Jika saat ini kita
sudah pernah menunaikan ibadah haji atau ibadah umroh, ada baiknya kita
introspeksi diri tentang apa apa yang pernah kita lakukan saat beribadah haji
atau ibadah umroh. Lalu bertanyalah kepada diri sendiri, sudahkah kita bertemu
dan merasakan kebesaran dan kemahaan Allah SWT dan merasakan rasa diterima oleh
Allah SWT selaku Tuan Rumah? Apakah kita hanya merasakan nikmatnya beribadah di
tempat terbaik di muka bumi tanpa merasakan rasa diterima Allah SWT selaku Tuan
Rumah? Jika kita hanya mampu merasakan nikmatnya beribadah tanpa merasakan rasa
diterima oleh Allah SWT maka hasilnya sangat berbeda jauh dibandingkan dengan
orang yang bertemu dan diterima oleh Allah SWT maka secara otomatis bisa
merasakan nikmatnya beribadah dihadapan Tuan Rumah. Dan orang yang seperti ini
biasanya akan mampu menahan diri untuk tidak melaksanakan ibadah haji atau
ibadah umroh berulang ulang, lagi dan lagi. Namun ia akan fokus kepada khalayak
ramai dengan memberikan hasil kesalehan pribadi yang diperoleh dari pelaksanaan
ibadah haji atau ibadah umroh tampil dalam kesalehan sosial di tengah
masyarakat, sebagai bukti dari napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim as, dan
keluarganya.
Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi, ketahuilah bahwa hakekat dari
pelaksanaan ibadah haji yang hanya diwajibkan sekali seumur hidup bukan akhir
dari suatu perjalanan. Ibadah haji yang hanya diwajibkan sekali seumur hidup
juga bukan pula puncak pencapaian ibadah. Ibadah haji adalah sebuah
pembelajaran dan pelatihan yang harus siap untuk segera diaplikasikan sepanjang
diri kita masih hidup di muka bumi ini secara sungguh-sungguh (istiqamah) di
dalam menghadapi ahwa (hawa nafsu) dan setan; di dalam menjaga dan merawat
kefitrahan diri yang telah kita peroleh serta di dalam kerangka mempertahankan
ruh sebagai jati diri kita yang sesungguhnya dan juga mampu menghantar-kan kita
pulang kampung ke kampung kebahagiaan kelak. Untuk itu kita harus bisa
melaksanakan apa-apa yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Ahqaaf (46)
ayat 13 berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang
yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap
istiqamah[1388] Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada
(pula) berduka cita.”
[1388] Istiqamah ialah teguh
pendirian dalam tauhid dan tetap beramal yang saleh.
Setelah diri kita
mampu menunaikan ibadah haji atau ibadah
umroh maka pasca kembali dari menunaikan ibdah haji (ibadah umroh) maka :
1. Kita harus tetap melaksanakan Diinul Islam secara kaffah;
2. Kita harus tetap
bertuhankan kepada Allah SWT dan tetap beramal shaleh;
3. Kita harus tetap
melaksanakan ibadah-ibadah sunnah;
4. Kita harus tetap
istiqamah; kita harus bisa menunjukkan hasil kesalehan pribadi tercermin dalam
kesalehan sosial sepanjang hayat masih di kandung badan.
Dan jangan sampai
diri kita berhasil bertemu dengan kemahaan dan kebesaran Allah SWT di Baitullah
dan juga merasakan betapa nikmatnya ibadah haji (umroh) di Baitullah. Namun
menjadi pecundang saat dipertandingan yang sesungguhnya yang dimulai dari
kepulangan diri kita dari melaksanakan ibadah haji. Inilah salah satu ironi
yang terjadi di tengah tengah masyarakat pada umumnya.
Mampu menunaikan
ibadah haji, atau mampu menunaikan ibadah umroh berkali-kali, namun hanya untuk
kepentingan diri sendiri tanpa pernah bisa menunjukkan kesalehan pribadi yang
terwujud dalam kesalehan sosial. Disinilah salah satu letak kelemahan yang
paling kentara setelah jamaah haji dan umroh pulang ke tanah air, yaitu tidak
mampu menunjukkan kualitas dirinya dihadapan masyarakat dengan selalu berbuat
kebaikan dalam kerangka ibadah ikhsan sebagai bentuk dari diterimanya ibadah
haji karena kita mampu menjadi haji yang mabrur.
Saat ini memang Allah
SWT hanya mewajibkan diri kita untuk menunaikan ibadah haji sekali seumur
hidup, namun ketahuilah kewajiban ini bukan untuk menjadikan diri kita menjadi
pecundang saat menghadapi ahwa (hawa nafsu) dan syaitan apalagi menyusahkan
diri dan orang lain. Allah SWT
memerintahkan ibadah haji atau umroh agar diri kita sukses dipertandingan yang
sesungguhnya yaitu hari-hari tanpa adanya fasilitas khusus (maksudnya adanya
perbedaan aturan main antara di Tanah Haram dengan di Tanah Halal sebagai
contoh nilai shalat di Masjidil Haram yang nilainya berbeda dengan shalat di
Tanah Halal).
Disinilah salah satu
letak terpenting dari adanya ibadah haji atau umroh di Baitullah yaitu adanya perbedaan aturan main di Tanah
Haram dibandingkan dengan di Tanah Halal bukan kita maknai sebagai kesempatan
untuk mencari pahala (nilai) shalat sebanyak banyaknya. Adanya perbedaan aturan
main merupakan cara dan metode Allah SWT untuk mempercepat proses kefitrahan
diri serta mempercepat kita kembali fitrah sehingga diri kita sesuai dengan
kehendak Allah SWT melalui proses haji mabrur sehingga siap menghadapi ahwa
(hawa nafsu) dan juga syaitan yang pada akhirnya harus menghantarkan diri ini
menjadi pemenang.
Untuk itu perhatikan
dengan seksama apa yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat An Nahl (16)
ayat 92 berikut ini: “dan janganlah kamu seperti seorang
perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi
cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian) mu sebagai alat penipu
di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari
golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. dan
Sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu
perselisihkan itu.” Allah SWT
melalui surat An Nahl (16) ayat 92 telah mengingatkan melalui perumpamaan seorang
yang menguraikan benang yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai
karena ulah dirinya sendiri. Ini menunjukkan hasil kerja keras hilang karena
kita tidak bisa mempertahankan apa apa yang telah kita perjuangkan.
Hal yang samapun
berlaku saat diri kita menunaikan ibadah haji atau umroh yang hanya mampu
bertemu dengan kemahaan dan kebesaran Allah SWT dan merasakan nikmatnya ibadah.
Namun apa apa yang pernah kita capai dan raih saat menunaikan ibadah haji
(ibadah umroh) di Baitullah (di Tanah Haram) akhirnya hilang setelah kembali ke
tanah air (di Tanah Halal) karena ketidakmampuan diri kita serta ketidakinginan
diri kita untuk berbagi ke sesama akibat kita tidak memiliki ilmu dan pemahaman
ibadah haji atau umroh yang komprehensif.
Ingat, Allah SWT
selaku pemberi perintah menunaikan ibadah haji atau umroh belum dan bahkan
tidak akan tersenyum bangga kepada diri kita, sepanjang manfaat yang hakiki
dari pelaksanaan ibadah haji atau umroh tidak bisa dinikmati oleh orang lain,
tidak bisa dinikmati oleh keluarga, tidak bisa dinikmati oleh masyarakat, tidak
bisa dinikmati oleh bangsa dan negara. Dan Allah SWT juga belum bangga jika
kita belum bisa berkarya nyata yang berjangka panjang yang bisa dinikmati oleh generasi yang datang di
kemudian hari sehingga bukan menjadikan diri kita menjadi orang-orang pemalas
yang hanya mementing-kan diri sendiri.
Allah SWT selaku
pemberi perintah menunaikan ibadah haji telah memberikan pedoman dasar kepada
diri kita setelah kembali ke tanah air, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al
Baqarah (2) ayat 198 berikut ini: “tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki
hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat,
berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam[125]. dan berdzikirlah (dengan menyebut)
Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum
itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat.”. Allah SWT
mempersilahkan diri kita untuk kembali mencari rezeki dari hasil perniagaan,
mencari nafkah, bekerja dan berusaha bagi diri, keluarga dan anak keturunan,
sehingga setelah melaksanakan ibadah haji atau umroh kita diperkenankan kembali
untuk melaksanakan aktifitas kita sehari-hari dengan catatan harus sesuai
dengan kaidah dan norma-norma yang sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku
pencipta dan pemilik alam semesta ini.
Pembaca dan jamaah
yang kami hormati, hanya inilah buku, "BUKU
BIMBINGAN UMROH: JADIKAN DIRI TAMU YANG DIBANGGAKAN OLEH ALLAH SWT.” yang mampu kami tulis, hanya
inilah yang mampu kami ungkapkan, hanya inilah yang mampu kami berikan sebagai
sumbangsih kami kepada diri, keluarga, anak dan keturunan, masyarakat, bangsa
dan juga negara dan juga untuk generasi yang datang di kemudian hari. Semoga
buku ini bermanfaat sesuai dengan peruntukannya yaitu mampu menjadikan diri
kita tetap sebagai “Makhluk yang
Terhormat, yang mampu berperilaku Terhormat, untuk bisa pulang kampung ke
tempat yang Terhormat dengan cara yang Terhormat sehingga kita bisa bertemu
dengan Yang Maha Terhormat dalam suasana yang saling hormat menghormati.”
Dan tak lupa dalam
kesempatan ini, kami ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada
siapapun juga yang turut membantu kami di dalam menulis buku ini hingga sampai
ke tangan pembaca dan semoga Allah SWT menjadikan hal ini sebagai ibadah yang
pahalanya terus dan terus mengalir sepanjang buku ini ada, dipelajari oleh
banyak jamaah dan diajarkan kembali oleh jamaah kepada yang lainnya. Mohon maaf
jika ada kata-kata yang tidak berkenan di hati. Semoga Allah SWT menambah Ilmu
kita, semoga Allah SWT memberikan pemahaman yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT itu sendiri, semoga kita mampu melaksanakan apa apa yang telah kita
pelajari serta semoga Allah SWT mengabulkan harapan dan doa yang kita panjatkan
kepada-Nya dan kita semua selalu di dalam lindungan-Nya.
Sebagai penutup
dari buku ini, tidak ada kata kata penutup yang paling indah selain kata, “Alhamdulillahi Rabbil Alamin” Inilah
kata yang berisi ungkapan syukur yang sangat luar biasa kepada Allah SWT. Rasa
bersyukurlah sebagai cara pamungkas agar segala nikmat yang kita peroleh dan
selalu ditambah oleh Allah SWT dari waktu ke waktu sampai kita bertemu dengan
Allah SWT kelak di syurga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar