B. THAWAF SELAMA HAYAT MASIH DI KANDUNG BADAN.
Thawaf
artinya mengelilingi Ka’bah yang ada di Baitullah sebanyak 7 (tujuh) putaran
yang putarannya berlawanan arah dengan arah jarum jam. Yang mana kegiatan
thawaf ini dapat kita laksanakan baik dengan berihram jika melaksanakan rukun
haji ataupun rukun umroh maupun dengan pakaian bebas saat thawaf ifhadah,
thawaf sunnah, thawaf nadzar dan thawaf wadha. Melalui prosesi Thawaf kita
berupaya untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT sehingga kita selalu
bersama Allah SWT.
Hal
yang menjadi persoalan adalah apakah hanya saat di Baitullah saja kita berusaha
untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT (maksudnya Thawaf) lalu setelah tidak
lagi di Baitullah (maksudnya setelah tiba di tanah air) kita tidak berusaha
lagi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT? Mendekatkan diri kepada Allah SWT
bukan hanya saat diri kita melaksanakan ibadah umroh di Baitullah semata. Akan
tetapi setelah kembali ke tanah air pun kita harus tetap harus melaksanakan
Thawaf dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun sepanjang hayat masih di
kandung badan.
Saat
diri kita hidup di muka bumi ini kita tidak bisa terhindar atau menghindarkan
diri dari pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan yang tidak mengenal
jarak, ruang dan waktu yang mengakibatkan diri kita yang sesungguhnya adalah
ruhani menjadi tidak fitrah lagi. Sedangkan ruhani asalnya fitrah dan
kembalinya harus fitrah pula. Inilah sunnatullah yang harus kita hadapi saat
hidup di muka bumi ini. Lalu bagaimana caranya mengatasi ahwa (hawa nafsu) dan
juga syaitan yang tidak mengenal jarak, ruang dan waktu? Cara yang dikendaki
Allah SWT adalah dengan selalu melaksanakan Thawaf dimanapun, kapanpun dan
dalam kondisi apapun atau hanya dengan bersama Allah SWT sajalah yang mampu
mengatasi ahwa (hawa nafsu) dan juga syaitan.
Adapun
Thawaf yang dapat kita lakukan di tanah air setelah melaksanakan ibadah umroh
adalah dengan selalu menjadikan diri kita selalu berada di dalam kehendak Allah
SWT, yaitu:
1. Selalu melaksanakan
Diinul Islam secara Kaffah;
2. Selalu melaksanakan
perintah yang telah diperintahkan Allah SWT;
3. Sselalu meninggalkan
segala apa yang dilarang oleh Allah SWT;
4. Selalu bersama Allah
SWT melalui ibadah wajib dan sunnah yang sesuai dengan syariat berlaku.
Hasil
akhir dari proses Thawaf yang selau kita lakukan di tanah air adalah kita akan
selalu bersama Allah SWT dan dekat dengan Allah SWT saat hidup di muka bumi ini
yang pada akhirnya kita mampu mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan syaitan yang
menjadi musuh abadi diri kita.
Adanya
kedekatan diri kita dengan Allah SWT setelah mampu melaksanakan Thawaf secara
hakekat di tanah air (di Tanah Halal) akan membuat diri kita menjadi orang
dekat Allah SWT yang pada akhirnya menambah keimanan kita, bertambah tekun
dalam menuntut ilmu dan bertambah rendah hati, bertambah kaya namun dermawan,
bertambah sopan santunnya, ibarat padi semakin berisi semakin merunduk.
Dengan
merasa dekat dengan Allah SWT, kita akan menjadi orang yang pemurah, kendati
apa yang kita miliki belum lagi memadai dan mencukupi. Dengan merasa dekat
kepada Allah SWT, kita akan semakin disiplin dalam melaksanakan tugas dan
kewajiban membela dan membangun bangsa dan negara. Dengan dekat kepada Allah
SWT, kita tidak akan menyebarkan fitnah, berita bohong, tidak menuntut yang
bukan menjadi haknya dan tidak menahan apa yang menjadi hak orang lain.
Ingat,
dengan kita selalu Thawaf dari waktu ke waktu kapanpun dan dimanapun dan dalam
kondisi apapun berarti kita selalu dalam kehendak Allah SWT dalam hal ini Allah
SWT berkehendak menjadikan diri kita menjadi golongan kanan seperti yang
dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Waaqi’ah (56) ayat 8 sampai 9 berikut
ini: “Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. dan
golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.” Selain ayat di atas,
Allah SWT juga berfirman melalui surat Al Waaqiaah (56) ayat 90 dan 91 berikut
ini: “dan Adapun jika Dia Termasuk golongan kanan, Maka
keselamatanlah bagimu karena kamu dari golongan kanan.”
Untuk
itu perhatikanlah arah gerakan Thawaf yang kita lakukan yang bergerak tanpa
henti dari kiri menuju kanan yang berarti gerakan untuk menuju kepada Allah SWT
dalam kerangka menuju kehidupan akhirat. Lain halnya dengan Thawaf makhluk yang
bergerak dari kanan menuju kiri searah jarum jam yang berarti meninggalkan
Allah SWT dalam kerangka menuju kehidupan dunia. Sekarang semuanya terpulang
kepada diri kita masing-masing, apakah mau melaksanakan Thawaf sebatas syariat
ataukah mau melaksanakan Thawaf secara hakekat, terkecuali kita sendiri
berkeinginan untuk menjadi golongan kiri atau ingin merasakan panasnya api neraka
dan hidup bertetangga dengan syaitan di sana.
C.
JANGAN PERNAH BANGGA
DENGAN PAHALA UMROH.
Jangan
pernah bangga memperoleh nilai berupa pahala shalat di Masjdil Haram yang
pahalanya seratus ribu kali, atau jangan pernah bangga memperoleh pahala shalat
di Masjid Nabawi yang pahalanya seribu kali,
karena pahala tidak akan bisa bersifat permanen dan bukan tujuan utama
dari melaksanakan ibadah haji (atau ibadah umroh), sebagaimana hadits berikut
ini: “Shalat di masjidku ini Masjid Nabawi lebih utama
1000 (seribu) kali dibanding shalat di masjid lainnya kecuali di Masjidil Haram
dan shalat di Masjidil Haram lebih utama 100.000 (seratus ribu) kali shalat
daripada masjid lainnya. (Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Huzaimah dan Hakim).”
Jangan
pernah bangga pula dengan memperoleh 60 (enam puluh) rahmat dari setiap Thawaf
sunnah yang kita lakukan, atau jangan pernah pula bangga dengan 40 (empat
puluh) rahmat dari setiap shalat yang kita lakukan di Masjidil Haram atau
jangan pula bangga dengan 20 (dua puluh) rahmat dari penyaksian kita di
Masjidil Haram, sebagaimana hadits berikut ini: “Rasulullah SAW bersabda: “Allah menurunkan di Al
Haram (Ka’bah) setiap hari dan setiap saat seratus dua puluh rahmat. Enam puluh
di antaranya untuk orang orang yang Thawaf, empat puluh untuk orang orang yang
shalat, dan dua puluh untuk orang orang yang hadir menyaksikan.” (Hadit Riwayat
Ath Thabrani).
Selain kedua hadits
diatas, masih ada satu lagi hadits yang berkenaan dengan pelaksanaan ibadah
haji dan ibadah umroh sebagaimana berikut ini: “Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang berkeliling ka’bah (thawaf)
tujuh kali, dan ia tidak berkata, kecuali “Subhanallah wal hamdu lillah wa la
ilaha illallah wallahu akbar wa la haula wa la quwwata illa billah”, niscaya
akan dihapus darinya sepuluh keburukan dan dituliskannya sepuluh kebaikan dan
diangkat derajatnya sepuluh tingkat. (Hadits Riwayat Ibnu Majjah).”
Ingat, nilai berupa pahala akan berkurang jika kita
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. Nilai berupa
pahala juga bukan sesuatu yang bersifat tetap jumlahnya, ia dapat naik dan juga
dapat turun sesuai dengan perilaku diri kita. Fokuslah untuk selalu menambahkan
nilai-nilai kebaikan (value) dengan selalu mengharapkan ridha Allah SWT dan
segera melakukan ibadah Ikhsan (perbuatan baik) kapanpun, dimanapun, dalam
kondisi apapun sebagai bukti diri kita telah memperoleh ibadah umroh yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT kepada diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara tanpa harus di tunda tunda atau menunggu waktu yang tepat. Semakin cepat
semakin baik. Semakin banyak semakin hebat. Ingat, kebaikan untuk diri kita
sendiri bukan untuk orang lain.
Untuk
itu jadikan nilai-nilai yang diberikan oleh Allah SWT saat diri kita mendirikan shalat di Masjidil Haram dan juga
di Masjid Nabawi serta nilai rahmat yang kita dapatkan dari melaksanakan Thawaf
sunnah mengelilingi Ka’bah sebagai tabungan abadi diri kita yang tidak untuk
dipakai setelah kembali ke tanah air. Hal ini harus kita jadikan pedoman karena
perjalanan panjang masih menunggu diri kita setelah ruh dipisahkan dengan
jasmani sehingga kita sangat membutuhkan bekal yang sangat banyak yang bersifat
jangka panjang.
Tidak
ada jalan lain yang bisa kita lakukan selain berbuat kebaikan dalam kerangka
ibadah ikhsan. Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah setelah ruh kita
dipisahkan dengan jasmani lalu kita tidak tahu sampai kapan akan dibangkitkan
kembali oleh Allah SWT. Kondisi ini yang harus kita perhatikan yaitu adanya
waktu tunggu yang sangat panjang tentunya membutuhkan bekal secara jangka
panjang pula. Salah satu bekal yang bersifat jangka panjang adalah nilai dari
pahala shalat yang pernah kita dirikan di Masjidil Haram dan juga shalat di
Masjid Nabawi.
Benar,
sekali mendirikan shalat di Masjidil Haram apabila dikonversi dengan shalat di
tanah air sangatlah berbeda nilainya jika dikonversi ke dalam jangka waktu.
Katakan saat di tanah air kita selalu mendirikan shalat wajib 5 (lima) waktu
secara berjamaah berarti nilai yang kita dapatkan hanya bernilai 135 (seratus
tiga puluh lima) kali. Ini berarti, sekali shalat di Masjidil Haram maka akan
sama nilainya jika kita selalu shalat wajib secara berjamaah selama 740 (tujuh
ratus empat puluh) hari, atau selama dua tahun secara berturut-turut mampu
mendirikan shalat berjamaah dengan tidak pernah sekalipun putus saat di tanah
air, sanggupkah kita seperti ini sewaktu di tanah air?
Saat
diri kita melaksanakan ibadah umroh, sudah berapa banyak kita mendirikan shalat
di Masjidil Haram baik sendiri sendiri ataupun berjamaah? Tinggal hitung saja
berapa lama waktu kita shalat di tanah air dibandingkan dengan shalat di
Masjidil Haram. Untuk itu ketahuilah bahwa shalat di Masjidil Haram dan juga
shalat di Masjid Nabawi bukanlah tujuan utama dari pelaksanaan ibadah umroh
yang kita laksanakan serta Thawaf di sekeliling Ka’bah juga bukan tujuan kita
menunaikan ibadah umroh. Untuk itu jadikan nilai-nilai ibadah mendirikan shalat
di kedua masjid ini dan juga Thawaf di sekeliling Ka’bah adalah bonus dari
pelaksanaan ibadah umroh yang kemudian bisa kita jadikan tabungan abadi diri
kita untuk kepentingan perjalanan diri kita di akhirat kita kelak yang memang
sangat membutuhkan bekal yang banyak lagi panjang waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar