Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Kamis, 27 Juni 2024

TAHU DIRi MELALUI KONSEP DWIFUNGSI DAN DWIDIMENSI (PART 7 of 8)

 

 

5.   Seperti Apakah Bentuk Ruh Diri Kita. Pernahkah kita merenung dan bertanya kepada diri sendiri, seperti apakah wujud dan bentuk ruh yang ditiupkan Allah SWT ke dalam jasmani diri kita? Apakah bentuk ruh sama dengan bentuk jasmani diri kita? Jika ruh dan jasmani sama bentuknya, apakah ruh dapat melihat, dapat mendengar serta merasakan seperti yang terjadi dengan jasmani kita? Untuk mengetahui itu semua, mari  kita pelajari ruh dimaksud walaupun hanya sedikit. Sekarang mari kita pelajari hadits yang kami kemukakan di bawah ini:

 

Abu Dzar r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda: Pada suatu malam terbuka atap rumahku di Mekkah, lalu turun Jibril, dan membelah dadaku, kemudian membasuhnya dengan air zam-zam, kemudian ia membawa mangkok emas yang penuh berisi hikmat dan iman lalu dituangkan ke dalam dadaku, lalu ditutup kembali. Kemudian ia membimbing tanganku dan menaikkan aku ke langit dunia, dan ketika sampai di langit, Jibril berkata kepada penjaganya: Bukalah. Lalu ditanya: Siapakah itu? Jawabnya: Jibril. Lalu ditanya: Apakah bersama lain orang? Jawabnya: Ya, bersamaku Muhammad SAW. Ditanya: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Ketika telah dibuka, kami naik ke langit dunia tiba-tiba bertemu dengan orang yang duduk sedang di kanan, kirinya banyak gerombolan, bila ia melihat ke kanan tertawa, bila melihat kekiri menangis, maka ia menyambut: Marhaban (selamat datang) nabi yang salih dan putra yang salih. Saya Tanya kepada Jibril: Siapakah itu? Jawabnya: Itu Adam a.s, sedang gerombolan yang kanan-kirinya anak cucunya, yang di kanan ahli sorga dan yang di kirinya ahli neraka, karena itu ia tertawa bila melihat ke kanan, dan menangis bila melihat ke kirinya. Kemudian dinaikkan ke langit kedua, dan minta buka pada penjaganya, juga dikatakan oleh penjaganya sebagaimana langit pertama, lalu dibuka. Anas r.a. berkata: Maka menyebut bahwa di langit-langit itu telah bertemu dengan Adam, Idris, Musa, Isa, Ibrahim a.s. tetapi tidak dijelaskan tempat masing-masing, hanya menyebut  bahwa Adam di langit pertama dan Ibrahim di langit ke enam.Anas r.a. berkata: Ketika Jibril bersama Nabi Muhammad SAW jumpa dengan nabi Idris maka disambut: Marhaban (selamat datang) nabi yang salih dan saudara yang salih. Lalu saya tanya: Siapakah ini? Jawabnya: Ini Idris, kemudian melalui nabi Musa juga disambut: Marhaban binnabiyissalih, dan saya bertanya: Siapakah ini? Jawab Jibril: Itu Musa, lalu melalui Isa juga menyambut selamat datang nabi yang salih dan saudara yang salih, ketika saya tanya: Siapakah itu? Jawab Jibril: Itu Isa a.s.

 

Kemudian melalui Ibrahim juga menyambut: Selamat datang nabi yang salih dan putra yang salih. Lalu saya tanya: Siapakah itu? Jawab Jibril: Itu Ibrahim a.s. Kemudian aku dibawa naik sehingga ke atas mustawa, dimana aku mendengar suara kalam yang mencatat dilauh mahfudh. Maka Allah mewajibkan atas ummatku lima puluh kali sembahyang. Lalu aku kembali membawa perintah kewajiban itu sehingga melalui Musa, maka ia tanya: Apakah yang diwajibkan Tuhan atas ummatmu? Jawabku: Lima puluh kali sembahyang, langsung ia berkata: Kembalilah kepada Tuhan untuk minta keringanan, sebab ummatmu takkan kuat melakukan itu, maka aku kembali kepada Tuhan minta keringanan dan diringankan separuhnya, lalu kembali kepada Musa dan saya terangkan padanya telah diringankan separuhnya, tetapi Musa tetap berkata: Mintalah keringanan karena ummatmu tidak akan kuat, maka kembali aku minta keringanan kepada Tuhan dan mendapat keringanan separuhnya, kemudian kepada Musa saya katakan telah mendapat keringanan separuhnya, tetapi Musa tetap menganjurkan supaya minta keringanan karena ummatmu tidak akan kuat melakukan itu, maka kembalilah aku minta keringanan kepada Tuhan, sehingga Allah berfirman: Itu hanya lima kali dan berarti lima puluh, tidak akan berubah lagi putusanku maka aku kembali kepada Musa dan Musa tetap menganjurkan supaya minta keringanan, tetapi aku jawab bahwa aku malu kepada Tuhan. Kemudian aku dibawa ke sidratul muntaha yang diliputi oleh berbagai warna sehingga aku tidak mengerti apakah itu. Kemudian aku dimasukkan sorga, mendadak kubah-kubahnya dari mutiara dan tanahnya kasturi (misik). (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Al Lulu Wal Marjan: 102)

 

Malik bin Sha’sha’ah  r.a. berkata: Nabi SAW bersabda: Ketika aku di dekat Ka’bah di antara tidur dan jaga, tiba-tiba aku mendengar suara salah seorang, yaitu yang di antara dua orang , lalu disediakan mangkok emas yang berisi hikmat dan iman, lalu dibelah dari bawah tenggorokan hingga perutku, kemudian dibasuh dadaku dengan air zamzam, lalu dipenuhi dengan hikmat dan iman, lalu didatangkan untukku binatang yang putih lebih besar dari himar dan di bawah keledai (baghel) bernama buraq, lalu berangkat bersama Jibril hingga sampai langit dunia, dan ketika ditanya: Siapakah itu? Jawabnya: Jibril. Ditanya: Bersama siapa? Jawabnya: Muhammad. Ditanya: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut selamat datang, maka aku bertemu dengan Adam a.s. dan memberi salam, dan menyambutku dengan Selamat datang putraku dan nabi. Kemudian kita naik ke langit kedua, dan ditanya: Siapakah itu? Jawabnya: Jibril. Ditanya: Siapa yang bersamamu? Jawabnya: Muhammad. Ditanya: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Lalu disambut: Selamat datang, di sana kami bertemu dengan Isa dan Yahya a.s. keduanya menyambut: Selamat datang saudara sebagai nabi. Kemudian kami naik ke langit ketiga, lalu ditanya: lalu ditanya: Siapakah itu? Jawab: Jibril. Ditanya: Dan siapa yang bersamamu? Jawabnya: Muhammad. Ditanya: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut dengan selamat datang, dan disitu bertemu dengan Yusuf  a.s. dan setelah memberi salam padanya ia menyambut: Selamat datang saudara sebagai nabi. Kemudian kami naik ke langit keempat, dan ditanya: Siapakah itu? Jawab: Jibril. Ditanya: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut dengan selamat datang, dan disitu bertemu dengan Idris a.s. Sesudah saya beri salam, ia menyambut: Selamat datang saudara sebagai nabi. Kemudian kami naik ke langit kelima, dan ditanya: Siapakah itu? Jawabnya: Jibril. Dan ditanya: Siapakah yang bersamamu? Jawabnya: Muhammad. Ditanya pula: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut: Selamat datang.

 

Disitu kami bertemu dengan Harun a.s. maka aku memberi salam, dan ia menyambut: Selamat datang saudara sebagai nabi. Kemudian kami naik ke langit keenam, juga ditanya: Siapakah itu? Jawab: Jibril. Lalu ditanya: Dan siapa yang bersamamu? Dijawab: Muhammad. Ditanya: Apakah dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut: Selamat datang, dan disitu bertemu dengan Musa a.s. setelah aku memberi salam, ia menyambut dengan ucapan: Selamat datang saudara sebagai nabi. Dan ketika kami meninggalkannya ia menangis, dan ketika ditanya: Mengapakah ia menangis? Jawabnya: Ya Rabbi itu pemuda yang Tuhan utus sesudahku akan masuk sorga dari ummatnya lebih banyak dari ummatku. Kemudian kami naik ke langit ketujuh, maka ditanya: Siapakah itu? Jawab: Jibril, Ditanya: Siapa yang bersamamu? Jawabnya: Muhammad. Ditanya: Apakah ia dipanggil? Jawabnya: Ya. Maka disambut: Selamat datang, dan disitu kami bertemu dengan Nabi Ibrahim a.s .Sesudah aku memberi salam, maka ia sambut dengan: Selamat datang putraku sebagai nabi.

Kemudian tampak padaku albaitul ma’mur, maka aku tanya kepada Jibril. Jawabnya: Ini baitul ma’mur tiap hari dimasuki oleh tujuh puluh ribu Malaikat untuk sembahyang, jika telah keluar tidak akan masuk lagi untuk selamanya.

 

Kemudian diperlihatkan kepadaku Sidratul Muntaha, mendadak buahnya bagaikan gentong (tempat air) Hajar, sedang daunnya bagaikan telinga gajah dan dibawahnya menyumber empat sungai, dua kedalam dan dua keluar. Aku bertanya kepada Jibril. Jawabnya: Yang dalam itu di sorga, sedang yang keluar itu yaitu sungai Nil dan Furat. Kemudian diwajibkan atasku lima puluh kali sembahyang. Lalu aku turun bertemu Musa, lalu ia bertanya: Apakah yang anda dapat? Jawabku: Diwajibkan atasku lima puluh kali sembahyang. Musa berkata: Aku lebih berpengalaman dari padamu, aku telah bersusah payah melatih Bani Israil, dan ummatmu tidak akan kuat, karena itu kembali minta keringanan, dan diringankan sepuluh sehingga tinggal empat puluh, kemudian dikurangi lagi sepuluh sehingga tinggal tiga puluh, kemudian diringankan lagi sepuluh sehingga tinggal dua puluh, kemudian diringankan lagi sepuluh sehingga tinggal sepuluh, dan aku kembali kepada Musa dan ia tetap menganjurkan supaya minta keringanan, maka aku minta keringanan, dan dijadikannya lima kali. Maka aku bertemu Musa dan menyatakan bahwa kini tinggal lima, maka ia tetap menganjurkan supaya minta keringanan, tetapi saya jawab: Aku telah menerima dengan baik. Maka terdengar seruan: Aku telah menetapkan kewajibanKu, dan meringankan pada hamba-hambaKu, dan akan membalas tiap hasanat dengan sepuluh lipat gandanya. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim,Al Lulu Wal Marjan: 103). “

 

Itulah hadits isra mi’raj, lalu apa yang jamaah pikirkan? Mungkin jamaah sekalian bertanya-tanya di dalam hati, untuk apakah hadits isra mi’raj yang panjang-panjang kami kemukakan dalam pembahasan tentang ruh. Secara sepintas memang tidak ada hubungan antara permasalahan ruh dengan perjalanan isra’ mi’raj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. 

 

Sekarang mari kita pelajari hadits di atas. Seperti kita ketahui bersama, perjalanan Isra’ Mi’raj terbagi atas dua perjalanan yaitu perjalanan Isra’ yaitu perjalanan dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa dan perjalanan Mi’raj yaitu perjalanan dari Masjidil Aqsa menuju tempat bertahtanya Allah SWT. Dalam perjalanan Mi’raj inilah yang nanti akan ada hubungannya dengan ruh manusia. Untuk itu mari kita pelajari perjalanan Mi'raj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Perjalanan Mir’aj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dimulai dari Masjidil Aqsa menuju Arsy. Dalam perjalanan menuju Arsy tersebutlah Nabi Muhammad SAW melewati langit yang pertama sampai dengan langit yang ketujuh serta melewati sidratul muntaha. Selanjutnya apa yang Nabi Muhammad SAW lihat dan alami di dalam perjalanan itu?

 

Pada waktu Nabi Muhammad SAW sampai di langit yang pertama, Beliau bertemu dengan seseorang dan orang tersebut menyambutnya seraya berkata “Marhaban (selamat datang) Nabi yang salih dan Putra yang salih”. Nabi Muhammad SAW bingung kenapa orang tersebut mengenalnya sedangkan Beliau tidak mengenalnya. Kemudian Nabi bertanya kepada Malaikat Jibril “Siapakah itu?” Jawab Malaikat Jibril: ”Itu Adam a.s, sedang gerombolan yang berada di kanan dan di kirinya adalah anak cucunya, yang di kanan ahli syurga dan yang di kirinya ahli neraka, karena itu ia tertawa bila melihat ke kanan, dan menangis bila melihat ke kiri”. Demikian seterusnya Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Nabi dan Rasul  terdahulu di setiap tingkatan langit sebelum Beliau bertemu langsung dengan Allah SWT.

 

Berdasarkan uraian yang tertuang dalam hadits yang kami kemukakan di atas, ada beberapa hal yang patut kita perhatikan dengan seksama untuk memudahkan kita menjawab pertanyaan tentang bentuk ruh/ruhani manusia seperti apa, yaitu : (a) Siapakah yang sebenarnya ditemui oleh Nabi Muhammad SAW di langit yang pertama sampai dengan langit yang ke tujuh; (b) Setiap Nabi yang ditemui atau setiap Nabi yang bertemu dengan Nabi Muhammad SAW selalu Nabi tersebut mengenal Nabi Muhammad SAW sedangkan Beliau sendiri tidak mengenalnya.

 

Berdasarkan kondisi ini, sebenarnya apa yang terjadi? Seperti kita ketahui bersama setiap manusia pasti mengalami kematian atau ruh pasti berpisah dengan jasmani, dimana jasmani akan dimakamkan di bumi atau kembali ke tanah sedangkan ruh kembali ke asalnya yaitu kepada pencipta-Nya. Sekarang jika Nabi Muhammad SAW di langit yang pertama bertemu dengan Nabi Adam as, maka siapakah yang ditemui oleh Beliau, apakah Nabi Adam as, dalam bentuk ruh tanpa jasmani atau apakah Nabi Adam as, dalam bentuk jasmani dengan ruh atau apakah Nabi Adam as, dalam bentuk jasmani  tanpa ruh?

 

Jika yang ditemui oleh Nabi Muhammad SAW adalah Nabi Adam as, dalam bentuk jasmani dengan ruh ini berarti bahwa Nabi Adam as, masih hidup sedangkan kenyataannya Nabi Adam as, sudah meninggal. Lalu jika yang ditemui oleh Nabi Muhammad SAW adalah Nabi Adam  as, dalam bentuk jasmani tanpa ruh, lalu siapakah yang dikuburkan atau yang telah dimakamkan di muka bumi sedangkan pada saat itu Nabi Muhammad SAW sedang berada dalam perjalanan Mi'raj atau berada di atas bumi. Adanya kondisi ini berarti yang ditemui oleh Nabi Muhammad SAW adalah bukan Nabi Adam as, dalam bentuk jasmani tanpa ruh atau bukan pula Nabi Adam as, dalam bentuk jasmani dengan ruh, jadi siapakah itu?

 

Sekarang jika Nabi Adam as, adalah manusia yang diciptakan oleh Allah SWT, maka Nabi Adam as, pasti terdiri dari ruh dan jasmani. Adanya kondisi ini maka yang ditemui oleh Nabi Muhammad SAW di langit yang pertama adalah Nabi Adam as, dalam bentuk ruh tanpa jasmani atau disebut juga dengan ruh Nabi Adam as, karena jasmani Nabi Adam as, telah dikubur di bumi dan mungkin saja telah hancur di makan tanah.

 

Ini berarti yang ditemui dan yang mengenal terlebih dahulu Nabi Muhammad SAW adalah Nabi Adam as, dalam bentuk ruh tanpa jasmani dan jika sekarang ruh Nabi Adam as, tidak mempunyai bentuk mungkinkah Nabi Muhammad SAW mengenalnya dan bertanya kepada Malaikat Jibril “Siapakah Itu?” Sebuah pertanyaan jika disampaikan dengan kata “Siapakah Itu”, maka ada sesuatu yang mempunyai bentuk atau mempunyai rupa serta nyata ada dihadapan Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan kondisi ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Nabi Adam as, dalam bentuk ruh dari Nabi Adam as, mempunyai rupa atau bentuk (ingat pertanyaan dari Nabi Muhammad SAW serta jawaban dari Malaikat Jibril).

 

Lalu seperti apakah bentuk ruh tersebut? Untuk menjawab pertanyaan, mari kita perhatikan hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Ibn Abbas  ra berkata: Nabi SAW bersabda: Ketika malam Isra’ aku melihat Nabi Musa seorang yang coklat rupanya, tinggi dan keriting rambutnya, bagaikan orang dari suku Syanu’ah, juga aku melihat Isa a.s orang yang sedang tidak tinggi dan tidak pendek sedang bentuk badannya berkulit putih kemerah-merahan lurus rambutnya. Juga saya melihat Malaikat Malik penjaga neraka dan Dajjal, dalam beberapa ayat-ayat (bukti kebesaran) Allah yang telah diperlihatkan kepadaku, karena itu maka jangan ragu anda pasti bertemu padaNya. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Al  Lulu Wal Marjan: 104)

 

Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: Ketika malam Israa’ saya melihat Musa seorang yang kurus, sedang, seakan-akan orang dari suku Syanu’ah, juga melihat Isa juga sedang, putih kemerahan bagaikan orang yang baru keluar dari pemandian, dan aku sangat menyerupai Ibrahim. Kemudian dihidangkan kepadaku dua bejana satu berisi susu dan yang kedua berisi khamer, dan diperintahkan kepadaku supaya memilih salah satu yang mana aku suka, maka aku ambil susu lalu aku minum, maka diberitahu: Anda telah mengambil fitrah agama, andaikan anda mengambil khamer pasti ummatmu akan tersesat. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Al Lulu Wal Marjan: 106)

 

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim yang terdapat dalam kitab Al Lulu Wal Marjan No.104 dan No. 106,  didapat keterangan sebagai berikut:

 

a.     Nabi Musa as, digambarkan mempunyai warna kulit coklat dengan perawakan tinggi serta keriting rambutnya serta seakan-akan orang dari suku Syanu’ah,;

b.      Nabi Isa as, digambarkan  mempunyai warna kulit putih kemerah-merahan de-ngan perawakan sedang serta rambut yang lurus;

c.   Sedangkan Nabi Muhammad SAW menggambarkan bahwa dirinya seperti Nabi Ibrahim as.

 

Jika Nabi Musa as, dan Nabi Isa as, serta Nabi Ibrahim as, dapat digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW seperti itu, ini berarti bahwa ruh juga mempunyai tinggi (dalam hal ini tinggi badan); warna (dalam hal ini warna kulit) serta rambut (dalam hal ini ikal dan lurus). Sedangkah khusus untuk Nabi Musa as, dipertegas dengan pernyataan bahwa Nabi Musa as, seperti orang dari suku Syanu’ah.

 

Sekarang jika Nabi Muhammad SAW sudah menyatakan bahwa Nabi Musa as, seperti orang dari suku Syanu’ah, ini berarti bahwa Nabi Muhammad SAW tahu betul dengan kondisi phisik dari orang-orang suku Syanu’ah. Dan Jika Nabi Muhammad SAW tidak tahu dan tidak mengenal orang-orang dari suku Syanu’ah maka Beliau tidak akan mungkin dapat memberikan keterangan dan pernyataan yang pasti tentang bentuk serta ciri-ciri dari Nabi Musa as. Adanya informasi tentang hal ini maka kita dapat menyimpulkan bahwa ruh mempunyai bentuk seperti yang dikemukakan Nabi Muhammad SAW pada waktu menggambarkan ruh tanpa jasmani dari Nabi Musa as, seperti orang-orang suku Syanu’ah.

 

Selanjutnya jika kita mengambil perumpaan dalam membuat kue, bentuk kue yang kita buat akan sama bentuknya dengan loyang kue yang kita sediakan. Demikian pula dengan ruh. Bentuk  ruh sama persis dengan bentuk phisik seseorang karena phisik seseorang adalah cetakan atau loyang dari bentuk ruh itu sendiri. Jika bentuk ruh sama bentuknya dengan bentuk phisik atau bentuk jasmani seseorang, masih ada pertanyaan lagi yang harus kita jawab yaitu mempunyai matakah ruh, mempunyai mulutkah ruh, mempunyai hati atau perasaankah ruh? Untuk menjawabnya, mari kita lanjutkan pembahasan kita. Nabi Muhammad SAW pada saat bertemu pertama kali dengan Nabi-Nabi baik di langit pertama sampai dengan langit yang ke tujuh, Beliau selalu tidak mengenal Nabi-Nabi tersebut sedangkan Nabi-Nabi yang ditemui Beliau selalu mengenalnya dan selalu menyampaikan salam terlebih dahulu kepada Nabi Muhammad SAW. Salam yang diucapkan oleh para Nabi-Nabi yang ditemui oleh Nabi Muhammad SAW selalu hampir sama yaitu “Marhaban (selamat datang) Nabi yang salih dan Putra yang salih” atau “Selamat datang saudara sebagai nabi”.

 

Jika seseorang  menyampaikan salam terlebih dahulu kepada tamunya, mungkinkah orang yang memberikan salam tidak mempunyai mata, tidak mempunyai mulut, tidak mempunya telinga? Berdasarkan hadits di atas maka dapat dipastikan bahwa ruh para Nabi-Nabi mempunyai mata karena dia dapat melihat tamunya, ruh juga memiliki mulut karena dia bisa berbicara kepada tamunya, ruh  juga memiliki telinga karena dia bisa mendengar ucapan atau respon tamunya.

 

Adanya kondisi ini dapat dikatakan bahwa ruh setiap manusia mempunyai mata, mulut dan telinga. Lalu apakah ruh juga memiliki perasaan (af’idah)? Berdasarkan surat As Sajdah (32) ayat 9 berikut ini: “kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” Setiap manusia pasti memiliki perasaan yang diberikan oleh Allah SWT setelah peniupan ruh ke dalam jasmani manusia. Kondisi ini juga dibuktikan pada waktu Nabi Muhammad SAW sampai di langit yang pertama Beliau melihat Nabi Adam as, menangis jika menengok ke kiri dan tertawa jika menengok ke kanan. Menangis dan tertawa merupakan bagian dari suatu perasaan, tanpa ada perasaan yang mendalam tidak akan mungkin kita akan tertawa ataupun menangis.

 

Jika Nabi Adam as, yang dilihat oleh Nabi Muhammad  SAW di langit yang pertama menangis dan tertawa, maka hal ini sudah dapat dipastikan bahwa ruh dari Nabi Adam as, mempunyai perasaan (af’idah). Lalu apakah ruh mempunyai ilmu dan pengetahuan? Ruh dapat dipastikan memiliki ilmu dan pengetahuan, apa buktinya? Setelah Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Allah SWT di Arsy, Nabi Muhammad SAW mendapatkan sebuah pesan yang wajib dilaksanakan yaitu mendirikan shalat sebanyak 50 (lima puluh) waktu sehari semalam. Sewaktu Nabi Muhammad SAW turun Beliau bertemu dengan Nabi Musa as, dan Nabi Musa as, menanyakan apa pesan yang dikemukakan oleh  Allah SWT.

 

Pesan dan wasiat yang telah diterima oleh Nabi Muhammad SAW lalu disampaikan kepada Nabi Musa as, pada waktu Beliau bertemu dengan Nabi Musa as, di langit yang ke enam. Nabi Musa as, lalu memberikan masukan, memberikan nasehat, memberikan wejangan kepada Nabi Muhammad SAW tentang kewajiban mendirikan shalat sebanyak 50 (lima puluh) waktu. Nabi Musa as, menyuruh dan meminta kepada Nabi Muhammad SAW menghadap Allah SWT kembali supaya mengurangi kewajiban shalat tersebut dikarenakan umat tidak akan mampu melaksanakannya. Sekarang jika Nabi Musa as, memberikan masukan, nasehat dan wejangan kepada Nabi Muhammad SAW untuk meminta pengurangan atau dispensasi atas kewajiban shalat 50 (lima puluh) waktu dalam sehari semalam, apakah mungkin Nabi Musa as, tidak mempunyai ilmu dan pengetahuan serta tidak mempunyai pemikiran dan pandangan yang luas? Adanya wejangan, masukan, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW menunjukkan kepada kita bahwa Ruh Nabi Musa as, mempunyai ilmu dan pengetahuan serta pemikiran dan pandangan yang luas.

 

Lalu jika ruh para Nabi-Nabi yang kami sebutkan di atas mempunyai bentuk sesuai dengan bentuk atau tampilan phisik atau jasmani mereka sendiri, maka apakah ruh kita juga sama seperti bentuk phisik atau jasmani kita sendiri? Jika para Nabi dan diri kita sama-sama adalah manusia yang diciptakan dalam kerangka rencana besar untuk dijadikan abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi maka ruh kitapun pasti mempunyai bentuk, pasti mempunya ciri-ciri phisik seperti tinggi, warna dan rambut. Ruh kita pun pasti mempunyai mata, mulut, kuping, ilmu dan pengetahuan, perasaan dan juga memiliki kemampuan dan pandangan luas. Disinilah letak keadilan Allah SWT selaku pencipta manusia yang bertindak adil dengan tidak membeda-bedakan kualitas ruh yang ditiupkan ke dalam jasmani setiap manusia.

 

6.    Sifat, Perbuatan dan Kemampuan Ruh. Ruh seperti halnya jasmani juga memiliki sifat, juga memiliki perbuatan dan juga memiliki kemampuan. Ruh akan dinamakan dengan Nass, jika ditinjau dari sisi sifat alamiah ruh yang berasal dari Allah SWT. Ruh akan dinamakan dengan Nafs/Anfuss jika ditinjau dari sisi perbuatan di dalam mempe-ngaruhi perbuatan serta aktivitas kehidupan manusia. Sedangkan Ruh jika ditinjau dari sisi kemampuannya disebut juga dengan Ruh. 

 

Sifat-sifat alamiah ruh (nass) sangat berbeda dan juga sangat bertolak belakang dengan sifat-sifat alamiah jasmani (insan) dikarenakan asal muasal dari keduanya berbeda. Ruh berasal dari Allah SWT sedangkan jasmani asalnya dari alam atau dari tanah. Apa buktinya ruh berasal dari Allah SWT? Dasarnya ada pada surat Shaad (38) ayat 72-73 berikut ini: Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya. Lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya.” Dimana ayat ini menerangkan bahwa ruh yang ada pada diri manusia semuanya berasal dari Allah SWT tanpa ada campur tangan dari pihak manapun juga serta tanpa ada bantuan dari siapapun juga.

 

Jika ruh berasal dan diciptakan hanya oleh Allah SWT semata, timbul pertanyaan, apakah sesuatu yang berasal langsung dari Allah SWT memiliki sifat buruk sehingga  membawa nilai-nilai keburukan? Sesuatu yang berasal langsung dari Allah SWT dapat dipastikan memiliki sifat yang sangat berkesesuaian dengan nilai-nilai kebaikan yang berasal dari sifat-sifat Ilahiah. Sesuatu yang berasal dari Allah SWT dapat dipastikan pula tidak mempunyai sifat-sifat buruk, tidak mempunyai sifat jahat,  tidak mempunyai sifat tercela, tidak mempunyai sifat munafik, tidak mempunyai sifat kejam dan seterusnya, atau dengan kata lain apa yang berasal dari Allah SWT pasti memiliki Nilai-Nilai Ilahiah. Sekarang seperti apakah sifat ruh itu? Hal yang harus kita ketahui adalah sifat ruh manusia tidak sama dengan sifat Ma’ani Allah SWT yang telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai modal dasar bagi setiap manusia. Selanjutnya jika sifat Ma’ani telah menjadi modal dasar manusia saat diri kita menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya bukanlah sifat ruh, lalu yang manakah sifat ruh itu?

 

Sifat ruh memiliki sifat yang mencerminkan Nama-Nama Allah SWT yang indah lagi baik yang berjumlah 99 (sembilan puluh sembilan) perbuatan (Asmaul Husna), yang diberikan Allah SWT melalui proses shibghah atau proses pencelupan. Sehingga setiap manusia tanpa terkecuali, tanpa memandang agamanya apa, tanpa memandang siapa orangnya ataupun keturunannya, pasti memiliki celupan Asmaul Husna sebagaimana firman-Nya berikut ini: Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepadaNya-lah kami menyembah. (surat Al Baqarah (2) ayat 138).

 

Adanya shibghah kepada ruh maka dapat dipastikan bahwa sifat dari ruh dari setiap manusia, ternasuk di dalamnya ruh diri kita adalah sesuai dengan Asmaul Husna yang dimiliki Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti setiap ruh, termasuk di dalamnya ruh diri kita sendiri, pasti mempunyai perbuatan Ar Rakhman (Maha Pengasih); Ar Rahiem (Maha Penyayang);  Ar Maalik  (Maha Merajai, Maha Memiliki); As Salam (Maha Penyelamat); Al Mu’min (Maha Pemelihara Keamanan); Al Muhaimin (Maha Penjaga, Maha Pemberi Kebahagiaan); Al Wahhaab  (Maha Pemberi); dan seterusnya sampai dengan sembilan puluh sembilan perbuatan Allah SWT.

 

Sekarang mari kita perhatikan diri kita sendiri, apakah Sibghah dari Allah SWT yang berasal dari perbuatan (Af’al) Allah SWT atau perbuatan-perbuatan Allah SWT itu ada dalam diri kita? Untuk itu kita dapat merasakannya sendiri dengan menyatakan adakah rasa pengasih dalam diri kita? Adakah rasa penyayang dalam diri kita? Adakah rasa memiliki dalam diri kita? Adakah rasa penyelamat dalam diri kita? Lalu tanyakan lagi kepada diri sendiri, apakah rasa pengasih dan penyayang, rasa memiliki dan rasa penyelamat  yang ada dalam diri kita itu Ada dengan sendirinya tanpa ada yang mengadakannya, ataukah rasa itu semua datang begitu saja? Lalu siapakah yang sanggup menciptakan seluruh rasa yang ada di dalam diri kita?

 

Jawaban dari pertanyaan ini adalah seluruh rasa yang ada di dalam diri berasal dari pencipta semua rasa, lalu siapakah dia? Jawaban dari pertanyaan ini adalah Allah SWT sebagaimana termaktub dalam surat Al Hasyr (59) ayat 22-23-24 berikut ini: “Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik, bertasbihlah kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dia-lah  Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

 

Sekarang jika di dalam diri kita saat ini sudah ada Nilai-Nilai Ilahiah yang berasal dari perbuatan (Af’al) Allah SWT atau perbuatan-perbuatan Allah SWT yang termaktub dalam Asmaul Husna  maka kita dapat memastikan bahwa sifat-sifat kebaikan adalah sifat yang paling dominan di dalam ruh kita. Hal ini dikarenakan sesuatu yang bersifat buruk apalagi sifat tercela tidak akan mungkin berasal dari Allah SWT. Selanjutnya jika saat ini kita masih suka saling berantam,  masih suka saling menghasut, masih suka saling memfitnah, masih suka berbuat tidak adil, masih suka berbuat ingkar janji, masih suka korupsi, masih suka menyakiti sesama dan seterusnya dari manakah itu semua dan kemana larinya Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah yang telah Allah SWT berikan kepada kita?

 

Lalu, untuk apakah Allah SWT sampai memberikan sibghah atau celupan yang berasal dari perbuatan (Af’al) Allah SWT itu sendiri kepada setiap ruh manusia yang kemudian menjadi sifat ruh? Sebagai seorang khalifah di muka bumi, maka manusia tidak lain adalah perpanjangan tangan Allah SWT untuk mengurus, untuk memelihara serta untuk menjaga apa-apa yang telah Allah SWT ciptakan di muka bumi sehingga terciptalah kehidupan yang aman, tenteram, sejahtera serta dalam suasana keadilan oleh sebab adanya kekhalifahan. Dan untuk memudahkan dan juga untuk menuntaskan tugas tersebut di atas maka setiap manusia yang telah diberikan sibghah oleh Allah SWT yang berasal dari Af’al-Nya maka setiap manusia wajib menjadikannya sebagai perbuatannya sehari-hari atau wajib mendayagu-nakannya dalam koridor nilai-nilai kebaikan kepada sesama yang membutuhkannya. Adanya kondisi saling memberi dan saling menerima maka inilah salah satu tujuan adanya khalifah di muka bumi dapat terlaksana dengan baik serta apa yang dikehendaki Allah SWT dapat tercapai.

 

Sekarang bagaimana dengan perbuatan ruh yang berasal dari sifat-sifat alamiah ruh yang berasal dari Af’al Allah SWT yang termaktub dalam Asmaul Husna, yang disebut jugaa dengan Ahwa dengan Nafs/Anfuss?i alamh  Perbuatan yang dilakukan oleh sifat-sifat alamiah ruh yang berasal dari Nur Allah SWT, pada prinsip kerjanya hampir sama dengan prinsip kerja perbuatan dari sifat alamiah jasmani yang berasal dari alam. Apa contoh konkretnya? Salah satu contoh dari sifat alamiah ruh adalah sifat dermawan. Jika sifat dermawan  tumbuh dalam diri kita, atau sifat dermawan menjadi perilaku diri kita sehari-hari maka perbuatan diri kita menjadi mudah berbagi kepada sesama, tidak hanya pada sesuatu yang bersifat materiil dan juga pada sesuatu yang bersifat immaterial, seperti ilmu dan pengajaran serta bimbingan.

 

Adanya kondisi ini akan menghantarkan diri kita menjadi pribadi-pribadi yang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok tertentu saja, atau menjadikan diri kita menjadi pribadi-pribadi yang hanya tahunya menang sendiri tanpa mau memikirkan orang lain. Lalu bagaimana jika sifat sabar mempengaruhi diri kita? Jika sifat sabar mempengaruhi diri kita maka akan menjadikan diri kita berbuat dan bertindak dalam koridor keteraturan, atau akan menjadikan diri kita menjadi pribadi-pribadi yang tidak cepat putus asa, tidak mau merugikan dan mencelakakan orang lain baik sengaja ataupun tidak. Demikian seterusnya sesuai Asmaul Husna Allah SWT yang berjumlah sembilan puluh sembilan perbuatan. 


Saat ini kita telah mengetahui perbuatan jasmani yang di dalam AlQuran dikatakan dengan istilah ahwa (hawa nafsu) dan juga kita telah pula mengetahui perbuatan ruh yang di dalam AlQuran dikatakan dengan istilah Nafs/Anfuss. Lalu bisakah kita membedakannya? Jika kita termasuk orang yang telah tahu diri, maka kita akan mudah mengetahui perbedaan yang mencolok antara ahwa (hawa nafsu) dengan nafs/anfuss. Hal ini dikarenakan perbuatan keduanya sangat bertolak belakang. Ahwa (hawa nafsu)  sangat berkesesuaian dengan Nilai-Nilai Keburukan yang sangat dikehendaki setan, sedangkan Nafs/Anfus sangat berkesesuaian dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang sangat dikehendaki Allah SWT. Adanya kondisi ini seharusnya dapat menyadarkan diri kita untuk berhati-hati di dalam bertindak, dalam berbuat karena hasil akhir dari apa yang kita lakukan, kita jugalah yang akan menikmatinya.

 

Sekarang mari kita pelajari dengan seksama tentang kemampuan ruh. Untuk itu kita harus terlebih dahulu kembali kepada hadits Isra Mi’raj di atas. Di dalam hadits Isra Mi’raj dikemukakan bahwa Setiap Nabi yang ditemui atau bertemu dengan Nabi Muhammad SAW selalu Nabi-Nabi tersebut mengenal Nabi Muhammad SAW sedangkan Nabi Muhammad SAW sendiri tidak mengenal siapa Nabi tersebut“. Berdasarkan kondisi ini sebenarnya apa yang terjadi?” Sebelum menjawab pertanyaan ini, kami ingin mengajak anda untuk merenungi apa yang akan kami kemukakan, yaitu: dapatkah anda membayangkan jarak atau rentang waktu antara Nabi Adam as, dengan Nabi Muhammad SAW? Rasanya tidak ada satupun makhluk ataupun manusia yang dapat mengetahui berapa jarak yang sebenarnya antara Nabi Adam as, dengan Nabi Muhammad SAW kecuali Allah SWT selaku pencipta manusia.

 

Lalu atas dasar apakah Nabi Adam as, dapat mengenal bahwa yang datang menemuinya di langit yang pertama itu adalah Nabi Muhammad SAW? Jika Nabi Adam as, tidak mengenal Nabi Muhammad SAW bagaimana mungkin ucapan yang pertama kali disampaikan oleh Nabi Adam as, kepada Nabi Muhammad SAW kita adalah “Marhaban (selamat datang) Nabi yang salih dan Putra yang salih”. Setelah ucapan itu di sampaikan oleh Nabi Adam as, Nabi kita bertanya kepada Malaikat Jibril dikarenakan Nabi tidak mengenalinya “Siapakah Itu? lalu di jawab oleh Malaikat Jibril “Itu adalah Nabi Adam as”. Menurut akal sehat manusia, bagaimana mungkin dengan jarak atau tenggang waktu yang begitu jauh yang tidak seorang manusiapun mampu menghitung-nya, sekarang Nabi Adam as, dapat mengenali Nabi Muhammad SAW.

 

Adanya perbedaan kondisi antara Nabi Adam as, dan Nabi Muhammad SAW pada waktu bertemu di langit yang pertama,  Nabi Adam as, sudah tanpa Jasmani, maka dengan Kehebatan Ruh Nabi Adam as, maka Nabi Adam as dapat mengenali dan mengetahui dengan pasti tamunya yang datang walaupun tamunya sendiri tidak mengenal Beliau. Demikian pula dengan Nabi-Nabi yang ditemui oleh Nabi Muhammad SAW seperti Nabi Idris as, Nabi Musa as, Nabi IbrahimM as, dan Nabi Isa as, mereka semua dapat mengenali Nabi Muhammad SAW dikarenakan kehebatan ruh yang tidak tidak mengenal jarak, ruang dan waktu.

 

Hal yang perlu kita garisbawahi adalah ruh sudah mempunyai kemampuan kekuatan dan kehebatan, apakah menjadi kendala bagi ruh Nabi Adam as, atau Ruh Nabi Musa as, Nabi Isa as, Nabi Ibrahim as, untuk mengenal Nabi Muhammad SAW walaupun terkendala dengan jarak, ruang dan waktu? Jarak, ruang dan waktu dapat dipastikan bukan kendala dan bukan halangan bagi ruh Nabi Adam as, atau ruh Nabi-Nabi terdahulu untuk mengenal Nabi Muhammad SAW. Sekarang timbul pertanyaan lagi, jika ruh Nabi Adam as, dan ruh Nabi-Nabi yang terdahulu yang ditemui Nabi Muhammad SAW di langit yang ke dua sampai dengan langit yang ke tujuh mempunyai kemampuan, kekuatan, kehebatan dan kedasyatan  yang mampu menembus atau tidak terkendala dengan jarak, ruang dan waktu, apakah ruh yang kita miliki atau ruh manusia biasa seperti kita-kita ini mempunyai kemampuan yang sama dengan kemampuan ruh yang dimiliki oleh Nabi Adam as. atau Nabi-Nabi yang terdahulu?

 

Seluruh ruh manusia, baik itu ruh para Nabi ataupun Rasul dan tidak terkecuali ruh diri kita sendiri sebagai manusia biasa, semuanya berasal dari satu pencipta, dalam hal ini adalah Allah SWT. Hal ini disebabkan tidak akan pernah ada satu makhlukpun yang sanggup menciptakan ruh. Jika hanya Allah SWT saja yang sanggup menjadi pencipta ruh untuk seluruh manusia ini berarti bahwa Allah tidak akan membeda-bedakan kemampuan, kehebatan dan kedasyatan ruh untuk setiap manusia sebab Allah SWT pasti berlaku adil. Adanya kondisi ini maka ruh diri kitapun pasti memiliki kemampuan yang sama dengan kemampuan ruh yang dimiliki oleh Nabi Adam as, dan Nabi-Nabi yang terdahulu. Selanjutnya jika ruh Nabi Adam as, dan ruh  Nabi-Nabi yang terdahulu mampu menembus jarak, ruang dan waktu,  maka ruh kitapun mampu menembus jarak, ruang dan waktu. Disinilah letak keadilan Allah SWT kepada umat manusia.

 

Untuk membuktikan bahwa Allah SWT tidak membeda-bedakan mutu dan kualitas ruh, mari kita pelajari hadits berikut ini: Menurut Hadist Qudsi: Allah SWT berfirman pada qiamat kepada anak-anak: “Masuklah kalian ke dalam surga”! Anak-anak itu berkata: “Wahai Tuhan kami, (kami menunggu) hingga ayah ibu kami masuk”. Lalu mereka mendekati pintu surga! Tapi tidak mau masuk ke dalamnya. Allah SWT berfirman lagi: “Mengapa Aku lihat mereka enggan masuk? Masuklah kalian ke dalam surga! Mereka menjawab: “Tetapi (bagaimana) orang tua kami? Allah SWT berfirman: “Masuklah kalian ke dalam surga bersama orangtua kalian”. (Hadits Qudsi Riwayat Ahmad dari Syurahbil bin Syu’ah yang bersumber dari shahabat Nabi SAW). Di dalam hadits ini, diterangkan bahwa anak-anak diperintahkan untuk masuk syurga oleh Allah SWT, namun anak-anak tersebut menolak, kenapa anak-anak tersebut menolak? Anak-anak menolak karena ia ingin masuk syurga bersama ayah dan ibunya sampai akhirnya Allah SWT memper-kenankan permintaan tersebut.

 

Timbul pertanyaan, atas dasar apakah anak-anak tersebut dapat mengenal dan tahu akan keberadaan orang tuanya padahal anak-anak tersebut telah berpisah dengan orang tuanya sekian waktu lamanya? Sekarang bayangkan anak-anak yang berusia di bawah lima tahun berapa kemampuan anak tersebut dan apa yang bisa diperbuat oleh anak tersebut. Jika sekarang anak-anak mampu untuk mengenali dan mengetahui dengan pasti orang tua kandungnya maka hal ini disebabkan oleh Allah SWT yang tidak membeda-bedakan mutu dan kualitas ruh sehingga kemampuan ruh anak tersebut tetap tidak terpengaruh dengan jarak, ruang dan waktu. Sekarang jika mutu dan kualitas ruh dari anak-anak berbeda-beda bagaimana mungkin ia akan mengenal dan mengetahui orang tua kandungnya dan lalu mengajaknya masuk ke dalam syurga!

 

Lalu apakah kemampuan, kehebatan dan kedasyatan ruh yang kita miliki akan tetap kondisinya selama kita hidup di dunia? Kondisi dan keadaan ruh manusia sebelum ditiupkan ke dalam jasmani memiliki kondisi yang sangat hebat seperti hebatnya Allah SWT selaku pencipta ruh itu sendiri. Akan tetapi kehebatan ruh yang tidak mengenal jarak, ruang dan waktu tersebut dapat berkurang jika ia menempati tempat yang kotor (maksudnya kondisi awal jasmani yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT) atau sangat tergantung tempat yang ditempatinya.

 

Maksudnya apa? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita berkaca kepada Air yang putih, bersih dan jernih yang dimasukkan ke dalam botol. Kualitas Air yang kami kemukakan di atas akan berubah atau menjadi tidak sesuai lagi kualitasnya jika botol yang akan ditempati oleh air memiliki kualitas yang jelek, seperti kotor, terkontaminasi dengan bau dan lain sebagainya. Hal yang samapun terjadi pada ruh, yaitu kekuatan, kehebatan yang tidak mengenal jarak, ruang dan waktu, akan berkurang kualitasnya jika ia ditiupkan atau masuk ke dalam jasmani yang catatan awalnya tidak memenuhi kriteria yang telah ditetapkan Allah SWT, yaitu  tidak memenuhi konsep halal lagi baik (thayyib), tidak membaca membaca Basmallah dan Doa saat mengkonsumsinya serta tidak sesuai syariat saat mempertemukan sel telur dengan sperma.

 

Adanya kondisi ini berarti pengaruh jasmani atau keadaan jasmani sangat mempengaruhi mutu dan kualitas ruh yang akan menempati jasmani. Selanjutnya mari kita perhatikan dengan lebih seksama lagi, jika ruh yang sudah ditiupkan kepada setiap manusia sudah mempunyai kondisi dan keadaan seperti yang kami sebutkan di atas, sekarang bagaimana dengan kekuatan, kehebatan dan kedasyatan yang dimiliki oleh Allah SWT selaku pencipta dari ruh itu sendiri? Dapatkah kita membayangkannya? Dapatkah kita mengukurnya? Dapatkah kita mengalahkannya? Masih tidak percayakah kita kepada Allah SWT sehingga masih mengakui adanya Tuhan-Tuhan lain selain Allah SWT. 

 

Selanjutnya, jika sampai kita tidak mau juga mengakui bahwa hanya Allah SWT sajalah yang memiliki kekuatan, yang mampu memiliki kehebatan untuk menciptakan apapun juga, berarti ada sesuatu yang salah di dalam diri kita, yaitu kita belum beriman kepada Allah SWT. Sekarang setelah mengetahui bahwa ruh begitu hebat sehingga hanya Allah SWT sajalah yang memiliki ilmu tentang ruh, bahwa hanya Allah SWT sajalah yang mampu menciptakan ruh, timbul pertanyaan, pada saat Malaikat diperintahkan sujud kepada Nabi Adam as, oleh Allah SWT, apakah sujudnya Malaikat kepada jasmani Nabi Adam as, ataukah sujud kepada ruh yang telah diciptakan Allah SWT?

 

Berdasarkan uraian yang telah kami kemukakan di atas, sujudnya Malaikat kepada Nabi Adam as, bukanlah sujud kepada jasmani Nabi Adam as, akan tetapi sujud kepada ruh yang telah diciptakan oleh Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti manusia (dalam hal ini ruh manusia) sudah ditempatkan sebagai makhluk yang mulia oleh Allah SWT dibandingkan dengan Malaikat. Yang menjadi persoalan saat ini adalah apakah kemuliaan yang telah diberikan oleh Allah SWT masih seperti sediakala atau tidak mengalami perubahan sedikitpun?Jika apa yang kami kemukakan di atas ini mengalami perubahan berarti ada sesuatu yang salah pada diri kita.

 

Ingat, ruhani yang berasal dari Allah SWT dapat dipastikan sifatnya (nass) sesuai dengan perbuatan-perbuatan Allah SWT yang termaktub di dalam Asmaul Husna. Yang menjadi persoalan adalah jika sesuatu yang Baik yang berasal dari Allah SWT tidak dapat menjadikan diri kita sebagai khalifah yang sekaligus Makhluk Yang Terhormat , akan tetapi justru malah menjadikan diri kita sesuai dengan apa–apa yang dikehendaki oleh iblis dan setan berarti kita sudah keluar dari konsep awal penciptaan manusia karena manusia harus menjadi pemenang, bukan menjadi pecundang.

 

Lalu, maukah kita pulang kampung bersama setan ke neraka jahannam atau maukah kita bertemu dengan Allah SWT di syurga? Jika kita ingin bertemu dengan Allah SWT di syurga jadilah abd’ (hamba)Nya yang sekaligus khalifahNya di muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT dan  jika ingin pulang kampung ke neraka jahannam jadilah hamba dan khalifah yang sesuai kehendak setan sang laknatullah. Sekarang pilihlah jalan untuk menuju syurga jika kita berkeinginan untuk bertemu dengan Allah SWT atau pilihlah sekarang juga jalan menuju neraka jahannam jika kita ingin hidup bertetangga dengan setan. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar