Umroh adalah ibadah umat Islam yang dilakukan
di Baitullah yang ada di Makkah Al-Mukarramah khususnya di Masjidil Haram.
Ibadah umroh hampir mirip dengan ibadah haji, hanya saja dalam kegiatan umroh
tidak melakukan prosesi wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina
yang dilanjutkan dengan melontar jumrah ula, wustha dan aqabah serta thawaf
ifhadah sebagaimana yang dilakukan dalam pelaksanaan ibadah haji.
Umroh, secara bahasa artinya berkunjung ke
suatu tempat. Sedangkan secara istilah fikih, umroh artinya melakukan
serangkaian ibadah: thawaf (mengitari Ka'bah sebanyak tujuh kali putaran yang
arah putarannya berlawanan arah dengan arah jarum jam), sa’i (berlari-lari
kecil) di antara dua bukit shafa dan bukit marwah, lalu diakhiri dengan tahallul
(memotong sebagian rambut kepala). Itulah rangkaian ibadah umroh.
Sekarang mari kita pelajari apa itu umroh secara lebih mendalam lagi,
yang tentunya harus sesuai dengan ketentuan AlQuran dan hadits, sebagaimana
berikut ini:
A.
UMROH ADALAH MENJADI
TAMU ALLAH SWT.
Ibadah umroh adalah
menjadi tamu Allah SWT di Baitullah sehingga jamaah umroh merupakan tamu-tamu
Allah SWT. Hal ini berdasarkan ketentuan hadits yang kami kemukakan berikut
ini: “Orang-orang
yang berhaji dan orang-orang yang berumroh adalah tamu-tamu Allah SWT. Jika
mereka berdoa memohon kepada-Nya, niscaya diperkenankan-Nya dan jika mereka
memohon ampunan kepada-Nya, niscaya mereka diampuni-Nya. (Hadits Riwayat Ibnu
Majaah yang bersumber dari Abu Hurairah ra)”. Kondisi ini
dipertegas dengan bacaan “Talbiyah”
yang kita ucapkan dan katakan kepada Allah SWT sesaat setelah kita berniat di Miqat, sebagaimana berikut ini:“Labbaika Allahumma Labbaik, Labbaika laa syariika laka Labbaik. Innal
hamda wan ni’mata laka wal mulku laa syaariika lak (Kusambut panggilan-Mu Ya
Allah, kusambut panggilan-Mu, kusambut panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji
dan nikmat dan kerajaan adalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu)”. Adanya pernyataan Talbiyah yang kita katakan kepada Allah SWT menunjukkan
bahwa menunaikan
ibadah umroh merupakan manifestasi dari menjadi tamu Allah SWT.
Sebagai tamu yang
telah diundang oleh Allah SWT sudahkah kita mampu menjadikan diri kita mampu menjadi
tamu yang kedatangannya sudah dinantikan oleh Tuan Rumah, atau sudahkah diri
kita menjadi tamu yang dibanggakan oleh Tuan Rumah, sehingga patut ditemui oleh
Allah SWT di Baitullah? Disinilah letak perjuangan diri kita saat menjadi tamu
Allah SWT. Kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa ibadah umroh bukanlah
sekedar datang ke Baitullah, namun kedatangan diri kita ke Baitullah apakah
dikehendaki oleh Allah SWT sehingga Allah SWT mau menerima kedatangan kita
ataukah tidak.
Allah SWT selaku Tuan Rumah pasti akan menghormati seluruh tamunya yang
datang melaksanakan ibadah umroh sepanjang tamu yang datang adalah:
1. Tamu yang tahu adab
dan sopan santun yang paham dan mengerti
tentang ma-nasik haji dan umroh;
2. Tamu yang tahu diri;
3. Tamu yang
menyenangkan bagi Tuan Rumah dengan selalu mematuhi syarat dan ketentuan yang
berlaku di rumah Allah (di Baitullah);
4. Tamu yang mampu
berperilaku atau berakhlak seperti akhlak “Tuan Rumah”;
5. Tamu yang tidak
mengaku-ngaku sebagai “Tuan Rumah”.
Untuk itu jangan pernah salahkan Allah SWT selaku Tuan Rumah jika Allah
SWT tidak mau menerima kedatangan diri
kita. Jika Allah SWT tidak mau bertemu dengan kita padahal inti dari bertamu
adalah bertemu dengan Allah SWT. Jika Allah SWT marah kepada diri kita karena
apa yang kita kemukakan dalam Talbiyah tidak sesuai dengan keadaan diri kita
yang sesungguhnya (seperti masih menyekutukan Allah SWT saat menjadi tamu Allah
SWT). Kondisi ini akan menjadi lebih parah jika uang atau penghasilan untuk
membiayai perjalanan ibadah umroh berasal dari yang haram.
Sebagai tamu yang datang untuk bertemu dengan Allah SWT melalui ibadah
umroh di Baitullah, ketahuilah, pahamilah, imanilah bahwa :
1. Allah SWT selaku Tuan Rumah pasti wajib ada dan
tidak akan mungkin tidak ada pada saat tamunya datang untuk melaksanakan ibadah
umroh sehingga pasti akan menyambut tamunya yang datang.
2. Allah SWT selaku Tuan Rumah siap memberikan apapun
yang diminta oleh tamu yang datang kepada-Nya, seperti memohon doa dan ampunan
sepanjang tamu dimaksud mampu menjadi tamu yang dikehendaki-Nya, yaitu tamu
yang mampu memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan-Nya berlaku.
3. Allah SWT selaku Tuan Rumah pasti bertanggungjawab
atas tamu yang datang kepada-Nya sehingga seluruh tamu yang datang pasti akan
mendapatkan sesuatu dari Allah SWT. Sepanjang tamu yang datang tersebut mampu
menjadi tamu yang menyenangkan bagi Tuan Rumah dan ditemui oleh Tuan Rumah.
4. Allah SWT selaku Tuan Rumah harus menjadi tujuan
atau yang harus ditemui oleh para tamunya. Sekarang apa jadinya jika tamu yang
datang melaksanakan ibadah umroh, tetapi tidak berjumpa dengan Allah SWT selaku
Tuan Rumah. Sedangkan inti dari berkunjung atau inti dari bertamu atau inti
dari memenuhi undangan adalah bertemu langsung dengan Tuan Rumah dan Tuan Rumah mau menerima kedatangan diri kita sebagai tamunya dengan
senang hati.
5. Saat diri kita di Baitullah maka kita harus
berperilaku dan berakhlak seperti pe-rilaku dan akhlak Tuan Rumah. Jika Tuan Rumah
memiliki akhlak Ar Rachman dan Ar Rahiem, maka kitapun harus berakhlak kasih
sayang kepada sesama manusia, baik selama di Baitullah maupun setelah pulang
menunaikan ibadah umroh, atau selama hayat masih di kandung badan. Demikian
seterusnya sesuai dengan Asmaul Husna yang dimiliki oleh Allah SWT.
Setelah mengetahui 5 (lima) hal yang kami kemukakan
di atas, maka kita harus memiliki ilmu dan pemahaman yang sangat baik tentang
ibadah haji atau umroh yang akan kita laksanakan.
Dan jika sekarang kita berada di Baitullah dalam
rangka menjadi tamu Allah SWT, apa yang harus kita lakukan disana? Berikut ini
akan kami kemukakan beberapa hal yang harus kita lakukan, yaitu:
1. Jadilah tamu yang
baik lagi menyenangkan Tuan Rumah;
2. Jadilah tamu yang
keberadaannya paling dikehendaki oleh Tuan Rumah;
3. Jadilah tamu yang
paling dibanggakan oleh Tuan Rumah serta;
4. Jadikan pertemuan dengan Tuan Rumah di Baitullah dan di
Padang Arafah menjadi sebuah pertemuan yang paling berkesan dan bernilai tinggi di dalam
melaksanakan ibadah haji.
Sehingga
nilai dan rasa pertemuan dapat kita rasakan terus dan terus selama hayat masih
di kandung badan dan bisa menjadi bekal setelah pulang dari melaksanakan ibadah
umroh yang tercermin di dalam ibadah Ikhsan
yang kita laksanakan. Dan jangan sampai diri kita menjadi tamu yang tidak
dikehendaki oleh Allah SWT saat melaksanakan ibadah umroh:
1. Karena kesalahan yang
kita perbuat di masa lalu seperti memiliki harta ke-kayaan haram untuk membiayai
perjalanan ibadah umroh atau;
2. Karena tidak memiliki
ilmu dan pemahaman tentang ibadah umroh
yang sesuai dengan kehendak Allah SWT atau;
3. Karena kita menantang
Allah SWT di Baitullah dengan melakukan perbuatan syirik dengan berani
menserikatkan Allah SWT dengan sesuatu padahal bacaan Talbiyah yang kita
kemukakan selama di Baitullah tidak ada sekutu bagi Allah SWT dan juga tidak
menjadikan diri kita sebagai sekutu bagi Allah SWT serta berani membuat
aturan-aturan baru yang tidak diperkenankan oleh Allah SWT seperti melaksanakan
apa yang dinamakan dengan umroh sunnah dan juga mengadakan ba’dal Umroh dan
juga;
4. Karena perilaku
berseberangan dengan perilaku Tuan Rumah serta; asyik ber-swaphoto di Baitullah
tanpa meminta izin kepada Tuan Rumah selaku pemilik Baitullah.
Sebagai
orang yang akan menjadi tamu Allah SWT di Baitullah tentu kita tidak bisa
sembarangan datang begitu saja menemui Allah SWT.Untuk itu ketahuilah bahwa
ketentuan Allah SWT adalah sesuatu yang mutlak harus kita patuhi dan yang harus
kita laksanakan selama diri kita melaksanakan ibadah umroh karena hanya dengan
cara itulah kita bisa menjadi tamu yang paham siapa sesungguhnya Allah SWT dan
mampu menempatkan Allah SWT sesuai dengan kemahaan yang dimilikiNya.
Adanya
pemenuhan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuan Rumah barulah
kita bisa menemui Allah SWT; barulah kita bisa menjadi tamu yang dikehendaki
oleh Allah SWT; barulah kita bisa diterima dan ditemui oleh Allah SWT, yang pada akhirnya Allah SWT mau memberikan oleh-oleh berupa penghapusan
dosa kepada diri kita, sebagaimana hadits berikut ini: “Antara Umroh yang pertama
dengan Umroh yang kedua penghapusan dosa-dosa (yang dilakukan antara keduanya)
dan haji mabrur tiada pahala kecuali Syurga. (Hadits Riwayat Bukhari).”
Untuk
itu jangan pernah kita sia-siakan ibadah umroh yang kita laksanakan. Jangan
biarkan ibadah umroh berlalu tanpa kesan yang mendalam akibat ulah diri kita
sendiri. Padahal Allah SWT sudah mempersiapkan sesuatu yang luar biasa bagi
tamu yang dikehendaki-Nya.
B. UMROH ADALAH NAPAK
TILAS DARI PERJALANAN HIDUP NABI IBRAHIM as, DAN KELUARGANYA.
Allah SWT mengemukakan dan menceritakan tentang cerita Nabi Ibrahim as,
beserta keluarganya, bukanlah sekedar cerita yang diceritakan kembali tanpa
maksud dan tujuan yang jelas. Allah SWT berkehendak kepada diri kita melalui
cerita yang diceritakan kembali di dalam AlQuran tentang Nabi Ibrahim as,
beserta keluarganya, bisa kita jadikan hikmah dan pelajaran saat diri kita
menjadi hamba-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi dan melalui itu pula
harus bisa menjadikan diri kita menjadi manusia teladan seperti teladannya Nabi
Ibrahim, as, teladannya Siti Hajar dan teladannya Nabi Ismail as,. Sekarang
sudahkah diri kita menjadi manusia teladan, setelah diri kita melaksanakan ibadah
umroh? Jika belum atau tidak bisa
berarti ada yang salah dalam diri kita.
Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Mumthahanah (60) ayat 6 yang
kami kemukakan berikut ini: “Sesungguhnya pada
mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi
orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian.
dan Barangsiapa yang berpaling, Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya
lagi Maha Terpuji.” dan juga berdasarkan surat Al
Baqarah (2) ayat 158 seperti yang kami kemukakan berikut ini: “Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian
dari syi'ar Allah. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau
ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. dan
Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka
Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui.”
Berdasarkan uraian di atas maka dapat
dikatakan dengan diri kita melaksanakan ibadah umroh berarti
kita diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk menjadikan diri kita menjadi manusia teladan melalui proses “Napak Tilas” dari perjalanan hidup ibunda
Siti Hajar, dalam hal ini saat diri kita melakukan prosesi ibadah Sa’i yaitu
berlari lari kecil dari bukit Safaa ke bukit Marwaa. Untuk itu
perhatikanlah dan lalu renungkanlah salah satu peninggalan dari keluarga Nabi
Ibrahim as, yaitu melalui istrinya ibunda Siti Hajar berupa Air Zam-Zam yang
sampai dengan hari ini dan bahkan sampai dengan hari kiamat kelak tidak pernah
habis walaupun telah diambil dan dikonsumsi jutaan orang dan juga telah dibawa
oleh jutaan orang ke seluruh dunia sebagai oleh-oleh haji ataupun oleh-oleh umroh.
Air sangatlah
bernilai tinggi jika keberadaannya ada di tengah gurun pasir sehingga Air
Zam-Zam lebih bernilai dibandingkan emas ataupun perak pada waktu lampau.
Inilah yang ditinggalkan oleh Siti Hajar kepada umat manusia, sesuatu yang
sangat berharga dan sangat panjang waktunya lalu sudahkah kita yang telah
menapak tilasi perjuangan dari Siti Hajar berbuat kebaikan kepada sesama
manusia yang bersifat jangka panjang? Jika belum berarti kita tidak bisa
melaksanakan pesan yang sangat berharga yang terdapat di dalam proses “napak tilas” keluarga Nabi Ibrahim as.
Jika sampai kita
tidak memiliki kebaikan apapun yang dapat dinikmati oleh generasi yang datang dikemudian hari seperti halnya Siti
Hajar atau jika sampai kita tidak punya karya besar yang bermanfaat bagi
masyarakat luas setelah “napak tilas”
keluarga Nabi Ibrahim as, berarti ada sesuatu salah pada ibadah umroh yang kita
laksanakan, atau ada sesuatu yang salah pada saat diri kita melaksanakan “napak tilas” perjalanan hidup dari
keluarga Nabi Ibrahim as. Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita.
Sekali lagi kami tekankan,
cerita tentang “napak tilas” dari
keluarga Nabi Ibrahim as, bukanlah sekedar cerita yang diceritakan kembali oleh
Allah SWT dalam AlQuran. Akan tetapi cerita yang harus menjadikan diri kita
menjadi manusia teladan seperti teladannya keluarga Nabi Ibrahim as. Kondisi
inilah yang harus kita jadikan pedoman setelah diri kita pulang melaksanakan ibadah
umroh yaitu dengan berbuat sesuatu kebaikan yang bersifat jangka panjang yang
dapat dinikmati oleh generasi yang datang dikemudian hari sehingga panjang
umurlah diri kita.
Alangkah hebatnya
ibadah haji atau umroh, jika setiap orang yang telah berhaji atau yang telah
menunaikan umroh mampu membuktikan bahwa ia telah melaksanakan “napak tilas” keluarga Nabi Ibrahim as,
dengan berbuat kebaikan-kebaikan yang bersifat jangka panjang, dengan berbuat
dan berkarya besar yang melampaui jamannya. Alangkah hebatnya maksud dan tujuan
dari ibadah haji (ibadah umroh) yang diberlakukan oleh Allah SWT sehingga
terlihat dengan jelas bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Ayo segera
kita buktikan ke khalayak bahwa kita mampu melaksanakan “napak tilas” perjuangan keluarga Nabi Ibrahim as, sekarang
juga.
Ingat, perjalanan
hidup kita setelah ruh dipisahkan dengan jasmani oleh Malaikat Maut, masih sangat panjang melebihi panjangnya usia
kita saat hidup di muka bumi. Sehingga sangat membutuhkan bekal yang banyak
yang bersifat jangka panjang pula.Sekarang bagaimana mungkin kita bisa memiliki
bekal yang banyak lagi bersifat jangka panjang jika kita sendiri tidak mau
berbuat dengan berani membayar mahal kebaikan yang banyak lagi bersifat jangka
panjang yang pada akhirnya terjadilah
ketidaksesuaian bekal terutama untuk bekal di akhirat kelak.
Disinilah letak
pentingnya kita merealisasikan hasil dari “napak
tilas” yang telah kita laksanakan saat ibadah haji atau saat ibadah umroh dengan
berbuat sesuatu yang bisa dinikmati oleh generasi yang datang kemudian hari
seperti halnya ibunda Siti Hajar dengan Air Zam Zamnya. Dan jangan sampai kita
hanya mampu melaksanakan “napak tilas” perjuangan
keluarga Nabi Ibrahim as, tanpa mampu membuktikan hasil akhir dari “napak tilas” yang telah kita napak
tilasi. Alangkah ruginya diri kita jika hanya berpangku tangan, dengan berdiam
diri, tidak berani berbuat untuk kepentingan diri sendiri. Seolah-olah jika
kita sudah mampu menunaikan ibadah haji atau ibadah umroh selesai sudah urusan
kita dengan Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar