Agar
diri kita mampu malu kepada diri sendiri maka kita harus terlebih dahulu tahu
siapa Allah SWT dan siapa diri kita. Untuk itu mari kita perhatikan dengan
seksama hal-hal yang kami kemukakan di
bawah ini, yaitu:
a. Untuk
itu renungkanlah keberadaan jasmani diri kita
yang begitu canggih, yang begitu sempurna jaringan sel-sel syarafnya,
lalu perhatikan pula ginjal, jantung, pankreas, otak dengan segala jaringannya
dan lain sebagainya, yang begitu hebat keberadaannya, yang tentunya bukan kita
yang ciptakan melainkan sudah dipersiapkan oleh Yang Maha Hebat pula, yaitu
Allah SWT.
Lalu apakah kita tidak
malu dengan diri sendiri yang tidak bisa menciptakan segala yang ada pada
jasmani diri sendiri lalu mempermalukan diri dihadapan Allah SWT dengan
mengekploitasi penggunaan jasmani dengan cara cara diluar kepantasan dan
kepatutan? Kemanakah perginya rasa malu kita, dibawa angin ataukah memang kita
tidak tahu malu. Jika sudah begini kadar keimanan seseorang sudah tergadai
dengan perginya rasa malu.
b. Untuk itu
renungkanlah keberadaan ruh diri kita yang berasal dari Nur Allah SWT, dimana ruh
inilah yang menjadi jati diri kita yang sesungguhnya. Ingat, ruh datang fitrah saat menjadi diri kita lalu
kefitrahannya kita rusak saat menjadi hamba dan khalifah-Nya dimuka bumi. Jika
ini yang terjadi berarti kita sendirilah yang mempermalukan diri sendiri
dihadapan Allah SWT dengan mengotori diri sendiri yang mengakibatkan ruh
menjadi jiwa fujur. Kemanakah perginya rasa malu dalam diri kita?
c. Untuk itu renungkanlah Amanah yang 7 yang tidak lain
bagian dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT yang termaktub di dalam sifat
Ma’ani Allah SWT yang kemudian dijadikan sebagai modal dasar saat diri kita
menjadi khalifah di muka bumi. Lalu dimanakah letaknya rasa malu kita jika
modal dasar ini kita pergunakan secara semena mena sehingga tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Qudrat kita
pergunakan secara asal asalan, Ilmu kita pergunakan untuk menipu, Iradat yang
seharus menjadi kekuatan untuk memperoleh kebahagian justru kita gunakan untuk
hal hal yang menimbulkan kerusakan. Allah SWT berfirman: “dan
Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan
manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah
orang-orang yang lalai. (surat Al A’raaf (7) ayat 179)
Jika kita masih
memiliki rasa malu, apakah malu naluri ataukah malu imani, maka kita wajib tahu
diri dan tahu Allah SWT dan jika sampai kita tidak tahu diri dan tidak tahu
Allah SWT maka bertanyalah kemanakah perginya rasa malu itu. Jika sampai rasa
malu hilang dalam diri berarti keimanan yang dibutuhkan oleh Ruh/Ruhani akan
menjadikan Ruh/Ruhani menjadi tidak fitrah lagi lalu bisakah Ruh/Ruhani yang
sudah tidak fitrah lagi bertemu dengan Dzat Yang Maha Fitrah? Jawaban dari
pertanyaan ini adalah bisa bertemu sepanjang Ruh/Ruhani difitrahkan terlebih
dahulu di Neraka Jahannam barulah kita bisa bertemu dengan Allah SWT.
Bertanyalah kepada diri sendiri, sanggupkah kita merasakan panasnya api neraka
saat proses memfitrahkan Ruh/Ruhani menjadi fitrah kembali?
4. Malu Kepada Allah SWT. Agar malu kepada Allah SWT bisa
berlaku kepada diri kita, ada baiknya kita mempertanyakan kepada diri sendiri,
siapakah yang menciptakan dan memiliki langit dan bumi dengan segala isinya?
Siapakah yang menciptakan dan yang memiliki diri kita dengan segala apa apa
yang menyertai diri kita? Jawaban dari kedua pertanyaan ini adalah Allah SWT
lah menciptakan dan yang memiliki itu semua. Lalu bisakah kita hadir ke muka
bumi ini secara langsung dengan cara menciptakan diri sendiri? Mustahil di akal
hal ini bisa terjadi karena semua keberadaan manusia di muka bumi, ada karena
adanya qudrat, iradat dan ilmu Allah SWT yang sangat hebat.
Alangkah tidak tahu
malunya kita jika kita ada karena Allah SWT lalu Allah SWT kita lawan saat
hidup di muka bumi ini padahal Allah SWT adalah tuan rumah. Jika ini yang
terjadi apakah Allah SWT yang kita permalukan selaku tuan rumah ataukah kita
yang mempermalukan diri dihadapan Allah SWT selaku tuan rumah? Sepanjang diri kita masih memiliki rasa malu
dalam diri, sudah sepantasnya kita mampu menempatkan diri dihadapan Allah SWT
secara baik dan benar. Tahu siapa diri kita yang sesungguhnya dan tahu Allah SWT
yang sebenarnya. Semoga rasa malu masih ada di dalam diri kita.
Sekarang mari kita perhatikan hadits qudsi
berikut ini: “Ibnu Abbas ra,
berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala
berfirman: Wahai Anak Adam! Jika engkau ingat kepada-Ku, Aku Ingat kepadamu dan
bila engkau lupa kepada-Ku, Akupun ingat kepadamu. Jika engkau taat kepada-Ku
pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku berkawan dengan engkau
dan engkau berkawan dengan daKu. Engkau berpaling daripada-Ku padahal aku
menghadap kepadamu, Siapakah yang memberimu makan dikala engkau masih di dalam
perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai terlaksanalah
kehendak-Ku bagimu, maka setelah Aku keluarkan engkau ke alam dunia engkau
berbuat banyak maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan kepada yang telah
berbuat kebaikan kepadamu?.(Hadits
Qudsi Riwayat Abu Nasher Rabi'ah bin Ali Al Ajli dan Arrafi'ie; 272:182).”
dimana Allah SWT telah
menunjukkan sikapNya kepada diri kita lalu apakah sikap ini kita biarkan begitu
saja tanpa ada reaksi dari kita? Jangan karena kita sudah tidak memiliki rasa
malu kepada Allah SWT yang selalu menghadap kepada diri kita walaupun kita
tidak menghadap kepadaNya lalu kita bersikap mempermalukan diri sendiri dengan
cara acuh atau tidak memperdulikan sikap Allah SWT kepada diri kita?
Hanya orang yang sudah tidak memiliki malu
atau rasa malu yang bisa bersikap seperti itu kepada Allah SWT, yang juga
berarti orang tersebut sudah tidak memiliki keimanan sehingga paling disayang
oleh Syaitan sang laknatullah.
Sekarang mari kita perhatikan hadits qudsi
berikut ini, “Malulah
kalian kepada Allah dengan sebenar benarnya. Jawab para sahabat, :Kami sudah
malu ya Rasulullah. Nabi menjelaskan, “Bukan demikian yang dimaksud dengan malu
kepada Allah dengan sebenar benarnya adalah dengan menjaga kepala dan organ
organ yang terletak di kepala, menjaga perut beserta organ organ yang
berhubungan dengan perut, dan mengingat kematian dan saat badan hancur di dalam
kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia.
Siapa yang meninggalkan hal hal
tersebut, maka ia telah merasa malu kepada Allah dengan sebenar benarnya. (Hadits
Riwayat Ath Thirmidzi).” dimana Nabi Muhammad SAW telah
mengajarkan kepada diri kita tentang rasa malu kepada Allah SWT yang tidak
sebatas diucapkan semata. Melainkan rasa malu kepada Allah SWT harus
ditunjukkan dalam perbuatan yaitu:
a.
dengan menjaga kepala
dan organ-organ yang terletak di kepala,
b.
dengan menjaga perut
beserta organ-organ yang berhubungan dengan perut,
c. dengan mengingat
kematian dan saat badan hancur di dalam kubur.
d. Visi akhirat yang telah
dicanangkan hanya bisa dicapai dengan meninggalkan kesenangan dunia lalu berani
membayar mahal untuk berbuat kebaikan dari waktu ke waktu.
Sudahkah kita mampu melaksanakan apa apa yang
dikehendaki oleh Allah SWT sehingga rasa malu diatas terpelihara dalam diri?
Semoga diri kita, keluarga kita, anak keturunan kita mampu melaksanakan
ketentuan hadits di atas.
Sekarang mari kita
ikuti kisah ini. Suatu ketika datang seorang lelaki kepada Ibrahim ibn Adham
dan berkata, “Wahai Imam, aku ingin bertaubat dan meninggalkan dosa. Tetapi,
tiba-tiba aku kembali berbuat dosa. Tunjukkan padaku sesuatu yang bisa
melindungiku hingga aku tidak lagi bermaksiat kepada Allah.” Ibrahim ibn Adham
pun menjawab, “Jika engkau ingin bermaksiat kepada Allah, jangan bermaksiat di
bumi-Nya.”
Orang itu pun
bertanya, “Lalu di mana aku bisa bermaksiat, sementara seluruh bumi ini adalah
milik Allah?” Ibrahim ibn Adham pun menjawab, “Tidakkah engkau malu seluruh
bumi ini milik Allah tetapi engkau masih bermaksiat di atasnya?” “Jika engkau
ingin bermaksiat, jangan memakan rezeki dari-Nya. Orang itu pun bertanya,
“Bagaimana aku bisa hidup?” Ibrahim bin Adham pun berkata, “Tidakkah engkau
malu memakan rezeki dari-Nya, sementara engkau bermaksiat kepada-Nya?”
“Tidakkah engkau malu bermaksiat kepada-Nya, sementara Allah senantiasa
bersamamu dan dekat denganmu?” Lalu, Ibrhamin ibn Adham melanjutkan, “Jika
engkau tetap ingin bermaksiat, maka apabila malaikat maut datang kepadamu untuk
mencabut nyawamu, katakan padanya, ‘Tunggu sampai aku bertaubat!’” Orang itu
menjawab, “Adakah yang bisa melakukan itu?” Ibrahim berkata, “Tidakkah engkau
malu malaikat maut datang kepadamu dan mengambil ruhmu sementara engkau dalam
kondisi bermaksiat?”
Bercermin dari kisah
hikmah ini, tentu kita tidak punya ruang sesenti pun untuk berbuat hina,
kecuali Allah SWT mengetahui. Sementara, setiap hari kita memakan rezeki
dari-Nya, hidup di bumi-Nya dan menikmati seluruh anugerah-Nya. Lantas,
masihkah kita tidak malu kepada-Nya dengan tetap bangga di atas salah dan
dosa-dosa yang setiap jiwa pasti pernah melakukannya? Sekiranya penduduk negeri
ini benar-benar beriman, tentu mereka akan malu bermaksiat kepada Allah. Dan,
sekiranya penduduk negeri ini benar-benar serius memelihara rasa malunya, tentu
tidak akan terjadi segala bentuk kerusakan moral, kerusuhan sosial, atau pun
kehidupan bebas tanpa aturan.*
5. Keutamaan Memiliki Rasa Malu. Berikut ini akan kami
kemukakan beberapa ke-utamaan dari memiliki rasa malu saat diri kita hidup di
muka bumi ini, yaitu:
a. Malu
pada hakekatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu atau Rasa
akan mengajak pemiliknya agar berhias diri dengan mulia dan menjauhkan diri
dari sifat sifat yang hina.
b. Malu adalah cabang
keimanan.
c. Allah
SWT cinta kepada orang orang yang malu atau yang masih memiliki rasa malu.
d. Malu adalah akhlak
para malaikat
e.
Malu
adalah akhlak Islam
f.
Malu
adalah pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat.
g. Malu
senantiasa seiiring dengan iman, bila salah satu tercabut hilanglah yang
lainnya.
h. Malu akan
menghantarkan pemiliknya ke syurga.
Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang berkehendak untuk
pulang kampung ke negeri Darussalam, yaitu syurga, jadikan malu sebagi cermin
dalam hidup dan kehidupan ini. Dan jangan sampai sesuatu yang melekat dalam
keimanan hilang dalam diri yang mengakibatkan kita berseberangan dengan Allah
SWT, namun berkesesuaian dengan syaitan sang laknatullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar