Rasulullah SAW telah menginformasikan kepada
kita bahwa di dalam diri manusia ada segumpal daging, yang jika baik daging itu
baik pula manusia tersebut. Sebaliknya jika buruk daging itu, maka buruk pula
kualitas orang tersebut, Daging itu adalah hati, sebagaimana hadits berikut
ini: ““Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik,
maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad.
Ketahuilah bahwa ia adalah hati” (Hadits Riwayat Bukhari no. 52 dan Muslim
no. 1599). Selain dari pada itu, Rasulullah SAW juga mengajarkan kepada
kita bahwa setiap perbuatan, ataupun setiap amaliah sangat tergantung kepada
niatnya. Jika niatnya jelek maka jelek pula perbuatan ataupun amaliahnya. Dan
jika baik niatnya, maka baik pula amaliahnya. Adanya kondisi ini maka kualitas
dari seorang mukmin bisa dilihat dari niat yang ada di dalam hati seseorang
pada saat melakukan sebuah perbuatan atau amaliah.
Berdasarkan uraian di atas, hati dapat
dikatakan adalah cermin dari segala perbuatan kita. Setiap kita melakukan suatu
perbuatan, maka hati akan mencerminkan niat yang sesungguhnya dari perbuatan
itu. Katakanlah, kita memberi uang kepada seseorang. Kelihatannya itu adalah
perbuatan mulia. Tetapi jika niatan kita untuk menyombongkan diri kepada orang
lain, maka perbuatan itu sebenarnya tidak mulia lagi. Jadi, hati lebih
menggambarkan kualitas yang sesungguhnya dari perbuatan atau amaliah kita.
Sedangkan perbuatan atau amaliah lebih sulit untuk dinilai kualitasnya.
Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah SAW berkata: “Orang
mukmin cermin bagi orang mukmin lainnya” Jika kita memperhatikan hadits
yang pendek ini dengan seksama, kita akan dapat belajar kepada hati kita sendiri lalu kita akan mengetahui
tentang bagaimana cara melakukan kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan.
Agar diri kita bisa menjadi cermin bagi orang
lain maka langkah pertama yang harus kita lakukan adalah menjadikan hati ruhani
diri kita sebagai cerminan bagi diri kita sendiri. Jika hal ini sudah mampu
kita lakukan maka langkah selanjutnya akan lebih mudah kita lakukan yaitu
menjadi cermin bagi orang lain. Sekarang apa yang bisa kita pelajari tentang
cermin, berikut ini akan kami kemukakan pelajaran yang bisa kita ambil dari
cermin, yaitu:
1. Cermin mampu memberitahukan kekurangan atas
dasar kejernihan dan ketulusan, bukan atas dasar niat buruk dan balas dendam.
2. Cermin menunjukkan kekurangan seseorang ketika
dirinya sendiri bersih tidak ber-debu sama sekali.
3. Cermin tidak peduli dengan kedudukan, kekayaan
dan jabatan ataupun pangkat sesesorang.
4. Cermin tidak menunjukkan kekurangan lebih besar
dari yang sebenarnya sehingga cermin mampu menampilkan sesuatu apa adanya.
5. Cermin, selain mampu menunjukkan kekurangan
juga mampu menunjukkan kele-bihan seseorang.
6. Cermin menyampaikan segala kekurangan dihadapan
yang bersangkutan, bukan dibelakang.
7. Cermin selalu menyampaikan segala kekurangan
atau segala keburukan seseorang tanpa pernah ribut.
8. Cermin, jika jatuh dan pecah, potongannya tetap
menunjukkan yang baik itu baik dan yang buruk itu buruk. Jika engkau menghina
dan melecehkan seseorang mukmin, dia tetap tidak akan berpaling dari
perkataannya.
9. Cermin tidak akan menyimpan keburukan dalam
dirinya. Ketika keburukan itu lewat, maka permukaan cermin bisa bersih kembali.
10. Jika cermin menyampaikan kekuranganku, maka aku
harus memperbaiki diriku, buka memecahkan cermin. Karena itu, jika seseorang
muslim melarang kamu berbuat kemungkaran, kamu harus menjauhkan dosa dari
dirimu, bukan malah memprotesnya.
Setelah belajar kepada cermin lalu sudahkah
hati kita sendiri mampu menjadi cerminan bagi diri sendiri melalui hati kita
sendiri lalu menjadi cermin bagi orang lain? Jika belum, masih ada kesempatan
untuk memperbaiki diri dan juga hati sebelum segala sesuatunya terlambat.
Berdasarkan surat Al Israa’ (17) ayat 72 berikut ini: “dan Barangsiapa yang buta
(hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula)
dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” Ayat ini memberikan
gambaran yang sangat jelas kepada kita bahwa hati inilah yang menjadi sasaran
utama dari peribadatan yang kita lakukan.
Agama Islam lebih condong menggarap hati dari
pada perbuatan. Kalau hati seseorang sudah baik (sehat), maka perbuatannya
pasti baik. Sebaliknya meski perbuatannya kelihatan baik, belum tentu hatinya
baik. Bisa saja ada niat jelek yang tersembunyi. Seluruh peribadan yang
diajarkan kepada diri kita sebenarnya dimaksudkan untuk menggarap hati kita
agar menjadi baik (sehat). Untuk itu mari kita perhatikan hal-hal yang akan
kami kemukakan di bawah ini, yaitu
:
1. Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 183 berikut
ini: “Hai
orang-orang yang ber-iman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (surat Al Baqarah (2) ayat
183). ibadah puasa bertujuan agar diri kita menjadi taqwa, dimana orang
yang bertaqwa adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya dikarenakan
memiliki keteguhan hati untuk selalu berbuat baik dan menjauhi yang
buruk/jelek.
2. Berdasarkan surat Al Ankabuut (29) ayat 45 berikut
ini: “bacalah
apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.
dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari
ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Ayat
ini mengemukakan bahwa salah satu tujuan
mendirikan shalat adalah untuk membuka kepekaan hati untuk bisa
membedakan mana yang baik mana yang buruk, mana yang bermanfaat, mana yang
mudharat. Sehingga apabila shalat kita baik sesuai dengan kehendak Allah SWT
akan menyebabkan kita jauh dari perbuatan keji dan mungkar.
Jika kita yang sudah memiliki hati yang
sehat/hati yang beriman berarti shalat yang kita dirikan bukanlah shalat yang
asal-asalan, asal sudah selesai dikerjakan maka selesai sudah shalat itu tanpa
memberikan dampak apapun, baik kepada hati maupun kepada masyarakat. Sekali
lagi bukan yang seperti ini yang dikehendaki oleh Allah SWT, melainkan
berdampak positif kepada hati lalu mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar
kepada diri sendiri maupun kepada masyarakat. Sekarang bagaimana dengan shalat
yang kita dirikan?
3. Tujuan utama dari menunaikan zakat bukanlah
sekedar mengeluarkan sesuatu da-ri harta kita dengan memberikan sesuatu kepada
yang berhak menerimanya, melainkan untuk melatih hati kita untuk peduli kepada
orang orang yang lemah dan tidak berdaya. Hidup harus saling menolong supaya
tidak terjadi ketimpangan sosial yang menyebabkan terjadinya tindak kejahatan.
Itu secara sosial, tetapi secara pribadi, kebiasaan menolong orang lain dengan
zakat akan menyebabkan hati kita menjadi lembut dan penyantun.
4. Melontar jumroh merupakan salah satu rukun dari
ibadah haji. Melontar jumroh saat beribadah haji adalah membuang segala nilai
nilai syaitaniah (nilai-nilai keburukan) yang ada pada diri kita. Jika kita
melakukan Nafar Awal berarti 49 nilai nilai syaitaniah (nilai-nilai keburukan)
sudah kita buang dari dalam dari dan jika kita melakukan Nafar Tsani berarti 70
nilai nilai syaitaniah (nilai-nilai keburukan) sudah kita buang. Sehingga yang
ada di dalam diri hanya ada nilai nilai kebaikan setelah kita menunaikan ibadah
haji dan jangan sampai apa yang telah kita buang kita jadikan sebagai oleh-
oleh haji atau cinderamata haji.
Demikianlah, seluruh aktivitas ibadah yang kita
lakukan, semuanya menuju kepada
pelembutan hati atau menyehatkan hati kita. Hal ini dikarenakan hati yang lembut (hati yang sehat) itulah
yang akan menyelamatkan kita ketika hidup di dunia dan di akhirat kelak. Hati
yang lembut (hati yang sehat) adalah hati yang yang terbuka dan tanggap
terhadap sekitarnya. Sedangkan hati yang kasar dan keras adalah hati yang
tertutup terhadap sekitarnya.
Selain itu, hati ini juga merupakan penggerak
bagi seluruh tubuh, ia merupakan poros untuk tercapainya segala sarana dalam
terwujudnya perbuatan. Hati laksana panglima yang memompa pasukannya untuk
melawan musuh atau melemahkan mereka sehingga mundur dari medan peperangan.
Untuk itu ketahuilah bahwa “Hati itu mahal! Hal ini dikarenakan Allah
SWT selaku pencipta dan pemilik alam semesta ini hanya melihat kepada hati
kita, bukan kepada harta, pangkat, jabatan, rupa dan bentuk penampilan kita”.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya
di muka bumi sudahkah kita mengetahui bahwa hati ini mahal? Jika belum berarti
ada yang salah di dalam diri kita dan jika sampai kita menjadikan hati itu
murah berarti segala resiko yang ada dibalik kerasnya hati, tertutupnya hati,
kasarnya hati pasti akan menimpa diri kita baik di dunia ataupun di akhirat
kelak.
Ingat, jika hati sakit maka akan mengakibatkan
tubuh sakit. Namun jika yang terjadi adalah sakit hati atau sakit ruhani maka
yang akan kita peroleh adalah sengsara dunia dan sengsara di akhirat kelak.
Akan tetapi jika tubuh atau jasad yang sakit hasil akhirnya hanyalah mati.
Hati itu bagaikan raja yang menggerakkan tubuh
untuk melakukan perbuatan-perbuatan-nya, jika hati tersebut adalah hati yang
baik maka seluruh tubuhnya akan tergerak untuk mengerjakan hal-hal yang baik,
adapun jika hatinya adalah hati yang buruk maka tentunya juga akan membawa
tubuh melakukan hal-hal yang buruk. Hati adalah perkara utama untuk memperbaiki
manusia, Jika seseorang ingin memperbaiki dirinya maka hendaklah ia memperbaiki
dahulu hatinya!!!
Sekarang mari kita perhatikan hadits berikut
ini: “Wahab bin Munbbih berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya langit langit dan bumi tidak berdaya menjangkau Ku, namun Aku
telah dijangkau oleh hati seorang mukmin”. (Hadits Riwayat Ahmad; 272:32)”. dimana
Allah SWT tidak bisa dijangkau oleh
langit dan bumi, melainkan hanya bisa dijangkau oleh hati orang mukmin. Kondisi
ini menunjukkan bahwa hati orang mukmin merupakan hati yang lembut (hati yang
sehat) sehingga mampu menjangkau dan merasakan rasa nikmatnya bertuhankan
kepada Allah SWT.
Sedangkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud beriut ini: “Tiga perkara yang berasal dari iman: (1)
Tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan Laailaaha illallah karena suatu dosa
yang dilakukannya atau mengeluarkannya dari Islam karena sesuatu perbuatan; (2)
Jihad akan terus berlangsung semenjak Allah mengutusku hingga pada akhirnya
umat ini memerangi Dajjal, tidak dapat dirubah oleh kezhaliman orang zhalim
atau keadilan orang adil; (3) Beriman kepada taqdir. (Hadits
Riwayat Abu Dawud).”
Hadits ini mengemukakan bahwa lembutnya hati
atau sehatnya hati yang dimiliki oleh orang yang beriman kepada Allah SWT akan
menjadikan pemiliknya menjadi orang orang yang baik yang tidak mau mengkafirkan
orang lain; akan terus berjihad dengan bersungguh sungguh berbuat kebaikan
serta beriman kepada taqdir. Lalu apa yang bisa kita raih dari lembutnya hati
atau sehatnya hati? Hidup tenang, mati senang, berumur panjang siap kita raih
dan dapatkan serta bermanfaat bagi orang lain dan juga karya nyatanya bisa
dirasakan oleh generasi yang datang di kemudian hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar