C.
TAHU TUJUAN AKHIR.
Keberadaan diri kita,
baik selaku abd’ (hamba) dan juga selaku khalifah, terikat dengan ketentuan “dari
Allah SWT akan kembali kepada Allah SWT” yang mengharuskan diri kita yang
sesungguhnya (ruh) datang fitrah kembali fitrah sehingga kita wajib memiliki
ilmu tentang Allah SWT secara baik dan benar dan kita juga wajib memiliki ilmu
tentang tahu diri karena kita hidup di langit dan di bumi yang diciptakan dan
dimiliki oleh Allah SWT sehingga mengharuskan kita melaksanakan segala aturan
main yang telah ditetapkan oleh Allah SWT selaku Tuan Rumah.
Dan dengan adanya
ketentuan di atas maka sangat jelas tujuan perjalanan hidup ini adalah harus
kembali kepada-Nya dan hal ini juga berarti bahwa diri kita pulang kampungnya
ke syurga karena hanya orang orang yang mampu pulang kampung ke syurgalah yang
bisa melaksanakan ketentuan di atas serta Allah SWT sendirilah yang akan
menemui para penghuni syurga, sebagaimana termaktub dalam surat Al Qiyaamah
(75) ayat 22, 23 berikut ini: “Wajah wajah (orang mukmin) pada hari itu
berseri-seri. Memandang Tuhannya.” Dan semoga inilah tujuan akhir kita.
Tahu tujuan akhir
merupakan salah satu bagian dari mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dengan
tahu diri dan juga dengan tahu aturan main yang berlaku di alam semesta ini.
Dan adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal sehat, jika kita berniat
untuk sampai ke tujuan akhir, jika kita sendiri tidak paham tidak mengerti
dengan tahu diri, dan tahu aturan main untuk pulang kampung halaman yang
hakiki, yaitu syurga. Dan setiap
manusia, siapapun dia, apapun kedudukannya, dapat dipastikan ia pasti akan
bercita cita untuk masuk syurga. Karena tidak ada satupun yang ingin masuk
neraka.
Dan untuk bisa masuk syurga tidak serta merta
begitu saja dapat kita raih. Kita akan diuji dengan cobaan (kesulitan) terlebih
dahulu. Sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Apakah kamu mengira bahwa kamu
akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya
orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan
kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga
berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah
datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu
Amat dekat. (surat Al Baqarah (2) ayat 214)”.
Dan adalah sesuatu yang mustahil diakal jika kita ingin masuk
syurga namun kita sendiri yang menentukan aturan mainnya, padahal kita hanyalah
pemain (obyek) semata yang tidak memiliki apapun saat hadir ke muka bumi ini.Dan
agar diri kita mampu pulang kampung ke syurga, jadikan hadits berikut ini
sebagai pedomannya: “Penghuni syurga itu ada tiga. Pertama,
penguasa yang berlaku adil, dapat dipercaya dan berhasil dalam kepemimpinannya.
Kedua, orang yang penyayang dan ringan hati kepada setiap kerabatnya. Ketiga,
orang Islam yang menjaga dirinya dari melakukan perbuatan haram dan juga
menjaga keluarganya. (Hadits Riwayat Muslim)”.
Selanjutnya untuk
mempertegas bahwa hidup yang kita jalani saat ini memenuhi konsep perjalanan
dari Allah SWT untuk kembali kepada Allah SWT selaku asal muasal dari diri
kita. Maka hidup yang kita laksanakan haruslah hidup yang bermakna sebagai
berikut:
1. Hidup adalah
perjalanan untuk menemukan jati diri kita yang sesungguhnya, yaitu ruh;
2. Hidup adalah perjalanan untuk menemukan Tuhan selaku
pencipta dan pemilik alam semesta ini;
3. Hidup adalah perjalanan untuk menemukan tujuan hidupmu;
4. Hidup adakah perjalanan
untuk memenuhi hidup ini dengan karya karya nyata untuk sesama manusia;
5. Hidup adalah sebuah
perjalanan untuk meninggalkan jejak jejak kebaikan; dan
6. Hidup adalah sebuah
perjalanan untuk mengumpulkan bekal bagi kepentingan akhiratmu nanti.”
Itulah 6 (enam) buah makna
hidup yang kami hubungkan dengan konsep tahu tujuan akhir. Namun, apa yang
terjadi dengan hidup ini? Kita sering lupa diri, lupa Allah dan juga lupa
kepada tujuan akhir kehidupan ini karena tergoda kehidupan dan gemerlap
kehidupan dunia akibat pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga pengaruh syaitan
serta juga karena pengaruh lingkungan sekitar yang mengakibatkan kesucian
jasmani dan kefitrahan ruh menjadi rusak.
Untuk itu mari kita perhatikan dengan seksama firman Allah dalam hadits
qudsi berikut ini: “Hudzaifah ra, berkata: Nabi SAW
bersabda: Allah ta’ala berfirman: Allah SWT telah mewahyukan kepadaku:
"Wahai saudara para Rasul dan saudara para pemberi peringatan! Berilah
berita peringatan kepada kaummu untuk tidak memasuki rumah-Ku (masjid) kecuali
dengan hati yang bersih, lidah yang jujur, tangan yang suci, dan kemaluan yang
bersih. Dan janganlah mereka memasuki rumah-Ku (masjid) padahal mereka masih
tersangkut barang aniayaan hak hak orang lain. Sesungguhnya Aku mengutuknya
selama ia berdiri mengerjakan shalat di hadapan-Ku sehingga ia mengembalikan
barang aniayaan itu kepada pemiliknya yang berhak. Apabila ia telah
mengembalikannya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar,
menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat dan ia akan menjadi salah
seorang kekasih-Ku, orang pilihan-Ku dan bersanding bersama-Ku bersama para
Nabi, para shiddiqin dan para syuhada di dalam syurga. (Hadits Qudsi Riwayat Abu Nua'im, Hakim, Ad-Dailami, dan Ibnu Asakir;
272:240).
Berdasarkan ketentuan hadits ini, Allah SWT telah memberitahukan kepada
kita tentang beberapa syarat yang harus kita penuhi sebelum diri untuk bertemu
dengan-Nya saat di muka bumi ini. Lalu jika saat hidup di muka bumi ini saja
kita tidak bisa bertemu dengan Allah SWT karena adanya perbedaan kesucian, atau
belum memenuhi syarat dan ketentuan Allah SWT. Lalu bagaimana kita bisa bertemu
dengan Allah SWT kelak di akhirat jika dunia saja tidak mampu kita lakukan!
Dilain sisi, saat
manusia dilahirkan setiap manusia tidak akan tahu ia akan dilahirkan di mana; siapa
yang akan melahirkannya, apa suku bangsanya serta apa agamanya. Akan tetapi,
ada fitrah dalam diri setiap manusia yang telah ditetapkan Allah SWT, yaitu
setiap manusia hidup untuk tujuan tertentu dan oleh karena itu hidup bermakna
sebagai sebuah perjalanan merupakan sebuah sunnatullah yang harus kita
laksanakan dengan sebaik baiknya, apalagi hidup ini memiliki keterbatasan waktu
serta ada musuh yang harus kita hadapi, yaitu ahwa (hawa nafsu) dan juga
syaitan.
Hidup sebagai sebuah
perjalanan baru bisa dikatakan sebagai sebuah perjalanan yang hakiki jika ada
titik awal perjalanan untuk menuju suatu tujuan akhir. Titik awal perjalanan
adalah saat diri kita pertama hadir (lahir) di muka bumi ini baik sebagai abd’
(hamba)-Nya dan yang juga sekaligus khalifah-Nya di muka bumi maka pada saat
itulah kita memulai sebuah perjalanan dari Allah SWT untuk menuju suatu tujuan
tertentu, dalam hal ini adalah menuju kepada Allah SWT yang dibuktikan dengan
mampunya diri kita melihat wajah Allah SWT di syurga secara langsung.
Hal ini sebagaimana
ketentuan yang terdapat dalam hadits berikut ini: “Dari Abu Hurairah ra, dia
berkata, “Sungguh, pada suatu waktu para sahabat bertanya kepada Nabi SAW, “Ya
Rasulullah, apakah kita bisa melihat Allah pada hari Kiamat nanti?’ Rasulullah
SAW bersabda: “Apakah kalian terhalang melihat rembulan pada malam purnama?”
Mereka menjawab: “Tidak, ya Rasulullah.” Kemudian Rasulullah SAW bertanya:
“Apakah kalian terhalang melihat matahari yang tidak tertutup awan?” Mereka
menjawab: “Tidak, ya Rasulullah.” Rasulullah SAW kemudian bersabda:
“Demikianlah sesungguhnya pada hari Kiamat nanti kalian akan melihat wajah
Allah Ta’ala.” (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim).
Namun, apa yang
terjadi dengan hidup ini? Kita sering lupa diri dan juga lupa kepada tujuan
akhir kehidupan ini karena tergoda kehidupan dan gemerlap kehidupan dunia
akibat pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga pengaruh setan serta juga karena
pengaruh lingkungan sekitar. Padahal Allah SWT sudah mengingatkan kepada
seluruh umat manusia melalui AlQuran yang diturunkannya sebagaimana termaktub
dalam surat Az Zumar (39) ayat 54 berikut ini: "Dan kembalilah kamu kepada
Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu, kemudian
kamu tidak dapat ditolong."
Dan agar
perjalanan hidup ini terarah dari waktu ke waktu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh Allah SWT, sehingga kita bisa bertemu dan melihat wajah Allah
SWT secara langsung, ada baiknya kami mengemukakan hal hal sebagai berikut:
1. Untuk
dapat bertemu dan ditemui oleh Allah SWT kelak, tempatnya tidak bisa
disembarang tempat karena Allah SWT tidak akan mungkin mau dan bersedia menemui
kita jika kita berada di dalam neraka.
2. Untuk
dapat bertemu dan ditemui oleh Allah SWT kelak, kita harus memenuhi syarat dan
ketentuan tertentu, yaitu beriman dan beramal shaleh; mentaati Allah dan
Rasul-Nya; serta menjadi orang yang bertaqwa karena inilah syarat utama untuk
pulang kampung ke syurga.
3. Untuk
bisa bertemu dan ditemui oleh Allah SWT kelak,
harus dipersiapkan dengan matang sejak diri kita masih hidup di muka
bumi sehingga buang jauh jauhlah konsep simsalabim alakadabra untuk bisa
bertemu Allah SWT kelak.
4. Untuk
dapat bertemu dan ditemui oleh Allah SWT kelak, kita harus bisa menja-dikan diri
kita sendiri memang pantas untuk ditemui oleh Allah SWT di syurga kelak.
5. Untuk
dapat bertemu dengan Allah SWT selaku Dzat Yang Maha Terhormat maka kita harus
terlebih dahulu menjadikan diri kita sesuai dengan kehormatan Allah SWT yaitu
harus menjadi makhluk yang terhormat terlebih dahulu karena tempat bertemunya
diri kita dengan Allah SWT adalah di tempat yang terhormat (syurga) dan dalam
suasana yang saling hormat menghormati.
6. Untuk
dapat bertemu dengan Allah SWT kelak, bukanlah perkara mudah lagi instans
(cepat), akan tetapi melalui suatu proses perjalanan yang sangat panjang lagi
melelahkan, penuh perjuangan, penuh kesungguhan, penuh doa dan air mata.
7. Untuk
bertemu dengan Allah SWT kelak, kita sangat membutuhkan adanya pe-doman atau
kompas yang menunjukkan peta perjalanan yang diiringi dengan pemenuhan bekal
selama di dalam perjalanan. Agar diri kita tidak sesat di jalan, sampai tujuan
dengan selamat serta memiliki pemahaman tentang peta perjalanan yang baik dan
benar dan Allah SWT juga telah memberikan Nomor Personal ContactNya : 24434
yang berlaku 24 jam dimanapun manusia berada.
Agar hidup dan kehidupan yang kita jalani
sesuai dengan konsep Allah SWT maka hidup yang kita jalani saat ini harus memiliki tujuan. Lalu, bagaimana kita
bisa menemukan tujuan hidup? Beruntunglah diri kita yang telah menyatakan diri
sebagai seorang muslim, karena telah memiliki tujuan hidup, yang kesemuanya
sudah ada di dalam kitab suci AlQuran dan Al Hadits. Berikut ini penjelasan
dari tujuan hidup manusia menurut AlQuran dan Al Hadits yaitu:
Pertama. Jika kita diciptakan oleh pencipta, maka pastilah pencipta
memiliki alasan, maksud dan tujuan, dalam menciptakan diri kita. Karena itu,
penting bagi diri kita untuk mengetahui tujuan penciptaan manusia, termasuk keberadaan
diri kita. Islam adalah respons terhadap pencarian manusia akan makna. Tujuan penciptaan bagi semua pria dan wanita
selama ini adalah: untuk mengenal dan menyembah Tuhan. Allah SWT melalui
AlQuran telah mengajarkan kepada kita bahwa setiap manusia dilahirkan sadar
akan adanya Tuhan dan telah bertuhankan kepada Allah SWT. Sebagaimana firmanNya
berikut ini: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab,
"Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”(Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan, "Sesungguhnya
kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (kekuasaan Tuhan),
atau agar kalian tidak mengatakan, 'Sesungguhnya orang tua-orang tua kami telah
mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedangkan kami ini adalah anak-anak
keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan
kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu'?” (surat Al A’raf (7) ayat
172-173).” Berdasarkan surat Al A’raf (7) ayat 172, 173 di atas, Allah
SWT berbicara langsung kepada jiwa (ruh) manusia, sehingga membuat jiwa (ruh)
manusia bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan bagi jiwa (ruh) setiap manusia.
Karena Allah SWT telah membuat semua jiwa (ruh) umat manusia bersumpah dengan
menjadikan Allah SWT sebagai Tuhan, sehingga setiap seorang anak yang dilahirkan
ke muka bumi sudah memiliki keyakinan alamiah (fitrah) tentang Keesaan Allah
SWT tanpa terkecuali.
Kedua. Tentang tujuan hidup
manusia, AlQuran juga telah memaparkannya dengan sangat jelas. Allah SWT
berfirman: “Dan mereka tidaklah disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat serta menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama
yang lurus.” (surat Al-Bayyinah (98) ayat 5). Berdasarkan ketentuan ini
manusia diciptakan Allah untuk suatu tujuan yang besar dan misi yang penting
yaitu beribadah kepada Allah SWT semata.
Dan pengertian ibadah itu sendiri sangatlah luas dan tidak hanya
terbatas pada ritual-ritual khusus semata. Semua aktivitas manusia yang
dilakukan dalam rangka mewujudkan ketaatan kepada Allah SWT dan sejalan dengan
ridha Allah maka ia termasuk ibadah. Ibadah juga dapat dijelaskan sebagai
segala sesuatu dalam Islam yang dilakukan seseorang untuk cinta dan kesenangan
Allah. Ini sama sekali tergantung pada tindakan yang benar atau tidak
benar dari seseorang yang mencakup poin-poin kekuatan berikut: (a)
Keyakinan agama; (b) Kegiatan sosial; (c) Kontribusi untuk kesejahteraan
masyarakat dan sesama manusia.
Ketiga. Orang-orang Mukmin
sangat percaya bahwa Allah SWT menurunkan AlQuran dan mengutus Nabi Muhammad
SAW untuk mengajarkan kita bagaimana menyenangkan dan menyembah Sang Pencipta
yang sesuai dengan kehendak Allah SWT: "... sungguh telah datang kepadamu
cahaya dari Allah dan Kitab yang menjelaskan, dengan Kitab itulah Allah memberi
petunjuk kepada orang yang mengikuti keridhaanNya ke jalan keselamatan dan
(dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada
cahaya dengan izinNya, dan menunjukkan ke jalan yang lurus. (surat Al
Maaidah (5) ayat 15-16).” Allah
SWT juga berfirman dalam surat Ali Imran (3) ayat 31 sebagaimana berikut ini: “Katakanlah (hai Muhammad), jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, dan Allah akan mencintaimu
dan mengampuni dosamu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
Berdasarkan ketentuan ini dikemukakan
bahwa jika kita benar-benar mencintai-Nya, maka ikutilah rasul-Nya. Adanya
kondisi ini menunjukkan bahwa Allah SWT telah menjadikan Nabi Muhammad SAW
sebagai suri tauladan saat diri kita hidup di dunia ini. Adanya suri tauladan
akan memudahkan diri kita melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi.
Keempat. Tujuan hidup manusia
adalah melakukan perbuatan baik dan benar dalam kerangka ibadah ikhsan termasuk
di dalamnya memberikan dan berbuat amal shaleh, membebaskan budak, berdoa,
menepati janji, dan bersabar selama kesulitan. Allah SWT berfirman: “Bukanlah
kebenaran bahwa kamu memalingkan wajahmu ke timur atau barat. Tetapi
adalah kebenaran untuk percaya kepada Tuhan, dan Hari Terakhir, dan para
Malaikat, dan Kitab, dan para Utusan; untuk menghabiskan harta Anda,
karena cinta untuk-Nya, untuk sanak saudara Anda, untuk yatim piatu, untuk yang
membutuhkan, untuk musafir, untuk mereka yang meminta, dan untuk tebusan
budak; untuk tabah dalam doa, dan mempraktekkan kasih amal biasa, untuk
memenuhi kontrak yang telah kamu buat; dan untuk menjadi tegas dan sabar,
dalam kesakitan (atau penderitaan) dan kesulitan, dan di semua periode
panik. Demikianlah orang-orang yang benar, yang takut akan Allah.” (surat
Al Baqarah (2) ayat 177). Selain daripada itu, bekerja untuk menjaga perdamaian
atau berusaha untuk mendamaikan diantara orang-orang adalah perbuatan besar
yang lebih baik daripada amal, puasa, dan doa. Nabi Muhammad (saw)
berkata: “Apakah Anda tahu apa yang lebih baik daripada amal dan puasa dan
doa? Itu menjaga perdamaian dan hubungan yang baik antara orang-orang, karena
pertengkaran dan perasaan buruk menghancurkan umat manusia.” (Hadits
Riwayat Bukhari, Muslim)
Kelima. Adanya peringatan untuk kemanusiaan, dimana AlQuran dan juga
Hadits sudah memberikan peringatan bagi umat manusia bahwa mereka akan
mempertanggungjawabkan setiap tindakan yang mereka lakukan dalam kehidupan ini.
Sebagaimana Allah SWT berfirman berikut ini: “Katakan, 'Tuhanlah yang
memberimu hidup, lalu membuatmu mati; dan pada akhirnya Dia akan mengumpulkanmu
pada Hari Kebangkitan (kedatangan) yang tidak diragukan, tetapi kebanyakan
orang tidak mengerti. Kepunyaan Tuhan adalah kerajaan langit dan
bumi. Dan pada hari itu ketika kiamat datang, pada hari itu semua orang
yang menolak untuk beriman adalah orang-orang yang merugi. Dan kamu akan
melihat semua orang tertatih-tatih berlutut, karena semua orang akan dipanggil
untuk (menghadapi) catatan mereka: 'Hari ini kamu akan mendapat balasan atas
semua yang pernah kamu lakukan. Ini adalah catatan Kami, ini berbicara
tentang Anda dalam semua kebenaran; karena Kami telah mencatat semua yang
kamu lakukan. (surat Al Jasiyah (45) ayat 26,27, 28,29).” Dan Allah
juga SWT berfirman: "Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat atom, ia akan
melihatnya, dan barangsiapa berbuat jahat terhadap atom, akan melihat
(balasannya)." (surat Az Zalzalah (99) ayat 7,8).” Adanya
ketentuan untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang kita lakukan kelak
dihadapan Allah SWT, menunjukkan bahwa hidup yang kita jalani tidak bisa
dilaksanakan seenaknya saja tanpa melihat aturan main yang telah ditetapkan
berlaku oleh Allah SWT selaku Tuan Rumah. Berdasarkan uraian di atas ini
berarti salah satu tujuan hidup yang harus kita laksanakan adalah bagaimana
kita berupaya sebaik mungkin agar laporan pertanggungjawaban kita dapat
diterima oleh Allah SWT dengan sebaik baiknya.
Keenam. Nabi Muhammad SAW
sebagai suri tauladan kita juga telah menggemakan dan juga mengingatkan kepada
umatnya tentang pesan pertanggungjawaban, sebagaimana hadits berikut ini: “Seorang
pria akan ditanya mengenai lima (hal) pada Hari Kebangkitan: tentang hidupnya
dan bagaimana ia menghabiskannya, tentang masa mudanya dan bagaimana ia menjadi
tua, tentang kekayaannya: di mana ia memperolehnya dan dengan cara apa ia
menghabiskannya, dan apa yang dia lakukan dengan pengetahuan yang dia miliki.
"(Hadits Riwayat Ath Thirmidzi). Dan juga melalui sabda Nabi Muhammad
SAW berikut ini: “Tiga hal mengikuti almarhum: anggota keluarganya, kekayaannya dan
tindakannya. Dua dari mereka kembali dan satu akan tetap bersamanya. Anggota
keluarga dan kekayaannya kembali, dan tindakannya akan tetap bersamanya.” (Hadits
Riwayat Bukhari, Muslim).” Dan berdasarkan ketentuan hadits ini, tujuan
hidup seorang pria adalah bagaimana bersikap dan berbuat terhadap apa apa yang
dimilikinya, seperti harta, ilmu serta waktu. Lalu bagaimana memperolehnya
serta untuk apa harta, untuk apa ilmu dan untuk apa waktu yang dimilikinya,
apakah untuk kepentingan duniawi semata ataukah untuk kepentingan akhirat?.Hal
yang harus kita jadikan pedoman adalah bahwa Allah SWT memiliki kriteria
sendiri di dalam menilai seseorang sebagaimana hadits berikut ini: Nabi
SAW menyatakan, Allah Yang Mahakuasa menghakimi kamu bukan dari wajahmu atau
kekayaan-mu, tetapi oleh kemurnian hatimu dan perbuatanmu." (Hadits Riwayat
Muslim). Berdasarkan ketentuan ini, penampilan, kekayaan, keturunan,
harta kekayaan, pangkat dan jabatan, pendidikan, warna kulit, suku bangsa yang kita
miliki bukanlah kriteria yang akan dipergunakan oleh Allah SWT untuk menilai keberhasilan
diri kita.
Adanya konsep 6
(enam) tujuan hidup di atas, akhirnya kita akan dihadapkan dengan konsep hidup
adalah kesempatan dan juga pilihan serta hidup adalah perjalanan. Kesempatan
untuk melaksanakan apa apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT berlaku kepada
diri kita atau tidak mau melaksanakan
apa apa yang telah ditetapkan berlaku. Sehingga hidup yang kita jalani saat ini
adalah pilihan, pilihan memilih apa yang baik atau apa yang buruk, mau masuk ke
syurga atau mau masuk ke neraka, mau menjadikan hati yang hidup lagi sehat atau
mau menjadikan hati yang mati lagi sakit, mau jalan kebaikan atau mau jalan
keburukan, mau jiwa yang fitrah atau mau jiwa yang fujur. Pilihan dan
konsekuensi dari pilihan yang kita ambil akan menentukan hasil akhir sehingga
sebab bukanlah karena akibat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar