kita
garisbawahi adalah ruh sudah mempunyai kemampuan kekuatan dan kehebatan, apakah menjadi
kendala bagi ruh Nabi Adam as, atau Ruh Nabi Musa as, Nabi Isa as, Nabi Ibrahim
as, untuk mengenal Nabi Muhammad SAW walaupun terkendala dengan jarak, ruang
dan waktu? Jarak, ruang dan waktu dapat dipastikan bukan kendala dan bukan
halangan bagi ruh Nabi Adam as, atau ruh Nabi-Nabi terdahulu untuk mengenal
Nabi Muhammad SAW. Sekarang timbul pertanyaan lagi, jika ruh Nabi
Adam as, dan ruh Nabi-Nabi yang terdahulu yang ditemui Nabi Muhammad SAW di
langit yang ke dua sampai dengan langit yang ke tujuh mempunyai kemampuan,
kekuatan, kehebatan dan kedasyatan yang
mampu menembus atau tidak terkendala dengan jarak, ruang dan waktu, apakah ruh
yang kita miliki atau ruh manusia biasa seperti kita-kita ini mempunyai
kemampuan yang sama dengan kemampuan ruh yang dimiliki oleh Nabi Adam as. atau
Nabi-Nabi yang terdahulu?
Seluruh ruh manusia, baik itu ruh para Nabi
ataupun Rasul dan tidak terkecuali ruh diri kita sendiri sebagai manusia biasa,
semuanya berasal dari satu pencipta, dalam hal ini adalah Allah SWT. Hal ini
disebabkan tidak akan pernah ada satu makhlukpun yang sanggup menciptakan ruh.
Jika hanya Allah SWT saja yang sanggup menjadi pencipta ruh untuk seluruh
manusia ini berarti bahwa Allah tidak akan membeda-bedakan kemampuan, kehebatan
dan kedasyatan ruh untuk setiap manusia sebab Allah SWT pasti berlaku adil.
Adanya kondisi ini maka ruh diri kitapun pasti memiliki kemampuan yang sama
dengan kemampuan ruh yang dimiliki oleh Nabi Adam as, dan Nabi-Nabi yang
terdahulu. Selanjutnya jika ruh Nabi Adam as, dan ruh Nabi-Nabi yang terdahulu mampu menembus
jarak, ruang dan waktu, maka ruh kitapun
mampu menembus jarak, ruang dan waktu. Disinilah letak keadilan Allah SWT
kepada umat manusia.
Untuk membuktikan
bahwa Allah SWT tidak membeda-bedakan mutu dan kualitas ruh, mari kita pelajari
hadits berikut ini: Menurut Hadist Qudsi: Allah
SWT berfirman pada qiamat kepada anak-anak: “Masuklah kalian ke dalam surga”!
Anak-anak itu berkata: “Wahai Tuhan kami, (kami menunggu) hingga ayah ibu kami
masuk”. Lalu mereka mendekati pintu surga! Tapi tidak mau masuk ke dalamnya.
Allah SWT berfirman lagi: “Mengapa Aku lihat mereka enggan masuk? Masuklah
kalian ke dalam surga! Mereka menjawab: “Tetapi (bagaimana) orang tua kami?
Allah SWT berfirman: “Masuklah kalian ke dalam surga bersama orangtua kalian”. (Hadits Qudsi Riwayat Ahmad dari Syurahbil
bin Syu’ah yang bersumber dari shahabat Nabi SAW). Di dalam hadits ini,
diterangkan bahwa anak-anak diperintahkan untuk masuk syurga oleh Allah SWT,
namun anak-anak tersebut menolak, kenapa anak-anak tersebut menolak? Anak-anak
menolak karena ia ingin masuk syurga bersama ayah dan ibunya sampai akhirnya Allah
SWT memper-kenankan permintaan tersebut.
Timbul pertanyaan,
atas dasar apakah anak-anak tersebut dapat mengenal dan tahu akan keberadaan
orang tuanya padahal anak-anak tersebut telah berpisah dengan orang tuanya
sekian waktu lamanya? Sekarang
bayangkan anak-anak yang berusia di bawah lima tahun berapa kemampuan anak
tersebut dan apa yang bisa diperbuat oleh anak tersebut. Jika sekarang
anak-anak mampu untuk mengenali dan mengetahui dengan pasti orang tua
kandungnya maka hal ini disebabkan oleh Allah SWT yang tidak membeda-bedakan
mutu dan kualitas ruh sehingga kemampuan ruh anak tersebut tetap tidak
terpengaruh dengan jarak, ruang dan waktu. Sekarang jika mutu dan
kualitas ruh dari anak-anak berbeda-beda bagaimana mungkin ia akan mengenal dan
mengetahui orang tua kandungnya dan lalu mengajaknya masuk ke dalam syurga!
Lalu apakah kemampuan,
kehebatan dan kedasyatan ruh yang kita miliki akan tetap kondisinya selama kita
hidup di dunia? Kondisi dan keadaan ruh manusia sebelum ditiupkan ke
dalam jasmani memiliki kondisi yang sangat hebat seperti hebatnya Allah SWT
selaku pencipta ruh itu sendiri. Akan tetapi kehebatan ruh yang tidak mengenal jarak, ruang
dan waktu tersebut dapat berkurang jika ia menempati tempat yang kotor
(maksudnya kondisi awal jasmani yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT)
atau sangat tergantung tempat yang ditempatinya.
Maksudnya apa? Untuk
menjawab pertanyaan ini, mari kita berkaca kepada Air yang putih, bersih dan
jernih yang dimasukkan ke dalam botol. Kualitas
Air yang kami kemukakan di atas akan berubah atau menjadi tidak sesuai lagi
kualitasnya jika botol yang akan ditempati oleh air memiliki kualitas yang
jelek, seperti kotor, terkontaminasi dengan bau dan lain sebagainya. Hal yang samapun
terjadi pada ruh, yaitu kekuatan, kehebatan yang tidak mengenal jarak, ruang
dan waktu, akan berkurang kualitasnya jika ia ditiupkan atau masuk ke dalam
jasmani yang catatan awalnya tidak memenuhi kriteria yang telah ditetapkan
Allah SWT, yaitu tidak memenuhi konsep
halal lagi baik (thayyib), tidak membaca membaca Basmallah dan Doa saat
mengkonsumsinya serta tidak sesuai syariat saat mempertemukan sel telur dengan
sperma.
Adanya kondisi ini
berarti pengaruh jasmani atau keadaan jasmani sangat mempengaruhi mutu dan
kualitas ruh yang akan menempati jasmani. Selanjutnya mari kita perhatikan
dengan lebih seksama lagi, jika ruh yang sudah ditiupkan kepada setiap manusia sudah mempunyai
kondisi dan keadaan seperti yang kami sebutkan di atas, sekarang bagaimana
dengan kekuatan, kehebatan dan kedasyatan yang dimiliki oleh Allah SWT selaku
pencipta dari ruh itu sendiri? Dapatkah kita membayangkannya? Dapatkah
kita mengukurnya? Dapatkah kita mengalahkannya? Masih tidak percayakah kita
kepada Allah SWT sehingga masih mengakui adanya Tuhan-Tuhan lain selain Allah
SWT.
Selanjutnya, jika sampai kita
tidak mau juga mengakui bahwa hanya Allah SWT sajalah yang memiliki kekuatan,
yang mampu memiliki kehebatan untuk menciptakan apapun juga, berarti ada
sesuatu yang salah di dalam diri kita, yaitu kita belum beriman kepada
Allah SWT. Sekarang setelah mengetahui bahwa ruh begitu hebat sehingga hanya
Allah SWT sajalah yang memiliki ilmu tentang ruh, bahwa hanya Allah SWT sajalah
yang mampu menciptakan ruh, timbul pertanyaan, pada saat Malaikat diperintahkan
sujud kepada Nabi Adam as, oleh Allah SWT, apakah sujudnya Malaikat kepada
jasmani Nabi Adam as, ataukah sujud kepada ruh yang telah diciptakan Allah SWT?
Berdasarkan uraian
yang telah kami kemukakan di atas, sujudnya Malaikat kepada Nabi Adam as, bukanlah
sujud kepada jasmani Nabi Adam as, akan tetapi sujud kepada ruh yang telah
diciptakan oleh Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti manusia (dalam hal
ini ruh manusia) sudah ditempatkan sebagai makhluk yang mulia oleh Allah SWT
dibandingkan dengan Malaikat. Yang menjadi persoalan saat ini adalah apakah
kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah SWT masih seperti sediakala atau
tidak mengalami perubahan sedikitpun?Jika apa yang kami kemukakan di atas ini
mengalami perubahan berarti ada sesuatu yang salah pada diri kita.
Ingat, ruhani yang
berasal dari Allah SWT dapat dipastikan sifatnya (nass) sesuai dengan
perbuatan-perbuatan Allah SWT yang termaktub di dalam Asmaul Husna. Yang menjadi persoalan adalah jika sesuatu
yang Baik yang berasal dari Allah SWT tidak dapat menjadikan diri kita sebagai
khalifah yang sekaligus Makhluk Yang Terhormat , akan tetapi justru malah
menjadikan diri kita sesuai dengan apa–apa yang dikehendaki oleh iblis dan
setan berarti kita sudah keluar dari konsep awal penciptaan manusia karena
manusia harus menjadi pemenang, bukan menjadi pecundang.
Lalu, maukah kita pulang kampung bersama setan ke
neraka jahannam atau maukah kita bertemu dengan Allah SWT di syurga? Jika kita
ingin bertemu dengan Allah SWT di syurga jadilah abd’ (hamba)Nya yang sekaligus
khalifahNya di muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT dan jika ingin pulang kampung ke neraka jahannam
jadilah hamba dan khalifah yang sesuai kehendak setan sang laknatullah.
Sekarang pilihlah jalan untuk menuju syurga jika kita berkeinginan untuk
bertemu dengan Allah SWT atau pilihlah sekarang juga jalan menuju neraka
jahannam jika kita ingin hidup bertetangga dengan setan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar